Review Buku Grindle



BAGIAN PERTAMA
Konten Kebijakan dan Konteks dalam Implementasi

Politik dalam implementasi kebijakan baru baru ini muncul sebagai topik yang menarik bagi para pelajar politik di negara dunia ketiga. Implementasi telah mencuri perhatian karena adanya banyak faktor yang bisa dibahas mulai tersedianya kecukupan sumber daya antar pemerintah, dari komitmen  yang paling mendasar untuk melaporkan mekanisme birokrasi, dari pengaruh politik penentang kebijakan dan peristiwa yang tampaknya tidak saling terkait dan sering melakukan intervensi diantara tujuan  kebijakan dan pencapaian mereka dalam sosial. faktor tersebut dapat menjelaskan "korespondensi sering tidak sempurna antara kebijakan diadopsi dan layanan benar-benar disampaikan". Dalam buku ini mencoba menjelaskan perbedaan mengenai realisasi implementasi, bahkan ketika implementasi sukses untuk dilaksanakan, hal itu melibatkan pakar yang bertugas menerjemahkan tujuan kebijakan melalui beberapa prosedur, selain itu juga melibatkan pertanyaan mendasar mengenai konflik, pembuatan putusan, dan tentang siapa mendapatkan apa dalam lingkup masyarakat.
Secara umum, tugas dan fungsi implementasi adalah menciptakan relasi atau koneksi yang mengijinkan tujuan kebijakan publik untuk direalisasikan menjadi sebuah hasil dari aktifitas pemerintah. Aktifitas pemerintah akan diwujudkan melalui program dan proyek individu, dimana maksud dari program dan proyek individu dapat merubah lingkungan kebijakan, dan perubahan tersebut dapat dianggap sebagai hasil program yang telah dijalankan.  Disini dijelaskan bahwa perbedaan antara kebijakan dan program menyiratkan bahwa implementasi kebijakan adalah sebuah fungsi dari implementasi program. Keberhasilan dan kegagalan kebijakan/program nantinya akan dijadikan sebagai pedoman untuk perumusan kembali kebijakan selanjutnya. Seperti yang sudah dijelaskan mengenai perbedaan antara kebijakan dan program dimana keduanya sulit untuk mempertahankan praktiknya, namun hal itu dapat dikaburkan oleh berbagai tingkat dimana istilah kebijakan sering digunakan.  Dalam buku ini, kami telah mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan mempertimbangkan implementasi  menjadi proses umum tindakan administratif yang dapat diselidiki di tingkat program khusus. Proses implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan objek kebijakan memiliki kekhususan, ketika program kebijakan telah dirancang dengan matang, ketika dana telah dialokasikan sesuai dengan tujuan. Ini merupakan kondisi dasar untuk mengeksekusi secara langsung proses kebijakan publik. Sehingga proses kebijakan, program yang dijalankan harus bersifat intergral yang mana dapat menentukan tingkat keberhasilan dari program tersebut.
Dalam Pendekatan Meriee S. Grindle dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Procces. Menurut Grindle ada 2 variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, yaitu :
1.      Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari 2 hal, yakni :
a.       Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
b.      Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu :
-          Dampak  atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok
-          Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi
2.      Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle, amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas :
1.      Isi Kebijakan (Content of Policy)
Mencakup :
a.       Interest Affected (Kepentingan-Kepentingan yang Mempengaruhi)
Interst affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.
b.      Type of Benefits (Tipe Manfaat)
Pada point ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c.       Extent of Change Envision (Derajat Perubahan yang Ingin Dicapai)
Setiap kebijakan memiliki target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy yang ingin dijelaskan pada pon ini adalah bahwa sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan haruslah memiliki skala yang jelas.. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relative lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bentuan kredit atau bantuan beras kepada kelompok masyarakat miskin
d.      Site of Decision Making (Letak Pengambilan Keputusan)
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e.       Program Implementer (Pelaksana Program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan ini sudah harus terpapar atau terdata dengan baik, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci
f.       Resources Committed (Sumber-Sumber Daya yang Digunakan)
Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Pelaksanaan kebijakan harus didukung oleh sumberdaya-sumberdayayang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
2.      Lingkungan Implementasi (Context of Implementation)
Mencakup :
a.       Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, Kepentingan-Kepentingan, dan Strategi dari Aktor yang Terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu dipertimbangkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para actor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang, sangat besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh hasilnya dari yang diharapkan.
b.       Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakanjuga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c.       Compliance and Responsiveness (Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon dari Pelaksana)
Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lngkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang terjadi.
Menurut Merilee S. Grindle (1980) bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation) seperti terlihat pada gambar di atas. Variabel isi kebijakan ini mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups  termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups , (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relative lebih sulit diimplementasikan dari pada program yang sekedar memberikan bantuan atau kredit kepada masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat.  (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup :
1.      Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan,
2.      Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa,
3.      Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.


Keberhasilan implementasi menurut Grindle (1980 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup :
a)     Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan.
b)     Jenis manfaat yang diterima oleh target group.
c)     Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan.
d)    Apakah letak sebuah program sudah tepat.
e)     Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan
f)      Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
g)     Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup
h)     Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.
i)       Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa.
j)       Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Grindle memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.





BAGIAN KEDUA
Paradoks Popularitas  Program Ideologi Implementasi di Zambian
Oleh Stephen A. Quick

