Teori Kontrol Birokrasi merupakan
pendekatan terhadap teori administrasi publik khususnya terkait masalah
penyesuaian dan ketanggapan. Pertanyaan ini memfokuskan kepada teori control
birokrasi. Apakah birokrasi mematuhi hukum sesuai dengan preferensi anggota
parlemen atau eksekutif terpilih? Untuk menjawab pertanyaan ini, teori control
birokrasi menerima adanya dikotomi politik-administrasi (atau
kebijakan-administrasi). Terkadang dikotomi dapat dijelaskan dan diterima
dengan jelas, serta diasumsikan secara sederhana. Tetapi logika teori control
birokrasi tidak mudah diasumsikan secara sederhana tanpa adanya perbedaan
asumsi secara signifikan antara politik
dan administrasi dalam pemerintahan demokrasi.
Dikotomi politik-administrasi menelusuri
asal usul dari administrasi publik modern. Ketika dokumen pendirian Amerika
dirumuskan, terdapat dikotomi yang menciptakan adanya pemisahan legislative dan
kekuatan eksekutif. Alexander Hamilton mengeluarkan pendapatnya bahwa presiden
harus mampu mengendalikan sistem pemerintahan dari hari ke hari dan Thimas
Jefferson juga berpendapat bahwa legislative terpilih harus secara langsung
melakukan control terhadap presiden (Rohr 1986, Kettl 1993a). Di Negara dan
daerah Pemerintahan Amerika, dikotomi politik-administrasi juga dimainkan
mellaui legislative (dewan kota) dan kekuatan eksekutif. Semua 50 negara
memiliki pemisahan struktur kekuasaan dan selama 20 abad pemisahan struktur
kekuasaan masih dilaksanakan, dan diterapkan hamper di semua kota.
Disemua tingkat federalism Amerika,
pemisahan kekuasaan telah dirubah dengan munculnya sistem merit dan pegawai
negeri. Ketika pegawai negeri berada pada tahap awal, Woodrow Wilson
(1887/1941) menetapkan sebuah versi dikotomi kaku, yang dinyatakan di seminar
essay nya bahwa dalam administrasi publik modern seharusnya politik tidak ikut
campur dalam administrasi dan
administrasi seharusnya tidak ikut campur dalam politik. Dikotomi ini dapat
diterima secara luas di administrasi publik Ameruka sampai pertengahan tahun
1900-an. Ketika Dwigth Waldo (1946) dan Hebert Simon (1947/1977) ditantang
terkait dikotomi ini untuk beberapa alasan yang berbeda. Untuk Waldo, semua tindakan
administratif berada tingkat politik paling dasar. Sedangkan untuk Simon,
dikotomi merupakan sebuah kesulitan yang bersifat empiris untuk mengurai
politik dari administrasi dan sebaliknya. Sehingga dari tahun 1950 sampai 1970
terdapat kebijakan bahwa tidak ada “dikotomi” dalam kurun waktu tersebut.
Kemudian di tahun 1980, “dikotomi” muncul kembali dan berkembang dengan baik
dan dikotomi ditemukan di teori kontrol birokrasi.
Makna dari teori kontrol birokrasi
adalah bahwa teori kontrol birokrasi menyediakan analisis administrasi publik
untuk membuat perbedaan antara tindakan politik dan administrasi dan/atau
antara aktor politik dan administrasi. Selain itu, perbedaan atau dikotomi ini
secara khusus menggunakan analisis karena di dalam teori kontrol birokrasi juga
menyediakan penguraian variabel berdasarkan politik (variabel independen) dan
variabel berdasarkan administrasi (variabel dependen).
Alasan kedua tentang pentingnya teori
kontrol birokrasi adalah dalam pemerintahan demokratis, pejabat terpilih
(termasuk anggota legistatif dan eksekutif seperti presiden, gubernur,
walikota) seharusnya juga mengawai keputusan dan tindakan yang dilakukan (oleh
para pegawai negeri). Ilmu politik di Amerika, menjelaskan bentuk dan karakter
dari kontrol politik birokrasi ditunjukkan dengan perdebatan panjang mengenai
kebijakan yang harus diberikan birokrasi dan birokrat dengan benar (Finer,
1941;1940). Di zaman modern, perdebatan mengenai karakteristik terbaik di
ungkapkan oleh Theodore Lowi (1979), dimana ia berpendapat bahwa kita
membutuhkan demokrasi berasaskan hukum
yang mana undang-undang dan
peraturan dapat digunakan dengan tepat dan dapat membatasi birokrasi dalam
melaksanakan fungsi sesuai dengan undang-undang peraturan. Sedangkan menurut
Charles Goodsell (1983) berpendapat bahwa kebijakan birokrasi seharusnya dapat
mencapai efektifitas dan adanya penegakkan hak asasi manusia. Donals Kettl
menangkap perbedaan ini dan menempatkkan kedua perbedaan tersebut dalam konteks
sejarah.
