Pulau Kadatua secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Buton Selatan, pulau ini banyak menyimpan keindahan alam yang mempesona yang masih tersenbunyi dan belum banyak orang tahu. Bila teman-teman kebetulan berada di Buton (Baubau) ada baiknya mengunjungi pulau ini untuk merefresh pikiran dan melihat-lihat keindahan ciptaan Tuhan.

Transportasi ke Pulau ini tidak begitu rumit, jika dari Pusat Kota Baubau, teman-teman bisa naik angkot diterminal Pasar Laelangi atau naik ojek atau becak motor (bentor) lalu menuju Pelabuhan Topa (Sulaa), tarif angkot kurang lebih Rp. 10 ribu, sedangkan naik Ojek/Bentor 20ribu, jarak tempuh sekitar 15 menit sampai ke Topa. setelah itu naik Kapal atau Ojek laut menuju pulau Kadatua, tarif ojek laut kalau reguler menunggu kapal penuh baru berangkat tarfnya per orang Rp 5ribu, tapi kalau teman-teman gak mau nunggu lama bisa langsung carter, biayanya lumayan mahal sih sekali carter kapal/ojek laut Rp. 50 ribu,  jarak tempuh dari Pelabuhan Topa menuju Kadatua kurang lebih 15 menit.

Berikut 4 wisata keren yang bisa teman-teman kunjungi di Pulau Kadatua:

1. Tebing Labulengke
2. Pasir Putih Banabungi
3. Danau Teilalo
4. Jembatan Warna Kaofe

Mudik memang menjadi hal yang paling dinanti bagi setiap orang khususnya bagi perantau jauh yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya, apalagi momentumnya lebaran. Sungguh bahagia, karena akan bertemu sanak familiy dan teman-teman kecil yang sudah lama tak bersua. seolah kerinduan dan susahnya hidup dirantau terbayar sudah.

Saya menulis soal mudik ini karena kebetulan tadi, lihat postingan sepupu saya yang mudik lebaran menggunakan kapal laut, ia mengunggah foto kondisi penumpang kapal yang padat merayap dengan tumpukkan barang-barang yang dibawa, mereka pada umumnya perantau Buton yang merantau Maluku dan Papua. Luar biasa, betapa semangatnya para perantau ini untuk pulang berlebaran dikampung halamannya

(Suasana penumpang Kapal Laut)

Lebaran kali ini berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini keluarga saya semua pulang bapak, ibu, adik, sepupu, tante, om dan seluruh perangkat keluarga lainnya.  Memang sudah lama merantau ada yang 3 hingga 6 tahun, olehnya mereka berencana berkumpul dikampung tahun ini.

Oh ya, tempat keluarga saya merantau tuh di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Prov. Maluku, teman-teman pembaca blog saya yang budiman penasaran dimana lokasi tersebut, mungkin bisa cek di Google Maps, lokasinya cukup jauh, di wilayah terselatan Indonesia masuk Daerah 3T, berbatasan laut dengan negara Australia. kalau kampung halaman saya di Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Jauh kan?

Mungkin teman-teman akan bertanya, kok bisa merantau kesana??? Nanti lain waktu saya akan ceritakan.

Lanjut soal mudik, sebelum mereka pulang sekitar bulan lalu memang saya sempat ditelpon ditanya, mau pulang gak? saya jawab kayaknya gak, soalnya urusan disini belum kelar. Ya dengan keadaan terpaksa lebaran lagi di kampung orang dan jauh dari keluarga.

Ya berlebaran dirantau memang bukan hal baru bagi saya, tahun kemarin juga saya berlebaran disini (malang), maka untuk kedua kalinya berlebaran dirantau jika tidak mudik lagi tahun ini. Tapi ya itulah risiko perantau yang menuntun ilmu di daerah orang.

Akhir-akhir ini saya sangat keranjingan mengikuti isu politik yang berkaitan dengan pilpres apalagi setelah demo yang berujung kerusuhan di jakarta tanggal 22 kemarin. Video-video serta opini saya kepoin untuk sekedar mengetahui bagaimana sih kondisi politik negri ini di Mata Para Tokoh maupun akademisi.

Cari-cari tulisan yang pas buat saya baca, eh nyarar di salah satu situs berita kepunyaan om Paloh, MEDIA INDONESIA.COM, nemu tulisan keren dari seorang intelektual terkemuka, Burhanuddin Muhtadi yang berjudul "Setelah Polarisasi (semoga) Terbit Rekonsiliasi", ia sedikit mengulas apa yang terjadi pada lanskap politik kita hari ini.

Disebutkan bahwa yang terjadi pada politik kita hari adalah KETERBELAHAN/POLARISASI yang begitu tajam hal ini karena disebabkan oleh Narasi yang dibangun saat Kampanye kemarin, yakni populisme dan politik identintas yang dikawinkan dengan strategi post trtuth (Pasca Kebenaran) dimana algoritma rasa dianggap lebih bertuah ketimbang data dan fakta sehingga melahirkan polarisasi tersebut.

Politik Identitas Ini memang bukan barang baru, tapi fenomena global, terjadi juga dibeberapa negara, bisa dilihat dari kemenangan Donald Trump di AS, Bolsonaro di Brasil, Brexit di Inggris, dan lain-lain.