Implementasi kebijakan dan pembangunan administrasi di Third World berfokus pada analisis dan menjelaskan masalah. Pembuat kebijakan tidak dapat mengimplementasikan semuanya, dan mereka melakukan proses implementasi secara terbelit-belit dan tidak seperti kerangka dasar yang digunakan. Implementasi kebijakan di dunia ketiga membawa sedikit persamaan tetang pemahaman klasik implementasi sebagai proses yang secara rasional berhubungan dengan tujuan yang spesifik dari membuat program.
Melihat fenomena ini, para ahli mulai pengumpulkan informasi tentang hambatan umum untuk mengefektifkan implementasi di negara-negara Third World.  Secara cepat gagasan ini menghasilkan daftar besar larangan pada administratif yang rasional, diantaranya kelemahan organisasi, hambatan  budaya, tidak berfungsinya sifat dasar dari konflik politik. Daftar ini sungguh mengesankan, tapi hal ini ditujukan untuk memberikan kesan atau pengaruh kepada semua pembuat kebijakan yang mengalami masalah implementasi.  Setiap pembuat kebijakan memiliki perbedaan masalah dalam pengimplementasiannya dan oleh karena itumenarik untuk memeriksa masalah unik untuk dijadikan program yang spesifik daripada program keseluruhan.
Untuk itu tahap awal yang bisa dilakukan adalah pembuatan tipologi, mengelompokkan secara spesifik kebijakan menjadi kategori yang memiliki hubungan dengan pertanyaan implementasi.  Pada bab ini, akan membahas salah satu tipe program yang dilaksanakan di Zambia yang disebut tipe program “Idelogical”. Bab ini akan menjelaskan secara umum karakteristik dari program ini, dan secara khusus menjelaskan kebingungan dari tujuan dan kepentingan politik, memperbaiki hambatan untuk mengefektifkan program implementasi.
Suatu program dapat di katakan ideologis karena kepentingannya dapat memperkuat perubahan ideology, dan program-program  ideologis memiliki karakteristik tertentu yang relevan dengan proses dimana mereka diimplementasikan. Karakteristik pertama dari program-program ideologis adalah mereka mengharapkan dapat dicapainya banyak tujuan di waktu yang sama, tujuannya bersifat ambigu, dan tujuannya tidak dapat diukur, program ideology dipengaruhi oleh harapan yang tinggi dari para elit politik nasional, ketersediaan sumber daya, kepemimpinannya dipolitisir dari organisasi pelaksana, dan kebal dari kritik publik.
Kenneth Kaunda seorang presiden dari United National Independence Party (UNIP) merasakan bahwa negaranya Zambia membutuhkan ideology nasional untuk menjaga negaranya setelah merdeka. Ia menyatakan ideology harus menekankan pada persaudaraan, dukungan bersama, persamaan, kerjasama, dan partisipasi. Semua elemen-elemen tersebut secara parsial berhubungan dan disebutnya dengan “Humanism”. Ideologi ini dipuji dan dihormati solidaritas komunal tradisional dari suatu pedesaan.. Kaunda percaya bahwa transformasi ini bisa dibawa dengan mendorong pengembangan lembaga baru di daerah pedesaan. Kaunda memilih mengimplementasikan pandangan ideologinya karena tidak satupun lembaga pemerintahan mengambil pertanggungawaban.
Sejarah baru bangsa ini, pemimpin merasa jika mereka memiliki departemen of cooperatives, akan menjadi dasar dan layak untuk mengawasi program kooperatif yang baru. Dalam pengimplementasian kebijakan kooperatif, lembaga ini menghadapi perkalian, keambiguan, dan tak terbatasnya tujuan yang diartikulasi oleh presiden. Dalam keadaan normal, badan pelaksana dapat mengubah perilakunya seiring dengan masukan dari lingkungan, memodifikasi kebijakannya sehingga permasalahan dapat disingkirkan dan dapat mendorong produktifitas. Ketika lembaga tersebut meluncurkan gerakannya tidak ada pengakuan terhadap kebutuhan untuk umpan balik dan evaluasi.
Ada beberapa alasan kegagalan proses umpan balik, yakni pertama politisasi dari kepemimpinan departemen dimana menciptakan suasana yang menghalangi pemeriksaan rasional dari kinerja tugas suatu lembaga. Alasan kedua terjadinya kegagalan terhadap umpan balik untuk menghasilkan perubahan yakni umpan balik dari staff yang ditujukan kepada tujuan lembaga tidak ditetapkan sebagai pusat penting. Ketiga, sulitnya berada di depertemen yang terpisahkan dari lembaga kritis lainnya, Keempat, yaitu popularitas politik dalam kebijakan kooperatif.
Berikut adalah tujuh proposisi umum tentang pengambilan keputusan dalam organisasi yang berusaha untuk menerapkan sedikit definisinya tetapi secara politik kebijakan tersebut penting.
  1. Lembaga dengan beberapa tujuan yang ambigu dan tak terbatas merasa sulit untuk mengembangkan solusi secara teknis terkait permasalahan dalam implementasi.
  2. Jika tekanan politik membuat kelambanan, lembaga akan menggunakan kriteria politik untuk menetapkan prioritas dan mengorganisir tindakan.
  3. Lembaga pelaksana multi goals dibuat rentan oleh ketidakmampuan mereka untuk mencapai tujuan mereka dan kerentanan ini meningkatkan sensitivitas mereka terhadap keinginan dan harapan dari atasan politik mereka.
  4. Politisi kepemimpinan dalam lembaga menghambat pengoperasian proses normal feedback dan pembelajaran.
  5. Popularitas politik isolate lembaga dari feedback dari para pelaku birokrasi lain yang baik takut untuk mengkritik departemen  karena mereka dapat menghancurkan rival popular.
  6. Ketersediaan sumber daya menghambat proses feedback dengan memungkinkan lembaga untuk menunda pemeriksaan tindakannya.
  7. Popularitas meningkatkan kekuataan lembaga dan mengurangi kepekaan terhadap pesan dari lingkungannya.

Kebalikan dari “Paradox of Popularity” adalah hipotesis bahwa program ambisius akan berdiri di kesempatan yang lebih sukses jika mereka tidak popular dalam elit politik. Ketika kebijakan kooperatif menjadi tidak popular, harapan elit menjadi lebih spesifik, lembaga menjadi fokus hanya pada satu aktivitas dan tujuan yang jelas.  Klarifikasi tujuan sangat cepat yang diikuti oleh upaya meningkatkan mekanisme umpan balik dalam departemen. Pada tingkat operasional, langkah segera diambil untuk memperbaiki masalah yang lebih jelas bahwa kebijakan departemen telah mendorong. Disimpulkan dalam bab ini membahas tentang bagaimana karakteristik dari pelaksanaan program ideologis untuk mengefektivitaskan proses implementasi.

























BAGIAN KETIGA
Reformasi Pemerintah dan Implementasi Kebijakan
Oleh Chynthia McClintock

Keberhasilan implementasi kebijakan publik sulit dilaksanakan di Negara Dunia Pertama, dimana lebih sulit dilaksanakan di Negara Dunia Ketiga, terutama terkait orientasi reformasi pemerintah. Orientasi reformasi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hambatan dengan implementasi kebijakan seperti kelangkaan sumberdaya, buruknya komunikasi lembaga di negara dunia ketiga. Dalam studi ini, dijelaskan hambatan dalam kebijakan publik dapat dicari jalan keluarnya melalui pengalaman Velasco selama rejim Peru (1968-1975) dimana itu merupakan upaya yang dilakukan untuk melaksanakan reformasi agraris (pertanian). Selama reformasi banyak tujuan dan aktor yang terlibat didalammnya, tujuan yang berperspektif jangka panjang, termasuk didalamnya kebijakan untuk meningkatkan produktifitas  pertanian, serta meningkatkan tujuan yang bersifat abstrak seperti keahlian dan kemampuan pertani.
Lebih lanjut, poin utama dari Grindle, reformasi pertanian ini membutuhkan kebijakan desentralisasi, dengan beberapa situs yang tersebar merata. Sehingga berdasarkan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa implementasi kebijakan terkait kebijakan agraris, pemerintah Velasco dihadapkan pada tatanan yang sulit. Itu nampak pada masalah dasar di negara dunia ketiga, kelangkaan sumberdaya dan jaringan komunikasi yang buruk. Kendala yang paling berat, adanya perselisihan politik diantara pemimpin militer yang tidak kunjung menemukan jalan keluar. Dalam studi ini, langkah yang sering dilakukan adalah dengan menyelaraskan dengan SINAMOS dan para pejabat cenderung untuk bekerjasama dengan Departemen Pertanian melalui reformasi pemerintah.
Kebijakan ini dilakukan terutama berkenaan dengan kebijakan reformasi agraria dilakukan di wilayah daerah terpencil di mana jaringan komunikasi yang belum sempurna, perselisihan di pusat hampir pasti mensyaratkan desentralisasi. Lebih lanjut lagi, kebijakan yang diciptakan rentan dengan tunturan masyarakat. Dampaknya adalah SINAMOS dan departemen pertanian sering bahkan tidak mampu menawarkan pelayanan seperti bantuan transportasi, bantuan kantor, bantuan untuk proyek lokal.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya pemerinta Peru dalam formulasi kebijakan sampai implementasi kebijakan dilakukan dengan cara menyusun strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan refornasi agraris, dimana dalam upaya formulasi dilakukan oleh SINAMAS dan departemen pertanian. Kebijakan terkait reformasi agraris diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesehajateraan para petani di Peru























BAGIAN EMPAT
“Proyek Percontohan Dan Pilihan Strategi Pelaksana: Pembangunan Komunitas Di India”
Oleh Gerald E. Sussman