Perbedaan pendekatan
dalam studi administrasi biasanya datang dari dua konflik tradisional di sistem
politik Amerika dan masing-masing tradisi membawa prespektif yang berbeda pada
sistem demokrasi Amerika. Terdapat beberapa mahasiswa administrasi yang
berorientasi terhadap pemikiran Hamiltonian.
Seperti Alexander Hamilton, mereka berusaha menciptakan negara yang kuat dengan
aparat pejabat publik yang kuat. Selain itu terdapat mahasiswa administrasi
lainnya yang berorientasi pada pemikiran Madisonians.
Seperti Madison, mereka melihat adanya keseimbangan kekuasaan perlindungan
terhadap kesewenang-wenangan. Dalam pandangan mereka, adanya persaingan
kepentingan politik dapat mengurangi resiko birokrasi terhadap penyalahgunaan
kebebasan individu (1993a:407)
Teori kontrol birokrasi berupaya menghilangkan
ketidakpercayaan/keraguan dalam kekuasaan administrasi dari pemikiran
Madisonian. Banyak teori kontrol birokrasi berasal dari bagian ilmu politik
Amerika yang berdasarkan pada pemikiran Madisonian. Ahli ekonomi dan teori
ekonomi telah dijajah oleh ilmu politik yang menyebabkan kecenderungan untuk
mengikuti pemikiran Madisonian. Dengan membandingkan, tradisional dan
administrasi publik dengan menitikberatkan pada manajemen, keahlian, dan
profesionalisme, cenderung untuk menghilangkan pemikiran Hamiltonian (Kettl,
1993).
Perbedaan antara Politik dan
Administrasi
Gambar 2.1 : penggambaran mengenai
perbedaan antara politik dan administrasi secara tradisional
Penggambaran tentang perbedaan antara
politik dan kebijakan menimbulkan adanya pertanyaan mengenai tingkat
ketelitian, kekehususan, dan kejelasan di dalam kebijakan. Dalam era reformasi
dan pada decade awal administrasi publik, hal tersebut diasumsikan bahwa
administrasi memberikan persyaratan kebijakan yang mampu menerima kecanggihan
teknologi dan efisiensi administratif. Lebih lanjut diasumsikan bahwa garis
antara kebijakan/politik dan administrasi dianggap sebagai “dinding api”. Kritik
empiris mengenai perbedaan kebijakan dan administrasi dapat dijelaskan melalui
gambar 2.2
Gambar 2.2 : penggambaran empiris
mengenai perbedaan antara politik dan administrasi
Secara empiris, model ini menggambarkan
hasil yang lebih akurat. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan para birokrat
dalam agenda setting kebijakan dan pembuatan kebijakan ((Kingdon 1995;
Bardach 1997) dan pejabat
terpilih juga sering terlibat dalam pendiskripsian manajemen atau administrasi
(Gilmour dan Halley 1994)
Model ini menggambarkan dengan jelas
bahwa terdapat kontrol politik birokrasi. Tetapi itu juga menunjukkan bahwa
adanya keterbatasan dalam pengendalian (kontrol) dan juga adanya birokrasi yang mengendalikan kebijakannya tanpa adanya
kontrol politik administrasi (birokrasi). Hal ini seperti sebuah model yang
menggambarkan tujuan dari teori grafis seperti
model verbal, matematika, grafis, tetapi tidak memperhitungkan
penjelasan yang detail dalam pola interaksi birokrasi politik.
Salah satu kemajuan teoritis yang paling
menari dalam teori kontrol birokrasi berasal dari studi manajer dewan
Pemerintah Kota Amerika yaitu telah adanya dasar pemikiran yang jelas mengenai
perbedaan antara kota popular yang dipilih dan responsibilitas kota tersebut
dalam mengatur hukum dan kebijakan.
Lebih lanjut, James H.Svara (1994) telah
membuat studi lebih luas tentang kota yang memperkerjakan dewan manajer dan
menjelaskan hubungan antara pejabat terpilih dengan manajer (karyawan). Dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 4 model hubungan antara pejabat
terpilih dan para administrator (karyawan/pegawai negeri sipil). Gambar 2.3
Dalam masing-masing gambar, tanda garis
tebal merupakan pembatas antara pejabat
terpilih (politik) dan manajer/karyawa/PNS (administrasi). Seluruh bagian yang
berada diatas garis tebal mewakili pejabat terpilih, sedangkan bagian yang
berada dibawah garis tebal mewakili administrator
Model dikotomi kebijakan – administrasi
digambarkan dalam gambar 2.3a dimana modelnya menyerupai gambar 2.1 dan
menggambarkan tradisi reformasi kota dan bentuk dewan manajer pemerintahan
daerah. Itu juga cukup menggambarkan teori awal Wilson Goodnow sebagai logika
postivisme Hebert Simon dan perbedaan antara fakta (administrasi) dan nilai
(kebijakan). Masalahnya adalah bahwa model ini kurang memiliki kekuatan dan
kosistensi yang menjamin dewan manajer pemerintah. Dimana salah satu harapannya
adalah mampu untuk menemukan dinding pembatas antara politik dan administrasi.