Dalam tulisannya ini Burhanuddin menyajikan fakta menarik tentang gambaran polarisasi di Indonesia, ia kutip hasil exitpol yang dilakukan oleh Indikator Politik, hasilnya terjadi  kecendrenyngan memiloh berdasar pada identitas, misal dari segi agama, Muslim Tradisionalis dan Non Muslim cenderung memilih Jokowi sedang Muslim Modernis cendrung lebih memilih Prabowo.

Kalau dari segi etnis, orang Batak dan Jawa mengalami peningkatan 11% dibanding tahun 2014 memilih jokowi, kemudian pemilih Prabowo di masyarakat yang beretnis sunda mengalami stagnasi atau penurunan, tapi di Masyarakat Minang, Melayu dan Madura justru meningkat.

Banyak data-data yang disajikan dalam hasil exitpol di tulisan burhanudin tersebut, tapi saya lebih tertarik tentang gambaran data pemilih yang mendukung paslon capres/cawapres sebagaimana digambarkan diatas, betapa terbelahnya masyarakat kita, preferensi memilihnya bukan lagi pilihan rasional tapi soal kecendurangan, hal ini karena tidak terlepas narasi para tokoh yang selalu mengeborkan-gemborkan isu identitas, ini sangat mencederai demokrasi dan melupuhkan nalar kritis. Yang harusnya Pemilu itu dijadikan untuk perang ide dan gagasan justru dialihkan masuk dalam perdebatan sampah.

Begitulah tulisan singkat saya, mencoba mereview tulisan dari Burhanudin, meskipun keliatan tidak begitu mendalam, tapi mencoba, itung-itung belajar mengonmentari tulisan orang dan menangkap isi pesannya. hehehehe.... 

Oh ya hampir lupa diawal opininya itu,, Burhanuddin mengutip juga salah satu buku terbarunya yang berjudul POPULISME, POLITIK IDENTITAS, DAN DINAMIKA ELEKTORAL (2019), buku yang dilauncing bulan Maret kemarin. kayaknya menarik, cek isi ATM dulu ntar, klo semisal mencukupi mungkin langsung OTW gramedia besok, cari bukunya,,,,, dan Insya Allah nanti saya coba ulas di Blog ini.

Sekian lama tak bersua dan berjumpa, akhirnya sabtu malam tadi berkesempatan untuk bertemu dan berbincang kembali.

Memang semenjak perkuliahan kelar, teman-teman pada sibuk dengan urusan masing-masing, yang sudah ujian tutup dan yudisium, sembari menunggu jadwal wisuda pulang kekampungnya, yang sudah wisuda pulang  dan tidak kembali lagi, serta yang belum ujian tutup sama sekali masih  keluyuran dan mencari kesibukkan sendiri-sendiri.

Saya yang tinggal menunggu jadwal wisuda memilih bertahan di Malang, pengen pulang tapi ongkos lagi, ya udah,,,, mending sekalian nunggu, alhasil hampa dan sepi, aktivitas monoton makan, tidur tiap hari dan berulang, seolah dunia hanya kasur dan kamar mandi. Hahahhaha...

Nah,,, Minggu lalu teman yang sama-sama saya nunggu wisuda ini dan kebetulan juga teman sekostan balik ke malang, mengurus keperluan wisuda, maka untuk merefresh dan membunuh sepi, kami rencanakan malam minggu untuk nongkrong dengan teman-teman lain yang masih berada dimalang..

Teman saya ini menghubungi teman itu, opo teman itu???? ahhh ruweet jelasinnya intinya teman yang masih berada dimalang. hahahahahah, kebetulan ia juga siap, maka kami serahkan padanya untuk menentukan lokasi tongkrongan.

Maka dipilah Heerlijk Koffie, salah satu tempat tongkrongan yang hits juga di Kota Malang, tempatnya didekat pasar tamawangu, banyak mahasiswa yang nongkrong disana, tempatnya asik, selain luas, murah dan josss, juga banyak yang bening-bening, sangat pas buat cuci baju mata,,,, Hahahhahaha

Malam tadi sekitar pukul 9 lewat sedikit, kamipun berangkat menemuinya, eh ternyata disana ia bersama teman-temannya juga. Salaman dan kenal-kenalan, ternyata salah satu dari temannya teman kami ini adalah pendamping masyarakat suku tengger khususnya pendampingan dalam hal pengembangan ekowisata di salah satu desa di Kaki gunung Bromo.

Sambil menikmati hidangan kopi, Kamipun berbincang banyak hal, mulai dari isu pilpres, pengalaman teman tongkrongan ini dalam mendampingi masyarakat suku tengger hingga ngalor-ngidul ngomongin soal keindahan ciptaan Tuhan (pahamkan maksudnya) hehehe, intinya menarik perbincangannya. Ya boleh dibilang bincang-bincang berhadiahlah..... Berhadiah karena mengisi saluran otak dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Hehehhehe....

Mungkin itu dulu, cerita saya hari ini, waktu juga sudah menunjukkan setengah tiga dini hari, dikit lagi waktu sahur,,, nyari makan dulu... nanti ceritanya dilanjutkan dilain waktu.


Semenjak mengenal google bahwa menyediakan aplikasi Blog bagi semua warga untuk menyampaikan uneg-unegnya atau informasi yang ingin ia bagikan  melalui tulisan, saya sangat langsung tertarik. apliaksi blog yang disediakan google ini saya kenal sudah lama, sejak tahun 2009 masuk awal kuliah, waktu itu sering ada tugas kuliah yang diberikan oleh Dosen, kemudian referensinya disuruh cari di Buku atau Internet.

