BAGIAN
PERTAMA
“Konten
Kebijakan dan Konteks dalam Implementasi”
Politik dalam
implementasi kebijakan baru baru ini muncul sebagai topik yang menarik bagi
para pelajar politik di negara dunia ketiga. Implementasi telah mencuri perhatian
karena adanya banyak faktor yang bisa dibahas mulai tersedianya kecukupan
sumber daya antar pemerintah, dari komitmen
yang paling mendasar untuk melaporkan mekanisme birokrasi, dari pengaruh
politik penentang kebijakan dan peristiwa yang tampaknya tidak saling terkait
dan sering melakukan intervensi diantara tujuan
kebijakan dan pencapaian mereka dalam sosial. faktor tersebut dapat
menjelaskan "korespondensi sering tidak sempurna antara kebijakan diadopsi
dan layanan benar-benar disampaikan". Dalam buku ini mencoba menjelaskan
perbedaan mengenai realisasi implementasi, bahkan ketika implementasi sukses
untuk dilaksanakan, hal itu melibatkan pakar yang bertugas menerjemahkan tujuan
kebijakan melalui beberapa prosedur, selain itu juga melibatkan pertanyaan
mendasar mengenai konflik, pembuatan putusan, dan tentang siapa mendapatkan apa
dalam lingkup masyarakat.
Secara umum,
tugas dan fungsi implementasi adalah menciptakan relasi atau koneksi yang
mengijinkan tujuan kebijakan publik untuk direalisasikan menjadi sebuah hasil
dari aktifitas pemerintah. Aktifitas pemerintah akan diwujudkan melalui program
dan proyek individu, dimana maksud dari program dan proyek individu dapat
merubah lingkungan kebijakan, dan perubahan tersebut dapat dianggap sebagai
hasil program yang telah dijalankan.
Disini dijelaskan bahwa perbedaan antara kebijakan dan program
menyiratkan bahwa implementasi kebijakan adalah sebuah fungsi dari implementasi
program. Keberhasilan dan kegagalan kebijakan/program nantinya akan dijadikan
sebagai pedoman untuk perumusan kembali kebijakan selanjutnya. Seperti yang
sudah dijelaskan mengenai perbedaan antara kebijakan dan program dimana
keduanya sulit untuk mempertahankan praktiknya, namun hal itu dapat dikaburkan
oleh berbagai tingkat dimana istilah kebijakan sering digunakan. Dalam buku ini, kami telah mencoba untuk
menyelesaikan masalah ini dengan mempertimbangkan implementasi menjadi proses umum tindakan administratif
yang dapat diselidiki di tingkat program khusus. Proses implementasi dapat
dimulai ketika tujuan dan objek kebijakan memiliki kekhususan, ketika program
kebijakan telah dirancang dengan matang, ketika dana telah dialokasikan sesuai
dengan tujuan. Ini merupakan kondisi dasar untuk mengeksekusi secara langsung
proses kebijakan publik. Sehingga proses kebijakan, program yang dijalankan
harus bersifat intergral yang mana dapat menentukan tingkat keberhasilan dari
program tersebut.
Dalam Pendekatan Meriee S. Grindle dikenal dengan Implementation as A Political and
Administrative Procces. Menurut Grindle ada 2 variabel yang mempengaruhi
implementasi kebijakan publik, yaitu :
1.
Keberhasilan
implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil
akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal
ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi
kebijakan tersebut dapat dilihat dari 2 hal, yakni :
a.
Dilihat
dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai
dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
b.
Apakah
tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu
:
-
Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu
dan kelompok
-
Tingkat
perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang
terjadi
2.
Keberhasilan
suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle, amat ditentukan oleh
tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas :
1.
Isi
Kebijakan (Content of Policy)
Mencakup :
a.
Interest
Affected (Kepentingan-Kepentingan yang Mempengaruhi)
Interst
affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu
implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam
pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan
tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin
diketahui lebih lanjut.
b.
Type of Benefits (Tipe Manfaat)
Pada
point ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa
dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan
dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak
dilaksanakan.
c.
Extent of Change Envision (Derajat Perubahan yang Ingin Dicapai)
Setiap
kebijakan memiliki target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy yang
ingin dijelaskan pada pon ini adalah bahwa sejauh mana perubahan yang
diinginkan dari sebuah kebijakan haruslah memiliki skala yang jelas.. Suatu
program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relative
lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bentuan
kredit atau bantuan beras kepada kelompok masyarakat miskin
d.
Site of Decision Making (Letak Pengambilan Keputusan)
Pengambilan
keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan
suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan
keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e.
Program
Implementer (Pelaksana Program)
Dalam
menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana
kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan ini
sudah harus terpapar atau terdata dengan baik, apakah sebuah kebijakan telah
menyebutkan implementornya dengan rinci
f.
Resources Committed (Sumber-Sumber Daya yang Digunakan)
Apakah
sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Pelaksanaan kebijakan
harus didukung oleh sumberdaya-sumberdayayang mendukung agar pelaksanaannya
berjalan dengan baik.
2.
Lingkungan
Implementasi (Context of Implementation)
Mencakup
:
a.
Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, Kepentingan-Kepentingan, dan Strategi
dari Aktor yang Terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu dipertimbangkan pula
kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para
actor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi
kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang, sangat besar
kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh hasilnya dari yang diharapkan.
b.
Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan rezim yang sedang
berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut
dilaksanakanjuga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini
ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi
suatu kebijakan.
c.
Compliance and Responsiveness (Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon dari Pelaksana)
Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan
suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang
hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari
pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh
isi atau konten dan lingkungan atau konteks diterapkan, maka akan dapat
diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai
dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan
dipengaruhi oleh suatu lngkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang
terjadi.
Menurut Merilee S. Grindle (1980) bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental,
yakni isi kebijakan (content of policy)
dan lingkungan implementasi (context of
implementation) seperti terlihat pada gambar di atas. Variabel isi
kebijakan ini mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat
yang diterima oleh target groups ,
(3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program
yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relative lebih
sulit diimplementasikan dari pada program yang sekedar memberikan bantuan atau
kredit kepada masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat. (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber
daya yang memadai.
Sedangkan
variabel lingkungan kebijakan mencakup :
1. Seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan,
2. Karakteristik institusi dan rejim
yang sedang berkuasa,
3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas
kelompok sasaran.

Keberhasilan implementasi menurut
Grindle (1980 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan dan
lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup :
a)
Sejauh mana kepentingan
kelompok sasaran atau target groups
termuat dalam isi kebijakan.
b)
Jenis manfaat yang
diterima oleh target group.
c)
Sejauh mana perubahan
yang diinginkan dari sebuah kebijakan.
d)
Apakah letak sebuah
program sudah tepat.
e)
Apakah sebuah kebijakan
telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan
f)
Apakah sebuah program
didukung oleh sumberdaya yang memadai.
g)
Sedangkan variabel
lingkungan kebijakan mencakup
h)
Seberapa besar
kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang
terlibat dalam implementasi kebijakan.
i)
Karakteristik institusi
dan rejim yang sedang berkuasa.
j)
Tingkat kepatuhan dan
responsivitas kelompok sasaran.
Grindle memperkenalkan model
implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut
menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor,
dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai
maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik
administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan
keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses
administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang
dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
BAGIAN KEDUA
“Paradoks
Popularitas Program Ideologi
Implementasi di Zambian”
Oleh Stephen
A. Quick
Implementasi
kebijakan dan pembangunan administrasi di Third World berfokus pada analisis
dan menjelaskan masalah. Pembuat kebijakan tidak dapat mengimplementasikan
semuanya, dan mereka melakukan proses implementasi secara terbelit-belit dan
tidak seperti kerangka dasar yang digunakan. Implementasi kebijakan di dunia
ketiga membawa sedikit persamaan tetang pemahaman klasik implementasi sebagai
proses yang secara rasional berhubungan dengan tujuan yang spesifik dari
membuat program.
Melihat
fenomena ini, para ahli mulai pengumpulkan informasi tentang hambatan umum
untuk mengefektifkan implementasi di negara-negara Third World. Secara cepat gagasan ini menghasilkan daftar
besar larangan pada administratif yang rasional, diantaranya kelemahan
organisasi, hambatan budaya, tidak
berfungsinya sifat dasar dari konflik politik. Daftar ini sungguh mengesankan,
tapi hal ini ditujukan untuk memberikan kesan atau pengaruh kepada semua
pembuat kebijakan yang mengalami masalah implementasi. Setiap pembuat kebijakan memiliki perbedaan
masalah dalam pengimplementasiannya dan oleh karena itumenarik untuk memeriksa
masalah unik untuk dijadikan program yang spesifik daripada program
keseluruhan.
