(Diambil dari buku Buton Basis PKI, download DISINI)


Sebuah pulau sebagaimana disebut dalam lirik lagu kakesano kadatua gubahan Muhlidi yang berhadapan dengan Kapoa itu rupanya menyimpan kisah kelam. 


Kisah yang jarang orang ketahui, saya sendiri mendengarnya mungkin kala SMP, konon menurut cerita bahwa pulau itu sempat dijadikan pemukiman dan juga tempat pembataian. 


Kata pembataian itu mengusik pikiranku, entah apa maksudnya. Seiring berjalan waktu, ketika saya memasuki perguruan tinggi yang memaksaku untuk bergelut dengan bacaan, beberapa artikel yang ku baca menyebut itu lagi, memori yang sudah lama kemudian bersemi kembali. 


Artikel itu mempertegas, bahwa dipulau yang familiar kita manyebutnya pulau ular itu benar ada pembataian orang-orang yang difitnah sebagai anggota ormas terlarang: PKI. 


Saya pun tercengang, seolah belum percaya, ku cari sumber utamanya darimana ia mengutip itu, ternyata dari buku catatan hasil investigasi persma Unhalu yang diterbitkan tahun 2000. 


Setelah sekian lama kucari buku itu, sore kemarin saya bertemu dengan seorang jurnalis yang baru saja menurunkan hasil liputannya tentang kisah perempuan besi ibu Ainun istri Bupati Buton Muh. Kasim penyintas korban peristiwa 69 di Buton, kebetulan ia senior saya dikampus dulu yang kini berprofesi sebagai jurnalis lepas dan tinggal di Kendari.


Saya mengontaknya langsung via whatasapp, ternyata ia berada dikota Baubau, kami pun janjian untuk bertemu di warung kopi ditaman kotamara, lama kami berdiskusi sekitar 4 jam, sebelum beranjak untuk pulang, ia memberikan salinan buku itu. Sesampai dirumah kubaca lembar demi lembarnya, terpampang dihalaman 30 dan 31 misteri yang selama ini mengusik pikiranku itu akhirnya terjawab.

 


Langit hari ini cerah sekali, begitu kubuka pintu rumah didataran tinggi perumahan Wanabakti Indah, terlihat jelas pulau Kadatua. 


Lalu terlintas sesuatu ide yang seolah menggugat jari-jari ini untuk menuliskannya. 


Tentang Pilkades dan Peribahasa lama. 


*** 


Masih membekas dibenakku sekitar belasan tahun yang lalu, sosok guru SD-ku La Hamuli, ia berjalan dari ruang guru menuju ruang kelas kami, tangannya menggenggam sebuah buku kecil berjudul "SARI KATA". 


Kebetulan hari itu kelas kami akan belajar mapel Bahasa Indonesia, satu hal yang sangat membekas dalam kelas saat itu, sebuah peribahasa yang sudah lama sekali saya tidak pernah mendengarnya atau mengucapkannya lagi yaitu "Menang Jadi Arang kalah jadi Abu" peribahasa yang bermakna bahwa kekalahan maupun kemenangan dalam perang ataupun kompetisi selalu hasilnya sama. 


Kita tidak perlu melakukan kerusakan atau kecurangan hanya untuk menghasilkan sebuah kemenangan, yang sifatnya semu. 


Begitupun dalam menyikapi kemenangan dan kekalahan, tidak perlu berlebihan sampai mengorbankan sesuatu hal yang menjadi tujuan bersama. Tidak ada artinya kemenangan yang dirayakan di tengah kehancuran. 


Dalam kaitannya menyambut pilkades di pulau kadatua, peribahasa ini masih sangat relevan dan harusnya menjadi permenenungan. 


Kondisi desa yang akan berpilkades saat ini memanas baik itu diruang maya maupun ruang nyata masing-masing kubu mulai melancarkan serangan demi serangan. Polarisasi sedemikian tajam, kekeluargaan diabaikan, yang tersisa hanya "miento & miendo" (orangku dan orangmu). Tidak ada lagi kebersamaan desa  yang identik dengan keguyuban dan kegotongroyongan. 


Meskipun kondisi seperti ini sudah lama terjadi, zaman dan generasi telah berubah  tetapi selalu saja berulang, seolah pemilu dan Pilkades adalah harga diri dan barang mewah yang harus direbut mati-matian. Apapun taruhannya, bahkan nyawa sekali pun. 


Sungguh betapa bodohnya kita diperbudak syahwat politik yang sifatnya semu.

 


Dari sekian banyak pilkades yang diadakan di Busel khususnya di Kadatua, di sebuah Desa yang memiliki situs peninggalan dan makam keramat itu yang menjadi sorotan saya, yakni Desa Lipu.

Tentu bukan karena situs dan makam keramat tersebut, tetapi figur yang akan berkontestasi. Mereka adalah anak-anak muda dengan ragam latar belakang mulai dari akademisi, aktivis, hingga penggiat sosial.

Sangat jarang perheletan demokrasi di jazirah Buton, khususnya jabatan eksekutif tingkat Kabupaten/Kota hingga desa diisi oleh anak muda apalagi punya latar belakang seperti diatas, saya melihat ini seolah ada secercah harapan.

Bagaimana tidak zaman yang begitu canggih dengan informasi sedemikian cepat ini, kalau tidak diisi oleh mereka yang memiliki potensi itu, tentu akan gagap dan berpengaruh pada kebijakan yang diambil ketika memimpin sebuah desa.

Sudah sering saya singgung dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, bagaimana para kades melakukan pemborosan dana tanpa nilai manfaat sama sekali, (Baca: sampan tanpa motor) belum lagi pemerintahan yang tidak partisipatif, cenderung asal dan formalitas.

Desa bukan perusahan pribadi yang dikelola semau gue, ia harus berbasis pada data dan partipasi.