Nah di internet imilah saya temukan banyak tulisan-tulisan orang yang dibagikan, materinya macam-macam, mulai dari soal materi perkuliahan hingga hal-hal remeh-temeh semacam curhatan atau apalah, pokonya banyak sekali.

Disitu saya langsung cari tahu bagaimana caranya melakukan hal yang sama, dalam hal ini menulis lalu dibagiakan melalui blog dan muncul di mesin Pencari Google. Saya baca semua tutorial pembuatan blog, tapi masih kurang paham, saya coba buat, tapi masih berantakan, tidak tahu mengedit nama blog, mendesai tema, dan lain-lain, alhasil waktu itu banyak sekali akun Blog saya.

Nanti tahun 2016 lalu saya cari-cari kembali, dan paham, ternyata simple dan gampang sekali, sejak itulah saya coba-coba membuat tulisan lalu saya post di akun blog saya, meskipun mungkin masih berantakan , tapi yakin perlahan pasti bisa.

Menulis memang awalnya berat sekali mau nulis apa, sempat juga saya nonton di Youtube bahasan tentang "Belajar menulis bagi pemula" disitu penjelasan agar rumit, karena menekankan pentingnya menyiapkan tema atau judul dulu sebelum memulai menulis. Saya mencoba mempraktikkan arahan si Pemateri tersebut, yang saya dapat justru kebuntuan, bagaimana bisa menyiapkan Tema/Judul, mengalirkan kata per kata saja sulit, sulit karena tidak biasa, beda halnya kalau kita mengucapkan kata-kata dengan lisan disitu agak gampang, tapi lewat tulisan asli sangat sangat sulit. Ya... Sulitnya memang karena lagi-lagi tidak terbiasa.

Nanti saya renungkan, lalu saya cari refrensi tentang belajar nulis, saya temukan buku "FREE WRITING" yang ditulis oleh bapak Hernowo di Toko Buku, mungkin saya akan review atau ulas dikemudian hari isi buku tersebut. tapi ada satu hal yang membikin saya termotivasi, dalam bukunya itu ia menyampaikan bahwa menulis itu semacam pengakuan dosa, ini diilhami dari ajaran agama, kalau dalam islam mungkin biasa disebut taubat atau dalam ajaran kristiani penebusan dosa, ketika sudah mengakui dosa-dosa, disitu ada perasaan legah seolah-olah tidak ada beban.

Lalu ia kaitkan dengan menulis, bahwa memulai suatu tulisan itu memang berat biar dilan dan milea saja karena biasanya ada satu hal yang mengganjal atau menyumbat pikiran, yang ganjal dan sumbat itu mungkin seperi ini: "Mau nulis tentang apa, pengen nulis ini tapi jangan-jangan tulisan saya ini dilihat/dibaca orang lain penialiannya buruk atau tulisan saya tidak sesuai kaidah bahasa" disitulah letak beban itu.

Yang saya tangkap isi pesan dari buku itu ialah, tumpahkan semua beban itu dihadapan layar laptop atau gadget dengan menekan tombol keyboard sesusai dengan kata yang terlintas di pikiran saat itu, misal soal pengelaman, atau rencana atau apalah, intinya tumpahkan abaikan kaidah bahasa dan penilaian, akui didepan layar bahwa inilah beban yang mengganjal itu.

Disitu nanti ada semacam perasaan legah karena semua beban itu bisa ditumpahkan, meskipun ada kata yang berantakan atau berulang saya tidak perduli, ini saya alami sekarang ketika menulis tulisan ini seolah-olah perasaan ini enak tenan, tidak adan beban dan tidak ada yang berhak menilai tulisan saya. Ini blog saya, ini tulisan saya!!!

Keren kan???? tentu donk!!!!

Hernowo Dalam bukunya lagi ia melanjutkan, bahwa ketika ini dilakukan terus menerus apalagi di selingi dengan kegiatan membaca buku atau artikel atau tulisan orang lain, akan memperkaya kosa kata dan perlahan tulisan akan tertata. Saya berharap kebiasaan ini akan terus saya lakukan. Biar bisa kayak Om Hernowo yang sudah puluhan Buku yang ia tulis. Hehehhehe......

"Bila kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan" -Imam Syafi'i-




Quote diatas sengaja saya Bold dan perbesar supaya kita merenungi pesan daripada quote diatas.

Quote tersebut sering mengusik saya, ketika saya terlena dengan aktivitas yang tidak produktif misal game, sosmedan, ngobrol ngalur-ngidul gak jelas, langsung kayak ada perasaan bersalah diusia muda tidak digunakan untuk mengeksplore dan belajar banyak hal.

Padahal sangat penting, manakala kita sedang ngobrol serius sama teman atau guru, ahli atau semacamnya misal yang diobrolin urusan yang menyangkut persoalan background pendidikan kita atau hal-hal umum tentang fenomena sosial, ekonomi atau lingkungan sekitar, yang memancing  kita untuk mengmeukkaan pendapat atau perspektif, jika kita tidak cukup pengetahuan tentu ini jadi momok. 