Gambar 2.3b menggambarkan model “Campuran
Kebijakan” yang menjelaskan mengenai pengaruh perilaku dan politik dan
administrasi sebagai media untuk mendistribusikan nilai, biaya, dan keuntungan.
Para politikus dan birokrat turut berperan dalam proses distribusi ini dan
administrator mempunyai peluang yang luas untuk mengatur kebijakan, menciptakan
proposal, melaksanakan kebijakan, menyusun anggaran, menentukan pelayanan,
mengimplementasikan kebijakan yang diformulasikan oleh pejabat terpilih (Svara,
1994). Dibawah garis lengkung menggambarkan bidang / bagian dari kekuatan
birokrasi dalam pembuatan kebijakan, atau menghilangkan kontrol politik dalam
birokrasi. Bagian bawah garis lengkung menggambarkan adanya serangan politik
terhadap administrasi (birokrasi). Dewan manajer pemerintah dalam model
campuran kebijakan ini memiliki perngaruh besar dan menggambarkan bentuk umum
dari kontrol birokrasi (Frederickson, Johnson, Wood, 2004).
Gambar 2.3c menjelaskan model “Campuran
Administrasi” yang berlawanan dengan model model campuran kebijakan. Hubungan
dalam model campuran administrasi iini menjelaskan adanya pemeriksaan mendalam
oleh anggota dewan terpilih mengawai
perilaku pemerintah sehari-hari. Penjelasan lainnya, model campuran
administrasi digunakan sebagai hal prerogratif (hak istimewa) untuk mengatur
kekangan yang berlebihan oleh birokrasi atau bentuk respon politik (Bledsoe,
1993)
Gambar 2.3d model gambar
mengilustrasikan bahwa pejabat terpilih dan administrasi memiliki kedudukan
yang sama. Menurut Svara, model ini menjelaskan tuntuan terhadap administrasi
publik dimana administrasi publik harus memiliki legitimasi yang kuat dan kewajiban
melindungi kepentingan bersama (yang sering disebut keadilan social) untuk
menjadi agen bagi masyarakat dan mengelola urusan daerah berdasarkan hukum,
arahan dewan, strandar efisiensi dalam birokrasi, dan keadilan (Frederickson
1997b, Wamsley dan Wolf 1996, Goodsel 1983). Model co-equal menurut Svara (Gambar 2.3d) mendiskripskan kota dengan
para dewan memberikan batasan dalam
mengatur kebijakan dan menentukan anggaran tahunan tetapi kepala daerah
memberikan kebebasan dalam melaksanakan kebijakan dan memberikan pelayanan
sesuai dengan standart efisiensi dan keadilan tanpa melihatkan para dewan. Selain
itu model co-equal menjelaskan
tentang ketiadaan kontrol birokrasi. Secara umum sering ditemukan diantara para
pemimpin daerah bahwa kebutuhan mengenai kontrol politik telah memenuhi sesuai dengan ketetapan,
standart pengaturan, dan ketetapan anggaran.
Dengan menggunakan beberapa model
diatas, Svara menemukan bahwa terdapat masalah empiris karena dalam model-model
tersebut. Kemudian Svara mengemukakan kembali empat model yang ditunjukkan di
gambar 2.4. adanya penguraian dikotomi dengan menggunakan empat
kategori/indikator sesuai dengan aktivitas pemerintah dan mendiskripsikan tugas
pejabat politik (DPR/Council) dan para birokrat dalam masing-masing kategori.
Gambar 2.4 penguraian dikotomi : dimensi
proses pemerintah
Dengan menggunakan empat indikator
(misi, kebijakan, administrasi, manajemen), dia menyusun hasil penemuannya
dalam empat pemisahan yang digambarkan dalam empat model, yang ditampilkan
gambar 2.5. Gambar 2.5a menggambarkan bahwa beberapa kota terbaik memiliki
manajer yang kuat. Penemuan paling utama dalam gambar ini adalah lingkup
manajer untuk bertindak lebih besar dalam empat fungsi pemerintahan. Ini dapat
dideskripsikan seperti direktur
perusahaan, dimana kebijakan di definiskan oleh manajer dan dewan (DPR)
menerima atau membuat legitimasi kebijakan. Gambar 2.5b menjelaskan adanya
dominasi dewan dimana berlawanan dari gambar 2.5a. pada gambar ini dijelaskan
bahwa, lingkup luas yang dimiliki dewan dalam semua empat indicator. Ini juga
disebut kontrol dewan dalam birokrasi. Poin penting dari kuatnya manajer atau
dominasi dewan adalah adanya persilangan karakter kekuasaan dan pengaruh.