Pengelolaan anggaran harus dibuka seluas-luasnya agar ada akses pada warga desa sehingga bisa dimonitor, ketika ada kejanggalan, warga bisa berpatisipasi,  agar rel pemerintahan berada dijalur yang tepat. Kemudian kebijakan & program yang akan diambil harus berpijak pada data, potensi SDM bagaimana, potensi SDA seperti apa, lalu diformulasikan menjadi kebijakan, agar tepat guna & tepat sasaran.

Tentu kemampuan & karakter seperti ini (memiliki energi, cinta ilmu pengetahuan, up to date) yang harus dimiliki oleh figur pemimpin.

Olehnya itu kehadiran para figur Muda di Desa Lipu dengan berbagai macam latar belakang dan pengalamannya ini memberi energi dan harapan baru, tidak menutup kemungkinan jika potensi serta & pengalaman itu diterapkan dalam pemerintahan, saya yakin Desa Lipu akan maju, menjadi Role Model. Semoga!!!

 


Kurang lebih dua minggu lagi Pilkades akan dilaksanakan, hal ini kemudian menjadikan kondisi sosial didesa yang sebelumnya adem ayem kini mulai memasuki babak baru. Tensi politik upnormal. Gode-gode seketika berubah dari tempat rebahan mencari angin segar, menjadi tempat bergosip dan bergunjing.

Isu-isu kemudian dilancarkan, saling serang tak terelakan, kami terbaik dia tidak. Kami terzalimi, mereka serakah.

Hajatan demokrasi 6 tahunan yang notabene terjadi sirkulasi kepemimpinan akan ada gagasan dan visi baru, harusnya disambut dengan riang gembira, tetapi ini justruk sebaliknya. Pilkades sebagai ajang "perang" urat saraf yang berpotensi memecahkan hubungan sosial kekerabatan.

Posisi Kaum Muda

Sebagaimana kita ketahui anak muda punya energi, mereka hidup dizaman yang berbeda dibanding generasi sebelumya, mereka tidak punya beban masa lalu, rerata mengenyam pendidikan cukup tinggi.

Berbeda dalam  pendapat, mengadu gagasan dan argumentasi adalah hal biasa dan sangat wajar bagi mereka, sebagaimana didapatkan diruang-ruang kelas, ketika mendiskusikan mata pelajaran ataupun mata kuliah, begitupun dalam berdemokrasi.

Dengan pengalaman dan potensi yang dimiliki oleh pemuda, kemudian kaitannya dalam menyambut pagelaran pilkades kedepan, harusnya mereka bisa memosisikan dengan tepat menjadi kalasitator. Ketika ruang publik desa dikotori dengan saling hujat, serta ujaran kebencian. Pemuda harus andil, mengisi ruang publik dengan argumentasi dan gagasan yang sehat.




Setelah sekian puluh purnama rencana mengubah nama domain tak kunjung terealisasi.

Dalam suasana kegabutan, mata yang tak kunjung terpejam padahal waktu nyaris pagi. Kuutak atik gadgetku, kuscroll medsosku, hingga tiba-tiba kuncul iklan domain, ya sudah ku coba klik dan daftar.

Dan akhirnya rencana itu terealisasi juga, tepat hari ini 6 November 2021 blog yang sebelumnya beralamat laodeyusran.blogspot.com resmi berganti nama domain menjadi www. bungyus.com.

Mudah-mudahan ini menjadi awal yang baik, dan menjadi spirit baru untuk terus mengasah kemampuan menulis.

 


Seperti permainan "Boy" tim yang satu menyusun kaleng sampai full, sedangkan tim lainnya lagi berusaha mengahancurkan susunan kaleng itu.

Begitulah mungkin gambaran yang tepat melihat sebuah pameran kepandiran di sebuah Pulau bernama Kadatua, yang seharusnya lautan, pesisir serta ekosistem didalamnya dijaga dan dilestarikan untuk keberlanjutan, tetapi justru sebaliknya.

Semenjak UU Desa diiimplementasikan pada tahun 2014 desa-desa diguyur dengan dana 1 milyar. Pemerintah Desa di Pulau ini kemudian menyambut itu dengan ragam program diantaranya adalah pembangunan fisik  yang tentunya meminta bahan dan material.

Ekspolaitasi alam kadatua pun dilakukan , aktivitas galian C kian marak penyedotan pasir dan pengerukkan dipesisir. Pulau Kadatua yang dulunya disepanjang pesisirnya indah karena pasir putihnya yang panjang, kini hancur, sirna dan tinggal cerita.

Lalu muncul abrasi, alam pun kemudian mencari keseimbangan barunya, gelombang pasang musim barat dan timur yang dulunya hanya pecah dibibir pantai kini memasuki areal pemukiman warga.

Maka untuk menyiasati itu pemerintah desa membangun talud-talud pemecah ombak, tetapi disisi lain aktivitas galian C juga masih marak.

Melihat ini, seperti berada dalam sebuah festival tetapi bukan pentas atau pameran karya. Tapi pameran kepandiran, seperti permainan yang saya singgung diatas disana menyusun kaleng disini mengancurkan, disana menanggul disini menyedot.

Dalam koja-koja santai dengan mahasiswa disebuah warung kopi beberapa hari lalu isu ini menjadi bahan diskusi kemudian muncul ide-ide, salah satunya ide soal larangan kepada warga untuk menghentikan aktivitas penyedotan pasir.

Lalu terlintas dibenak saya, ide larangan bukan langkah solutif, mereka tidak ada pilihan pekerjaan mereka adalah korban dari pada kebijakan pemerintah yang tidak tepat.

Akar masalahnya bukan pada aktivitas penyedotan pasir, tetapi itu hanya imbas. Akarnya adalah kurangnya lapangan pekerjaan.

Pemerintah Desa tidak pernah jeli melihat persoalan, kebijakan serta program yang diambil semau-maunya dan malah orientasinya laba proyek. Dan terkesan, tambal sulam, tiba masa tiba akal.