Saya sendiri pernah mengalaminya, banyak hal, mungkin salah satu contohnya ketika saya ngbrol sama teman-teman disini (malang), sebelum saya kesini (malang maksdunya), mungkin saya terlalu jemawa saya anggap pengetahuan saya sudah cukup, apalagi yang diobrolin soal jurusan saya, nah ketika itu yang dibrolin soal desententralisasi diindonesia yang konon masih banyak persoalan, banyak tumpang tindi aturan, saat itu saya langsung menanggapi seolah-olah hebat dengan persepektif yang hanya menurut pribadi saya, lalu teman ini menyanggah dan menyampaikan dari banyak persepketif dimulai dari histori, kemudian kultur dan perbandingan dengan desentralisasi yang diterapkan negara luar. pengetahuannya luas sekali.

Mau pengen menanggapi dan menyanggah tapi tidak cukup pengetahuan, saya terdiam, sembari ngangguk-ngangaguk. dalam hati saya merasa wahhh ngeri ternyata memang harus banyak belajar, nyesal dulu gak pernah mengasah atau memperharui pengetahuan dengan bacaan, pada akhirnya sangat perih. lagi-lagi betul pesan imam syafii diatas.

Ini mungkin salah satu contoh dari saya pribadi, tapi ketika menengok disekitar kita banyak hal semacam ini, tidak usah jauh-jauh mungkin dikampung kita sendiri, disana banyak warga kampung kita yang dibodoh-bodohi pejabat, ketika ada proyek pengaspalan jalan misalnya, yang kita tau yang penting jalan ini mulus dan bagus, kita tidak melihat secara detailnya, berapa anggarannya, bagaimana bahan-bahannya agar aspal tersebut berkualitas, dll,,,, dan bisa saja kita ditipu atau dibohongi, anggarannya dimark up atau jenis bahannya di manipulasi, pada akhirnya jalan tersebut tidak bertahan lama.

Jika kita cukup pengetahuan akan hal tersebut, tentu kita akan cari tahu semuanya, misalnya jika kemudian pejabat itu tidak transparan kita bisa menuntutnya.

Inilah pentingnya belajar banyak hal, agar kita tidak dibodoh-bodohi, dan ketika kebetulan lagi membahas suatu kasus atau membedah sesuatu masalah kita bisa turut menyampaikan uneg-uneg dengan dalih atau dasar yang jelas, dan tentunya penjelasan atau perspektif kita lebih masuk akal, dari pada sekedar  ngomong gak jelas dan gak berdasar akan membuat kita malu sendiri, dan bahkan perih ketika disanggah.
Aksi massa oleh salah satu pendukung paslon prsesiden yang dilakukan di beberapa titik di Kota Jakarta Kemarin (22/5) berujung pada bentrokan dengan aparat Kepolisian, pembakaran serta meninggalnya beberapa orang. Dampak aksi ini kemudian menimbulkan perhatian netizen, foto dan video hoax beredar begitu masifnya di media sosial yang menambah  suasana memanas.

Maka untuk menangkal penyebaran Hoax pihak Kominfo membatasi akses warganet terhadap media sosial (khususnya Fesbuk dan Wasap). Meskipun sebagian dari kita kecewa terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pihak kementerian kominfo ini, tapi saya rasa ada baiknya juga. kita rehat sejenak dari dunia yang maya, dunia yang penuh sandiwara, penuh narsis, yang membuat candu itu.

Kok candu????

Ya... coba lihat sekitar kita semua menunduk, di meja makan keluarga, ditempat tongkrongan, disekolahan, dan dimana-mana menunduk melihat gawainya, mengabaikan orang disekitarnya. mengutamakan orang-orang yang tidak berwujud itu dan sehingga menimbulkan ketidakhangatan dalam relasi. Menjauhkan yang dekat, begitu kira-kira.

Olehnya itu Kebijakan ini sebaiknya dijadikan refleksi bersama, untuk melihat dan mengevaluasi kembali pola sosial dan pengetahuan kita seberapa jauh tingkat pemahaman dalam memfilter sebuah informasi dan memanfaatkan sarana media sosial tersebut untuk hal yang positif dan tanpa mengabaikan teman disekitar kita.


Setelah lulus SMA tahun 2009 dan memilih melanjutkan studi di Kota Kendari, perpisahan saya dengan keluarga dimulai, lama sekali saya tidak berjumpa khususnya dengan ibu, meskipun setiap libur lebaran pulang ke kampung halaman (Buton) tapi kerinduan padanya tetap saja, karena ia tidak berada dikampung, ia tinggal juga dirantau, tepatnya di kepualauan Tanimbar (Maluku), merantau dan usaha disana.

Nanti setelah menjelang lulus kuliah Diploma tepatnya bulan juni tahun 2013, saya ke tempatya (tanimbar) menemuainya sekaligus melepaskan kerinduan sembari melihat usaha keluarga, disana saya tidak lama sekitar 2 mingguan, lalu saya pamit pulang kembali ke Kendari untuk mengurus keperluan wisuda.

Saat wisuda diploma saya sendirian tidak didampingi keluarga, nah... memang saya memutuskan tidak perlu didampngi, sayang kalau pulang pergi (tanimbar-kendari) biaya yang tidak sedikit, apalagi saya juga akan melanjutkan studi S1. 