Kurangnya sumber daya membatasi tersedianya pilihan bagi negara berkembang untuk mengejar kebijakan yang bertujuan menekankan perubahan sosial dan ekonomi. Setiap pilihan program nasional harus mempertimbangkan dengan hati-hati; setiap program baru yang menyimpang secara substansial dari praktek yang telah mengakar mungkin melibatkan resiko yang cukup besar untuk kegagalan dan hilangnya sumber daya. Proyek percontohan telah sering dianggap sebagai mekanisme yang berguna, karena investasi program dapat lindungi sampai prototipe(model asli) sampai desain baru untuk diuji pada skala kecil. Program pengembangan masyarakat di India pada periode pasca-kemerdekaan, misalnya, yang didahului dengan uji coba pengalaman yang menawarkan pelajaran tentang konsep dan operasi dari program berikutnya.
Pertanyaan umum yang dihadapi oleh Pejabat Publik di India pada tahun 1947 adalah “bagaimana cara melaksanakan kebijakan perubahan sosial dan ekonomi di tingkat akar rumput, terutama di daerah perdesaan?” Jumlah perubahan yang diusulkan tercantum dalam berbagai rencana 5 tahun itu mengesankan, tapi mesin untuk memberikan layanan dan memobilisasi dukungan masyarakat kurang.
Sebagai salah satu catatan ahli dari USAID (lembaga untuk Pembangunan Internasional), "tidak ada apa-apa di ujung jalur kereta" yang akan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunannya. Penciptaan infrastruktur di administrasi tingkat regional dan lokal, memiliki hubungan yang kuat dengan lembaga perencanaan nasional, karena itu akan menjadi penting untuk keberhasilan perencanaan pembangunan. Secara tradisional, cara menyelesaikan masalah yang mencapai akar rumput adalah melalui pemanfaatan mesin birokrasi yang ada. Tetapi struktur ini cenderung menawarkan dengan model "terpusat”, instansi sektoral yang vertikal, masing-masing dengan sendirinya didefinisikan secara sempit dari aktifitas di daerah dan
Alternatif baru yang diperlukan yang akan memecahkan dengan strategi implementasi tradisional dan undynamic, tetapi pada skala yang akan memungkinkan cxperimentation tanpa komitmen dapat dipulihkan sumber daya. Bab ini menyajikan studi kasus proyek percontohan dalam pengembangan masyarakat di India serta analisis penggunaan dan penyalahgunaan pelajaran yang diambil selama pengalaman percontohan dalam program nasional nanti pembangunan masyarakat.
Konteks Sejarah Dari Pembangunan Masyarakat Di India.
Upaya awal untuk membantu memperbaiki kondisi desa di India mengambil dua bentuk: pelayanan pemerintah di bawah British Raj[1] dan berbagai eksperimen dalam pembangunan pedesaan. Yang pertama menekankan pada pengumpulan pendapatan dan memelihara perdamaian, dengan beberapa kepentingan yang terbatas dalam fungsi pembangunan seperti pekerjaan umum, pertanian, kesehatan, dan pendidikan. Tapi itu tidak sampai tahun 1930-an bahwa upaya ini mendapat hambatan nyata. Perhatian terhadap kebutuhan pembangunan berumur pendek karena letusan Perang Dunia II.
Pada puncaknya, administrasi dan sumber daya dasar untuk membangun dalam setiap upaya pembangunan skala besar menjadi tidak substansial. Program di lapangan sangat tergantung pada petugas pemerintah kabupaten, yang fungsi utamanya melakukan pengumpulan pajak dan pemeliharaan hukum dan ketertiban. Wilayah tanggung jawabnya sangat luas, seluas sekitar 1.500 sampai 2.000 desa dan dalam hitungan skala jumlah rakyat 1-3000000 orang. Meskipun ada beberapa upaya untuk mendesentralisasikan kekuasaan di bawah pemerintahan kolonial, pola pengembangan program, pengambilan keputusan, dan otoritas masih bergerak dari atas ke bawah. Di bawah kabupaten, mesin birokrasi tidak efektif Umumnya hanya ada satu representativ pemerintah yang memenuhi syarat dari masing-masing kementerian untuk setiap keseluruhan sebesar 60,000-100,000 desa.
Upaya yang dilakukan hanya terkonsentrasi pada pembangunan fisik bukan pada pembangunan manusia. Tidak ada upaya nyata untuk melibatkan partisipasi lokal dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan dan, pada kenyataannya, hubungan pemerintah untuk rakyat dipelihara untuk tergantung. Selain itu, upaya pemerintah di daerah pedesaan, dilakukan oleh departemen terpisah yang bersangkutan di koordinasi. Lingkup masalah pembangunan setelah kemerdekaan sangat besar. India, pada tahun 1951, telah dihuni oleh hampir 360 juta orang, 80 persen di antaranya tinggal di daerah pedesaan. Dari jumlah ini, diperkirakan bahwa lebih dari 20 juta yang secara permanen menganggur sementara yang lain 3 juta sedang ditambahkan ke angkatan kerja setiap tahun. pendapatan per kapita diperkirakan sekitar S50-60 tahun. Dari jumlah tersebut, tidak kurang dari 80 persen dari keluarga petani anggaran belanjanya cukup untuk konsumsi makan.  Buta huruf sekitar 84 persen secara nasional dan 90 persen di daerah pedesaan. hasil pertanian termasuk di antara yang terendah di dunia-670 kilogram per hektar dalam gandum, 690 pada jagung, dan 1103 di beras .: Tabel 4-1 menunjukkan Ranking India di antara sejumlah negara berkembang di hasil panen tersebut per hektar. Dapat dilihat pada tabel 4.1.






Tabel 4.1 produktivitas pertanian India antara 26 Negara Berkembang 1951
Hasil Panen
Jumlah Negara Yang Melaporkan
Ranking India
Gandum
24
21
Jagung
24
23
Padi
20
20
Sumber: AS departemen pertanian, Ekonomi Research Service, Chan di bidang pertanian di 26 Nations Development 1948 ke 1963. Laporan Ekonomi Pertanian Negeri Nomor 27, November 1965, pdss. 46,