Ketika masalah muncul dipermukaan baru dicarikan solusinya tidak menyasar akarnya. Pada akhirnya terus muncul masalah baru, kebijakan yang diambil pun berulang-ulang.

Padahal dalam siklus kebijakan publik ada namanya: (a.) Formulasi (bagaimana kebijakan itu dirumuskan? (Apakah berangkat dari akar masalah?) Kemudian, (b) Implementasi (apakah pelaksanankan sesuai dengan rencana) dan, c. Evaluasi (Apakah berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan?)

Suhu kota malam itu dingin sekali, menusuk hingga tulang belulang, saking dinginnya dagu juga ikut tremor bak mesin jahit.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, kopi nyaris tandas, rokok juga sisa sebatang. Tetapi obrolan kian seru.

"Kita cari rokok dulu, baru lanjut" ajaknya
Oke gas...

Disepanjang jalan mencari kios yang buka, kami melewati kafe remang-remang, konon katanya tempat ini surga bagi para manula yang rindu belaian belia. Menurut teman yang pernah bekerja disana ketika musim "proyek" tempat ini ramai pengunjung.


Sesampai dirumah sepulang berkelana mencari alat pengasapan, ia melanjutkan ceritanya.

***

Selama warga terus diam, para elit desa ini akan terus menggarong dana desa.

Mereka ini kerjanya senyap bak mafia yakuza, berbagai cara dilakukan. Mulai dari manipulasi nota pembelajaan dan kwitansi yang harga barangnya sudah dimarkup diseusaikan dengan RAB,  serta pemalsuan tantandangan pejabat berwenang, hingga menduplikat stempel-stempel toko penyedia barang, tujuannya agar  LPJ keuangan benar-benar sesuai.

Disitulah kenapa ada "keuntungan" seperti yang dimaksud aparatnya. Mereka ini jahat, bak firaun. Ditengah kesusahan warga, mereka berpesta pora, hidup glamour.

Mungkin kita sering kali mendengar kata "keuntungan" proyek pembangunan fisik atau pengadaan barang didesa, tetapi kita mafhum saja berpikir bahwa itu uang capeknya, tanpa sadar mereka telah menipu kita semua. Padahal mereka sudah digaji.

Untung-untung kalau uang capeknya hanya 300ribu atau 500ribu mungkin kita bakal memaklumi, tetapi realita angkanya fastatis mencapai puluhan bahkan ratusan juta.


Tak heran kualitas bangunan fisik ataupun barang begitu-begitu saja, dua tiga tahun dipake rusak dan roboh karena lagi-lagi barang tidak sesuai rencana pembelajaan.

Mereka tertawa dibelakang meja-meja kafe remang sambil meneguk air soda ditemani para belia malam, sembari melihat kebodohan kita. Mereka berpesta tanpa sedikitpun merasa bersalah.

Ketika pilkades kita mati-matian membela mereka setelah menjadi, kita dijadikan pesakitan. Sungguh betapa biadabnya.

***

Langit nyaris terang, sebentar lagi matahari memancarkan sinarnya, tak terasa obrolan kami malam itu menembus pagi.

"Sudah mo pagi, kita rehat.. lain waktu baru kita koja-koja lagi" tandasnya..

Sayapun membunyikan kuda besiku, pamit pulang lalu memacunya membela jalan kota yang sudah ramai lalu lalang dan hilir mudik penjual sanggara bandang dan nasi kuning.

SELESAI.

Entah karena apa tiba-tiba obrolan malam itu menyerempat ke hal-hal yang membikin dada ini mengelus.

Ia bercerita tentang oknum Kades dan aparatnya yang baru pulang pencairan Dana Desa tahap satu sekitar 300juta lebih.

Pada saat itu kebetulan ia sedang belanja dipasar tak sengaja bertemu dua orang elit desa itu, karena sekampung dan mungkin sudah akrab dan diyakini bisa menjaga rahasia, ia diajak ke warung makan.

Sambil menunggu makanan datang, kades menanyai aparatnya yang kebetulan duduk bersebelahan "coba cekkan kembali rencana program tahap satu ini sekitar berapa makan anggaran?"
"Paling duaratus jutaaan pak, keuntungan 100 lebih" jawab aparatnya
"Oke kalau begitu pisahkan 10 buat hiburan sebentar malam."

Sebelum ia melanjutkan ceritanya, saya bertanya "maksudnya keuntungan apa? Bukannya dana desa diporsikan untuk semua item kegiatan yang sudah terencana. Tidak ada namanya keuntungan, lagi pula dana itu bukan milik pribadi kepala desa atau aparatnya, tetapi uang negara. Anggaran yang terpakai harus dilaporkan sesuai pembelajaan.

Sampai disini dia tersenyum, lalu dia lanjutkan ceritanya, warga desa itu asal sudah diberikan bantuan atau dibangunkan sesuatu mereka sudah bersyukur, anggap saja itu sebagai pengunci mulut warga untuk tidak bertanya soal kesesuaian harga, kualitas barang dan lain-lain.

Mendengar cerita itu laksana palu godam raksasa yang diturunkan dari langit untuk menghantam dada ini, getir rasanya. Seraya membantin betapa buruknya praktik pengelolaan anggaran di didesa oleh elit desa, parahnya lagi ia memanfaatkan ketidaktahuan warganya.

Apakah tidak ada satu pun manusia didesa yang menyanggah ataupun menanyakan itu?

Apa fungsi BPD sebagai mitra pemerintah untuk melakukan tugas pengawasan?

Bagaimana peran intelektual desa untuk bersuara lantang? Apakah nurani mereka mati, takut atau apa? Entahlah...

(bersambung)


Jumat malam yang gabut, cuaca saat itu juga kurang bersahabat, cerah lalu gerimis.