Gambar 2.5c mendiskripsikan bahwa seorang dewan harus menyediakan tajam dalam
semua area dari pada dalam model tipikal dan diperlukan sikap yang tegas dalam
semua bidang. Serangan dewan membuat para administrator harus senantiasa
menawarkan usulan kebjijakan serta tidak dapat memprediksi kebijakan dari
reaksi kebijakan. Gambar 2.5d menjelaskan adanya antara ketegasan manajer dan
ketegasan dewan. Masing masing mengevaluasi tanpa adanya kontrol dewan atau manajer dalam
menjalankan kebijakan. Model ini menjelaskan beberapa variasi dalam merespon
manajerial dan birokrasi untuk melakukan kontrol politik. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa struktur manajer dewan selalu telah mengalami perubahan.
Apakah birokrasi lepas kontrol?
Kita kembali mencoba untuk memahami
lebih dalam mengenai bentuk pemerintahan demokrasi dan teori yang menjelaskan
atau melaporkan peranan dan perilaku birokrasi, khususnya peranan dan perilaku
yang tidak terkontrol oleh pejabat terpilih.
Salah teori yang memfokuskan terhadap
kontrol birokrasi dapat dijelaskan
sebagai teori birokrasi. Teori ini mencari asal usul tentang studi pemerintah
federal khususnya studi tentang proses regulasi (undang-undang). Salah satu
bentuk dari teori ini, peraturan atau lisensi industry yang mana sangat
mempengaruhi kontrol regulasi (undang-undang). Versi lain dari teori ini adalah
proses birokrasi didominasi oleh tiga serangkai aktor kebijakan, yaitu kelompok
kepentingan, komite kongres yang bertugas mengawasi kinerja instansi,dan
instansi pemerintahan (Wood dan Waterman 1994). Umumnya, ini merupakan jenis
dari kemajemukan teori yang dikenal dengan “iron triangles” (Heclo 1978). Ketiga
versi mengenai teori birokrasi mendukung adanya kontrol birokrasi oleh
kebijakan elit. Itu diasumsikan, badan legislatif tidak ikut campur terhadap undang-undang yang
dibentuk oleh para delegasi pembuat kebijakan dan telah memberikan kebijakan
yang luas untuk mengatur birokrasinya. Hasil analisis dari teori ini
membuktikan bahwa kenyataan fungsi dari badan regulasi telah berada diluar
kontrol presiden (gubernur, walikota)
dan kongres (badan legislatif dan dewan kota). Oleh karena itu, analisis dari
teori ini sering mengacu pada hubungan antara industri, institusi
perundang-undangan, komite legislatif sebagai sub sistem kebijakan diluar
kontrol presiden dan lembaga lainnya.
Hal yang menarik dari analisis teori ini
bahwa mereka mendukung adanya kontrol politik birokrasi berlebihan. Seperti
kita lihat, argument ini berlawanan dari teori modern pada umumnya bahwa adanya
batasan terhadap kontrol politik birokrasi.
TEORI AGENSI
Bab ini ditutup dengan ulasan dari teori kontemporer yang paling
populer kontrol politik birokrasi : principal agent teori atau, lebih
sederhana, teori lembaga. Kerangka baru ini telah banyak diterapkan untuk studi
di pengaruh kepemimpinan, khususnya
Kongres dan presiden, dan agen, yaitu
pelayan sipil. Premis awal dalam teori ini adalah bahwa birokrasi yang baik di
luar kendali atau setidaknya sangat sulit dikendalikan. Premis ini diambil
terutama dari analisis ekonomi awal birokrasi oleh Gordon Tullock (1965) Anthony
Downs (1967), and William Niskanen (1971),
semuanya menganggap birokrasi seolah-olah memaksimalkan diri individu atau mendirikian
perusahaan di pasar. Dalam premis ini, birokrasi menimbun informasi (asimetri
informasi), mencari otonomi, dan mengabaikan tanggung jawab.