Untuk
itu tahap awal yang bisa dilakukan adalah pembuatan tipologi, mengelompokkan
secara spesifik kebijakan menjadi kategori yang memiliki hubungan dengan
pertanyaan implementasi. Pada bab ini,
akan membahas salah satu tipe program yang dilaksanakan di Zambia yang disebut
tipe program “Idelogical”. Bab ini akan menjelaskan secara umum karakteristik
dari program ini, dan secara khusus menjelaskan kebingungan dari tujuan dan
kepentingan politik, memperbaiki hambatan untuk mengefektifkan program
implementasi.
Suatu
program dapat di katakan ideologis karena kepentingannya dapat memperkuat
perubahan ideology, dan program-program
ideologis memiliki karakteristik tertentu yang relevan dengan proses
dimana mereka diimplementasikan. Karakteristik pertama dari program-program
ideologis adalah mereka mengharapkan dapat dicapainya banyak tujuan di waktu
yang sama, tujuannya bersifat ambigu, dan tujuannya tidak dapat diukur, program
ideology dipengaruhi oleh harapan yang tinggi dari para elit politik nasional,
ketersediaan sumber daya, kepemimpinannya dipolitisir dari organisasi
pelaksana, dan kebal dari kritik publik.
Kenneth
Kaunda seorang presiden dari United National Independence Party (UNIP)
merasakan bahwa negaranya Zambia membutuhkan ideology nasional untuk menjaga
negaranya setelah merdeka. Ia menyatakan ideology harus menekankan pada
persaudaraan, dukungan bersama, persamaan, kerjasama, dan partisipasi. Semua
elemen-elemen tersebut secara parsial berhubungan dan disebutnya dengan
“Humanism”. Ideologi ini dipuji dan dihormati solidaritas komunal tradisional
dari suatu pedesaan.. Kaunda percaya bahwa transformasi ini bisa dibawa dengan
mendorong pengembangan lembaga baru di daerah pedesaan. Kaunda memilih
mengimplementasikan pandangan ideologinya karena tidak satupun lembaga
pemerintahan mengambil pertanggungawaban.
Sejarah
baru bangsa ini, pemimpin merasa jika mereka memiliki departemen of
cooperatives, akan menjadi dasar dan layak untuk mengawasi program kooperatif
yang baru. Dalam pengimplementasian kebijakan kooperatif, lembaga ini
menghadapi perkalian, keambiguan, dan tak terbatasnya tujuan yang diartikulasi
oleh presiden. Dalam keadaan normal, badan pelaksana dapat mengubah perilakunya
seiring dengan masukan dari lingkungan, memodifikasi kebijakannya sehingga
permasalahan dapat disingkirkan dan dapat mendorong produktifitas. Ketika
lembaga tersebut meluncurkan gerakannya tidak ada pengakuan terhadap kebutuhan
untuk umpan balik dan evaluasi.
Ada
beberapa alasan kegagalan proses umpan balik, yakni pertama politisasi dari
kepemimpinan departemen dimana menciptakan suasana yang menghalangi pemeriksaan
rasional dari kinerja tugas suatu lembaga. Alasan kedua terjadinya kegagalan terhadap
umpan balik untuk menghasilkan perubahan yakni umpan balik dari staff yang
ditujukan kepada tujuan lembaga tidak ditetapkan sebagai pusat penting. Ketiga,
sulitnya berada di depertemen yang terpisahkan dari lembaga kritis lainnya,
Keempat, yaitu popularitas politik dalam kebijakan kooperatif.
Berikut
adalah tujuh proposisi umum tentang pengambilan keputusan dalam organisasi yang
berusaha untuk menerapkan sedikit definisinya tetapi secara politik kebijakan
tersebut penting.
- Lembaga dengan beberapa tujuan yang ambigu dan tak terbatas merasa sulit untuk mengembangkan solusi secara teknis terkait permasalahan dalam implementasi.
- Jika tekanan politik membuat kelambanan, lembaga akan menggunakan kriteria politik untuk menetapkan prioritas dan mengorganisir tindakan.
- Lembaga pelaksana multi goals dibuat rentan oleh ketidakmampuan mereka untuk mencapai tujuan mereka dan kerentanan ini meningkatkan sensitivitas mereka terhadap keinginan dan harapan dari atasan politik mereka.
- Politisi kepemimpinan dalam lembaga menghambat pengoperasian proses normal feedback dan pembelajaran.
- Popularitas politik isolate lembaga dari feedback dari para pelaku birokrasi lain yang baik takut untuk mengkritik departemen karena mereka dapat menghancurkan rival popular.
- Ketersediaan sumber daya menghambat proses feedback dengan memungkinkan lembaga untuk menunda pemeriksaan tindakannya.
- Popularitas meningkatkan kekuataan lembaga dan mengurangi kepekaan terhadap pesan dari lingkungannya.
Kebalikan
dari “Paradox of Popularity” adalah hipotesis bahwa program ambisius akan
berdiri di kesempatan yang lebih sukses jika mereka tidak popular dalam elit
politik. Ketika kebijakan kooperatif menjadi tidak popular, harapan elit
menjadi lebih spesifik, lembaga menjadi fokus hanya pada satu aktivitas dan
tujuan yang jelas. Klarifikasi tujuan
sangat cepat yang diikuti oleh upaya meningkatkan mekanisme umpan balik dalam
departemen. Pada tingkat operasional, langkah segera diambil untuk memperbaiki
masalah yang lebih jelas bahwa kebijakan departemen telah mendorong.
Disimpulkan dalam bab ini membahas tentang bagaimana karakteristik dari
pelaksanaan program ideologis untuk mengefektivitaskan proses implementasi.
BAGIAN
KETIGA
“Reformasi
Pemerintah dan Implementasi Kebijakan”
Oleh Chynthia
McClintock
Keberhasilan
implementasi kebijakan publik sulit dilaksanakan di Negara Dunia Pertama,
dimana lebih sulit dilaksanakan di Negara Dunia Ketiga, terutama terkait
orientasi reformasi pemerintah. Orientasi reformasi yang dilakukan pemerintah
untuk mengatasi hambatan dengan implementasi kebijakan seperti kelangkaan
sumberdaya, buruknya komunikasi lembaga di negara dunia ketiga. Dalam studi
ini, dijelaskan hambatan dalam kebijakan publik dapat dicari jalan keluarnya
melalui pengalaman Velasco selama rejim Peru (1968-1975) dimana itu merupakan
upaya yang dilakukan untuk melaksanakan reformasi agraris (pertanian). Selama
reformasi banyak tujuan dan aktor yang terlibat didalammnya, tujuan yang
berperspektif jangka panjang, termasuk didalamnya kebijakan untuk meningkatkan
produktifitas pertanian, serta
meningkatkan tujuan yang bersifat abstrak seperti keahlian dan kemampuan
pertani.
Lebih lanjut,
poin utama dari Grindle, reformasi pertanian ini membutuhkan kebijakan
desentralisasi, dengan beberapa situs yang tersebar merata. Sehingga
berdasarkan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa implementasi kebijakan
terkait kebijakan agraris, pemerintah Velasco dihadapkan pada tatanan yang
sulit. Itu nampak pada masalah dasar di negara dunia ketiga, kelangkaan
sumberdaya dan jaringan komunikasi yang buruk. Kendala yang paling berat,
adanya perselisihan politik diantara pemimpin militer yang tidak kunjung
menemukan jalan keluar. Dalam studi ini, langkah yang sering dilakukan adalah
dengan menyelaraskan dengan SINAMOS dan para pejabat cenderung untuk
bekerjasama dengan Departemen Pertanian melalui reformasi pemerintah.
Kebijakan ini
dilakukan terutama berkenaan dengan kebijakan reformasi agraria dilakukan di wilayah
daerah terpencil di mana jaringan komunikasi yang belum sempurna, perselisihan
di pusat hampir pasti mensyaratkan desentralisasi. Lebih lanjut lagi, kebijakan
yang diciptakan rentan dengan tunturan masyarakat. Dampaknya adalah SINAMOS dan
departemen pertanian sering bahkan tidak mampu menawarkan pelayanan seperti
bantuan transportasi, bantuan kantor, bantuan untuk proyek lokal.
Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya pemerinta Peru dalam
formulasi kebijakan sampai implementasi kebijakan dilakukan dengan cara menyusun
strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan refornasi agraris, dimana dalam
upaya formulasi dilakukan oleh SINAMAS dan departemen pertanian. Kebijakan
terkait reformasi agraris diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup dan
kesehajateraan para petani di Peru
BAGIAN EMPAT
“Proyek
Percontohan Dan Pilihan Strategi Pelaksana: Pembangunan Komunitas Di India”
Oleh
Gerald E. Sussman
Kurangnya sumber daya membatasi tersedianya pilihan
bagi negara berkembang untuk mengejar kebijakan yang bertujuan menekankan
perubahan sosial dan ekonomi. Setiap pilihan program nasional harus
mempertimbangkan dengan hati-hati; setiap program baru yang menyimpang secara
substansial dari praktek yang telah mengakar mungkin melibatkan resiko yang
cukup besar untuk kegagalan dan hilangnya sumber daya. Proyek percontohan telah
sering dianggap sebagai mekanisme yang berguna, karena investasi program dapat
lindungi sampai prototipe(model asli) sampai desain baru untuk diuji pada skala
kecil. Program pengembangan masyarakat di India pada periode pasca-kemerdekaan,
misalnya, yang didahului dengan uji coba pengalaman yang menawarkan pelajaran
tentang konsep dan operasi dari program berikutnya.
Pertanyaan umum yang dihadapi oleh Pejabat Publik di
India pada tahun 1947 adalah “bagaimana cara melaksanakan kebijakan perubahan
sosial dan ekonomi di tingkat akar rumput, terutama di daerah perdesaan?” Jumlah
perubahan yang diusulkan tercantum dalam berbagai rencana 5 tahun itu
mengesankan, tapi mesin untuk memberikan layanan dan memobilisasi dukungan
masyarakat kurang.
Sebagai salah satu catatan ahli dari USAID (lembaga
untuk Pembangunan Internasional), "tidak ada apa-apa di ujung jalur
kereta" yang akan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan
pembangunannya. Penciptaan infrastruktur di administrasi tingkat regional dan
lokal, memiliki hubungan yang kuat dengan lembaga perencanaan nasional, karena
itu akan menjadi penting untuk keberhasilan perencanaan pembangunan. Secara
tradisional, cara menyelesaikan masalah yang mencapai akar rumput adalah
melalui pemanfaatan mesin birokrasi yang ada. Tetapi struktur ini cenderung
menawarkan dengan model "terpusat”, instansi sektoral yang vertikal,
masing-masing dengan sendirinya didefinisikan secara sempit dari aktifitas di daerah
dan
Alternatif baru yang diperlukan yang akan memecahkan
dengan strategi implementasi tradisional dan undynamic, tetapi pada skala yang
akan memungkinkan cxperimentation tanpa komitmen dapat dipulihkan sumber daya. Bab
ini menyajikan studi kasus proyek percontohan dalam pengembangan masyarakat di
India serta analisis penggunaan dan penyalahgunaan pelajaran yang diambil
selama pengalaman percontohan dalam program nasional nanti pembangunan
masyarakat.
Konteks Sejarah Dari
Pembangunan Masyarakat Di India.
Upaya awal untuk membantu memperbaiki kondisi desa
di India mengambil dua bentuk: pelayanan pemerintah di bawah British Raj[1]
dan berbagai eksperimen dalam pembangunan pedesaan. Yang pertama menekankan
pada pengumpulan pendapatan dan memelihara perdamaian, dengan beberapa
kepentingan yang terbatas dalam fungsi pembangunan seperti pekerjaan umum,
pertanian, kesehatan, dan pendidikan. Tapi itu tidak sampai tahun 1930-an bahwa
upaya ini mendapat hambatan nyata. Perhatian terhadap kebutuhan pembangunan
berumur pendek karena letusan Perang Dunia II.
Pada puncaknya, administrasi dan sumber daya dasar
untuk membangun dalam setiap upaya pembangunan skala besar menjadi tidak
substansial. Program di lapangan sangat tergantung pada petugas pemerintah
kabupaten, yang fungsi utamanya melakukan pengumpulan pajak dan pemeliharaan
hukum dan ketertiban. Wilayah tanggung jawabnya sangat luas, seluas sekitar
1.500 sampai 2.000 desa dan dalam hitungan skala jumlah rakyat 1-3000000 orang.
Meskipun ada beberapa upaya untuk mendesentralisasikan kekuasaan di bawah
pemerintahan kolonial, pola pengembangan program, pengambilan keputusan, dan
otoritas masih bergerak dari atas ke bawah. Di bawah kabupaten, mesin birokrasi
tidak efektif Umumnya hanya ada satu representativ pemerintah yang memenuhi
syarat dari masing-masing kementerian untuk setiap keseluruhan sebesar
60,000-100,000 desa.
Upaya yang dilakukan hanya terkonsentrasi pada
pembangunan fisik bukan pada pembangunan manusia. Tidak ada upaya nyata untuk
melibatkan partisipasi lokal dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan
dan, pada kenyataannya, hubungan pemerintah untuk rakyat dipelihara untuk
tergantung. Selain itu, upaya pemerintah di daerah pedesaan, dilakukan oleh
departemen terpisah yang bersangkutan di koordinasi. Lingkup masalah
pembangunan setelah kemerdekaan sangat besar. India, pada tahun 1951, telah
dihuni oleh hampir 360 juta orang, 80 persen di antaranya tinggal di daerah
pedesaan. Dari jumlah ini, diperkirakan bahwa lebih dari 20 juta yang secara
permanen menganggur sementara yang lain 3 juta sedang ditambahkan ke angkatan
kerja setiap tahun. pendapatan per kapita diperkirakan sekitar S50-60 tahun.
Dari jumlah tersebut, tidak kurang dari 80 persen dari keluarga petani anggaran
belanjanya cukup untuk konsumsi makan. Buta
huruf sekitar 84 persen secara nasional dan 90 persen di daerah pedesaan. hasil
pertanian termasuk di antara yang terendah di dunia-670 kilogram per hektar
dalam gandum, 690 pada jagung, dan 1103 di beras .: Tabel 4-1 menunjukkan
Ranking India di antara sejumlah negara berkembang di hasil panen tersebut per
hektar. Dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 produktivitas
pertanian India antara 26 Negara Berkembang 1951
Hasil Panen
|
Jumlah Negara Yang
Melaporkan
|
Ranking India
|
Gandum
|
24
|
21
|
Jagung
|
24
|
23
|
Padi
|
20
|
20
|
Sumber: AS departemen pertanian, Ekonomi
Research Service, Chan di bidang pertanian di 26 Nations Development 1948 ke
1963. Laporan Ekonomi Pertanian Negeri Nomor 27, November 1965, pdss. 46,
Proyek Percontohan.
India beruntung memiliki model yang sangat baik
untuk digunakan sebagai titik acuan untuk program pengembangan masyarakat
Proyek Etawah. Proyek percontohan ini mulai beroperasi pada bulan Oktober 1948
di 64 desa dari Kabupaten Etawah dari Uttar Pradesh. Albert Mayer, dengan
timnya sendiri dan memilih dirinya sendiri, merancang dan memimpin proyek.
Mayer mengajukan keterampilan, semangat, dan keterlibatan pribadi. Lebih
lanjut, ia menikmati kepercayaan dan dukungan dari perdana menteri dan menteri
Negara Uttar Pradesh.
Mayer meletakkan dasar-dasar teknik operasional dan memasukan
“kunci” yang digunakan bekerja di akar rumput atau masyarakat tingkat bawah.
Singkatnya, ia dijelaskan panduan berikut:
1.
Menilai keadaan setempat dengan dimulai dari
"merasa butuh" dan secara bertahap bergerak pada kebutuhan yang disebabkan,
berdasarkan pendekatan yang direncanakan dengan cermat dan tamat.
2.
Melangkah hanya secepat perkembangan yang
dapat di serap masyarakat. Untuk melakukan hal ini memerlukan studi yang cermat
terhadap keadaan setempat. Perencanaan yang sistematis, dan pengaturan
realistis prioritas.
3.
Jadilah secara menyeluruh-merakit sumber
daya dan bergerak sistematis langkah demi langkah, mengambil waktu untuk
mengevaluasi hasil dan menilai kekurangan; bekerja secara intensif, menjenuhkan
daerah tujuan: menekankan kerja tim, komunikasi terbuka antara staf dan garis
fungsionaris, dan memberikan dukungan untuk yang kedua.