Tiba-tiba notifikasi pesan WA bergetar, "merapat kita ngopi santai diteras rumah" seorang teman menyeru. Tak berpikir panjang kutancap gas. Menorobos tajamnya air langit.

Sesampai disana tepat diteras rumahnya dibilangan Jalan Erlangga kopi sudah tersedia bersiap untuk diseruput. Obrolan pun dimulai, dari soal remeh temeh, hingga sesekali merambah ke yang serius.

***

Ada berapa jumlah mahasiswa Kadatua yang berstudi di Kota Baubau? Tanya seorang teman seraya memantik diskusi.

"Sekitar tujuh puluh, ini data yang diketahui, yang belum teridentifikasi masih banyak" sahut salah satu mahasiswa.

Mendengar jawaban itu, saya tercengang. Secara kuantitas berarti potensi sumberdaya Manusia Kadatua sudah sangat banyak. Kalau misal di hitung kotor mulai dari tahun 2010 hingga 2021, dengan rata-rata 70/angkatan berarti sekitar 700an lebih. Angka yang begitu fantastis!

Meminjam omongan Bung Karno Jika 10 pemuda saja bisa menggunjang dunia apalagi 700?

Namun sayang 700 itu hanya sebatas angka, Kadatua belum terguncang, masih tertatih-tatih. Hal ini bisa dilihat dari peran dan partisipasi dalam pembangunan di desa yang cenderung pasif.

Musyawarah dan rapat-rapat desa masih diwarnai kata setuju, tidak ada lalu lintas nalar yang bekerja untuk melakukan silang pendapat, kritik, gagasan serta tawaran-tawaran program yang membangun.

Belum lagi ruang kreatif yang senyap, masih berkutat pada wilayah otot, dalam hal ini senam dan futsal yang ujungnya hanya mencari keringat bukan menumbuhkan talenta untuk bagaimana bisa berprestasi.

Lalu apa yang keliru Bung?
Tanyakan pada domino kabuki yang dikocok.

Apalah arti angka 700 kalau hanya huruf singkatan gelar yang bertengker dibelakang nama tanpa isi!

Seharusnya ini menjadi intropeksi kolektif, bukan lagi berkutat pada kuantitas, levelnya sudah harus dinaikkan ke kualitas.

Yang masih aktif berstudi, perbanyak belajar membaca menulis, temui orang-orang baru, berorganisasi dan berdiskusi. Yang sudah alumnus mengevaluasi dan bersuara lebih lantang!

Karena Kadatua sudah harus seribu langkah lebih maju, dan itu bergantung pada potensi manusianya!



Disuatu minggu pagi dikawasan kampung bugis dekat kompleks pecinan Larat Kota,  lengang sekali, toko-toko dan kios-kios pada tutup.

Suasana seperti ini tak mengherankan karena memang mayoritas penduduk asli larat (tanimbar utara) beragama nasrani, dihari minggu mereka beribadah ke gereja. Jadi suasana kota sepi, jalanan juga lengang kendaran mungkin hanya satu atau dua yang lewat.

Karena sepi, kondisi ini dimanfaatkan oleh ibu-ibu pendatang asal Buton, Kadatua khususnya, untuk merenggangkan otot & saraf dengan senam, maklum 6 hari penuh (senin-sabtu) berjibaku dengan dagangan.

***

Sebelum senam dihari minggu pagi, biasanya sabtu sore sehabis tutup toko/warung dagangan, ibu-ibu ini sudah saling sahutan, entah dilorong-lorong pasar maupun dilos-los tempat tinggal mereka. "Mboae naewinea rusiana toralah?" (Bagaimana besok goyang rusiana lagi kah?), "Maita!" (Pasti to!)

Malamnya speaker akan dicas, lagu diplaylist, dipilih apa saja yang akan diputar, biasanya lagu yang lagi trend semisal Rusiana, Tanah Timor Sonde Bae, dan Kajiama.

Selain mempersiapkan alat & lagu, kadang juga sesekali mereka urunan buat bubur kacang ijo atau ketupat untuk mengisi sulawesi tengah, eh kampung tengah, sehabis senam. Hehehe...

Minggu pagi mereka sudah berbaris dijalan, bersiap untuk berpacu dalam melodi. Karena ini bukan barisan 17an, tentu kostumnya berbeda-beda ada yang memakai daster, kaos, piyama dll... Lalu Speaker diaktifkan, blutut disambungkan, dan musikkkkkkkkk...... kaki pinggul pun bergerak paralel mengikuti ritme rusiana.


(Sumber Foto: Yasin Ghibyran)


Beberapa kali kurefresh timelineku untuk memperbaharui postingan diberanda untuk sekedar melihat fanpage media yang membagikan updatean berita hari ini, postingan ikan asin kambala ini juga selalu ikut muncul.

Seolah menggugat jempolku untuk meresponnya, tak berpikir panjang kuturuti gugatan itu, kubuka memo diaplikasi hapeku, kubuat catatan kecil tentangnya.

***

Saumlaki berada dipulau Yamdena secara administratif adalah ibukota Kabupaten Kepulauan Tanimbar Provinsi Maluku, lokasinya berada diujung paling selatan Indonesia berbatasan laut dengan negeri Kanguru-Australia. Kepulauan Tanimbar memiliki potensi laut yang begitu melimpah, dalam sebuah liputan Media Mongabay tahun 2017 menyebut potensi perikanan Tanimbar mencapai 2,4 juta ton (Baca: DISINI).

Jika dilihat dari peta jaraknya membentang sungguh sangat jauh beratus atau mungkin beribu kilo meter dari pulau kecil Kadatua, pulau asal ikan asin kambala itu.


Ada banyak Orang Buton yang sudah berdiaspora sejak lama disana, tak hanya di Kota Saumlaki, dipulau-pulau sekitarnya semisal Larat, Adaut, dll.. juga ada, dan bahkan secara administratif sudah berKTP Tanimbar, disana mayoritas mereka berprofesi sebagai nelayan dan berniaga.