Menggunakan dua
penelitian lapangan empiris terutama
dengan data kuantitatif dan pemodelan matematika deduktif, teori agensi telah
diuji jangkauan dan bentuk legislatif dan kontrol eksekutif atas birokrasi. Hampir
semua penelitian ini dilakukan pada pemerintah nasional. Dalam temuan tentang
kajian mereka, Dan Wood and Richard Theories
of Political Control of Bureaucracy 35 Waterman (1994) menyatakan bahwa
teori agensi adalah eksplisit dalam asumsi logic dari dikotomi
politik-administrasi. asumsi, tentu saja, adalah bahwa terdapat hubungan
hirarkis antara pemberi
wewenang/investor (principal) dan penerima wewenang
/ manajer (Agen) dan dapat dipahami
sebagai serangkaian kontrak atau transaksi antara pembeli jasa dan penyedia
jasa. Dalam konteks publik, yang terpilih "pembeli" mencoba untuk
membentuk layanan preferensi (selera) nya melalui hukum, peraturan, perintah
eksekutif, alokasi, dengar pendapat, dan segala jenis co-manajemen. birokrasi adalah
"penjual" jasa atau campuran dari pendidikan profesional dan keahlian,
respon terhadap hukum dan konstitusi, dan upaya untuk melayani klien. teori
agensi adalah cara yang sangat berguna
untuk memahami hubungan antara waktu, politik, dan birokrasi. Legislator ingin
merubah birokrasi menuju posisi favorit
mereka untuk mengontrol koalisi masa lalu dan legislasi yang timbul dari
koalisi mereka. Menurut Wood and Waterman, "Teori Agency berpendapat
proses interaksi antara pricipals dan agen adalah dinamis, berkembang berdasarkan
waktu. Sepanjang proses ini, birokrasi memiliki informasi yang berbeda, dan
keuntungan keahlian lebih dari politisi. Mereka memahami kebijakan, dan
prosedur organisasi yang diperlukan untuk menerapkannya.sebagai contoh, mereka
memiliki dua kesempatan yaitu insentif untuk memanipulasi politisi dan proses
untuk kepentingan politik "(1994;23)
Salah satu mekanisme
penting untuk mengontrol birokrasi, yang mungkin bisa disebut bentuk modern
dari akuntabilitas, adalah penggunaan pelaporan untuk mengadakan bertanggung
jawaban birokrasi atas kinerja mereka. Hal ini menciptakan " bawahan yang Jelas dan peran responsif" untuk
anggota. (Dubnick 2005,36). Demikian, kinerja dan
akuntabilitas prinsip-prinsip politik menjadi terkait erat, dan pelaporan
sehingga Meningkatkan kekuatan dari principal terhadap anggota. Bergerak ke
arah penggunaan pelaporan organisasi, terutama oleh pemerintah federal sejak
2001, adalah gejala dari bentuk akuntabilitas. Laporan organisasi berguna untuk
membangun dan mempertahankan kontrol, karena mereka memberikan data tentang
banyak anggota dan dalam format standar untuk principals yang tertarik menilai
kinerja (Gormley and Weimer 1992). Akuntabilitas juga
berfungsi untuk mengurangi Keuntungan informasi
biasanya dinikmati oleh pejabat birokrasi. penggunaan pelaporan sebagai
mekanisme kontrol menjadi terkenal saat digunakan oleh institusi
administrasi milik George W. Bush’s, administration instituted the Program
Assessment Rating Tool (PART), Office of Management and Budget (Kantor Manajemen
dan Anggaran) berguna sebagai badan pemerintah bertanggung jawab untuk membantu akuntabilitas badan pemerintah
lainnya agar sukses. Sebagai contoh bagaimana alat itu digunakan, skor di
Departmen Perdagangan mengakibatkan
konsolidasi dari Program Community Development Block Grant dan Program bantuan
Pembangunan Ekonomi.
Sebagai Pelaporan dan
evaluasi program telah meningkat dalam kecanggihan, ketegangan telah muncul
antara prinsipal dan anggota. William Gormley and Steven Balla (2008)
menunjukkan bahwa evaluasi kinerja berhubungan erat dengan akuntabilitas, agar
anggota diharapkan tunduk pada pelaporan
yang ketat sehingga anggota mungkin akan
kehilangan kebebasan untuk menggunakan keahlian mereka untuk menjadi inovatif
dalam cara mereka mengatasi masalah yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini
dapat membuat sulit untuk street level birokrat untuk memberikan pelayanan yang
efektif. Contoh populer dari situasi ini adalah kekhawatiran atas bagaimana No
Child Left Behind Act akan menciptakan insentif bagi guru untuk secara
sederhana "Mengajar untuk tes" sehingga kelas dan sekolah mereka akan
terlihat baik pada laporan standar kinerja federal. Meskipun pelaporan merupakan
metode penting untuk mengendalikan birokrasi, hasil penelitian dari Wood and
Waterman (1994) menyatakan bahwa keuntungan di
bidang informasi dan keahlian masih terus dipegang oleh lembaga. Ditambah
dengan fakta bahwa laporan organisasi dan evaluasi program tidak pernah bisa
memberikan gambaran lengkap kinerja birokrasi, hubungan principal-agent masih
bernuansa dan kompleks (Gormley and Balla 2008; Palumbo 1987).