4.
Dalam bekerja pemerintah dengan warga
desa, melibatkan mereka, mengembangkan inisiatif mereka, dan menggunakan sumber
daya lokal sebanyak mungkin.
Mayer menunjukkan bahwa tes penting untuk menentukan
keberhasilan atau kegagalan Proyek Etawah adalah masyarakat akan melanjutkan
program jika dukungan luar ditarik dan apakah program ini berhasil, adalah dapat
direplikasi di wilayah lain. Mungkin dua faktor yang paling ditekankan dalam efektivitas
pelaksanaan dari Program pemerintah ini adalah melatih kompetensi individu dan jumlah jalur ketersediaannya. Proyek ini menekankan rekrutmen dan
penyaringan yang cermat dan membangun program bergengsi yang menarik para
personil yang berkualitas dan memiliki motivasi tinggi pada setiap tingkat
operasional.
Tetapi sementara staf perpanjangan bisa mendidik
warga tentang pilihan untuk pengembangan mereka sendiri. Pemerintah masih harus
memenuhi janji tersirat bahwa masukan untuk mempertahankan pembangunan akan
tersedia. Lebih dari sekali Mayer dan stafnya harus melakukan pertempuran
dengan pemerintah untuk mengamankan prinsip-prinsip operasional. Proyek ini
meninggalkan desain operasional yang sehat dan benar-benar teruji selama periode
keterlibatan langsung Mayer. Selain prinsip replikasi, yang merupakan kriteria
utama yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan proyek. Mayer dan stafnya
berusaha untuk memenuhi tujuan berikut:
1.
Personil yang akan cermat dipilih dan
diberikan pelatihan yang memadai
2.
Setelah staf berada pada posisi, berarti
pemindahan tradisi lama personil harus dihindari.
3.
Pekerja proyek akan menerima tugas
mereka sebagai pelayanan pada masyarakat, dan menghindari perilaku tradisional yang
mendominasi.
4.
Hubungan antara pekerja yang berada di lapangan
akan "terbuka," yang memungkinkan untuk memberikan umpan balik pada
masalah di lapangan sehingga akan memberikan efektivitas pada penanganan
masalaha yang disarankan.
5.
Target akan didasarkan pada pemahaman
yang tepat tentang kondisi di lapangan, bukan dipaksakan dari atas, dan maka
saatnya-diagendakan untuk dijadikan sebagai panduan untuk tindakan.
6.
Proyek akan membangun kemandirian lokal
dan sumber-sumber lokal pasokan bila memungkinkan.
7.
Yang terakhir akan berusaha untuk
mendapatkan kerjasama sepenuhnya dari departemen pemerintah lainnya di tingkat
kabupaten dan tingkat lokal.
8.
Sebuah elemen penting adalah
keterlibatan desa memulai dan mengatur kerja untuk memastikan kepemimpinan dalam
program.
Di antara pelajaran yang diambil dari Proyek Etawah
oleh pejabat program adalah poin-poin penting berikut:
1.
Penekanan pada program ekonomi adalah
penting.
2.
Target untuk pekerjaan harus diperbaiki
oleh pejabat lokal dan petani dan bukan dari atas.
3.
Setiap pekerja dari bawah ke atas harus
tahu apa yang telah direncanakan dan apa perannya dalam total rencana.
4.
Pekerja yang serba bisa (multitalent) adalah pola yang paling
cocok staf yang diposisikan di tingkat lapangan.
5.
Mempelajari kesulitan pekerja dan memecahkannya
kemudian ditempatkan pada urusan penting.
6.
Membangun kontak pribadi dengan penduduk
desa untuk memenangkan kepercayaan mereka adalah sama pentingnya.
Replikasi Proyek
Percontohan.
Kritik umum proyek
percontohan adalah bahwa mereka melakukan
pendekatan yang lebih ideal daripada mudah dicapai
meskipun mereka mungkin bila
dikelola dengan baik, memberikan hasil yang mengesankan. Mayer memahami masalah ini dan kebutuhan untuk
mereproduksi mekanisme organisasi yang memberi hasil ini. Oleh karena itu ia
membuat replikasi nya kriteria terkuat untuk menilai keberhasilan.
Sejak elemen kunci organisasi Etawah ini telah
diidentifikasi, modus operasinya membuat dikenal, dan diuji di lapangan hasilnya,
sebuah "blueprint" untuk
mengatur upaya nasional. Percobaan yang ditawarkan dan jawaban yang koheren dan
pertanyaan yang persuasif, “Apa cara terbaik untuk melakukan pengembangan
masyarakat?”
Mengingat lingkungan politik ini, manajemen yang berbakat
akan mampu dengan baik mengembangkan dan melaksanakan program-program untuk
potensi mereka secara maksimal. Namun, perubahan ke skala nasional mengangkat
masalah yang berbeda pada mereka dari ukuran proyek dan durasi yang terbatas. Pilihan
pada prioritas nasional melibatkan pengeluaran sumber daya modal dan belanja yang
berat. Pertanyaan pengambil keputusan mungkin karena menemukan diri mereka tidak
bertanya, Apa cara terbaik untuk melakukan pengembangan masyarakat? tapi, Apa
cara yang paling layak secara politis dan birokratis untuk melakukan
pengembangan masyarakat?
Pilihan yang dihadapi para pembuat kebijakan India selama
hari-hari awal pengembangan masyarakat adalah antara cakupan umum dengan sumber
daya yang terbatas per unit operasi atau cakupan yang terbatas dengan lengkap
sumber daya per unit operasi. Saat mereka
menimbang dampak dari proyek 55 komunitas yang diluncurkan pada tahun 1952
untuk menangani 16.500 desa, mereka menilai cakupan tersebut dapat meringankan negara
lebih dari setengah juta orang. Bahkan direncanakan 90 proyek masyarakat akan
hanya mencapai lima persen dari populasi. " Oleh karena itu mereka
bersedia untuk mencairkan pelaksanaan program yang efektif untuk mencapai
prioritas yang lebih tinggi dari cakupan umum. Sebuah upaya yang terkonsentrasi
karena jenis kebijakan ini memiliki nilai politis dalam jangka pendek, yaitu untuk
pesta nasional ingin membangun dukungan akar rumput nya.
Kalkulasi Dari
Pengambilan Keputusan.
Bahwa dalam mempertimbangkan kebijakan ini Nehru merujuk
pada keputusan yang menarik dari pendahulunya Mahatma Gandhi dan filsafat
sosialis; dari perannya dalam perang menuju kemerdekaan: dan dari komitmennya
untuk melakukan sesuatu bagi jutaan pedesaan India. Ada beberapa alasan untuk
percaya ia berharap pembangunan masyarakat akan mengantar sebuah revolusi
sosial yang akan mengubah status quo pedesaan yang konservatif. Dan pada
intinya perhitungan dari pengambilan keputusan dalam pengembangan masyarakat
memiliki nilai politis. Hal ini disebabkan keinginan pimpinan untuk memperkuat
organisasi partai di daerah pedesaan, untuk Nehru bergerak maju beberapa tahun,
juga kerinduannya untuk melihat visinya India baru. Dalam kebijakannya
Nehru mewakili dukungan politik untuk Program nasional pengembangan masyarakat,
dan V. T. Krishnamachari
mewakili dukungan terkuat birokrasi.
BAGIAN
KELIMA
“Dari
Proyek Percontohan Untuk Program Operasional
di
India : Masalah Transisi”
oleh David F.
Pyle
Dalam
bab ini membahas tentang studi kasus Poshak yang mengidentifikasi beberapa
alasan mengapa skema percontohan jarang berlangsung lebih awal dari tahapan
tes. Generalisasi dari kasus ini adalah mungkin untuk menunjukkan beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan peluang untuk
proyek-proyek serupa di negara-negara berkembang untuk diadopsi dan
diimplementasi secara lebih lanjut. Apa yang disarankan disini tidak akan
memecahkan masalah proyek percontohan hadapi di masa transisi, ini hanyalah
sebuah upaya untuk megidentifikasi hal yang perlu dipertimbangkan di keadaan
genting.
Masing-masing
pihak yang terlibat dalam proyek harus memiliki pemahaman yang jelas tentang
apa tujuan yang akan ingin dicapai proyek ini. Kegagalan dalam menentukan
tujuan proyek akan menghasilkan kekecewaan terhadap peserta atau anggota yang
menaruh harapan terhadap proyek ini. Jika skema seperti Proyek Poshak adalah
untuk mencapai tahap implementasi yang lebih luas, perencanaan yang cermat dan
bijak harus dilakukan sebelum penelitian ini diluncurkan. Proyek Poshak
memiliki skema yang rumit yang bergantung pada input modal, alokasi yang besar,
dan banyak personil yang sangat terlatih sehingga sulit untuk diterapkan di
negara berkembang.