Studi kembali saya lakoni kurang lebih 3 tahun, pada tahun 2016 saya wisuda sarjana. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini saya didampingi bapak dan adik saya. Ibu saya tidak datang, karena sebelum ujian Skripsi saya meminta lagi untuk melanjtkan studi magister di Jawa, ia mengiyakan dan memilih bertahan disana, meskpun mungkin berat, tapi mendengar kegiguhan dan semangat saya ia ikhlas.

Sayapun sempat mengurunkan niat, tapi ibu saya selalu mendorong, pesan yang ia sampaikan "Kalau untuk pendidikan, saya selalu dukung, apapun itu" inilah menjadi pegangan saya, lalu sayapun merantau ke Malang, daftar di salah satu kampus ternama di Kota ini,  dan alhamdulilah diterima.

Mulailah saya bertualang, tinggal seorang diri dan jauh dari keluarga, selama lebih 2 tahun saya jalani, alhasil januari 2019 kemarin yudium dan dinyatakan lulus, tinggal menunggu waktu wisuda, sebenarnya 2 atau 3 bulan setelah yudiusm sudah bisa diwisuda tapi satu dan lain hal makanya agak terlambat, tapi tak jadi soal, intinya kelar. sayapun memberinya kabar bahwa saya akan diwisuda tahun ini mungkin juni atau juli, ia sangat gembira, tanpa hitungan-hitungan biaya karena jauhnya jarak (tanimbar-malang) ia akan datang mendampingi.

Sebuah momen istimewa bagi saya bila ia datang, sudah 6 tahun tak bertemu, saya berharap semoga Tuhan selalu memberinya kesehatan dan memudahkan langkahnya. SAYA RINDU!!!
"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan" - Tan Malaka-

Quote keren ini harusnya menjadi inspirasi, bahwasannya kaum terdidik itu harus bijak dan peka melihat fenomena yang terjadi disekitar.

Ya saat ini sudah banyak masyarakat Indonesia yang mengeyam bangku kuliahan, bukan hanya orang kaya, maupun orang kota, anak Desa juga walaupun dengan penghasilan seadanya bisa punya kesempatan yang sama.

Tapi yang membedahkan adalah soal kehidupan pasca kuliah, karena banyaknya industri di Kota biasanya orang kota bekerja juga di Kota, beda halnya anak Desa, ia punya tanggung jawab lebih, karena kondisi di Desa masih tertinggal, jadi bukan hanya mencari kerja tapi harus cari cara untuk turut berkontribusi memajukan desa.

Maka dengan bermodalkan ilmu dan pengetahuan yang didapat dari bangku kuliah, si anak desa pulang, mengisi posisi-posisi kosong misal ada yang jadi guru honorer, tenaga medis honorer, perangkat desa, dan juga sering nyambi kerja proyek desa, atau jadi petugas sensus atau KPPS jika ada. Seiring berjalannya waktu alumni terus bertambah, posisi yang tadinya sudah diisi masih juga ditambah, alhasil jumlah sarjana menumpuk.

Meski sudah menumpuk kayak gitu masih juga bertahan, alasannya supaya namanya masuk dalam SK Bupati atau apalah namanya agar diakui sebagai tenaga honorer yang sah dan berharap diprioritaskan ketika ada kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai Negeri Sipil.

Hal kayak gitu biasa saja, buka persoalan, mau gimana lagi begitulah realita di Desa,,,
tapi jangan bergantung sama itu juga donk!!! Harus bergerak dan berbuat, apa saja yang bisa dikembangkan di Desa. 

Kuncuran Dana Desa tiap tahun digelontorkan hingga mencapai milyaran kemudian setiap program selalu dimmusyawarakan bersama dengansemua warga desa, disnilah pentingnya keterlibatan para sarjana, tau sendirikan gimana pemahaman kepala desa dan warga desa, programnya itu-itu mulu, jalan setapak. MCK, dan semua yang berkaitan dengan Fisik.

Padahal banyak hal yang bisa dikembangkan, berkaca dari desa-desa yang sukses, misal Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang (Jatim), disana dikembangkan Objek Desa Wisata yang dikelola oleh BUMDES, konon omsetnya per tahun itu mencapai milyaran. Gila kan???

Olehnya itu ini bukan tugas Kepala Desa saja, tapi para sarjana di Desa juga, untuk bagaimana peka terhadap potensi desa, apa saja yang bisa dikembangkan, kemudian diusulkan di musyawarah Desa lalu dieksekusi dan dijalankan bersama. itu baru sarjana desa keren yang membangun, bukan jadi beban negara saja yang menunggu gaji honorer dan mengharap mau diangkat jadi PNS. 
Kemarin (17/5) ada sekolompok pemuda yang mengatasnamakan Front Kapoa melakukan aksi di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Buton Selatan (DLH BUSEL), mereka menuntut agar aktivitas penyedotan pasir ilegal didesanya dihentikan, karena mengancam ekosistem (Baca: PublikSatu.com).

Berita ini kemudian saya bagikan di Grup FB KAMPUNG KADATUA ada banyak netizen yang mengomentarinya diantara mempertanyakan kenapa baru sekarang, padahal aktivitas tersebut sudah lama dilakukan, hal ini kemudian memunculkan spekulasi bahwa aksi yang dilakukan Front Kapoa tersebut ada tendesi politik.