Proyek Percontohan.
India beruntung memiliki model yang sangat baik untuk digunakan sebagai titik acuan untuk program pengembangan masyarakat Proyek Etawah. Proyek percontohan ini mulai beroperasi pada bulan Oktober 1948 di 64 desa dari Kabupaten Etawah dari Uttar Pradesh. Albert Mayer, dengan timnya sendiri dan memilih dirinya sendiri, merancang dan memimpin proyek. Mayer mengajukan keterampilan, semangat, dan keterlibatan pribadi. Lebih lanjut, ia menikmati kepercayaan dan dukungan dari perdana menteri dan menteri Negara Uttar Pradesh.
Mayer meletakkan dasar-dasar teknik operasional dan memasukan “kunci” yang digunakan bekerja di akar rumput atau masyarakat tingkat bawah. Singkatnya, ia dijelaskan panduan berikut:
1.      Menilai keadaan setempat dengan dimulai dari "merasa butuh" dan secara bertahap bergerak pada kebutuhan yang disebabkan, berdasarkan pendekatan yang direncanakan dengan cermat dan tamat.
2.      Melangkah hanya secepat perkembangan yang dapat di serap masyarakat. Untuk melakukan hal ini memerlukan studi yang cermat terhadap keadaan setempat. Perencanaan yang sistematis, dan pengaturan realistis prioritas.
3.      Jadilah secara menyeluruh-merakit sumber daya dan bergerak sistematis langkah demi langkah, mengambil waktu untuk mengevaluasi hasil dan menilai kekurangan; bekerja secara intensif, menjenuhkan daerah tujuan: menekankan kerja tim, komunikasi terbuka antara staf dan garis fungsionaris, dan memberikan dukungan untuk yang kedua.
4.      Dalam bekerja pemerintah dengan warga desa, melibatkan mereka, mengembangkan inisiatif mereka, dan menggunakan sumber daya lokal sebanyak mungkin.
Mayer menunjukkan bahwa tes penting untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan Proyek Etawah adalah masyarakat akan melanjutkan program jika dukungan luar ditarik dan apakah program ini berhasil, adalah dapat direplikasi di wilayah lain. Mungkin dua faktor yang paling ditekankan dalam efektivitas pelaksanaan dari Program pemerintah ini adalah melatih kompetensi individu  dan jumlah jalur ketersediaannya. Proyek ini menekankan rekrutmen dan penyaringan yang cermat dan membangun program bergengsi yang menarik para personil yang berkualitas dan memiliki motivasi tinggi pada setiap tingkat operasional.
Tetapi sementara staf perpanjangan bisa mendidik warga tentang pilihan untuk pengembangan mereka sendiri. Pemerintah masih harus memenuhi janji tersirat bahwa masukan untuk mempertahankan pembangunan akan tersedia. Lebih dari sekali Mayer dan stafnya harus melakukan pertempuran dengan pemerintah untuk mengamankan prinsip-prinsip operasional. Proyek ini meninggalkan desain operasional yang sehat dan benar-benar teruji selama periode keterlibatan langsung Mayer. Selain prinsip replikasi, yang merupakan kriteria utama yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan proyek. Mayer dan stafnya berusaha untuk memenuhi tujuan berikut:
1.      Personil yang akan cermat dipilih dan diberikan pelatihan yang memadai
2.      Setelah staf berada pada posisi, berarti pemindahan tradisi lama personil harus dihindari.
3.      Pekerja proyek akan menerima tugas mereka sebagai pelayanan pada masyarakat, dan menghindari perilaku tradisional yang mendominasi.
4.      Hubungan antara pekerja yang berada di lapangan akan "terbuka," yang memungkinkan untuk memberikan umpan balik pada masalah di lapangan sehingga akan memberikan efektivitas pada penanganan masalaha yang disarankan.
5.      Target akan didasarkan pada pemahaman yang tepat tentang kondisi di lapangan, bukan dipaksakan dari atas, dan maka saatnya-diagendakan untuk dijadikan sebagai panduan untuk tindakan.
6.      Proyek akan membangun kemandirian lokal dan sumber-sumber lokal pasokan bila memungkinkan.
7.      Yang terakhir akan berusaha untuk mendapatkan kerjasama sepenuhnya dari departemen pemerintah lainnya di tingkat kabupaten dan tingkat lokal.
8.      Sebuah elemen penting adalah keterlibatan desa memulai dan mengatur kerja untuk memastikan kepemimpinan dalam program.
Di antara pelajaran yang diambil dari Proyek Etawah oleh pejabat program adalah poin-poin penting berikut:
1.      Penekanan pada program ekonomi adalah penting.
2.      Target untuk pekerjaan harus diperbaiki oleh pejabat lokal dan petani dan bukan dari atas.
3.      Setiap pekerja dari bawah ke atas harus tahu apa yang telah direncanakan dan apa perannya dalam total rencana.
4.      Pekerja yang serba bisa (multitalent) adalah pola yang paling cocok staf yang diposisikan di tingkat lapangan.
5.      Mempelajari kesulitan pekerja dan memecahkannya kemudian ditempatkan pada urusan penting.
6.      Membangun kontak pribadi dengan penduduk desa untuk memenangkan kepercayaan mereka adalah sama pentingnya.
Replikasi Proyek Percontohan.
Kritik umum proyek percontohan adalah bahwa mereka melakukan pendekatan yang lebih ideal daripada mudah dicapai meskipun mereka mungkin bila dikelola dengan baik, memberikan hasil yang mengesankan. Mayer memahami masalah ini dan kebutuhan untuk mereproduksi mekanisme organisasi yang memberi hasil ini. Oleh karena itu ia membuat replikasi nya kriteria terkuat untuk menilai keberhasilan.
Sejak elemen kunci organisasi Etawah ini telah diidentifikasi, modus operasinya membuat dikenal, dan diuji di lapangan hasilnya, sebuah "blueprint" untuk mengatur upaya nasional. Percobaan yang ditawarkan dan jawaban yang koheren dan pertanyaan yang persuasif, “Apa cara terbaik untuk melakukan pengembangan masyarakat?”
Mengingat lingkungan politik ini, manajemen yang berbakat akan mampu dengan baik mengembangkan dan melaksanakan program-program untuk potensi mereka secara maksimal. Namun, perubahan ke skala nasional mengangkat masalah yang berbeda pada mereka dari ukuran proyek dan durasi yang terbatas. Pilihan pada prioritas nasional melibatkan pengeluaran sumber daya modal dan belanja yang berat. Pertanyaan pengambil keputusan mungkin karena menemukan diri mereka tidak bertanya, Apa cara terbaik untuk melakukan pengembangan masyarakat? tapi, Apa cara yang paling layak secara politis dan birokratis untuk melakukan pengembangan masyarakat?
Pilihan yang dihadapi para pembuat kebijakan India selama hari-hari awal pengembangan masyarakat adalah antara cakupan umum dengan sumber daya yang terbatas per unit operasi atau cakupan yang terbatas dengan lengkap sumber daya per unit operasi. Saat mereka menimbang dampak dari proyek 55 komunitas yang diluncurkan pada tahun 1952 untuk menangani 16.500 desa, mereka menilai cakupan tersebut dapat meringankan negara lebih dari setengah juta orang. Bahkan direncanakan 90 proyek masyarakat akan hanya mencapai lima persen dari populasi. " Oleh karena itu mereka bersedia untuk mencairkan pelaksanaan program yang efektif untuk mencapai prioritas yang lebih tinggi dari cakupan umum. Sebuah upaya yang terkonsentrasi karena jenis kebijakan ini memiliki nilai politis dalam jangka pendek, yaitu untuk pesta nasional ingin membangun dukungan akar rumput nya.
Kalkulasi Dari Pengambilan Keputusan.
Bahwa dalam mempertimbangkan kebijakan ini Nehru merujuk pada keputusan yang menarik dari pendahulunya Mahatma Gandhi dan filsafat sosialis; dari perannya dalam perang menuju kemerdekaan: dan dari komitmennya untuk melakukan sesuatu bagi jutaan pedesaan India. Ada beberapa alasan untuk percaya ia berharap pembangunan masyarakat akan mengantar sebuah revolusi sosial yang akan mengubah status quo pedesaan yang konservatif. Dan pada intinya perhitungan dari pengambilan keputusan dalam pengembangan masyarakat memiliki nilai politis. Hal ini disebabkan keinginan pimpinan untuk memperkuat organisasi partai di daerah pedesaan, untuk Nehru bergerak maju beberapa tahun, juga kerinduannya untuk melihat visinya India baru. Dalam kebijakannya Nehru mewakili dukungan politik untuk Program nasional pengembangan masyarakat, dan V. T. Krishnamachari mewakili dukungan terkuat birokrasi.









BAGIAN KELIMA
Dari Proyek Percontohan Untuk Program Operasional
di India : Masalah Transisi
oleh David F. Pyle

Dalam bab ini membahas tentang studi kasus Poshak yang mengidentifikasi beberapa alasan mengapa skema percontohan jarang berlangsung lebih awal dari tahapan tes. Generalisasi dari kasus ini adalah mungkin untuk menunjukkan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan peluang untuk proyek-proyek serupa di negara-negara berkembang untuk diadopsi dan diimplementasi secara lebih lanjut. Apa yang disarankan disini tidak akan memecahkan masalah proyek percontohan hadapi di masa transisi, ini hanyalah sebuah upaya untuk megidentifikasi hal yang perlu dipertimbangkan di keadaan genting.
Masing-masing pihak yang terlibat dalam proyek harus memiliki pemahaman yang jelas tentang apa tujuan yang akan ingin dicapai proyek ini. Kegagalan dalam menentukan tujuan proyek akan menghasilkan kekecewaan terhadap peserta atau anggota yang menaruh harapan terhadap proyek ini. Jika skema seperti Proyek Poshak adalah untuk mencapai tahap implementasi yang lebih luas, perencanaan yang cermat dan bijak harus dilakukan sebelum penelitian ini diluncurkan. Proyek Poshak memiliki skema yang rumit yang bergantung pada input modal, alokasi yang besar, dan banyak personil yang sangat terlatih sehingga sulit untuk diterapkan di negara berkembang.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan proyek ini adalah seperti beban kerja personal, moral, kendala waktu, struktur administratif pemerintah dan prosedur, serta kapasitas untuk melakukan skema dalam skala besar, pasokan lokal dan fasilitas transportasi. Semua faktor ini dapat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk melaksanakan skema secara permanen. Perencana harus realistis dalam penilaian mereka dari kemampuan lembaga untuk bertanggung jawab dalam mengadopsi skema.
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk membatasi pengaruh organisasi eksogen, personil, peralatan, dan perlengkapan dalam pelaksanaan awal proyek. Ketergantungan pada kelompok asing atau importer, dan komoditas canggih mengarah pada bahwa lembaga tidak bisa melanjutkan skema tersebut sendiri. Lebih baiknya administrator lokal lebih digunakan guna mengurangi ikut campur lembaga asing.
Birokrat peringkat menengah biasanya diberikan tanggung jawab untuk kemajuan skema, ketika pejabata eselon yang lebih tinggi  menyibukkan diri dengan kegiatan politis yang dianggap hal yang lebih penting. Terlalu sering pemerintah setengah hati terlibat, terlihat pemerintah seperti terlibat dengan menunjukkan melakukan sesuatu terkait masalah namun kenyataannya mereka tidak melakukan apa-apa.
Kurangnya minat dalam proyek percontohan ini menghasilkan dua kecenderungan pada bagian kolaborasi organisasi. Pertama, untuk membentuk hubungan yang erat dengan para pejabat individu dalam posisi kekuasaan yang menunjukkan minat dalam kekhawatiran yang sama sebagai kelompok sponsor. Kedua, untuk institusi luar untuk mengelola proyek independen yang diharapkan untuk dilakukan implementasi di masa depan.
Proyek ini menunjukkan hasil yang mengesankan karena kepentingan intensif dan pekerjaan utama yang efisien dan efektif dari perusahaan. Disarankan bahwa setelah proyek ini telah mencapai tingkat keberhasilan yang memuaskan, pendekatan yang digunakan harus lebih sistematis dan nantinya dapat dijadikan bagian dari fungsi normal dari pemerintah. Masa depan proyek tergantung pada maneuver terampil selama periode transisi itu sendiri. Dalam bab ini juga menujukkan bagaiman proyek Poshak tidak mendapatkan perhatian yang tepat,