Jika kita berjalan di kawasan pasar lama dekat pelabuhan atau pun pasar baru dekat terminal angkutan darat Kota Saumlaki, berjejer kios-kios yang sebagian besarnya diisi oleh Orang Buton, tak heran celetuk bahasa pancana dan wolio kerap kali terdengar. Pengalaman saya yang pernah kesana, memasuki kawasan itu seperti berada di kampung sendiri (Buton).

Diantara jejeran kios-kios itu satu kios yang terbilang unik, nama kiosnya ia namai dengan nama desa di Kadatua "Toko Mawambunga", jajakan dagangannya tak lazim sepeti toko pada umumnya, selain kelontong biasa, ia juga menjajakan makanan ringan dari Buton, mulai dari Jipang, Kacang Mete, Gola Kaluku, dan yang terakhir ikan asin. Ya ikan asin khas Mawambunga, yakni  Ikan kambala atau familiar orang menyebutnya ikan indosiar (karena mungkin  kemiripan pada logo indosiar yang siripnya panjang dan bisa terbang) yang sudah dikeringkan, lalu dimasukan dalam kemasan sederhana.

Awalnya ikan asin kemasan ini hanya dijajakan di Kadatua oleh anak muda di Desa Mawambunga dan sesekali dipromosikan via medsos, hingga suatu waktu pemilik toko Mawambunga yang saya sebutkan diatas meliriknya untuk dicoba dijajakan di Kota Saumlaki, dari situlah ikan asin kemasan ini terbang melintasi lautan dan ribuan pulau hingga keujung paling selatan, lalu berakhir dilapak toko Mawambunga.

Sebagian kita mungkin heran kok bisa di Kepulauan Tanimbar yang kaya potensi ikan itu, ada ikan import dari Buton. Tentu ada alasan lain dari pemilik toko ini saya belum mengetahui pasti apa motivasinya, tetapi saya meyakini ada spirit untuk mendukung produk asal kampung halamannya, ia membantu para wirausaha muda  untuk membukakan akses pasar.

 


Sejak akses pada smartphone kian mudah dan paket data terbilang murah, beragam warganet melakukan ekspresi apa saja diruang maya, dari bermain game, mengupload momen sampai menjadi yutuber dadakan. 


Seperti beberapa warganet kadatua misalnya, berbagai kegiatan di Kadatua serentak diupload dalam channel yutube, lalu linknya dibagikan diakun medsos, disertai caption "bantu subreker".


Meskipun terbilang monoton tanpa ide kreatif dan dominan konten lomba, hanya modal rekam, ubah thumbnail, lalu pasang judul klik bait, tapi setidaknya momen-momen dikampung tersebar, menjadi obat penawar rindu bagi warga dirantau untuk menyaksikan orang-orang terkasih terekam dalam video. 


Selain itu fenomena menjamurnya para yutuber dadakan ini tergolong unik & snob, entah apa yang menjadi penyebabnya, padahal penggunaan smartphone dipulau ini sudah cukup lama. Tetapi fenomena ini baru muncul beberapa bulan belakangan. 


Atau karena hobi copas, jika yang satu bikin yang lain juga bikin? 


Seperti contoh-contoh sebelumnya program pengadaan koli-koli di Desa A dicopas desa B,C, dst.. juga desa A bikin Lapangan  desa B juga bkin lapangan, dan kegiatan futsal kids didesa A, lalu muncul futsal cilik di desa B. Entahlah.. saya juga bingung. 

Terlepas dari itu semua, paling tidak warganet kadatua keren... πŸ‘πŸ‘πŸ‘


"Jangan hanya jadi pemain kampung terus" begitu sambutan Kades Kapoa dalam pembukaan turnamen futsal kids 9 agustus kemarin.

Memang beberapa tahun belakangan, kegiatan serupa minim atau bahkan sudah tidak pernah diadakan. Kita hanya fokus pada turnamen orang-orang dewasa.

Generasi usia belasan SD-SMP selalu luput,  bakat mereka terpendam dan terkubur, tidak adanya ruang-ruang bagi mereka untuk membumikan skill & talenta, pada akhirnya liar hingga terjerumus hal-hal negatif.

Sudah beberapa kali pergantian generasi tidak ada talenta kadatua yang menembus skala daerah ataupun nasional, selalu berputar pada tarkam (Baca: antar kampung). Nah memang turnamen yang sering diadakan selama ini tujuannya hanya sekedar cari keringat dan rame-rame kampung.

Maka sudah seharusnya generasi kadatua disiapkan dengan matang  sejak usia dini, dilatih dan dibiasakan ikut dalam kompetisi diturnamen, agar skil dan mentalnya terbentuk. Kemudian lapangan-lapangan yang dibangun oleh pemerintah difungsingkan, bukan jadi pajangan yang kosong melompong.

Ketika Futsal Kids Kapoa Cup diadakan lagi tahun ini, saya turut senang, seolah ada kebangkitan, ternyata masih ada pemuda desa yang peduli, pada generasi dibawahnya.

Ini menjadi preseden baik, yang harus dibumikan bukan hanya di Kapoa, tetapi semua desa dikadatua tanpa terkecuali.

Kita bisa belajar dari Apriani Rahayu Juara Badminton Olimpiade Tokyo baru-baru ini, seorang anak yang tinggal dipelosok desa anggaberi Konawe, bisa berprestasi dan membanggakan nama daerah dan negara.

Saya meyakini, jika generasi muda kadatua, skillnya terus diasa. Tak menutup kemungkinan beberapa tahun kedepan akan ada apriani-apriani baru di Kadatua.

 


Energik, adaptif dan up to date, adalah kata-kata yang sering disematkan pada milenial. Mereka lahir di era yang range kemajuan teknologi yang sangat cepat jika dibandingkan dengan generasi diatasnya.