Memang saat ini Desa Kapoa sedang mempersiapkan diri menjelang Pilkades serentak yang dilakukan pada bulan Juni mendatang, sebelum terjadi aksi di Kantor DLH Busel tersebut, beberapa minggu yang lalu (7/5) juga sekolompok warga melakukan aksi sweeping Bantuan Perahu Nelayan ditengarai pembagian bantuan oleh Kepala Desa tersebut pilih kasih. (Baca: SindoNews)

Apakah aksi ini benar sarat politik? Ya bisa jadi,,,,  menurut pandangan subjektif saya, karena sebagian warga yang melakukan sweeping ini juga melakukan penyedotan pasir lalu pihak pemerintah desa melakukan aksi tandingan.....tapi entahlah ini ruwet...dan saya tidak mau berspekulasi lebih jauh.

Yang ingin saya soroti disini adalah Penambangan pasir, sebagai warga Pulau Kadatua yang lahir  dan besar dipulau ini, saya sangat menyayangkan adanya aktivitas tersebut, mengingat ancaman akan kerusakan alam, kalau dilihat fakta hari ini pesisir pulau kadatua sudah sangat rusak, dulu waktu kecil sering bermain di pinggir pantai, main bola, bikin api unggun, rumah-rumah kecil, dll. saat itu pantai ini masih sangat indah dan luas.

Namun semenjak Kadatua dimekarkan menjadi sebuah kecamatan dan adanya kebijakan pusat terkait kuncuran Dana Desa (DD) yang mensyaratkan pembangunan (fisik), maka, dibutuhkan bahan-bahan materil, berupa Pasir, Batu, dan lain-lain.

Tanpa berpikir panjang warga mulai mexploitasi alam kadatua, Pasir dikeruk batu-batu diambil ditebing-tebing untuk keperluan bahan bangunan, hal ini juga berdampak pada peningkatan perekonimian warga, maka secara spontan perilaku masyarakat berupa yang dulunya aktivitas penyedotan pasir dipesisir laut kadatua ini tidak pernah dilakukan sekarang begitu masifnya, dan bahkan dijadikan mata pencaharian baru. Pemerintah juga seolah melakukan pembiaran.

Sunggu ironis!!!!

Realita hari ini aktivitas penambangan pasir tersebut kian mulai berdampak negatif, pesisir pulau Kadatua mulai hancur, pasir putih di pantai berkurang, dan jika air laut pasang atau musim barat, gelombang laut sudah mulai mendekati dan bahkan menghepaskan sebagian rumah-rumah warga.

Untuk mengatasi itu pemerintah mulai membangun talud (pemecah ombak) tapi aktivitas penyedotan masih terjadi, seolah ada pembiaran. Ini gila, ditangkal dengan Talud tapi peneyedotan pasir terus terjadi, analoginya mungkin seperti mengisi air di dalam keranjang. Hahahaha....

(Kondisi pesisir pantai Kapoa, yang sudah terkikis)

Mengutip harian Buton Pos yang berjudul "Pemkab Busel Lemah Mengawasi Penambang Pasir Ilegal" statetment yang disampaikan oleh kepala DLH terkait larangan itu sebatas lisan masyarakat tidak mengindahkan, begitupun Kasat Pol PP Busel tidak bisa bertindak karena belum ada payung hukum yang mengatur tentang izin penambangan.

Jika terus menerus seperi lalu Bagaimana??? apakah harus menungggu Pulau-Pulau di Busel ini tenggelam baru pemangku kepentingan sadar???

Saya berharap ini menjadi perhatian serius!!! Kasian Buselku!!!

Sejak kemasukan air hujan bulan lalu, hp mati sementara susah dihidupkan, sempat saya diamkan beberapa hari, buka semua casing dan batreinya, eh hidup kembali, tapi tidak berlangsung lama hanya bertahan satu minggu lalu mati dan tidak hidup-hidup sampai sekarang alias RUSAK TOTAL.

(Penampakan Gawai Rusak,diambil menggunakan kamera laptop)

Disilah dimulainya hidup seorang bung yus, tanpa gawai. 

Sebagian orang bilang hidup tanpa benda ini apalagi di era serba digital seperti sekarang ini hampa. Ya ada betulnya juga memang...

Tapi saya disini menyebutnya bukan hampa tapi lain-lain, kenapa?? Karena sedikit mengubah pola hidup saya, yang sebelumnya kalau lagi merenung atau baca-baca artikel, ketika terlintas dibenak atau menemukan bahasa/kata yang susah saya pahami, saya langsung gugling secepatnya, mencari makna kata tersebut lalu merangkainya kembali dalam pikiran dan menghasilkan pengetahuan baru. belum lagi ketika ada keluarga dari kampung yang kebetulan datang ke surabaya untuk keperluan berbelanja barang jualan, biasanya sebelum itu saya pesan tiketnya online kereta melalui gadget tanpa perlu ke loket stasiun yang notabene antri berjam-jam.

Nah semenjak itu, saya harus serba menyesuaikan dengan keadaan, hanya mengandalkan laptop untuk browsing informasi terasa lain memang, yang sebelumnya tinggal klik dengan jari dilayar hp dan sekarang harus tekan papan keyboard, tik..tuk..tak....tik..tuk....tak,,,, sungguh berasa seperti pegawai tata usaha,,, heheheheh,  Laptoppun hidup dan online 24 jam seperti rumah makan nelongso yang buka 24 jam.