BAGIAN KEENAM
Desentralisasi Administratif dan Implementasi Kebijakan Perumahan (Housing Policy) di Colombia
Oleh Irene Fraser Rothenberg

Desentralisasi administratif adalah reformasi struktural yang paling sering diusulkan untuk negara-negara Dunia Ketiga (berkembang). Hampir semua dari tiga belas negara yang tercakup dalam studi Walsh telah diusulkan atau sebenarnya diambil beberapa ukuran secara eksplisit dirancang untuk dekonsentrasi otoritas pemerintah dan memperkuat unit lokal dari pemerintah. Sebagian besar pendukung desentralisasi tidak memperhitungkan pengaturan organisasi dan politik pada penerapannya di bagian lokal (daerah) dan provinsi. Kegagalan untuk mempertimbangkan variabel seperti dalam konteks desentralisasi telah menyebabkan tiga kekeliruan yang terus berlangsung mengenai kewenangan dekonsentrasi administratif yakni pertama, desentralisasi dipandang sebagai proses tunggal, daripada satu set multi-dimensi sebuah hubungan. Kedua, desentralisasi dan sentralisasi diperlakukan sebagai lawan dalam sebuah kondisi zerosum, meskipun pengalaman praktis menunjukkan bahwa peningkatan peran lokal tidak selalu berarti penurunan kekuasaan pusat dan sebaliknya. Ketiga, upaya yang sia-sia dibuat untuk merumuskan pengaturan secara optimal untuk semua program dan setiap saat, tanpa memperhatikan variasi dalam nilai-nilai, teknologi dan geografi.
Kesalahan-kesalahan yang sering berulan ini mungkin menjelaskan mengapa di sebagian besar negara, tindakan desentralisasi memiliki dampak kecil pada pola yang ada dalam pengambilan keputusan dan kontrol. Sebagai pusat negara dunia ketiga yang menjalani tekanan untuk memperluas kekuatan otoritas lokal dan pada saat yang sama meningkatkan respon pemerintah untuk masalah perkotaan, Kolombia memberikan kesempatan yang baik untuk menguji beberapa asumsi mendasar tentang kebajikan desentralisasi. Meskipun badan legislatif di setiap tingkat pemerintahan terpilih oleh konstituen masing-masing wilayah geografis, cabang eksekutif berbentuk hirarkis.
Karena banyak negara dunia ketiga telah menemukan, sentralisasi vertikal tidak menjamin kesatuan politik, untuk itu sering disertai dengan divisi struktural dan partai, khususnya di tingkat lokal. Bahkan saat mereka meratapi satu produk dari sentralisasi, rakyat Kolombia mengalami sentralisasi yang berbeda pada tingkat regional. Karena konsentrasi nasional terhadap kekuasaan bertepatan dengan konsentrasi daerah penduduk, argumen decentralist memperoleh arti khusus di daerah-daerah perkotaan besar.
Sebelum periode yang dipertimbangkan diatas, hampir semua program perumahan pemerintah untuk berpenghasilan rendah di Cali dilaksanakan oleh ICT (Institute of Territorial Credit). Susunan structural ini menguntungkan untuk ICT dalam banyak hal, karena pelaksana di lapangan memiliki sedikit kekuatan, faksi-faksi politik lokal dan kelompok-kelompok kepentingan tidak bisa menerapkan tekanan pada tingkat lokal. Meskipun ICT nasional adalah satu-satunya lembaga Kolombia yang melaksanakan program perumahan publik skala besar, kota memiliki wewenang formal yang lebih dalam penggunaan lahan dan perumahan bahkan sebelum program desentralisasi administrasi dimulai. Oleh karena itu, diberdayakan badan khusus untuk melaksanakan sendiri kebijakan perumahan berpenghasilan rendah yaitu Instito de Vivienda de Cali (Invicali).
Invicali mempunyai fungsi spesifik yakni secara bertahap menghilangkan rumah yang tidak sehat atau berbahaya dari daerah perkotaan, melalui program yang tepat menghilangkan kawasan kumuh, konstruksi, dan rehabilitasi. Semua kekuatan kebijakan perumahan yang efektif ini masih dipegang oleh kantor pusat ICT nasional karena kontrol atas dana.
Kasus Cali menunjukkan sinyal bahaya seperti berikut:
  1. Pemerintah daerah dibagi secara structural
  2. Pemerintah daerah dibagi secara politis
  3. Sistem partai patronase berorientasi atau lebih dominan
  4. Lembaga lokal historis tidak responsif
Kasus Cali menunjukkan bahwa empat faktor ini secara agregat bisa memperkirakan bencana bagi upaya desentralisasi. Walaupun secara terpisah, faktor-faktor tersebut mungkin menyulitkan. Pelajaran dari Invicali adalah bahwa peningkatan fragmentasi otonomi pemerintah daerah pasti memperlambat laju implementasi. Bahkan pengaruh yang substansial pada ICT atas alokasi dana Invicali tidak bisa mengalahkan kekuatan inersia. Meskipun ICT bisa mencegah lembaga lokal dari melakukan hal yang salah, hal tesebut tidak memiliki kesempatan untuk mencegah kelambanan.
Otonomi daerah dapat dikejar sebagai tujuan itu sendiri, sebagai nilai lebih penting daripada hasil kebijakan substantif. Jika menganjurkan sebagai sarana, bagaimanapun, pengambil keputusan harus mempertanyakan daripada menganggap hubungan antara desentralisasi administrasi dan keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik


















BAGIAN KETUJUH
Kontrol Desentralisasi dan Implementasi Kebijakan : Kasus pada Listrik Pedalaman di Rajashastan
Oleh Susan G. Hadden