Faktor
yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan proyek ini adalah seperti beban
kerja personal, moral, kendala waktu, struktur administratif pemerintah dan
prosedur, serta kapasitas untuk melakukan skema dalam skala besar, pasokan
lokal dan fasilitas transportasi. Semua faktor ini dapat mempengaruhi kemampuan
pemerintah untuk melaksanakan skema secara permanen. Perencana harus realistis
dalam penilaian mereka dari kemampuan lembaga untuk bertanggung jawab dalam
mengadopsi skema.
Tindakan
pencegahan harus dilakukan untuk membatasi pengaruh organisasi eksogen,
personil, peralatan, dan perlengkapan dalam pelaksanaan awal proyek.
Ketergantungan pada kelompok asing atau importer, dan komoditas canggih mengarah
pada bahwa lembaga tidak bisa melanjutkan skema tersebut sendiri. Lebih baiknya
administrator lokal lebih digunakan guna mengurangi ikut campur lembaga asing.
Birokrat
peringkat menengah biasanya diberikan tanggung jawab untuk kemajuan skema,
ketika pejabata eselon yang lebih tinggi
menyibukkan diri dengan kegiatan politis yang dianggap hal yang lebih
penting. Terlalu sering pemerintah setengah hati terlibat, terlihat pemerintah
seperti terlibat dengan menunjukkan melakukan sesuatu terkait masalah namun
kenyataannya mereka tidak melakukan apa-apa.
Kurangnya
minat dalam proyek percontohan ini menghasilkan dua kecenderungan pada bagian
kolaborasi organisasi. Pertama, untuk membentuk hubungan yang erat dengan para
pejabat individu dalam posisi kekuasaan yang menunjukkan minat dalam
kekhawatiran yang sama sebagai kelompok sponsor. Kedua, untuk institusi luar
untuk mengelola proyek independen yang diharapkan untuk dilakukan implementasi
di masa depan.
Proyek
ini menunjukkan hasil yang mengesankan karena kepentingan intensif dan
pekerjaan utama yang efisien dan efektif dari perusahaan. Disarankan bahwa
setelah proyek ini telah mencapai tingkat keberhasilan yang memuaskan,
pendekatan yang digunakan harus lebih sistematis dan nantinya dapat dijadikan
bagian dari fungsi normal dari pemerintah. Masa depan proyek tergantung pada
maneuver terampil selama periode transisi itu sendiri. Dalam bab ini juga
menujukkan bagaiman proyek Poshak tidak mendapatkan perhatian yang tepat,
BAGIAN
KEENAM
“Desentralisasi
Administratif dan Implementasi Kebijakan Perumahan (Housing Policy) di Colombia”
Oleh Irene Fraser Rothenberg
Desentralisasi
administratif adalah reformasi struktural yang paling sering diusulkan untuk
negara-negara Dunia Ketiga (berkembang). Hampir semua dari tiga belas negara
yang tercakup dalam studi Walsh telah diusulkan atau sebenarnya diambil
beberapa ukuran secara eksplisit dirancang untuk dekonsentrasi otoritas
pemerintah dan memperkuat unit lokal dari pemerintah. Sebagian besar pendukung
desentralisasi tidak memperhitungkan pengaturan organisasi dan politik pada
penerapannya di bagian lokal (daerah) dan provinsi. Kegagalan untuk
mempertimbangkan variabel seperti dalam konteks desentralisasi telah
menyebabkan tiga kekeliruan yang terus berlangsung mengenai kewenangan dekonsentrasi
administratif yakni pertama, desentralisasi dipandang sebagai proses tunggal, daripada
satu set multi-dimensi sebuah hubungan. Kedua, desentralisasi dan sentralisasi
diperlakukan sebagai lawan dalam sebuah kondisi zerosum, meskipun pengalaman
praktis menunjukkan bahwa peningkatan peran lokal tidak selalu berarti
penurunan kekuasaan pusat dan sebaliknya. Ketiga, upaya yang sia-sia dibuat
untuk merumuskan pengaturan secara optimal untuk semua program dan setiap saat,
tanpa memperhatikan variasi dalam nilai-nilai, teknologi dan geografi.
Kesalahan-kesalahan
yang sering berulan ini mungkin menjelaskan mengapa di sebagian besar negara,
tindakan desentralisasi memiliki dampak kecil pada pola yang ada dalam
pengambilan keputusan dan kontrol. Sebagai pusat negara dunia ketiga yang
menjalani tekanan untuk memperluas kekuatan otoritas lokal dan pada saat yang
sama meningkatkan respon pemerintah untuk masalah perkotaan, Kolombia
memberikan kesempatan yang baik untuk menguji beberapa asumsi mendasar tentang
kebajikan desentralisasi. Meskipun badan legislatif di setiap tingkat
pemerintahan terpilih oleh konstituen masing-masing wilayah geografis, cabang
eksekutif berbentuk hirarkis.
Karena
banyak negara dunia ketiga telah menemukan, sentralisasi vertikal tidak
menjamin kesatuan politik, untuk itu sering disertai dengan divisi struktural
dan partai, khususnya di tingkat lokal. Bahkan saat mereka meratapi satu produk
dari sentralisasi, rakyat Kolombia mengalami sentralisasi yang berbeda pada
tingkat regional. Karena konsentrasi nasional terhadap kekuasaan bertepatan
dengan konsentrasi daerah penduduk, argumen decentralist memperoleh arti khusus
di daerah-daerah perkotaan besar.
Sebelum
periode yang dipertimbangkan diatas, hampir semua program perumahan pemerintah
untuk berpenghasilan rendah di Cali dilaksanakan oleh ICT (Institute of
Territorial Credit). Susunan structural ini menguntungkan untuk ICT dalam
banyak hal, karena pelaksana di lapangan memiliki sedikit kekuatan, faksi-faksi
politik lokal dan kelompok-kelompok kepentingan tidak bisa menerapkan tekanan
pada tingkat lokal. Meskipun ICT nasional adalah satu-satunya lembaga Kolombia yang
melaksanakan program perumahan publik skala besar, kota memiliki wewenang
formal yang lebih dalam penggunaan lahan dan perumahan bahkan sebelum program
desentralisasi administrasi dimulai. Oleh karena itu, diberdayakan badan khusus
untuk melaksanakan sendiri kebijakan perumahan berpenghasilan rendah yaitu
Instito de Vivienda de Cali (Invicali).
Invicali
mempunyai fungsi spesifik yakni secara bertahap menghilangkan rumah yang tidak
sehat atau berbahaya dari daerah perkotaan, melalui program yang tepat menghilangkan
kawasan kumuh, konstruksi, dan rehabilitasi. Semua kekuatan kebijakan perumahan
yang efektif ini masih dipegang oleh kantor pusat ICT nasional karena kontrol
atas dana.
Kasus Cali
menunjukkan sinyal bahaya seperti berikut:
- Pemerintah daerah dibagi secara structural
- Pemerintah daerah dibagi secara politis
- Sistem partai patronase berorientasi atau lebih dominan
- Lembaga lokal historis tidak responsif
Kasus
Cali menunjukkan bahwa empat faktor ini secara agregat bisa memperkirakan
bencana bagi upaya desentralisasi. Walaupun secara terpisah, faktor-faktor
tersebut mungkin menyulitkan. Pelajaran dari Invicali adalah bahwa peningkatan
fragmentasi otonomi pemerintah daerah pasti memperlambat laju implementasi. Bahkan
pengaruh yang substansial pada ICT atas alokasi dana Invicali tidak bisa
mengalahkan kekuatan inersia. Meskipun ICT bisa mencegah lembaga lokal dari
melakukan hal yang salah, hal tesebut tidak memiliki kesempatan untuk mencegah
kelambanan.