Tapi itulah kehidupan,,, apapun kondisinya harus menyesuaikan, walaupun mungkin terasa berat.


Tiga jemarinya pecah melebar hingga betisnya
Gepakan sayap kekar menghantam leher
Sekali tebas tewas

Di luar pertarungan lembaran rupiah berhamburan
Di dalam pertarungan pesakitan berkaki dua

Jengger berdarah

Jam dinding menari sedemikian nyamannya
Mengiringi setiap tebasan jalu di kaki pejantan
Kerikil bergoyang diatasnya.
Pembatas riuh tepuk tangan mengiring suara

: obrolan di gode-gode, Bukan kah itu penyakit ?
Sebagian kantong mengering dan dahi mengeryit
Bersambung atau terputus
Atau melayani tuannya yang bernafsu memeluknya

Menunggu sedemikian sabar
Kapan lawan ku tebas hingga berdarah
Ia adalah Nawar Satu dari sekian anak muda yang berani maju dalam perhelatan pilkades di Kadatua, Desa Banabungi, Desa yang di Kenal sebagai gerbang atau pintu masuk, karena tiap hari kapal-kapal hilir-mudik mengantar penumpang yang ke atau dari kadatua, selain itu juga karena memang letak geografisnya sangat dekat dgn Kota Baubau.



Kalau ditelisik, Desa ini sangat potensial, kenapa? banyak Sumberdaya yang bisa dikelola untuk pengembangan ekonomi masyarakat, diantaranya adalah sektor perikanan dan pariwisata.

(Pasir Putih, di Desa Banabungi, Kadatua)

Saya sendiri memang sangat kagum dengan desa ini, karena setiap saya kemana dan berinteraksi dengan orang luar khsususnya yang tau atau pernah Kadatua, banyak yang kagum. katanya kampungmu keren pasir putih yang diujung dan tebing ditengah itu kalo dikelola dgn pasti bisa jadi aset besar..."

Sayapun hanya mengelus dada, sembari berharap mudah-mudahan kelak ada sosok-sosok yang inovatif untuk membuat terobosan, dalam pengembangan potensi tsb.

Dan ketika membaca postingan salah satu anggota di Grup KAMPUNG KADATUA, tentang majunya Nawar, seolah ada harapan baru. ia anak Muda dan mungkin minim pengalaman, tapi tidak boleh disepelakan, ia adalah generasi Y atau bahasa kerennya milenial yang hidup di era Gadget/Teknologi digital yang sarat akan keterhubungan (koneksi) keberbagai orang.

Artinya milenial tidak berada diruang hampa dan tidak kaku, ia hidup dalam interaksi, menembus ruang dan batas-batas, menyerap pelajaran dan pengalaman-pengalaman dari berbagai orang, mereka beda dan maju dari generasi sebelumnya.

Mungkin itu salah satu modal penting yang dimiliki generasi milenial, Untuk itu dengan majunya NAWAR di Pilkades Banabungi, yang mewakili generasi kami (milenial), saya berharap informasi, pengetahuan, ide, serta gagasan briliannya di kemas kedalam konsep visi-misinya. Lalu disampaikan dan ditunjukkan bahwa: INILAH Nawar menawar impian perubahan dan menggugah yang Hambar!!! SUKSES......!!!
Hidup di rantau adalah sebuah pilihan, apalagi pilihannya untuk menuntut ilmu seperti yang saya jalani sekarang, tentu banyak suka maupun dukanya. Mungkin sukanya adalah ketika bertemu teman-teman baru, berjumpa, bertukar pikiran dan menceritakan pengalaman soal daerah masing-masing. Di Malang yang dijuluki Kota pendidikan tempat saya menempuh studi, banyak orang juga dari berbagai penjuru tanah air datang ke kota ini untuk melakukan hal yang sama yakni "belajar/menuntul ilmu", berjumpa dan bergaul dengan mereka  seolah imajinasi kita pergi jauh menembus sekat-sekat, bahwa ternyata banyak pelajaran penting dan kisah menarik yang bisa dipetik dan ini.

Di balik suka tentu juga dukanya, adalah ketika sakit, ataupun uang kiriman telat, serta rasa rindu akan keluarga dan kampung halaman, apalagi dimomen-momen seperti ramadhan saat ini sungguh sangat menyenangkan apabila dijalani bersama keluarga, tapi ya... mau gimana sudah risiko yang harus dijalani sebagai seorang perantau.

Sudah 3 tahun saya berada di Kota ini, dan 3 ramadhan pula tanpa sanak famili, tapi sedikit terasa terobati, 2 tahun lalu teman-teman dari organisasi Daerah mengadakan Buka Bersama di Masjid Kampus Pasca UIN Maliki, semua mahasiswa Asal Sultra di Undang, disana kami bertemu, ada yang dari Buton, Muna, Kendari Konawe, dll... serasa berada di kampung sendiri. Hehehe


Usai usah pemilu 2019, meski berjalan damai, tertib, aman, dan lancar, tapi banyak menyisahkan problem, mulai dari klaim kemenangan antar pilpres, hingga kematian para petugas khususnya ditingkat bawah yakni KPPS dan panwas.

