Pulau Kadatua, meski dengan kondisi geografisnya yang tandus & gersang menyimpan cerita panjang tentang adaptasi dan keberanian masyarakatnya dalam menghadapi tantangan alam dan zaman. Dibalik batu-batu karang dan tanah gersang, terukir sejarah tradisi pelayaran yang menjadi identitas.


Sebagai bagian dari masyarakat Buton, orang Kadatua juga turut mewarnai tradisi pelayaran dan identitas sebagai pelaut ulung. Tradisi ini, oleh orang-orang tua sering disebut dengan istilah “zaman kapal boti”.


Pada masa itu, pelayaran dengan kapal boti menjadi nadi kehidupan. Kapal ini menjadi moda transportasi utama untuk berniaga dan berkelana ke berbagai penjuru nusantara, dari timur ke barat hingga ke Sangkapura (Singapura). 


Tradisi ini mencerminkan jiwa wirausaha dan semangat eksplorasi yang kuat. Orang Kadatua menjadi pelaut tangguh yang mampu memanfaatkan sumber daya laut untuk mendukung perekonomian keluarga. 


Namun, pada era 1980an, perubahan besar mulai terjadi. Kapal-kapal modern milik PELNI mulai melayani rute antarpulau, menggantikan peran kapal boti. Generasi muda Kadatua kini lebih sering menggunakan kapal PELNI untuk pergi merantau, baik sebagai nelayan maupun pedagang.


Kemajuan ekonomi dan aksesibilitas yang lebih baik membawa perubahan signifikan dalam cara hidup masyarakat. Generasi milenial dan Gen Z Kadatua mulai meninggalkan pola hidup tradisional. Mereka lebih banyak mengenyam pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi, membuka peluang untuk bekerja di berbagai sektor formal seperti pemerintahan, pendidikan, dan kesehatan.


Namun, dengan semua perubahan ini muncul tantangan baru: bagaimana menjaga koneksi antara identitas budaya dan modernisasi?


Pulau Kadatua kini berada di persimpangan sejarah. Sejak Buton Selatan resmi dimekarkan pada tahun 2014, peluang pembangunan semakin terbuka. Generasi muda yang lebih melek teknologi dan berpendidikan memiliki peran penting untuk menjadikan Kadatua sebagai rumah yang nyaman dan produktif. Potensi ekonomi lokal, mulai dari sektor kelautan, pariwisata, hingga kreativitas lain perlu digali dan dikembangkan.


Pertanyaan kemudian apakah generasi muda Kadatua dengan segala kelebihan dan sumber daya yang dimiliki saat ini, siapkah mengambil peran & tanggung jawab untuk membangun kampung halaman menjadi lebih maju?

 



Setiap akhir tahun, kita sering kali merenung, merefleksi perjalanan hidup, dan menyusun harapan baru untuk tahun mendatang. Namun, refleksi ini tak hanya sebatas pada kehidupan pribadi. Sebagai bagian dari masyarakat Kadatua, ada baiknya kita juga memikirkan masa depan bersama, terutama terkait pembangunan dan potensi kampung kita, Kadatua.


Kecamatan Kadatua telah melewati babak-babak panjang sejarah pembangunan. Saat ini layanan dasar telah tersebar dihampir 10 Desa. Jaringan listrik sudah terkoneksi kesemua desa meski masih 15 jam, demikian halnya internet walaupun dibeberapa desa koneksinya belum stabil.


Selain itu layanan pendidikan sudah cukup terpenuhi, ada 10 SD, 4 SMP, serta SMA dan SMK. Serya fasilitas kesehatan juga telah tersedia yakni: Puskesmas Kadatua dan Kadatua Timur.


Namun, salah satu pencapaian paling signifikan adalah terbukanya jalur Labulengke-Kapoa. Jalur ini tidak hanya menghubungkan seluruh desa di Kadatua, tetapi juga menciptakan jalan lingkar yang mempermudah akses antar desa. Tidak ada lagi desa-desa yang terisolasi; waktu dan jarak kini terpangkas secara signifikan.


