Selalu ada kisah-kisah menarik ketika pulang kampung, jika lazimnya kisah tentang suasana damai, hening dan bertemu teman kecil sembari nostalgia.
Tetapi dua bulan kemarin ketika pulang ke Kadatua, ada satu kisah yang terbilang unik yakni tentang perburuan mesiu.
***
Malam itu sehabis makan malam, lidahku terasa pekat dan tawar nampaknya butuh penawar, maklum belasan tahun ini saya dibuat candu oleh nikotin salah satu produk perusahan asal Kediri, SURYA GG.
Ketika sedang mengobati candu dengan menghirup asap nikotin dan menyeruput kafein, beberapa orang yang terbilang sepuh datang menghampiri, tak heran karena memang rumah nenekku adalah tempat biasa mereka nongkrong.
Saya duduk manis menikmati obrolan mereka, satu yang membikin saya tercengang adalah ketika mereka berkisah tentang pelayaran ke Kepulauan Morotai dan sekitarnya.
Dalam buku-buku sejarah tentu kita tidak asing dengan pulau tersebut, disana pernah terjadi perang dunia II yang kita kenal dengan pertempuran Morotai.
Tiga Dekade pasca Pertempuran dan Proklamasi Kemerdekaan tahun 70-80an, perburuan harta karun bekas peperangan itu dimulai, tak terkecuali orang-orang kadatua, mereka menyelam mengambil sisa-sisa peninggalan. Salah satu barang berharga yang diambil adalah Bom.
Bom itu dibawa pulang ke Kampung, dibongkar dan diambil isinya yang berupa bubuk mesiu bewarna kekuningan, konon cerita, bubuk itu jika dicampurkan pupuk lalu dijadikan Bom ikan akan memiliki daya ledak tinggi.
Bukan hanya ikan, tetapi segala yang ada disekitarnya lulu lantak. Ketika dijual harganya pun bisa dua kali lipat dibanding bom ikan pada biasanya.
Dikampung mungkin kita kerap kali akan menjumpai orang tua sepuh yang jemarinya buntung, kemudian wadah besi yang menjadi bel alarm sekolah penanda apel atau jam rehat dan alat penumbuk ubi. Itulah sisa-sisa bekas bom.
Sebagai generasi sekarang mungkin kita merasa ngeri dan mengutuk segala tindakan yang dilakukan mereka itu, tetapi satu hal yang jadi permenungan, kehidupan nelayan kala itu sungguh ironi hanya untuk bertahan hidup tapi tidak benar-benar hidup. Maka aktivitas yang mereka lakoni itu semata-mata hanya untuk meningkatan kualitas ekonomi keluarga.
Meskipun hari ini, alam kita hancur, tetapi kehidupan kita sudah berbeda dari mereka, kita sudah makan enak, bersekolah, berkendara, dan desa-desa sudah diguyur anggaran dengan dana milyaran.
Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisah mereka, dengan kapasitas yang kita miliki hari ini entah sebagai pemuda atau berprofesi sebagai apapun, untuk terus berupaya berkontribusi memajukan kehidupan bersama serta menjaga dan melestarikan alam untuk keberlanjutan. (*)
Kren..terus berkarya
BalasHapusMakasi sdh berkunjung... ๐
HapusKereeen bang,,��
BalasHapusSiap...
Hapus