Desentralisasi adalah salah satu bentuk reformasi yang paling sering banyak dalam administrasi publik. Ini adalah keuntungan utama yang menjadikan peningkatan partisipasi, responsifitas, dan efisiensi dalam pemerintahan.  Meskipun desentralisasi adalah dukungan untuk meningkatkan kinerja diseluruh proses kebijakan, ini kontribusi besar yang datang pada tahap implementasi. Ini karena desentralisasi membolehkan secara resmi pejabat untuk mengubah sedikit programnya untuk bertemu penduduk lokal yang membutuhkan dan memberikan keuntungan sebuah perubahan untuk berpartisipasi dalam implementasi. Dengan demikian desentralisasi  meminimalkan efek dari sebagian besar rintangan implementasi seperti kondisi lokal yang luar biasa, kuatnya oposisi yang menandakan atau berakhirnya kelompok lokal atau ketidakmampuan untuk memprediksi dan mengontrol banyaknya interaksi pengambilan keputusan oleh bermacam-macam kelompok.
Di India potensi keuntungan dari peningkatan kekuatan efisiensi yang berkaitan dengan desentralisasi dimulai semenjak priode kolonial dan ideal Gandhi tentang kemandirian desa. Perencanaan dari bawah telah menjadi bagian dari proses pengambilan kebijakan sejak 1959, dimana Rajasthan menjadi negara pertama yang menginisiasi “panchayati raj”. Ini “rejim dari dewan desa yang terdiri pada politik yang berkesinambungan dan struktur administrasi dimulai di desa dan pemblokiran dari atas ke bawah dan  kemudian pada level negara. Struktur politik pada level mudah adalah komposisi repesentatif dari kelanjutan level terendah. Sama seperti negara pada umumnya, india juga mempunyai masalah dengan tujuan pembangunan yang sering mengambil tempat kedua kebijakan politik dalam implementasi kebijakan.
Studi kasus ini menguji pada efek desentralisasi sebagai sebuah strategi untuk implementasi  pada program kebijakan yang penting di india, listrik di pedalaman (RE). Penekanan pada kasus ini adalah pada efisiensi dan hubungan partisipasi lokal dan responsifitas biografi. Program listrik dipedalaman listrik di Rajashastan efiesiensi tidak mengorbankan partisipasi dan responsifitas. Dalam kasus ini desentralisasi sangat terkontrol. Level administrasi yang tinggi sesuai dengan kriteria untuk mewujudkan tujuan prpgram ini. Pada waktu yang sama kekuasaan mengkoordinasi program didelegasikan pada badan pemerintahan dilevel rendah.
Kondisi geografis di Rajashastan sebagian besar terdiri dari gurun pasir, menyebabkan daerah ini kekurangan makanan karena disebabkan oleh kurangnya curah hujan. Kondisi ini dapat dimanfaatkan pembangunan saluran bawah tanah yang murah, dan dapat digunakan untuk irigasi. Petani bisa memanfaatkan pompa elektrik untuk meningkatkan produksinya, sayangnya material dan dana yang teersedia hanya bisa mencukupi dua setengah persen dari tiga puluh dua ribu desa di Rajashastan per tahun nya. Dalam kasus ini tidak hanya aspek ekonomi tapi juga tujuan politikknya yang diperhitungkan. Sumplay pada 1948 sebagai bagian responsibilitas dari pemerintah bagian dan pusat. Negara sebelumnya mendirikan badan kelistrikan negara atau (SEBs) namun sangat minimal sumber saya manusia. Namun tingginya produksi dan distribusi menyebabkan (SEBs) bangkrut. Perbedaan penanganan di DPR menyebabkan terkendala penyelesaian masalaah ini. Sedangkan petani di Rajashastan sangat terbuka atas listrik pedalaman atau Rejim ini. Ini tidak  hanya membantu mengatasi permasalahan pertanian tapi juga meeningkatkan kwalitas kehidupan desa.
Proyek ini diadakan di Rajahastan karena dia memiliki ekonomi dan politik. Kriteria ekonomi  karena Rajahastan memiliki potensi pertanian dan dari kriteria politiknya adalah setiap orang sadar bahwa mereka harus ikut serta atau berkontribusi pada setiap kebijakan. Pada tahun 1969 desentralisasi secara penuh diterapkan. Potensial produk harus sesuai dengan gabungan data tentang tanah saluran bawah tanah termasuk juga poulasi dan jarak penghubung antara satu desa dengan yang lain. Sedangkan kriteria politik dilihat dari dua kaategori besar. Efek desentralisasi yang seperti ini meminimalisir biaya dan mempermudah informasi antara masyarakat, pemerintah, dan teknisi dari program listrik pedalaman (RE). Secara control desentralisasi dapat mewujudkan tujuan ekonomi dan juga tujuan politik. Pada akhirnya kontrol desentralisasi meminimalisir masalah dari iplementasi kebijakan yang disebabkan oleh konflik. Kasus Rajashastan memberikan saran bahwa pengurangan kontrol meninmbulkan tiga kemunkinan penyebab terjadinya rendahnya implementasi : biaya yang tinggi pada informasi isolasi pada pengambil keputusan dan tujuan konflik. Mengikuti penjelasan diatas bahwa kontrol desentralisasi harus disesuaikan dengan tempat dan situasi. Bagaimana pun pengurangan kontrol desentralisasi di area lokal memiliki deskresi atau penyebab, oleh karena itu kita harus membantu untuk meninggalkan dan berusaha membuka jalan untuk pengambilan keputusan secara demoktrasi. Di Rajahastan struktur publik dari kriteria teknik dan pencampuran elected atau wakil administrative (wakil ini bisa datang dari wakil legislatif ,desa, atau distrik yang membantu mengurangi akibat perbedaan). Kontrol desentralisasi tidak berarti mekanisme dan keuntungannya tidak membuahkan hasil. Ini adalah contoh penerapan pembangunan ekonimi dari gabungan antara tujuan peogram dan hasil progrsm politik.













BAGIAN KEDELAPAN
“Pembatasan Politik Pada Pembangunan Pedesaan Di meksico
Oleh Merilee S. Grindle
Diantara pelibatan pusat aktor dalam program pemerintah eksekutif didunia ke3 adalah sebuah peresmi dimana dapat disebut sebagai “implementor”. kondisi ini sering kali diterapkan untuk administrator pada level yang berbeda dalam hirarkibirokrasi ini digunakan merujuk pada kesatuan resmi level menengah dimana yang mempunyai respon sibility atau tanggung jawab untuk menginplementasi program secara lebih mendalam, relatifitas membatasi area-sebuah negara sebuah distrik, provinsi atau area urbanisasi-dimana diadakan responsibilitas untuk tujuan program oleh atasan mereka.
Penggabungan individu individu-untuk tingkat pertama dan tingkat kedua dalam lingkup administrasi-memperbaiki frekuwensi kontrak dengan atasan nasional ataupun regional, tapi juga berkesempatan untuk berinteraksi dengan klien dari agen pemerintah dan lawan program tersebut pada level lokal. Implementator dapat memerintah dengan kekuatan level atasan nasional dengan menunjukkan kewajiban dalam persetujuan dengan kesemua kebijakan atau tujuan program. tujuan secara umum bisa diucapkan oleh pemimpin politik, penutupan dalam regisrasi atau pokok dengan perencanaan program pesifik jadi, implementator, aktor kunci dalam pencapaian keberhasilan program sebagai.
Pada saat yang sama betapapun, berokasi nasional sering meminta agen mereka dalam penyelesaian konflik pada level subnasional. Politik elite nasional menggunakan keduanya yakni masyarakat dan regin militer ini juga menunjukkan dengan kepentingan personal mereka dalam memperbaiki tekanan secara damai atau lembut yang terjadi dalam organisasi dan ini melindungi mereka dari masalah, stres dan tuntutan atau ketidaksetujuab politik atasan mereka. Hal ini seringkali mereka mendengarkan pemimpin politik dan elite ekonomi dalam level lokal dimana mereka yang memiliki akses perlindungan nasional, uang untuk penawaran birokrasi pengaruh untuk mengintimidasi mereka capter ini mendeskripsikan bagaimana dan kenapa mengapa sumber daya program sering dialokasikan pada tingkat lokal oleh penggambaran sebuah model politik.
Dan konteks administratif dimana implementor level menengah birokrasi yang membuat keputusan. Dan level resmi nasional dimeksico untuk mengimplementasikan sektor kebutuhan hidup pada perhitungan populasi pertanian. Fokus perhatian pada arena atministrator dimana aksi sangat berpengaruh oleh event politik lokal chapter ini menempatkan pada kondisi kenapa konten kebijakan alokasi sumber daya dapat merubah secara signifikan selama proses implementasi pada level lokal.
Study kasus dimeksico ini berdasarkan pada tingkah laku area penelitian dimeksico pada tahun 1974 dan 1975, dimana pembuat kebijakan nasional, maneger program, dan implementor menugaskan pada state negara dan lokal level untuk diwawancarai. Demonstrasi masalah politik dapat dilihat dari program dengan tujuan redistributif. Dan ini mengindikasikan pembatasan pada biaya administrator dengan pemastikan penerima status rendah berdasarkan keuntungan dari barang dan pelayanan pemerintah.
Dimeksico dimana batasan yang jelas tujuan kebijakan mencapai kapan implementasi program pembangunan pedesaan pada kekuasaan dan prerogatif kelompok dan kepentingan dukungan untuk berlangsungnya stabilitas dari regin politik. Diantara berbagai macam faktor yang dominan ataupun tidak pada proses formulasi pada level nasional ini akan ditentukan keuntungan adalah tampilan dari area implementor administrasi. Ada atau tidaknya respon didalam perkiraan program tergantung pada permintaannya sebagaimana resepsinya untuk capaian terbaikya.
Sebagai alternatif strategi, studi pada iplementasi kebijakan pembangunan di meksiko menyarankan bahwa administrator nasional boleh memanipulasi pengambilan keputusan nasional. Sebagai sebuah strategi aliensi orientasi pembangunan nasional atau administrasi nasional dan keuntungan status rendah mungkin bisa memperbaiki performannya menjadi lebih baik respentatif negara CONASUPO Pada intinya sumber daya dibutuhkan untuk pencapaian tujuan kebijakan,sumber daya juga dibutuhkan untuk pembangunan dan perbaikan dukungan politik, atau untuk menyelesaikan konflik elite atau subelite. Kapasitas klien status rendah untuk keuntungsn dari kebijakan pemerintah rejim.


