Sebagai generasi 70 hingga 90an, sulit bagi kita membayangkan bagaimana wajah Kadatua di masa lalu dan membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, terbukanya jalur ini seolah membuka harapan baru, memberikan kita gambaran tentang potensi besar yang belum tergarap sepenuhnya.


Kawasan Kadatua Timur, khususnya jalur Labulengke-Kapoa, memiliki pesona alam yang luar biasa. Tebing-tebing indah, sabana yang menyejukkan mata, serta pemandangan sampan nelayan & kapal-kapal besar yang hilir mudik menuju Kota Baubau menawarkan daya tarik wisata yang tidak bisa diabaikan. Apalagi, panorama saat senja di kawasan ini begitu memikat.


Lokasinya yang dekat dengan Baubau dan mudah diakses membuat kawasan ini memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata. Bahkan, sebelum kawasan wisata lain seperti Waburi Park dan jembatan lingkar Wawoangi-Sampolawa menjadi tren, Kadatua sudah menjadi tempat favorit untuk berkemah, terutama oleh warga Baubau diwaktu weekend.


Kita berharap ada terobosan dari pemerintah untuk mengembangkan potensi wisata di kawasan ini. Fokus utama seharusnya ada pada dua desa, yakni Kapoa dan Banabungi Selatan. Sebab kedua desa ini memiliki keunggulan geografis dan daya tarik wisata yang dapat dioptimalkan.


Tentunya ini akan memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal. Homestay, warung makan, kedai kopi, transportasi lokal, hingga produk kerajinan bisa menjadi sumber penghasilan baru bagi warga.



Orang Kadatua sudah lama merantau dan berdiaspora, utamanya di Timur Indonesia; Maluku dan Papua. Tradisi merantau yang telah diwariskan turun-temurun ini mulanya didominasi oleh profesi nelayan dan pedagang. Generasi pertama para perantau Kadatua jarang memasuki dunia birokrasi atau menjadi pejabat publik. Namun, pola ini kini mulai berubah.


Hari ini, kita dapat dengan bangga menyaksikan perubahan tersebut. Anak-anak Kadatua tidak hanya berprofesi sebagai nelayan atau pedagang, tetapi juga merambah profesi yang lebih beragam seperti guru, karyawan BUMN, anggota TNI/Polri, hingga menjadi tokoh politik. 


Salah satunya adalah Herman Gafur, putra Kadatua yang berhasil menembus panggung politik sebagai anggota DPRD Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, dua periode dan juga sekaligus Ketua DPC PBB Kab. Mikikam


Kabupaten Mimika sendiri memiliki populasi lebih dari 300ribu jiwa adalah wilayah yang kompleks secara sosial dan politik. Namun, ia mampu menavigasi tantangan ini dengan baik, membuktikan bahwa anak Kadatua bisa bersaing dan berkontribusi di tingkat daerah yang jauh dari kampung halaman.


Hal ini tentu memberikan insipirasi dan pelajaran yang berharga bagi kita khususnya generasi muda, bahwa batas geografis bukanlah penghalang untuk meraih mimpi besar. Dengan kerja keras, pendidikan, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman, anak-anak Kadatua memiliki peluang yang sama untuk mencapai kesuksesan.


Dan tentunya menjadi pengingat bahwa merantau bukan sekedar mencari penghidupan, tetapi juga sarana untuk membangun jembatan kontribusi. Ketika seseorang sukses di perantauan, dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat di kampung halaman melalui inspirasi, motivasi, dan bahkan kontribusi nyata seperti dukungan pembangunan.


Namun, cerita sukses seperti ini tidak muncul begitu saja. Tentu ada dukungan yang kuat, baik dari keluarga, lingkungan, komunitas, maupun pemerintah. Pendidikan harus menjadi prioritas utama, terutama bagi anak-anak di Kadatua, agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk bersaing & punya daya juang.


Olehnya itu seharusnya ini menjadi cambuk motivasi bagi seluruh komponen masyarakat dan stakeholder di Kadatua untuk terus mendukung pendidikan dan pemberdayaan generasi muda. Sebab, di balik setiap kisah sukses di perantauan, ada akar yang kuat dari kampung halaman yang mendukungnya.