Selanjutnya, Maynard-Moody
and Musheno (2009) mengungkapkan bahwa seperangkat
hubungan antara warga negara, agen, dan negara
adalah lebih kompleks dari sebelumnya, yang membuat pengendalian birokrasi
lebih sulit. Temuan ini konsisten dengan
temuan lain yang setuju bahwa suatu kebijakan dapat mengurangi kemungkinan kontrol atas pekerja
street level (Brehm and Gates 1997) MaynardMoody and Musheno
menemukan, meskipun kita harus mengakui kesulitan kerja street level dan mentolerir beberapa
kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan, kita tidak boleh lupa bahwa street-level
bureaucrats memang agen negara. Hal ini menciptakan perdebatan harapan antara
penganut Teori principal dan hubungan antara masyarakat dan street level
bureaucrats
Namun, dalam temuan kajian mereka berdasarkan teori agensi, Wood
and Waterman (1994) menunjukkan hal berikut :
1.
Tanggapan
birokrasi untuk kontrol politik lebih
kepada nilai norma. Berbagai faktor seperti kontingen, waktu, presidensial dan kesepakatan kongres, dan banyak lagi, mempengaruhi
tingkat tanggapan birokrasi.
2.
Mekanisme
kontrol politik adalah penting, seperti janji presiden, alokasi kekuasaan, dengar
pendapat, dan efektivitas staf .
3.
Dalam
hal organisasi, Lembaga di eksekutif atau kabinet departemen lebih responsif, sedangkan
lembaga independen yang lain kurang begitu responsif.
4.
Statement
presiden berpengaruh, seperti laporan pemimpin senior kongres.
Bagaimana birokrasi
menanggapi kontrol politik? Dalam kajian mereka terhadap lembaga Penelitian teori badan-badan federal,
Wood and Waterman menyimpulkan bahwa ada hubungan dua arah yang dinamis di mana
legislator memberikan pilihan untuk birokrat dan birokrat memberikan pilihan untuk
legislator :
Beberapa
berpendapat bahwa hubungan kekuasaan dua arah adalah bukti dari disfungsi politik,
mengingat bahwa birokrasi adalah lembaga tak terpilih. Namun, kami menyarankan
yang terjadi adalah sebaliknya. Hal ini baik untuk birokrasi agar menggunakan
keuntungan informasi untuk lebih menginformasikan pimpinan tentang masalah kebijakan atau sifat
proses birokrasi. Selanjutnya, kemungkinan
resistensi birokrasi untuk politisi yang terpilih sebenarnya
kadang-kadang lebih konsisten dengan demokrasi dan preferensi (selera) masyarakat. Masyarakat dan banyak kelompok
sangat menentang anjuran de-regulasi lingkungan hidup dari Reagan
administration, dan pelayanan birokrasi digunakan sebagai pemeriksa kekuasaan
presiden. (1994, 126)
Dalam melaksanakan
kebijakan, birokrasi yang terperangkap di antara mayoritas
koalisi dan undang-undang dan mayoritas
kebijakan politik serta koalisi politik
saat ini dan tergantung pada pilihan politik. Hal ini menjadi lebih
rumit oleh fenomena co-manajemen; faktanya, birokrasi menghadapi persaingan beberapa
pimpinan. Dalam satu hierarki kepemimpinan Kongres dianggap sebagai kontrol; di lain hal sebagai presiden. Kombinasi
waktu dan beberapa prinsip bersaing membuat birokrasi lebih adaptif. Yang
terutama, birokrasi federal telah beradaptasi. Kecepatan, diskresi, dan
tergantung pada cara beradaptasi.
Meskipun terdapat retorika
negatif dalam beberapa teori agensi, seperti "Penipuan lembaga,"
"kelalaian birokrasi," dan " penimbunan informasi lembaga" temuan
umum penelitian ini memberikan kontribusi yang berguna untuk teori administrasi
publik.
Dalam (merekonsiliasi)
mendamaikan teori birokrasi dengan teori demokrasi, birokrasi kadang-kadang
menolak kontrol terhadap pemimpin. administrator Anne Burford terlibat langsung
dalam Badan Perlindungan Lingkungan (EPA).
Teori keagenan (Agency
theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang
dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori
keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan
adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu
investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam
bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract”.
Perbedaan “kepentingan
ekonomis” ini bisa saja disebabkan ataupun menyebabkan timbulnya informasi
asymmetri (Kesenjangan informasi) antara Pemegang Saham (Stakeholders) dan
organisasi.
Diskripsi bahwa
manajer adalah agen bagi para pemegang saham atau dewan direksi adalah benar
sesuai teori agensi.
PERMASALAHAN
Teori agensi
mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri.
Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil
keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para
agen disumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat
yang menyertai dalam hubungan tersebut.
Karena perbedaan
kepentingan ini masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri
sendiri. Principal menginginkan pengembalian yang sebesar2nya dan secepatnya
atas investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden
dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya diakomodir
dengan pemberian kompensasi/bonus/insentif/remunerasi yang “memadai” dan
sebesar2nya atas kinerjanya. Principal menilai prestasi Agen berdasarkan
kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Makin
tinggi laba, harga saham dan makin besar deviden, maka Agen dianggap
berhasil/berkinerja baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.