BAGIAN SEMBILAN
Politik Perumahan Rakyat di Nairobi
Oleh Nelle W. Temple

Tujuan dari kebijakan perihal perumahan rakyat telah diimplementasikan pada masyarakat yang membutuhkan dan memiliki penghasilan yang kecil di Nairobi. Kota Nairobi adalah sebuah peninggalan masa kolonial, dan ditemukan pada akhir tahun 1890an. Pada saat itu, Nairobi merupakan pusat administratif dan pusat perdagangan dari masyarakat Inggris yang diharapkan menjadi suatu “negara kulit putih” bagi masyarakat pribumi Eropa. Akses untuk kesempatan ekonomi, tempat tinggal dan pola sosial dikelompokkan berdasarkan ras, dimana orang Asia menduduki posisi tengah diantara orang Eropa dan Afrika. Dengan meningkatnya populasi di Nairobi antara tahun 1963-1973, kemudian menjadikannya sebagai kota perdagangan internasional. Konsekuensinya, Nairobi kemudian menjadi kota yang sangat padat dengan jumlah urbanisasi yang tidak sejalan dengan jumlah perumahan dan fasilitas yang tersedia. Kemudian pada tahun 1964 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diminta untuk menyiapkan suatu laporan pada kebutuhan rumah nasional, yang dinyatakan bahwa kurang dari 3 persen keluarga Nairobi Afrika memiliki rumah, 52 persen menyewa akomodasi, sementara 45,5 persen tinggal di rumah fasilitas bagi para pegawai.
Pejabat pemerintah beranggapan bahwa rumah dengan harga yang murah akan menjadi prioritas utama dari kebijakan rumah publik. Namun pada kenyataannya, tujuan ini tidak terwujud dan program perumahan sektor publik di Nairobi ditekan menjadi biaya perumahan dengan biaya menengah keatas. Apa yang dialami oleh Nairobi adalah salah satu ciri khas dari banyak kota di negara dunia ketiga. Karena pemimpin politik, khususnya pejabat publik biasanya adalah anggota dari para elit ekonomi di negara berkembang, dan mereka akan lebih menyesuaikan diri pada kepentingan grup daripada sektor lain dari masyarakat.



BAGIAN SEPULUH
Kegagalan Pengaruh Pemberantasan Pemukim Liar di Brasil
Oleh Janice Perlman   

Dalam masyarakat terbuka, konstituen yang terorganisasi dengan baik sering dapat mempengaruhi program atau arah kebijakan yang memiliki akses langsung melalui dukungan pada mereka baik dengan representasi, negosiasi, atau konfrontasi. Dalam sebuah rezim otoriter, namun, hal ini jarang jika pernah mungkin. Akses ke pengambil keputusan sangat terbatas, dan upaya pengaruh ditangani dengan tidak melalui responsif tapi represi. Seperti Juan Linz telah menunjukkan, itu adalah dalam sifat rezim otoriter untuk meminta penduduk yang diam dan patuh. Ketika rakyat tidak menyetujui, sanksi berat yang dibawa untuk menanggung. Bab ini menjelaskan upaya oleh satu kelompok konstituen dalam rezim otoriter untuk mencegah pelaksanaan kebijakan yang akan hancur total cara hidup.
Ironinya dari situasi ini adalah bahwa kebijakan yang diterapkan menciptakan ramalan, sehingga timbul justru masalah-masalah dan kecenderungan pengaturan yang destruktif. Yaitu ghairah untuk mengontrol dan menimbulkan dampak yang signifikan pada aspek sosial, politiical, dan biaya ekonomi untuk sebuah sistem. Contoh kasusnya adalah di Negara Brazil, dan isu spesifiknya adalah bahwa kebijakan perumahan untuk satu juta penduduk liar yang tinggal di Favelas[2] (Kota Kumuh) di salah satu wilayah Rio de Janeiro pada tahun-tahun 1968-1969. Brazil memiliki salah satu Kota yang tingkat pertumbuhannya tertinggi di Amerika Latin. Seperlima dari seluruh penduduk bangsa menjadi buruh migran di lingkungan kota pada dekade 1960 dan tidak ada indikasi penurunan baik jumlah mutlak atau tingkat migrasi di tahun 1970-an.
Angka resmi baru-baru ini memperkirakan migrasi perkotaan pedesaan pada tingkat 1.300.000 orang per tahun. Sembilan wilayah metropolitan utama di negara Brazil, Rio de Janeiro adalah salah satu kota yang memiliki pertumbuhan penduduk tercepat dan menunjukkan suatu masalah yang paling mencolok yaitu disebut sebagai "hyperurbanization”. Jumlah yang besar ini jadi beban berat bagi badan negara yang mengurus kependudukan.
Kasus Untuk Favelas
Kemungkinan diusir dari rumah dan komunitas mereka sebagian penduduk akan favela dengan rasa takut. Sikap mereka(para imigran) terhadap pemindahan hanya dapat dipahami jika disadari bahwa, mengingat kendala ekonomi di mana mereka bekerja, favela adalah solusi fungsional untuk banyak masalah besar ini. Lokasi pusat Favela umumnya ditempati oleh warga dalam jarak dekat dari pasar, pekerjaan terbaik dan beberapa peluang untuk memperoleh pekerjaan yang aneh di saat menemui masalah keuangan. Favela memberikan sebuah komunitas di mana teman-teman dan tetangga dapat diandalkan untuk saling memberikan pertolongan: selalu ada seseorang untuk meninggalkan anak-anak; tetangga yang akomodatif dengan kulkas di mana susu bayi tetap dapat segar meskipun di musim panas; seseorang yang memiliki mesin jahit untuk bisa dipinjam.
Sementara penduduk Favela harus menerima kenyataan, bahwa mereka bisa dipaksa pindah tempat tinggal kapan saja. Yang melakukannya bukan badan negara atau pemerintah kota, melainkan orang lain yang juga perlu tempat tinggal. Orang yang diusir dari tempat tinggalnya, tidak bisa menuntut hak kepemilikan. Dalam favelas tua, seperti Catacumba, favelado sering harus membayar mantan penyewa di mana saja dari beberapa dolar sampai seratus dolar, hal tersbut untuk hak istimewa, sekali ini dibayar, tidak ada biaya lebih lanjut. Beberapa harga pembelian dibayar oleh 55 persen dari penduduk sekarang Catacumba, 50 percent dari Nova Brasilia, dan 19 persen dari Caxias. Sebagian besar sisanya dalam setiap kasus membangun gubuk mereka sendiri. Perumahan sendiri dibangun, sebagian secara bersama dengan kooperatif dibangun fasilitis masyarakat.