Dari analog ke digital tak berselang lama, seperti baru kemarin sore memencet tombol eh, tiba-tiba besok paginya sudah layar sentuh. Dari menunggu jadwal tayangan di tv berubah tinggal ketik dikolom pencarian dikanal yutub.

Dibanding generasi diatasnya butuh puluhan tahun untuk bisa menikmati atau beradaptasi dengan perubahan2 diatas, tak heran cenderung gagap. Banyak contoh yang kita temui jokes lawas yang sering dishare pakbapak atau buibu, dan juga hoax ditebar, tanpa cek dan ricek.

Jika dilihat dalam konteks pemerintahan, gaya memerintah juga pun demikian, kebijakan yang diambil tak sesuai konteks yang benar-benar dibutuhkan pada zaman itu, salah satu contohnya program pengadaan sampan nelayan tanpa motor, program ini seolah nelayan dipaksa kembali ke zaman bahela, menggunakan tangan untuk mengayuh, padahal teknologi mesin sedemikian canggihnya.

Begitupun juga transparansi dalam pengololaan anggaran, ini nyaris tidak ada, paling yang dibuka dipublik sekedar baliho infografis yang tidak informatif sama sekali, hanya formalitas belaka, padahal fungsinya sangat urgen bukan hanya pajangan tanpa makna, tetapi bagaimana memantik partisipatif warga.

Padahal kalau jeli, ada banyak kanal yang bisa dimanfaatkan diera digital ini, smartphone menyediakan itu, sebagian besar warga juga sudah menggunakannya, harusnya ruang-ruang informasi apapun entah itu tata kelola anggaran, pemerintahan, maupun kebijakan/program dishare disana, intinya harus kreatif, ruang digital bisa dimanfaatkan. Yang intinya bagaimana memantik partipasi warga. Agar arah pembangunan tepat guna dan tepat sasaran serta transparan.

Tahun 2021 bulan November nanti, konon pilkades se Busel akan digelar serentak. Khusus di Kadatua agendanya empat desa yang akan turut melaksanakan perhelatan pesta demokrasi tersebut.

Melihat kondisi kepemimpinan saat ini, yang banyak diisi generasi gagap, terbesit dibenak saya harusnya pos-pos kepemimpinan di pemerintahan dimasuki oleh anak-anak muda yang kreatif dan punya ide dan gagasan yang maju sesuai dengan kondisi masyarakat dan konteks zaman. Bukan lagi berada diluar atau dilevel aparatur yang hanya jadi kacung tanpa memberi kontribusi dan pengaruh pada arah kebijakan di desa.

Memang memasuki arena pilkades laiknya memasuki palagan, tantangan cukup berat karena sebagian masyarakat masih banyak yang mempertahankan status quo, memilih bukan berdasar pada nalar rasional yang notabene suka akan gagasan yang dibawa oleh kandidat, tetapi masih transaksional berdasar pada uang.

Tetapi kita tidak boleh pesimis, ini tantangan yang harus dijawab. Kalau bukan sekarang kapan lagi?


Rokok masih panjang, lebih 4 senti dari filter, tetapi sound sudah bunyi. "Cepat sudah e.. lapangan su mau pono, kaka lambat, kaka seng dapa tampa", seru pasangan perempuannya.


Bergegaslah silelaki yang berkaos merk supreme KW dengan rambut klimis itu lalu ia mematikan rokoknya dan menuju kelapangan.

Intro musik "nona pasir putih" dengan dentuman bas yang khas menghentak, kaki pinggul tak bosannya bergerak paralel mengikuti ritme. Dunia seolah miliknya malam itu. Pokoknya Happy.. happy... dan happy...

***

Bagi orang Timur, buton dan kadatua pada khususnya, acara joget bukan hanya seremonial untuk turut merayakan kegembiraan ataupun kebahagiaan tuan acara yang baru selesai melangsungkan resepsi atau selamatan.

Tetapi juga sebagai sarana untuk menghibur diri ditengah minimnya hiburan didesa, dan arena bagi para muda-mudi untuk bejumpa dengan kekasih. (Karena hanya diacara jogetlah orang tua biasanya memberi kebebasan anaknya berada diluar rumah hinggal larut)

Di dalam arena joget, semua diperlakukan setara, tidak ada kelas atas, menengah maupun bawah, baik dia berprofesi sebagai orang kantoran, pengusaha, nelayan, dan bahkan pengangguran sekalipun semua sama, begitupun dengan pakaian yang dikenakan bebas rapi, baik yang ori, KW super sampai KW level empat, selagi tidak merokok didalam acara dipersilahkan dengan hormat dan tangan terbuka.

Namun demikian tak selalu berjalan mulus, namanya juga acara bebas dan terbuka, pasti selalu saja ada orang-orang usil yang memiliki tujuan lain, menjadikan acara joget sebagai arena untuk tarung. Insiden-insiden kecil, misal keributan ataupun bahkan perkelahian kerap terjadi.

Disisi lain acara joget juga punya andil dalam menggerakan ekonomi warga sesaat, kios-kios disekitar acara berefek, rokok, bensin, aqua, teh gelas, mi inter, laku keras diserbu muda-mudi pegiat acara.

Suara speaker dari arah panggung panitia berbunyi, sorak-sorak penonton mulai menggema. Pertanda pertandingan akan segera dimulai.
 

Matahari sore itu terik sekali, penonton berkerumun mencari titik-titik teduh, dibawah pohon. Yang dibelakang kadang jinjit untuk bisa menyaksikan tim kesayangannya bermain, ada juga menunduk mencari rongga disisi kerumuman penonton yang kosong.

 

Yang dirantau memonitor via telpon, menunggu hasilnya yang dikabarkan oleh teman atau kerabatnya yang menyaksikan langsung pertandingan dilapangan.


Kadang ketegangan didalam lapangan atau keseruan permainan terlewatkan karena mungkin dihalangi penonton atau tiba-tiba menunduk karena  lagi balas chat. Tidak ada siaran ulang, untuk bisa melihat kembali. Hanya mendengar melalui cerita.


