Jelang kepergian Ramadhan, hangat perbincangan ajang tahunan kompetisi futsal Merantau Cup, mulai dari jersey merk apa yang akan digunakan, sampai kocok ulang pemain mana yang pas untuk diturunkan. Sungguh, betapa rindunya warga dan hausnya para pecinta bola di Pulau ini.

Memang sejak vakumnya perlombaan agustusan, Pulau Kadatua seolah lumpuh, ruang-ruang anak muda untuk menyalurkan libido olahraga juga mati, setahun penuh tanpa hiruk-pikuk.

Untungnya keberadaan ajang turnamen tahunan ini sedikit menjadi obat penawar. Warga terhiburkan & hasrat anak muda tersalurkan.

Tak hanya warga dan pecinta bola, beberapa tahun belakangan pemerintah dihampir semua desa di Pulau ini pun juga ikut dalam eforia itu. Ramai-ramai membangun fasilitas penunjang yakni lapangan yang tak sedikit anggarannya hingga mendekati angka milyaran rupiah.

Melihat fenomena ini seolah ada optimisme, bahwa sebentar lagi akan lahir bibit-bibit unggul.

Namun ternyata ajang turnamen dan fasilitas itu tidak berbanding lurus dengan prestasi yang dicapai, nyaris sewindu berjalan, belum ada talenta yang bermunculan. Sebut saja kompetesi yang diadakan di Kota Baubau baru-baru ini, club-club yang berasal dari Kadatua tandas dan tumbang dibabak penyisian.

Olehnya itu hendaknya ada evaluasi, utamanya perubahan mindset bahwa  turnamen dan keberadaan lapangan futsal di desa tak sekadar menjadi pajangan atau hiburan biasa, tetapi dinaikan levelnya sebagai pabrik talenta.

Anak-anak muda di desa diberikan tanggung jawab untuk menghidupkan lapangan, kemudian pemerintah desa memfasilitasi kebutuhan mereka, semisal bola, alat latihan dan bila perlu pelatih.

Dan juga turnamen-turnamen bila memungkinkan menggunakan standar nasional, kemudian dibuka seluas-luasnya tanpa batasan leluhurnya dari mana, darah apa dan ras apa.

Olahraga tidak boleh dikungkung, karena ia sejatinya bebas, asal ia minat dan raganya sehat, silahkan diolah. Supaya kita bisa belajar. Agar ada kesinambungan tidak putus begitu saja, habis turnamen surut juga semangatnya.

Jika hal itu dilakukan, tak menutup kemungkinan akan lahir talenta muda Kadatua yang berprestasi.




Ketika deposito sumberdaya laut Kadatua ludes karena eksplotitasi yang tidak ramah lingkungan dimasa lalu.

Sebagian besar orang-orang dipulau ini lalu merantau bermigrasi ketempat-tempat yang alamnya masih natural. Mencoba peruntungan disana, umumnya dikawasan timur indonesia (Maluku & Papua).

Menjadi nelayan lalu kemudian beralih berwirausaha. Perlahan ekonominya meningkat, dan menjadikan mereka naik tingkat menjadi masyarakat kelas menengah.

Saya teringat ketika masih duduk dibangku SMA, guru saya yang bukan asli kadatua saat itu pernah menyampaikan anekdot, katanya, meskipun pulau kadatua gersang dan alamnya hancur tapi kalau mau cari baret putih disinilah tempatnya.

Baret putih yang dimaksud adalah orang-orang yang sudah menunaikan rukun islam ke lima yang identik dengan kopiah putih.

Tak mengherankan memang, semenjak gelombang migrasi besar-besaran orang kadatua diwilayah timur, kelas ekonomi menengah baru juga ikut bermunculan. 

Berbeda dengan orang-orang yang memilih bertahan dikampung. Kehidupannya cenderung biasa-biasa saja, namun merekalah penjaga kadatua agar tidak mati dan terus hidup.