Kebijakan pemerintah Terhadap Favela
Dari sudut pandang pemerintah, favelas selalu dilihat sebagai sumber masalah daripada solusi bagi negara. Artinya memang menjadi beban negara. Penampilan pertama dari favelas pada tahun 1930 dan awal 1940-an, kebijakan pemerintah telah mencegah kelahiran mereka artinya menghambat pertumbuhan mereka dan mempercepat kematian mereka. Bahkan di bawah Getulio Vargas, pahlawan dahulu dari kelas bawah, ada panggilan resmi untuk membasmi favelas dia Codigo de Obras o 1937. Brasil "menakut-nakuti dengan kain merah," awal tahun 1947 ketika partai Nasional Komunis memenangkan suara besar pertama, menambahkan dimensi baru ketakutan dari favela.
Kebijakan yang dikeluarkan, warga favela kembali ke negara asal mereka, terjadinya lavela penduduk di atas usia 60 akan diserahka ke Lembaga Negara, dan mengusir dari favela semua keluarga yang datang melebihi satu set minimum. Alasan utama langkah-langkah ini dilaksanakan adalah kurangnya tenaga listrik yang cukup dan sumber daya untuk melakukannya. Kebijakan resmi menuju favelas itu memanusiakan hanya sebentar, dari tahun 1960 sampai 1962. ketika José Artur Rios adalah direktur Guanabara ini Coordinatcd Pelayanan Sosial. Sebagian besar asosiasi warga cd W'cre Creat dengan dorongan yang kuat dari pemerintah selama waktu-71 asosiasi baru pada tahun 1962 saja. Pada tahun 1962, Rios telah dihapus oleh Carlos Lacerda, maka gubernur Guanabara, sehingga berakhir satunya periode dialog terbuka antara favelados dan pemerintah.








BAGIAN SEBELAS
Pelaksanaan Di Tengah Kelangkaan Dan Sikap Apatis: Kekuasaan Politik Dan Desain Kebijakan
Oleh Peter S. Cleaves

Apa kondisi untuk suatu kebijakan atau program agar keberhasilan sepenuhnya dilaksanakan di Dunia Ketiga? Setiap kasus Studi dalam buku ini telah menegaskan dua gagasan sentral dalam menanggapi pertanyaan ini. Pertama, Aktor politik dan administratif harus memobilisasi kekuatan yang cukup untuk melaksanakan desain kebijakan, dan kemampuan mereka untuk melakukannya tergantung pada pengaruh dan prediksi orang lain di lingkungan politik. Kedua, karena konten mereka, beberapa kebijakan atau program diri mereka dapat lebih kurang lebih sulit untuk diterapkan.
Dengan demikian, ruang lingkup kekuasaan politik yang tersedia untuk pelaksana dan apa yang akan saya sebut problematika kebijakan adalah dua kategori besar variabel yang perlu dipertimbangkan oleh para analis ketika mereka mengevaluasi potensi berbagai program yang akan dilaksanakan sampai selesai. Contoh spesifik eksekusi kebijakan dalam buku ini menyajikan sejumlah pelajaran operasional bagaimana pembuat kebijakan, birokrat, dan aktivis politik mungkin dapat memanipulasi variabel-variabel ini untuk memfasilitasi pelaksanaan program reformasi. Ini harus jelas, bagaimanapun, bahwa "keberhasilan program implementasi tergantung pada perspektif pengamat. Pelaksanaan melibatkan proses bergerak menuju tujuan kebijakan dengan cara langkah administratif dan politik

Kekuatan Politik dan Problematika Kebijakan.
Kekuatan politik dapat dipahami sebagai variabel yang secara langsung mempengaruhi pelaksanaan karena jumlah sumber daya yang dapat dimobilisasi dalam mendukung atau menentang kebijakan tertentu penting untuk memperkirakan peluang untuk pelaksanaan. Tetapi sumber daya yang tersedia untuk pelaku kebijakan tidak seragam di semua masyarakat. Kekuatan terbagi secara berbeda dalam berbagai jenis sistem politik. Dan pelaksana perlu menyadari bahwa distribusi pengaruhnya baik isi dari kebijakan dan keberhasilan dengan kebijakan yang dijalankan.
Meskipun sulit untuk mengklasifikasikan sistem tertentu ke tipe ideal didefinisikan secara kaku. adalah mungkin untuk membuat setidaknya tiga perbedaan antara rezim tergantung pada jumlah kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah dan pengaturan struktural yang menghubungkan aparat birokrasi untuk kelompok, kelas dan individu dalam masyarakat luas.
tentu upaya yang cepat dan luas untuk menyebarkan program nasional untuk visibilitas maksimum dan berdampak perencana kebijakan berkecil hati dari membayar terlalu memperhatikan detail konkrit dari upaya atau jumlah perubahan realistis mungkin melalui program.
Tabel 11-1 Karakteristik Kebijakan Mempengaruhi Implementasi
No
Lebih Sedikit Masalah
Lebih Banyak Masalah
1
Fiture tehnik sederhana
fitur teknis yang rumit
2
Perubahan marginal dari status quo
Perubahan comperhensive dari status quo
3
Target satu aktor
target multi-aktor
4
Tujuan satu gol
Tujuan multi-tujuan
5
tujuan jelas dinyatakan
tujuan ambigu atau tidak jelas
6
durasi pendek
duraion panjang




[1] Kemaharajaan Britania adalah merujuk pada periode kekuasaan Britania di anakbenua India, yang mencakup India, Bangladesh, Pakistan, dan Myanmar, di mana wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan kolonial Britania sebagai bagian dari Imperium Britania.
[2] Favela adalah sebutan untuk daerah kumuh di Brazil,.

11 komentar:

  1. Halo apa kamu punya buku Grindle? boleh saya beli/pinjam untuk keperluan skripsi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. mau tanya dong kalo mau nyari bukunya dimana ya? sama boleh fotoin cover bukunya ga?
      kalo bisa tolong kirim ke email hannyrevii@gmail.com

      Hapus
    2. sama judul bukunya apa yg grindle

      Hapus
  2. Halo, sanagt bermanfaat. jika boleh sy minta sfile document untuk postingan yang antum buat boleh? jika berkenan bisa kirim ke gmail aprianjaelani@gmail.com

    BalasHapus
  3. Mantap ini, ak juga boleh mintak failnya untuk keperluan sekripsi jika berkenan bisa kirim ke agussule123@gmail.com

    BalasHapus
  4. kalau mau beli buku Grindle di mana buat keperluan skripsi

    BalasHapus
  5. kalau ingin beli bukunya grindle dimana ya? mohon infonya, atau berkenan untuk mengirim ke email yuniastuti981@yahoo.com untuk keperluan skripsi, terima kasih banyak

    BalasHapus
  6. halo maaf kalo boleh tahu apa Anda mempunyai buku Grindle ? atau kalo ada yang berkenan mengirimkan ke email helmimemet21@gmail.com untuk keperluan skripsi, terimakasih banyak

    BalasHapus
  7. Maaf kalau ingin beli bukunya grindle dimana ya? Mohon infonya atau kalau berkenan mengirimkan ke email nandayenirima@gmail.com untuk keperluan skripsi,
    Terimakasih🙏

    BalasHapus
  8. Maaf,kalau cari bukunya dimana yaa kak, atau kalau berkenan mengirimkan soft file Nye ke email mhidayat1210@gmail.com untuk materi skripsi, terimakasih

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini, berkomentarlah dengan bijak, baik dan tidak spam.