Ilustrasi diatas mungkin pernah dialami semua orang, sebelum channel yutub orang kadatua menyerang. Betapa susah dan jengkelnya kala itu, ketika ada insiden, keseruan atau gol yang terlewat.


Bagi saya dan mungkin sebagian orang yang tidak terlalu hobi bola, kejengkelan karena itu bisa ditaktisi, paling tidak bisa mengarahkan pandangan kebeberapa sisi luar lapangan. Melihat warna kepiting rebus yang merah bergairah dipipi-pipi penonton hawa yang simetris. (Ah, abaikan paragraf ini, ini hanya kamuflase, hehe)


Hingga suatu waktu dalam turnamen merantau cup yang belum lama usai, cerita seru, tegang, dll yg kadang terlewatkan itu, yang sebelumnya hanya didengar melalui cerita & dilustrasikan dalam imajinasi, bisa ditonton diyutub, terakhir dua pertandingan  anak-anak didesa kaofe, dan turnamen dawai cup di desa banabungi yang kini masih berlangsung.


Unggahan video-video itu, muasalnya dari lensa HP milik badaru, ia rekam setiap detik pertandingan, meskipun dibawah terik panas matahari. Setelah ia rekam diedit, lalu diunggah via channel yutubnya, kemudian ia share via medsosnya.  Rasa haus dan penasaran pun terobati. Kapan pun dimana pun, asal ada paket data atau sambungan tetring dari teman, bisa ditonton.


Channel yutubnya sudah mencapai 943 subreker menuju 1000 untuk bisa dimonetisasi. Tayangan videonya kadang mencapai seribu lebih.  Luar biasa. Hormat tinggi-tinggi!

 


Siang itu sekitar jam 2  Kapal Dobonsolo dari arah timur merapat di pelabuhan murhum suasananya beda sekali dari biasanya,  bak kerumunan semut, para perantau dan penjemput menyelimuti.

Momen seperti ini memang bukan hal baru, tiap tahun dikala jelang lebaran, para perantau pulang. Rindu merayakan hari raya dan ingin bernostalgia bersama sanak famili dan handai tolan dikampung halaman.

Seperti biasa hadirnya perantau ini, menghidupkan susana desa. Yang sebelumnya senyap sepi bak kota mati, kini  ramai.

Lalu lalang kendaraan roda dua cukup lancar, ada yang sekedar jalan-jalan melihat perkenbangan desa, juga ada mengujungi  rumah teman masa kecil untuk sekedar bernostalgia tentunya dengan pakaian keren dan wajah yg glowing. πŸ˜„

Tetapi kehadiran mereka harapannya jangan hanya melepas rindu yang kesannya semu tanpa arti, tapi juga bagaimana menggerakan ekonomi desa walaupun itu hanya sementara.

Mereka datang dari rantau ke Kampung halaman bukan hanya membawa segepok rindu tapi kantong-kantong mereka juga tebal.

Alangkah bagusnya, isi kantong para perantau ikut diputar, kebutuhan lebaran dibelanjakan didesa misal ayam, ikan, dan kebutuhan lainnya agar ekonomi desa pun ikut bergerak. 

Agar pulang tak sekedar kembalinya badan dan kenangan, tapi pikiran yang membangkitkan kepedulian.

 

Siapapun kamu yang kebetulan nyasar di blog ini, baik itu masyarakat biasa, pengurus kelompok swadaya masyarakat, LSM, perangkat desa, pegawai kelurahan, staff kecamatan, staff dinas PUPR/PERKIM kabupaten/kota/provinsi maupun teman-teman yang lagi mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi Fasilitator yang kebetulan lagi nyari referensi/buku atau dokumen petunjuk teknis (juknis) Program Sanitasi Perdesaan (SANDES) Padat Karya Tahun Anggaran 2021.


Selamat!!! Anda mendapatkan bantuan senilai dua milyar dolar berada diblog yang tempat.


Dokumen juknis ini saya dapatkan waktu mengikuti peningkatan kualitas TFL di Kota Manado, Sulawesi Utara, Tanggal 3 - 7 Maret 2021, dibagikan oleh pemateri dalam bentuk buku fisik maupun e-book PDF.


Ada dua buku/file ebook, yang pertama berisi latar belakang program, maksud & tujuan, tupoksi pelaksana (KSM, TFL, FASKAB), tahapan perencanaan, pelaksanaan maupun pelaporan, dan yang kedua berisi lampiran format surat-surat dan laporan.



Download: πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡


Silahkan teman-teman pelajari, semoga bermanfaat. Jangan lupa tinggalkan komentar. Atau mau ingin sharing seputar program bisa DM di akun IG: @laodeyusran




Setelah melewati seleksi panjang yang cukup ketat mulai seleksi administrasi, test online hingga wawancara, tepat dihari jumat hari ke 19 bulan februari, kabar baik pun itu datang, Panitia seleksi Calon Tenaga Fasilitator Lapangan mengumumkan nama-nama yang lolos tahap akhir.


Alhamdulilah saya berada di urutan ke 2 dari 5 nama yang diterima untuk menjadi bagian dari program Sanitasi Perdesaan Padat Karya penempatan didaerah domisili, yakni Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.

***

Seperti saya singgung diatas memang tidak mudah melewati tahapan demi tahapan tes, dari tahap pertama saja hampir kewalahan bagaimana tidak syaratnya harus memiliki NPWP, SKCK, serta Surat Sehat, tahu sendiri gimana mengurus dokumen ini sunggu ribet, mondar-mandir dari instansi ke instasi.

Setelah lolos tahap administrasi ini, kemudian disambut lagi dengan tes online, yang mana butuh kerja keras dengan belajar giat untuk bisa menjawab soal-soal pilihan ganda dari panitia.