Sedang perantau itu muncul ketika dimomen-momen tertentu, semisal lebaran saja, setelahnya kembali ke daerah rantauan. Atau menetap kembali ke kampung ketika renta, sakit dan tidak berdaya.

Sungguh pun kampung kadatua yang dalam penggalan puisi aan mansyur adalah pulau yang hanya memiliki batu yang pepohonnya susah payah menghidupi nelayan. Tetapi ia selalu menanti pulang, menampung semua warganya dengan tangan terbuka tanpa terkecuali.

Maka hal itu seharusnya menjadi refleksi bersama, bahwa Kadatua bukan hanya identitas yang melekat dalam diri orang kadatua tanpa makna, tapi Kadatua adalah kata sifat dan kata kerja. Kata sifat dicerminkan dalam laku kehidupan dimanapun berada untuk toleran dan menghargai sesama sebagaimana diwariskan oleh leluhur, serta kata kerja adalah tindakan nyata untuk berkontrbusi.

Kita tahu momentum mudik lebaran adalah siklus peredaran uang yang masif yang digerakan umumnya oleh para perantau ketika pulang kampung, semua pelaku usaha mulai jasa transportasi serta sembako ikut masuk dalam pusaran itu. 

Harapannya siklus ini tidak hanya berkutat diperkotaan, tetapi dikampung halaman juga demikian. Jika perantau ingin belanja keperluan lebaran utamakan dulu barang yang dijual dikampung, ketika tidak ada baru belanja dikota, jangan pernah ngeluh belanja dikampung mahal atau apa, tetapi semata-mata untuk menghidupkan sementara aktivitas ekonomi dikampung, meskipun mungkin kecil namun itu bagian dari upaya untuk berkontribusi. (*)

 



Disela-sela rebah, menanti waktu sahur kuscroll akun medsosku, sebuah postingan dari kampung menggugah jempol ini untuk mengklik.


Kuklik munculah sebuah kanal youtube "Lelaki Super Mancing" menayangkan aktivitas nelayan sedang melaut. 


Sosok dalam video itu saya kenal persis ia adalah kakak-kakak kompleks, namanya Darlin warga Desa Kapoa yang akrab disapa Pak Guru Daali yang kini berprofesi sebagai nelayan. Sematan "Guru tentu bukan karena dia mantan atau pensiunan guru, tetapi ada alasan lain, nanti saya ceritakan dilain waktu.


Sekilas videonya biasa saja menampilkan adegan diatas perahu yang alat pancingnya disambar ikan seperti akun-akun pemancing lainnya, semisal Daeng Lala, Laode Arsan, La Ode Sahadati, dlsb.


Namun yang menjadi luar biasa adalah lokasinya dikampung Kadatua. Yang mana disini nelayan dianggap sebagai warga kelas dua yang identik dengan ketidakberdayaan. 


Padahal potensi yang dimiliki oleh mereka (nelayan) ada, namun tidak didukung dengan pendampingan dan fasilitas yang memadai, sebagaimana temuan riset yang dilakukan oleh Karmidin (2018) di Pulau Kadatua bahwa secara struktural penyebabnya yakni: Akses pasar & jaminan sosial.


Meski persoalan dunia kenelayanan dipulau ini pelik, tapi saya melihat sosok Darlin tidak mau pasrah berada dalam lingkaran itu, ia keluar dari zona mencoba berinovasi memadukan kapasitasnya sebagai nelayan dengan dunia kekinian. Dunia digital!


Kini channel youtubenya sudah memiliki 1900 lebih subscribe dan terus bertambah, dengan unggahan 53 video.


Kita tahu di dunia persilatan digital semua setara dan punya potensi viral, dikenal, dan peluang menghasilkan cuan, asal konsisten membuat konten. 


Mudah-mudahan Darlin dengan akun LELAKI SUPER MANCING-nya selalu konsisten menghasilkan konten, dan menjadi role model bagi kita semua, bahwa lokasi nun jauh dipelosok pulau gersang sekalipun bukan menjadi penghalang untuk berkreasi. (*)