Sebaliknya Agen pun
memenuhi tuntutan Principal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi. Sehingga
bila tidak ada pengawasan yang memadai maka sang Agen dapat memainkan beberapa
kondisi perusahan agar seolah2 target tercapai. Permainan tersebut bisa atas
prakarsa dari Principal ataupun inisiatif Agen sendiri. Maka terjadilah
Creative Accounting yang menyalahi aturan, misal: adanya piutang yang tidak
mungkin tertagih yang tidak dihapuskan; Capitalisasi expense yang tidak
semestinya; Pengakuan penjualan yang tidak semestinya; yang kesemuanya
berdampak pada besarnya nilai aktiva dalam Neraca yang “mempercantik” laporan
keuangan walaupun bukan nilai yang sebenarnya. Atau bisa juga dengan melakukan
income smoothing (membagi keuntungan ke periode lain) agar setiap tahun
kelihatan perusahaan meraih keuntungan, padahal kenyataannya merugi atau laba turun.
Salah satu hipotesis
dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah perusahaan cenderung
lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai
perusahaan.
Contoh nyata yang
dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan karena pihak agensi
memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi),
sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau
golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan
(discretionary power).
Contoh lain Agency
theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga kemahasiswaan.
Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk
mengelolah organisasi menjadi agen yang idealnya mampu mengakomodasi semua
kepentingan keluarga.
Namun, terkadang
pengurus lembaga kemahasiswaan tak mampu menjalankan ini dengan baik.
Kecenderungan pengurus lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan
keinginannya. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.
Terdapat tiga masalah
utama dalam hubungan agensi, yaitu :
1. Kontrol pemegang
saham kepada manajer
2. Biaya yang
menyertai hubungan agensi
3. Menghindari dan
meminimalisasi biaya agensi
Hubungan agensi ini
memotivasi setiap individu untuk memperoleh sasaran yang harmonis, dan menjaga
kepentingan masing-masing antara agen dan principal. Hubungan keagenan ini
merupakan hubungan timbal balik dalam mencapai tujuan dan kepentingan
masing-masing pihak yang secara eksplisit dan sadar memasukkan beberapa
penekanan seperti:
Kebutuhan principal
akan memberikan kepercayaan kepada manajer dengan imbalan atau kompensasi
keuangan
Budaya organisasi yang
berlaku dalam perusahaan
Faktor luar seperti
karasteristik industri, pesaing, praktek kompensasi, pasar tenaga kerja,
manajerial dan isu-isu legalStrategi yang dijalankan perusahaan dalam
memenangkan kompetisi global
SOLUSI &
KESIMPULAN
Ditegaskan oleh Watts
(1992) bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan
sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik.
Hubungan agensi dengan
demikian tidak dibangun dari akar self-interest, tetapi dengan cinta. Cinta
akan tetap memberi kemanfaatan materi, saling berbagi dan kebermaknaan hidup.
Mudahnya, bila konsep kekayaan hanya dipandang sebagai bentuk ekonomi semata,
maka yang terjadi adalah konflik kepentingan di atas hubungan kooperatif.
Tetapi bila konsep kekayaan dipandang sebagai bentuk trilogi, maka ada proses
trust yang masuk dalam mekanisme hubungan, trust yang didasari oleh cinta dan
saling berbagi. Gagasan ini memang mirip seperti model principal-agent yang
lebih teoritis dan perlu diuji secara empiris, daripada mendekat pada model
positivist yang lebih empiris tetapi akan mereduksi konsep teoritis yang
sebenarnya penting seperti juga ditegaskan oleh Eisenhardt (1989).
Dalam rangka
memotivasi para manajer dan pemegang saham agar berperilaku dalam sikap yang
memajukan tujuan perusahaan, Burdett dapat memberikan rekomendasi kepada dewan
direksi, yaitu :
Penilaian terhadap
kinerja manajer dibuat dengan kontrak yang jelas sehingga memotivasi agen
bekerja dengan kepentingan terbaik principal
Principal memberikan
pilihan rencana insentif jangka pendek dan jangka panjang dan agen diberikan
keleluasan dengan batasan yang menguntungkan kepentingan para pemegang saham
Untuk mencegah
kemungkinan terjadinya konflik2 tersebut, maka ada beberapa hal yang harus
dilakukan, diantaranya:
Penyusunan Standar
yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk jabatan
fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi2 tertentu yang dianggap
strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan
implementasi (enforcement) tanpa ada pengecualian2 yang tidak masuk akal
Diadakan tes
kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan
terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan
adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak
“berkenan” dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada
alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran
profesionalisme dikedepankan
Akuntabilitas dan
Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan monitoring
dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum2 dapat diketahui
dan diberikan sangsi tanpa kompromi. Oknum2 tersebut harus diumumkan pada
publik dan tindakan apa yang telah diambil untuk menciptakan kontrol agar tidak
terjadi “permainan” sehingga oknum2 tersebut bisa lolos dari sangsi yang berat.