Bersyukur bisa bergabung di Grup telegram yang anggotanya semua peserta tes, ada yang menshare pedoman juknis program sandes, kemudian di bedah bareng-bareng via chat maupun Gmeet dan Zoom, lalu dibuatkan soal-soal latihan, semua belajar.

Hingga waktu tespun tiba, awalnya server sempat down semua peserta menumpahkan kekesalannya disemua kanal medsos milik PUPR, tak berselang lama tepat sore hari pihak panitia mengeluarkan press release bahwa tes akan diadakan ulang.

Alhasil dihari yang sudah ditetapkan oleh panitia tersebut server lancar jaya, tes aman dan terkendali, saya yang sedari malam gak sabar menunggu jadwal itu, paginya kubuka laptop lalu kukoneksikan wifi dari HP, login dan tempur.

Alhamdulilah soal-soal ku jawab kurang dari 45 menit, sebelum mengakhiri saya kroscek satu-satu dan setelah itu aku submit keluarlah hasilnya dengan nilai 87 dan masuk ditahap wawancara.

Ditahap wawancara pun gak mudah, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara sedikit membikin gagok, apalagi bagi peserta non teknik, kesmas atau ekonomi kayak saya. Hehehe... Pertanyaannya seputar program sandes dan fungsi sarana/prasarana sanitasi serta pelaporan keuangan. Beruntung ilmu yang saya dapatkan selama belajar bareng peserta di Grup telegram masih tersave, pertannyaanya bisa kujawab semua.

Hingga disuatu hari jumat dengan suasana pagi yang cerah kabar baikpun itu datang, surat hasil wawancara dikirim melalui Grup WhatsApp, namaku bertengker diurutan No. 2 penempatan Kabupaten Buton selatan dengan nilai akhir 81, disertai dengan informasi peningkatan kualitas TFL  se Wilayah III (regional Sulawesi) yang akan diselenggarakan di Kota Manado, Sulawesi Utara.




Kalimat ini pertama kali aku dengar, sama tetangga kos aku waktu jaman kuliah, tak perlu saya sebutkan namanya intinya dia salah satu orang yang membuat saya ingin berubah, belajar dan PD  menemui orang-orang baru dimanapun.


Awalnya saya belum memahami persis maksud kalimat ini, yang saya pahami kala itu ini sebagaimama yang ia katakan adalah kalimat ini merupakan salah satu prinsip seorang jurnalis jika sewaktu-waktu meliput, dan mewawancari calon narasumber, dan belum sempat mempelajari profil narasumber, maka pasti akan bleng olehnya seorang jurnalis harus punya wawasan yang luas, meskipin tidak dalam, paling tidak luas tentang apa saja. Jadi ketika melakukan suatu wawancara jurnalis harus punya sedikit pengetahuan agar informasi dari narasumber bisa digali lebih dalam.

Setelah saya melanglang buana ke beberapa tempat dan menemui banyak orang dengan ragam daerah dan karakter, saya akhirnya memahami.

Ternyata "Sedikit tahu dari banyak hal ini" harus dimiliki oleh banyak orang yang bahkan bukan jurnalis sekalipun, tujuannya adalah untuk membuka dan mengalirkan percakapan. Dari percakapan ini kita akan dapat banyak hal. Mulai ilmu, informasi, teman yang sejiwa dan sepemikiran, dan lain-lain

Lalu bagaimana agar kita sedikit tahu dari banyak hal?

Kuncinya belajar terus menerus, membaca, diskusi, mendengar popcast, menonton video, intinya Informasi tentang apapun harus dilahap meskipun tidak penting pada saat itu, tetapi disave, karena sewaktu-waktu ini akan berguna.

Manakala kita temui orang yang mungkin hobby nonton korea, atau asalnya dari jauh misal dari sumatra. 

Dan kita pernah baca artikel atau nonton korea atau pernah nonton dokumenter yang setting lokasinya dipulau sumatra,  kita pasti gak bakal canggung dan kehabisan bahan untuk berkomunikasi, biasanya lawan ngobrol itu sangat suka jika di singgung soalnhobbynya atau daerahnya.

Jika berkunjung disuatu tempat dimanapun jika melihat tulisan besar baik itu tullisan  dibelakang mobil truk, dikaca depan mikrolet,  baliho, spanduk, maupun papan nama, enggan rasanya untuk abai membacanya, kadang tulisannya unik hingga membuat tersenyum tipis dan kadang  juga membuat kita berpikir dan bergumam dalam hati "kok bisa ya" manakala tulisan itu keliru.

Ambil contoh, papan nama diinstansi pemerintah yang notabene pegawainya diisi oleh orang-orang yang pernah menyenyam bangku sekolah, dan tentunya mempelajari PPKN. Sebut saja KANTOR di DESA, KELURAHAN, dan KECAMATAN

Disekolah mungkin dibangku SD diajarkan bahwa ada beberapa lembaga negara dari tingkat pusat, tingkat 1, 2 dan Kecamatan dan Desa.

Dipusat yakni Negara RI dipimpin oleh seorang presiden, tingkat 1 yakni Provinsi dipimpin oleh Gubernur, dan tingkat 2  Kabupaten/Kota dipimpin dipimpin oleh Bupati/Walikota sedang level dibawahnya adalah Kecamatan dipimpin oleh Camat, Kelurahan oleh Lurah serta Desa oleh Kepala Desa.

Masing-masing para pemimpin lembaga ini memiliki Kantor atau tempat ia bertugas, Kantor ini harus disebut kantor pemimpin lembaga tersebut, misal presiden, Kantor Presiden (ada dalam istana mencangkup tempat tinggal dan kantor), Kantor Gubernur dan seterusnya sampai kelevel Kelurahan dan Desa disebut Kantor Lurah/Kantor Kepala Desa.

Jadi keliru jika ada yang menuliskan Kantor Desa, Kantor Kelurahan atau Kantor Kecamatan.