Otonomi
daerah dapat dikejar sebagai tujuan itu sendiri, sebagai nilai lebih penting
daripada hasil kebijakan substantif. Jika menganjurkan sebagai sarana,
bagaimanapun, pengambil keputusan harus mempertanyakan daripada menganggap
hubungan antara desentralisasi administrasi dan keberhasilan pelaksanaan
kebijakan publik
BAGIAN
KETUJUH
“Kontrol
Desentralisasi dan Implementasi Kebijakan : Kasus pada Listrik Pedalaman di
Rajashastan”
Oleh Susan G. Hadden
Desentralisasi
adalah salah satu bentuk reformasi yang paling sering banyak dalam administrasi
publik. Ini adalah keuntungan utama yang menjadikan peningkatan partisipasi, responsifitas,
dan efisiensi dalam pemerintahan. Meskipun
desentralisasi adalah dukungan untuk meningkatkan kinerja diseluruh proses
kebijakan, ini kontribusi besar yang datang pada tahap implementasi. Ini karena
desentralisasi membolehkan secara resmi pejabat untuk mengubah sedikit
programnya untuk bertemu penduduk lokal yang membutuhkan dan memberikan
keuntungan sebuah perubahan untuk berpartisipasi dalam implementasi. Dengan
demikian desentralisasi meminimalkan
efek dari sebagian besar rintangan implementasi seperti kondisi lokal yang luar
biasa, kuatnya oposisi yang menandakan atau berakhirnya kelompok lokal atau
ketidakmampuan untuk memprediksi dan mengontrol banyaknya interaksi pengambilan
keputusan oleh bermacam-macam kelompok.
Di
India potensi keuntungan dari peningkatan kekuatan efisiensi yang berkaitan
dengan desentralisasi dimulai semenjak priode kolonial dan ideal Gandhi tentang
kemandirian desa. Perencanaan dari bawah telah menjadi bagian dari proses
pengambilan kebijakan sejak 1959, dimana Rajasthan menjadi negara pertama yang
menginisiasi “panchayati raj”. Ini “rejim dari dewan desa yang terdiri pada
politik yang berkesinambungan dan struktur administrasi dimulai di desa dan
pemblokiran dari atas ke bawah dan
kemudian pada level negara. Struktur politik pada level mudah adalah
komposisi repesentatif dari kelanjutan level terendah. Sama seperti negara pada
umumnya, india juga mempunyai masalah dengan tujuan pembangunan yang sering
mengambil tempat kedua kebijakan politik dalam implementasi kebijakan.
Studi
kasus ini menguji pada efek desentralisasi sebagai sebuah strategi untuk
implementasi pada program kebijakan yang
penting di india, listrik di pedalaman (RE). Penekanan pada kasus ini adalah
pada efisiensi dan hubungan partisipasi lokal dan responsifitas biografi.
Program listrik dipedalaman listrik di Rajashastan efiesiensi tidak
mengorbankan partisipasi dan responsifitas. Dalam kasus ini desentralisasi
sangat terkontrol. Level administrasi yang tinggi sesuai dengan kriteria untuk
mewujudkan tujuan prpgram ini. Pada waktu yang sama kekuasaan mengkoordinasi
program didelegasikan pada badan pemerintahan dilevel rendah.
Kondisi
geografis di Rajashastan sebagian besar terdiri dari gurun pasir, menyebabkan
daerah ini kekurangan makanan karena disebabkan oleh kurangnya curah hujan.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan pembangunan saluran bawah tanah yang murah, dan
dapat digunakan untuk irigasi. Petani bisa memanfaatkan pompa elektrik untuk
meningkatkan produksinya, sayangnya material dan dana yang teersedia hanya bisa
mencukupi dua setengah persen dari tiga puluh dua ribu desa di Rajashastan per
tahun nya. Dalam kasus ini tidak hanya aspek ekonomi tapi juga tujuan
politikknya yang diperhitungkan. Sumplay pada 1948 sebagai bagian responsibilitas
dari pemerintah bagian dan pusat. Negara sebelumnya mendirikan badan
kelistrikan negara atau (SEBs) namun sangat minimal sumber saya manusia. Namun
tingginya produksi dan distribusi menyebabkan (SEBs) bangkrut. Perbedaan
penanganan di DPR menyebabkan terkendala penyelesaian masalaah ini. Sedangkan
petani di Rajashastan sangat terbuka atas listrik pedalaman atau Rejim ini. Ini
tidak hanya membantu mengatasi
permasalahan pertanian tapi juga meeningkatkan kwalitas kehidupan desa.
Proyek
ini diadakan di Rajahastan karena dia memiliki ekonomi dan politik. Kriteria
ekonomi karena Rajahastan memiliki
potensi pertanian dan dari kriteria politiknya adalah setiap orang sadar bahwa
mereka harus ikut serta atau berkontribusi pada setiap kebijakan. Pada tahun
1969 desentralisasi secara penuh diterapkan. Potensial produk harus sesuai
dengan gabungan data tentang tanah saluran bawah tanah termasuk juga poulasi
dan jarak penghubung antara satu desa dengan yang lain. Sedangkan kriteria
politik dilihat dari dua kaategori besar. Efek desentralisasi yang seperti ini
meminimalisir biaya dan mempermudah informasi antara masyarakat, pemerintah,
dan teknisi dari program listrik pedalaman (RE). Secara control desentralisasi
dapat mewujudkan tujuan ekonomi dan juga tujuan politik. Pada akhirnya kontrol
desentralisasi meminimalisir masalah dari iplementasi kebijakan yang disebabkan
oleh konflik. Kasus Rajashastan memberikan saran bahwa pengurangan kontrol
meninmbulkan tiga kemunkinan penyebab terjadinya rendahnya implementasi : biaya
yang tinggi pada informasi isolasi pada pengambil keputusan dan tujuan konflik.
Mengikuti penjelasan diatas bahwa kontrol desentralisasi harus disesuaikan
dengan tempat dan situasi. Bagaimana pun pengurangan kontrol desentralisasi di
area lokal memiliki deskresi atau penyebab, oleh karena itu kita harus membantu
untuk meninggalkan dan berusaha membuka jalan untuk pengambilan keputusan
secara demoktrasi. Di Rajahastan struktur publik dari kriteria teknik dan
pencampuran elected atau wakil administrative (wakil ini bisa datang dari wakil
legislatif ,desa, atau distrik yang membantu mengurangi akibat perbedaan).
Kontrol desentralisasi tidak berarti mekanisme dan keuntungannya tidak
membuahkan hasil. Ini adalah contoh penerapan pembangunan ekonimi dari gabungan
antara tujuan peogram dan hasil progrsm politik.
BAGIAN
KEDELAPAN
“Pembatasan
Politik Pada Pembangunan Pedesaan Di meksico”
Oleh Merilee S. Grindle
Diantara pelibatan pusat aktor dalam program
pemerintah eksekutif didunia ke3 adalah sebuah peresmi dimana dapat disebut
sebagai “implementor”. kondisi ini sering kali diterapkan untuk administrator
pada level yang berbeda dalam hirarkibirokrasi ini digunakan merujuk pada
kesatuan resmi level menengah dimana yang mempunyai respon sibility atau tanggung
jawab untuk menginplementasi program secara lebih mendalam, relatifitas
membatasi area-sebuah negara sebuah distrik, provinsi atau area
urbanisasi-dimana diadakan responsibilitas untuk tujuan program oleh atasan
mereka.
Penggabungan individu individu-untuk tingkat pertama
dan tingkat kedua dalam lingkup administrasi-memperbaiki frekuwensi kontrak
dengan atasan nasional ataupun regional, tapi juga berkesempatan untuk
berinteraksi dengan klien dari agen pemerintah dan lawan program tersebut pada
level lokal. Implementator
dapat memerintah dengan kekuatan level atasan nasional dengan menunjukkan
kewajiban dalam persetujuan dengan kesemua kebijakan atau tujuan program.
tujuan secara umum bisa diucapkan oleh pemimpin politik, penutupan dalam
regisrasi atau pokok dengan perencanaan program pesifik jadi, implementator,
aktor kunci dalam pencapaian keberhasilan program sebagai.
Pada saat yang sama betapapun, berokasi nasional
sering meminta agen mereka dalam penyelesaian konflik pada level subnasional. Politik
elite nasional menggunakan keduanya yakni masyarakat dan regin militer ini juga
menunjukkan dengan kepentingan personal mereka dalam memperbaiki tekanan secara
damai atau lembut yang terjadi dalam organisasi dan ini melindungi mereka dari
masalah, stres dan tuntutan atau ketidaksetujuab politik atasan mereka. Hal ini seringkali
mereka mendengarkan pemimpin politik dan elite ekonomi dalam level lokal dimana
mereka yang memiliki akses perlindungan nasional, uang untuk penawaran
birokrasi pengaruh untuk mengintimidasi mereka capter ini mendeskripsikan
bagaimana dan kenapa mengapa sumber daya program sering dialokasikan pada
tingkat lokal oleh penggambaran sebuah model politik.