Oknum yang terbukti bersalah tidak berhak lagi mendapatkan “penghargaan”
sehingga dapat menimbulkan efek “kapok” bagi yang lain agar tidak berani
mencoba-coba. Hal yang sama juga diperlakukan pada pegawai/pejabat yang
berprestasi, selain diberi reward, juga diumumkan untuk memberi efek “IDOL”
sehingga ditiru oleh pegawai/pejabat lainnya
KESIMPULAN
Teori kontrol politik
birokrasi adalah pusat untuk setiap pemahaman terbaru tentang administrasi publik.
Mereka memiliki banyak variasi dan diuji dengan menggunakan berbagai teknik
metodologis. teori tersebut adalah
tulisan terdahulu dari Woodrow Wilson’s dan Teori Agensi baru.
sehingga kembali pada
pernyataan tentang dikotomi politik-administrasi, Sebagai teori dari kontrol politik birokrasi untuk membagi politik
dan administrasi adalah kunci untuk memahami bagaimana politik mengendalikan
birokrasi dan bagaimana birokrasi mempengaruh i politik dan kebijakannya. Karena
itu, itu
salah jika dikatakan pendekatan administrasi publik berasumsi bahwa politik dan
administrasi sama. Review sebelumnya menunjukkan bahwa beragam bentuk politik
dan kebijakan serta variasi bentuk
administrasi publik ketika dimasukkan ke dalam persamaan yang sama memajukan
pengembangan teori verifiable.
After his retirement,
Dwight Waldo diwawancarai oleh dua dari murid-muridnya, Brack Brown and Richard
J. Stillman Jr. wawancara sangat menarik ini tentang pemisahan kekuasaan dan
dikotomi politik-administrasi, mengingat bahwa Waldo mungkin lebih dari
orang lain berkontribusi terhadap kebijaksanaan yang diterima
bahwa tidak seperti ada dikotomi seperti :
STILLMAN : Anda juga
telah menunjukkan kesulitan yang sama
dengan pemahaman kita tentang pemisahan kekuasaan. Mengapa kemajuan lambat di
sini juga? Apakah ada jalan keluar dari dilema ini yang Anda anggap
menjanjikan?
WALDO
: Saya kira pertanyaan berikutnya akan menjadi, Apa sifat realitas?
Apa yang bisa saya
katakan untuk hal ini dalam beberapa menit? Yah, saya menawarkan beberapa
pengamatan yang saya nilai relevan
Pertama, pemisahan
kekuasaan sangat mencolok dan atau
tujuan kita. Skema rumit memisahkan dan pembagian kekuasaan dan fungsi dibangun
ke dalam Konstitusi, dan di lebih dari dua abad
Konstitusi telah dibangun ke dalam kehidupan nasional kita Kami tidak memiliki pilihan lain kecuali bekerjadengan dan / atau
pemisahan tripartit.
Lembaga Kerja Sama Tripartit. Lembaga
Kerja Sama Tripartit (LKST) adalah forum komunikasi dan konsultasi antara
pemangku kepentingan tripartit (serikat pekerja, pengusaha dan Pemerintah)
untuk komunikasi, konsultasi dan pertimbangan.
Kedua, formula politik-administrasi,
perspektif, pendekatan, dikotomi memiliki arti sendiri yaitu merupakan upaya dari pada
bagian administrasi publik untuk bekerja dengan dan / atau diantara pemisahan kekuasaan. Itu diterima
oleh persetujuan umum, tetapi karena berbagai alasan : secara empiris tidak
benar untuk apa yang terjadi dan tidak mungkin untuk dioperasionalkan; menempatkan tangan profan (tidak
suci) pada skema suci; itu tersembunyi masalah etika dan mendorong tindakan
ilegal. Jadi, secara formal atau pura-pura, kami
menempatkan dikotomi ke samping. Tapi diwaktu yang sama, itu
tetap hidup, baik sebagai ide dan sebagai praktek. Dan
saya tidak menilai berlama-lama dalam inersia benda
yang diam akan tetap diam, dan benda yang bergerak akan terus bergerak sederhana, skema dua
kali lipat memiliki terlalu banyak terjadi dalam logic dan kegunaan dengan mudah menghilang.
Teori kontrol politik
birokrasi, dalam jumlah, adalah yang paling empiris dan secara teoritis elegan
di dalam administrasi publik
terima kasih pak atas tulisannya yang sangat menarik dan sangat membantu saya dalam melakui review tentang perilaku kebijakan publik. semoga Bapak selalu sehat dan selalu dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa. Amiiiin.
BalasHapus