Sebagai orang Buton, khususnya dari pulau kecil Kadatua, saya tumbuh mendengar cerita-cerita luar biasa tentang pelayaran orang-orang tua. Mereka berlayar menjelajahi nusantara hingga ke negeri asing, menggunakan perahu sope atau kapal boti. Yang mengagumkan, mereka melakukannya tanpa bantuan mesin. Jika arah angin tepat, kecepatan layar mereka bahkan bisa melebihi kapal bermesin.


Pertanyaan besar yang sering muncul di benak saya adalah: bagaimana mereka menentukan arah tanpa navigasi modern? Jawabannya ada pada kearifan lokal, terutama melalui rasi bintang dan "matano kawea," istilah dalam bahasa Buton untuk menunjukkan arah mata angin. Di Kadatua, dikenal 16 matano kawea, namun yang paling umum dan saya ingat ada delapan.


Kenangan ini kembali hidup saat saya duduk di bangku kelas 5 di SDN 1 Kapoa. Pak La Hamuli, guru kelas kami kala itu, saat kelas mata pelajaran IPA, ia mengajarkan delapan matano kawea ini, bukan hanya dalam bahasa Indonesia tetapi juga dalam bahasa lokal. Dari delapan arah itu, salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah "Beteno Pariama," atau arah tenggara.


Dalam bahasa Kadatua, "bhete" berarti pecah atau retak. Namun, arti "pariama" tetap menjadi teka-teki bagi saya hingga beberapa hari lalu saya menemukan postingan tulisan pendek yang ditulis oleh Saleh Hanan, seorang penulis dari Wakatobi. Ia menjelaskan konsep astronomi lokal tentang "bintang pariama" yang terbit di arah tenggara dan menjadi panduan mata angin.


Saleh Hanan menulis:


"Dalam ilmu astronomi Wakatobi, terdapat bintang pariama. Terbit di arah tenggara. Disebut bete na sangia, artinya 'pecah bintang'. Terbitnya menjadi penanda mata angin tenggara, disebut bete'a u pariama. Sifat cahaya bintang ini, saat pertama kali terbit pada bulan Juni, menjadi indikator apakah musim kemarau atau penghujan akan lebih dominan. Pilihan ini menentukan pola mata pencaharian masyarakat, bertani di darat atau melaut."


Kata sangia sendiri adalah tamsil untuk sesuatu yang dianggap suci, penuh berkah, dan dihormati. Dalam kepercayaan masyarakat lokal, bete na sangia tidak hanya menjadi panduan arah tetapi juga menentukan siklus kehidupan masyarakat Buton dan Wakatobi.


Pengetahuan tentang matano kawea dan bintang pariama ini adalah warisan luar biasa dari nenek moyang. Bagi saya, ini bukan sekadar cerita, melainkan refleksi atas kemampuan mereka membaca alam dan menggunakannya untuk bertahan hidup. Keberadaan matano kawea mengajarkan kita tentang harmoni dengan alam, kebijaksanaan lokal, dan penghormatan terhadap tradisi.