Disini saya tidak bicara persoalan diatas, tapi lebih menyoroti apa yang terjadi pasca Pileg di kampung halaman saya, Buton Selatan (Busel). Sorotan saya adalah bibit dinasti yang berkembang, kenapa? Mari simak tulisan nyeleneh ini.... hehehe

Pada pileg 2019 lalu memang biasa-biasa saja kalau dilihat sepintas, tapi kalau diterompong lebih dekat, ternyata pileg yang lalu itu dikuti oleh kerabat Plt. Bupati Busel, Ya,,, adik dan istrinya, keduanya diusung oleh Partainya Bupati dan ditempatkan di daerah pemilihan yang berbeda, adiknya di Dapil 4 dan istrinya di Dapil 1.


Dan Yang mencengangkan adalah Kedua-duanya lolos!!! Ngeri gak tuh? gak biasa saja! kan hak setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. jadi terserah mereka donk.....
OH TIDAKKKKKKKKKKKKKK!!!! Dinasti Politik itu merusak Ferguso!!!

Jika merujuk pada omongannya Om Pablo Querubin (2011: 2) seorang akademisi Harvard Academy for International and Area Studies ia mengartikan bahwa dinasti politik sebagai `a particular form of elite persistence in which a single orfew family groups monopolize political power' (sebentuk penguasaan elite yang lama ketika sebuah atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik).

Berangkat dari omongannya om Pablo diatas, kemudian dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Busel terlihat jelas, Busel dalam ancaman monopoli kekuasaan politik.

Emang kenapa, dimonopoli?
sekali lagi merusak Ferguso....!!!

Kekuasaan kalau dimonopoli segelintir elit, sangat ambrudul dan sarat korup, sistem pemerintahan tidak berjalan normal, gimana mau normal, kalau istri dan adiknya di Legislatif dan Suami/kakaknya di Eksekutif, tentu pelaksaan pemerintahan cuman bisik-bisik dan iya..iya... fungsi pengawasan tidak berjalan. dan lebih parah lagi proyek-proyek diatur mereka. anggaran daerah rawan pembancakan!!! kasiankan!

Contoh kasus Ratut Atut di Banten kayaknya terlalu jauh kalau dijadikan contoh, yang dekat saja deh, lihat di Ibu Kota provinsi kita Sulawesi Tenggara (Sultra), Kota Kendari. tahun lalu disana tejadi Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh Kapeka, tau siapa yang ditangkap Ayah (Mantan walkot) dan ANAK (walkot), ditangkap karena si Ayah memerintah Anaknya untuk menerima suap dari Pihak swasta untuk memuluskan proyek, dan uang suap rencana untuk pemcalonnya Ayahnya maju di Pilgub Sultra.

Kejamkan dinasti itu?
Iya... kasian BUSELKU.

Dari empat prioritas pemanfaatan Dana Desa yang ditetapkan oleh Kementerian Desa (Baca: Permendes 16/2018) salah satunya adalah SARANA OLAHRAGA DESA atau disingkat RAGA DESA.



Ini sangat erat kaitannya dgn kita anak-anak muda, kalau kita lihat konteks KADATUA, kebutuhan akan hal ini sangat krusial mengingat banyak anak muda yang gemar, hal ini bisa dilihat juga dari Turnamen tahunan yang sering diadakan di Kadatua, misal Bansel Cup, Merantau Cup kemudian dulunya ada Remas Kabar Cup, yang dominan diinisiasi oleh pemuda sendiri dan memakai lapangan seadanya.

Sungguh betapa hausnya anak-anak muda Kadatua akan hal ini,

Tetapi sepertinya desa-desa kita belum fokus kesini, entah karena apa.... padahal nilai positifnya banyak sekali selain menyibukkan pemuda agar tdk mengarah ke hal-hal negatif (miras/tawuran) juga pengembangan bakat dan hobi, siapa tau bisa jadi bibit porda, hehehehe.

Semoga dimomentum pilkades kali ini, para Calon Kades di Kadatua bisa menerjemahkan program kemendes tsb kedalam konsep program visi dan misi mereka, agar anak muda punya prefrensi memilih, mana yang pro dan peka pada kebutuhan pemuda.
Selalu senang ketika mendengar ada sosok-sosok muda yang berani tampil dalam kontestasi politik baik ditingkat nasional maupun daerah.

Kali ini datang dari kampung halaman saya, Desa Kapoa Barat, namanya Risman atau lebih akrab disapa laici (Lihat No.1) yang berani tampil dalam perhelatan Pilkades serentak. Sebelumnya sekitar beberapa bulan lalu rumor tentang pencalonnya ini masih simpang-siur, saya juga sempat ditelpon teman diperantauan tapi masih kurang yakin.



Nanti setelah tahapan pendaftaran dan pencabutan no. urut lalu teman-teman dikampung memposting gambarnya via jejaring FB, baru saya percaya.

Tak berselang lama setelah itu saya juga langsung inbox bersangkutan via mesenger lalu meminta no. WAnya, chat menanyakan perihal keseriusannya, ia menjawab tegas "SIAP"

Luar biasa..... Ditengah krisisnya dan keraguan para pemuda untuk maju dalam kontestasi politik di Desa ternyata masih ada sosok-sosok, yang berani. Keren Ini layak diberi apresiasi...!!! Saya berharap gagasan-gagasan segar dan cemerlangnya tentang perubahan Desa Kapoa Barat dituangkan dalam program dan misi, sehingga masyarakat bisa memberinya kesempatan. SEMOGA.