Dan konteks administratif dimana implementor level
menengah birokrasi yang membuat keputusan. Dan level resmi nasional dimeksico
untuk mengimplementasikan sektor kebutuhan hidup pada perhitungan populasi
pertanian. Fokus perhatian pada arena atministrator dimana aksi sangat
berpengaruh oleh event politik lokal chapter ini menempatkan pada kondisi
kenapa konten kebijakan alokasi sumber daya dapat merubah secara signifikan
selama proses implementasi pada level lokal.
Study kasus dimeksico
ini berdasarkan pada tingkah laku area penelitian dimeksico pada tahun 1974 dan
1975, dimana pembuat kebijakan nasional, maneger program, dan implementor
menugaskan pada state negara dan lokal level untuk diwawancarai. Demonstrasi masalah
politik dapat dilihat dari program dengan tujuan redistributif. Dan ini
mengindikasikan pembatasan pada biaya administrator dengan pemastikan penerima
status rendah berdasarkan keuntungan dari barang dan pelayanan pemerintah.
Dimeksico dimana batasan yang jelas tujuan kebijakan
mencapai kapan implementasi program pembangunan pedesaan pada kekuasaan dan
prerogatif kelompok dan kepentingan dukungan untuk berlangsungnya stabilitas
dari regin politik. Diantara
berbagai macam faktor yang dominan ataupun tidak pada proses formulasi pada
level nasional ini akan ditentukan keuntungan adalah tampilan dari area
implementor administrasi. Ada atau tidaknya respon didalam perkiraan program
tergantung pada permintaannya sebagaimana resepsinya untuk capaian terbaikya.
Sebagai alternatif strategi, studi pada iplementasi
kebijakan pembangunan di meksiko menyarankan bahwa administrator nasional boleh
memanipulasi pengambilan keputusan nasional. Sebagai sebuah strategi aliensi
orientasi pembangunan nasional atau administrasi nasional dan keuntungan status
rendah mungkin bisa memperbaiki performannya menjadi lebih baik respentatif
negara CONASUPO Pada intinya sumber daya dibutuhkan untuk pencapaian tujuan
kebijakan,sumber daya juga dibutuhkan untuk pembangunan dan perbaikan dukungan
politik, atau untuk menyelesaikan konflik elite atau subelite. Kapasitas klien
status rendah untuk keuntungsn dari kebijakan pemerintah rejim.
BAGIAN
SEMBILAN
“Politik
Perumahan Rakyat di Nairobi”
Oleh Nelle W. Temple
Tujuan
dari kebijakan perihal perumahan rakyat telah diimplementasikan pada masyarakat
yang membutuhkan dan memiliki penghasilan yang kecil di Nairobi. Kota Nairobi
adalah sebuah peninggalan masa kolonial, dan ditemukan pada akhir tahun 1890an.
Pada saat itu, Nairobi merupakan pusat administratif dan pusat perdagangan dari
masyarakat Inggris yang diharapkan menjadi suatu “negara kulit putih” bagi
masyarakat pribumi Eropa. Akses untuk kesempatan ekonomi, tempat tinggal dan
pola sosial dikelompokkan berdasarkan ras, dimana orang Asia menduduki posisi
tengah diantara orang Eropa dan Afrika. Dengan meningkatnya populasi di Nairobi
antara tahun 1963-1973, kemudian menjadikannya sebagai kota perdagangan
internasional. Konsekuensinya, Nairobi kemudian menjadi kota yang sangat padat
dengan jumlah urbanisasi yang tidak sejalan dengan jumlah perumahan dan
fasilitas yang tersedia. Kemudian pada tahun 1964 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) diminta untuk menyiapkan suatu laporan pada kebutuhan rumah nasional,
yang dinyatakan bahwa kurang dari 3 persen keluarga Nairobi Afrika memiliki
rumah, 52 persen menyewa akomodasi, sementara 45,5 persen tinggal di rumah
fasilitas bagi para pegawai.
Pejabat
pemerintah beranggapan bahwa rumah dengan harga yang murah akan menjadi
prioritas utama dari kebijakan rumah publik. Namun pada kenyataannya, tujuan
ini tidak terwujud dan program perumahan sektor publik di Nairobi ditekan
menjadi biaya perumahan dengan biaya menengah keatas. Apa yang dialami oleh
Nairobi adalah salah satu ciri khas dari banyak kota di negara dunia ketiga.
Karena pemimpin politik, khususnya pejabat publik biasanya adalah anggota dari
para elit ekonomi di negara berkembang, dan mereka akan lebih menyesuaikan diri
pada kepentingan grup daripada sektor lain dari masyarakat.
BAGIAN
SEPULUH
“Kegagalan
Pengaruh Pemberantasan Pemukim Liar di Brasil”
Oleh Janice Perlman
Dalam masyarakat terbuka, konstituen yang
terorganisasi dengan baik sering dapat mempengaruhi program atau arah kebijakan
yang memiliki akses langsung melalui dukungan pada mereka baik dengan
representasi, negosiasi, atau konfrontasi. Dalam sebuah rezim otoriter, namun,
hal ini jarang jika pernah mungkin. Akses ke pengambil keputusan sangat
terbatas, dan upaya pengaruh ditangani dengan tidak melalui responsif tapi
represi. Seperti Juan Linz telah menunjukkan, itu adalah dalam sifat rezim
otoriter untuk meminta penduduk yang diam dan patuh. Ketika rakyat tidak
menyetujui, sanksi berat yang dibawa untuk menanggung. Bab ini menjelaskan
upaya oleh satu kelompok konstituen dalam rezim otoriter untuk mencegah
pelaksanaan kebijakan yang akan hancur total cara hidup.
Ironinya dari situasi ini adalah bahwa kebijakan
yang diterapkan menciptakan ramalan, sehingga timbul justru masalah-masalah dan
kecenderungan pengaturan yang destruktif. Yaitu ghairah untuk mengontrol dan
menimbulkan dampak yang signifikan pada aspek sosial, politiical, dan biaya
ekonomi untuk sebuah sistem. Contoh
kasusnya adalah di Negara Brazil, dan isu spesifiknya adalah bahwa kebijakan
perumahan untuk satu juta penduduk liar yang tinggal di Favelas[2]
(Kota Kumuh) di salah satu wilayah Rio de Janeiro pada tahun-tahun 1968-1969. Brazil
memiliki salah satu Kota yang tingkat pertumbuhannya tertinggi di Amerika
Latin. Seperlima dari seluruh penduduk bangsa menjadi buruh migran di lingkungan
kota pada dekade 1960 dan tidak ada indikasi penurunan baik jumlah mutlak atau
tingkat migrasi di tahun 1970-an.
Angka resmi baru-baru ini memperkirakan migrasi perkotaan
pedesaan pada tingkat 1.300.000 orang per tahun. Sembilan wilayah metropolitan
utama di negara Brazil, Rio de Janeiro adalah salah satu kota yang memiliki
pertumbuhan penduduk tercepat dan menunjukkan suatu masalah yang paling
mencolok yaitu disebut sebagai "hyperurbanization”. Jumlah yang besar ini jadi beban berat bagi badan negara yang
mengurus kependudukan.
Kasus Untuk
Favelas
Kemungkinan diusir dari rumah dan komunitas mereka sebagian
penduduk akan favela dengan rasa takut. Sikap mereka(para imigran) terhadap
pemindahan hanya dapat dipahami jika disadari bahwa, mengingat kendala ekonomi
di mana mereka bekerja, favela adalah solusi fungsional untuk banyak masalah
besar ini. Lokasi pusat Favela umumnya ditempati oleh warga dalam jarak dekat
dari pasar, pekerjaan terbaik dan beberapa peluang untuk memperoleh pekerjaan
yang aneh di saat menemui masalah keuangan. Favela memberikan sebuah komunitas
di mana teman-teman dan tetangga dapat diandalkan untuk saling memberikan pertolongan:
selalu ada seseorang untuk meninggalkan anak-anak; tetangga yang akomodatif
dengan kulkas di mana susu bayi tetap dapat segar meskipun di musim panas;
seseorang yang memiliki mesin jahit untuk bisa dipinjam.
Sementara penduduk Favela harus
menerima kenyataan, bahwa mereka bisa dipaksa pindah tempat tinggal kapan saja.
Yang melakukannya bukan badan negara atau pemerintah kota, melainkan orang lain
yang juga perlu tempat tinggal. Orang yang diusir dari tempat tinggalnya, tidak
bisa menuntut hak kepemilikan. Dalam favelas
tua, seperti Catacumba, favelado sering harus membayar mantan penyewa di mana
saja dari beberapa dolar sampai seratus dolar, hal tersbut untuk hak istimewa,
sekali ini dibayar, tidak ada biaya lebih lanjut. Beberapa harga pembelian
dibayar oleh 55 persen dari penduduk sekarang Catacumba, 50 percent dari Nova
Brasilia, dan 19 persen dari Caxias. Sebagian besar sisanya dalam setiap kasus
membangun gubuk mereka sendiri. Perumahan sendiri dibangun, sebagian secara bersama
dengan kooperatif dibangun fasilitis masyarakat.
Kebijakan
pemerintah Terhadap Favela
Dari sudut pandang pemerintah, favelas selalu dilihat
sebagai sumber masalah daripada solusi bagi negara. Artinya memang menjadi
beban negara. Penampilan pertama dari favelas pada tahun 1930 dan awal 1940-an,
kebijakan pemerintah telah mencegah kelahiran mereka artinya menghambat
pertumbuhan mereka dan mempercepat kematian mereka. Bahkan di bawah Getulio
Vargas, pahlawan dahulu dari kelas bawah, ada panggilan resmi untuk membasmi
favelas dia Codigo de Obras o 1937. Brasil "menakut-nakuti dengan kain
merah," awal tahun 1947 ketika partai Nasional Komunis memenangkan suara
besar pertama, menambahkan dimensi baru ketakutan dari favela.
Kebijakan yang dikeluarkan, warga favela kembali ke negara
asal mereka, terjadinya lavela penduduk di atas usia 60 akan diserahka ke
Lembaga Negara, dan mengusir dari favela semua keluarga yang datang melebihi
satu set minimum. Alasan utama langkah-langkah ini dilaksanakan adalah
kurangnya tenaga listrik yang cukup dan sumber daya untuk melakukannya. Kebijakan
resmi menuju favelas itu memanusiakan hanya sebentar, dari tahun 1960 sampai
1962. ketika José Artur Rios adalah direktur Guanabara ini Coordinatcd
Pelayanan Sosial. Sebagian besar asosiasi warga cd W'cre Creat dengan dorongan
yang kuat dari pemerintah selama waktu-71 asosiasi baru pada tahun 1962 saja.
Pada tahun 1962, Rios telah dihapus oleh Carlos Lacerda, maka gubernur
Guanabara, sehingga berakhir satunya periode dialog terbuka antara favelados
dan pemerintah.
BAGIAN
SEBELAS
“Pelaksanaan
Di Tengah Kelangkaan Dan Sikap Apatis: Kekuasaan Politik Dan Desain Kebijakan “
Oleh Peter S. Cleaves
Apa kondisi untuk suatu kebijakan atau program agar
keberhasilan sepenuhnya dilaksanakan di Dunia Ketiga? Setiap kasus Studi dalam
buku ini telah menegaskan dua gagasan sentral dalam menanggapi pertanyaan ini.
Pertama, Aktor politik dan administratif harus memobilisasi kekuatan yang cukup
untuk melaksanakan desain kebijakan, dan kemampuan mereka untuk melakukannya
tergantung pada pengaruh dan prediksi orang lain di lingkungan politik. Kedua,
karena konten mereka, beberapa kebijakan atau program diri mereka dapat lebih
kurang lebih sulit untuk diterapkan.
Dengan demikian, ruang lingkup kekuasaan politik yang
tersedia untuk pelaksana dan apa yang akan saya sebut problematika kebijakan
adalah dua kategori besar variabel yang perlu dipertimbangkan oleh para analis
ketika mereka mengevaluasi potensi berbagai program yang akan dilaksanakan
sampai selesai. Contoh spesifik eksekusi kebijakan dalam buku ini menyajikan
sejumlah pelajaran operasional bagaimana pembuat kebijakan, birokrat, dan
aktivis politik mungkin dapat memanipulasi variabel-variabel ini untuk
memfasilitasi pelaksanaan program reformasi. Ini harus jelas, bagaimanapun,
bahwa "keberhasilan program implementasi tergantung pada perspektif
pengamat. Pelaksanaan melibatkan proses bergerak menuju tujuan kebijakan dengan
cara langkah administratif dan politik
Kekuatan Politik dan
Problematika Kebijakan.
Kekuatan politik dapat dipahami sebagai variabel yang
secara langsung mempengaruhi pelaksanaan karena jumlah sumber daya yang dapat
dimobilisasi dalam mendukung atau menentang kebijakan tertentu penting untuk
memperkirakan peluang untuk pelaksanaan. Tetapi sumber daya yang tersedia untuk
pelaku kebijakan tidak seragam di semua masyarakat. Kekuatan terbagi secara
berbeda dalam berbagai jenis sistem politik. Dan pelaksana perlu menyadari
bahwa distribusi pengaruhnya baik isi dari kebijakan dan keberhasilan dengan
kebijakan yang dijalankan.
Meskipun sulit untuk mengklasifikasikan sistem tertentu
ke tipe ideal didefinisikan secara kaku. adalah mungkin untuk membuat
setidaknya tiga perbedaan antara rezim tergantung pada jumlah kekuasaan yang
diberikan kepada pemerintah dan pengaturan struktural yang menghubungkan aparat
birokrasi untuk kelompok, kelas dan individu dalam masyarakat luas.
tentu upaya yang cepat dan luas untuk menyebarkan program
nasional untuk visibilitas maksimum dan berdampak perencana kebijakan berkecil
hati dari membayar terlalu memperhatikan detail konkrit dari upaya atau jumlah
perubahan realistis mungkin melalui program.
Tabel 11-1 Karakteristik
Kebijakan Mempengaruhi Implementasi
No
|
Lebih Sedikit
Masalah
|
Lebih Banyak
Masalah
|
1
|
Fiture tehnik
sederhana
|
fitur
teknis yang rumit
|
2
|
Perubahan
marginal dari status quo
|
Perubahan
comperhensive dari status quo
|
3
|
Target
satu aktor
|
target
multi-aktor
|
4
|
Tujuan
satu gol
|
Tujuan
multi-tujuan
|
5
|
tujuan
jelas dinyatakan
|
tujuan
ambigu atau tidak jelas
|
6
|
durasi
pendek
|
duraion
panjang
|
[1] Kemaharajaan Britania adalah merujuk pada periode kekuasaan Britania di anakbenua India, yang mencakup India, Bangladesh, Pakistan, dan Myanmar, di mana
wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan kolonial Britania sebagai
bagian dari Imperium Britania.
[2] Favela adalah sebutan untuk
daerah kumuh di Brazil,.
Halo apa kamu punya buku Grindle? boleh saya beli/pinjam untuk keperluan skripsi?
BalasHapusIya punya tapi yg fotocpyan
Hapusmau tanya dong kalo mau nyari bukunya dimana ya? sama boleh fotoin cover bukunya ga?
Hapuskalo bisa tolong kirim ke email hannyrevii@gmail.com
sama judul bukunya apa yg grindle
HapusHalo, sanagt bermanfaat. jika boleh sy minta sfile document untuk postingan yang antum buat boleh? jika berkenan bisa kirim ke gmail aprianjaelani@gmail.com
BalasHapusMantap ini, ak juga boleh mintak failnya untuk keperluan sekripsi jika berkenan bisa kirim ke agussule123@gmail.com
BalasHapuskalau mau beli buku Grindle di mana buat keperluan skripsi
BalasHapuskalau ingin beli bukunya grindle dimana ya? mohon infonya, atau berkenan untuk mengirim ke email yuniastuti981@yahoo.com untuk keperluan skripsi, terima kasih banyak
BalasHapushalo maaf kalo boleh tahu apa Anda mempunyai buku Grindle ? atau kalo ada yang berkenan mengirimkan ke email helmimemet21@gmail.com untuk keperluan skripsi, terimakasih banyak
BalasHapusMaaf kalau ingin beli bukunya grindle dimana ya? Mohon infonya atau kalau berkenan mengirimkan ke email nandayenirima@gmail.com untuk keperluan skripsi,
BalasHapusTerimakasih🙏
Maaf,kalau cari bukunya dimana yaa kak, atau kalau berkenan mengirimkan soft file Nye ke email mhidayat1210@gmail.com untuk materi skripsi, terimakasih
BalasHapus