Tahun 2024 menjadi tahun penting bagi Buton Selatan (Busel), karena untuk kedua kalinya daerah ini akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejak pemekarannya pada tahun 2014. Pilkada kali ini seharusnya menjadi momen refleksi dan perbaikan bagi seluruh masyarakat Busel, mengingat pengalaman pahit yang telah kita alami selama satu dekade terakhir.


Belajar dari Pengalaman Pahit


Buton Selatan, sejak resmi berdiri sebagai daerah otonom, tidak terlepas dari persoalan yang memprihatinkan. Bupati definitif pertama dan wakilnya yang menggantinya, yang seharusnya menjadi figur pemimpin yang memimpin dan memberi contoh teladan, justru terlibat dalam kasus hukum. Kejadian ini sangat disayangkan karena bukan hanya mencoreng nama baik mereka sebagai individu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan daerah.


Tidak berhenti disitu, masalah rekrutmen CPNS yang setiap tahun selalu diwarnai dengan isu kecurangan semakin memperburuk citra pemerintahan. Bagaimana mungkin sebuah daerah yang masih muda dan memiliki potensi besar untuk berkembang, terus-menerus dikecewakan oleh oknum-oknum yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya?


Pilkada 2024: Momentum untuk Berubah


Menghadapi Pilkada 2024, masyarakat Buton Selatan harus lebih cermat dalam memilih pemimpin. Pengalaman masa lalu seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. 


Kita harus mengingat bahwa Pilkada bukanlah sekadar rutinitas politik lima tahunan, tetapi sebuah proses menentukan arah masa depan daerah. Pemimpin yang terpilih akan menentukan bagaimana kebijakan pembangunan dilaksanakan, bagaimana kesejahteraan masyarakat ditingkatkan, dan bagaimana keadilan ditegakkan.


Pemimpin yang kita butuhkan bukan hanya sekadar mereka yang populer atau memiliki modal besar untuk kampanye, tetapi mereka yang benar-benar memiliki komitmen untuk membangun Busel dengan hati dan integritas. Kita memerlukan pemimpin yang mampu mendengarkan suara rakyat, bekerja dengan transparansi, dan berani mengambil keputusan yang adil meskipun itu tidak populer. Pemimpin yang memiliki visi jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, bukan yang hanya mencari keuntungan sesaat.


Sudah saatnya kita membangun kesadaran kolektif untuk masa depan Busel yang lebih baik. Kita tidak bisa lagi membiarkan daerah ini dijadikan bancakan oleh segelintir orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Pilkada 2024 adalah kesempatan emas bagi kita untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi daerah ini.


Memang memilih pemimpin berintegritas bukanlah tugas yang mudah, terutama di tengah berbagai godaan dan tekanan. Namun, kita harus yakin bahwa memilih pemimpin yang tepat adalah investasi terbaik untuk masa depan. 


Pemimpin yang berintegritas akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil adalah untuk kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 


Mereka akan berusaha keras untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, yang akan membawa Buton Selatan menuju kemajuan dan kesejahteraan.


Kita semua harus mengambil peran aktif dalam menentukan masa depan Busel. Pilkada 2024 adalah kesempatan kita untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan membangun fondasi yang lebih baik untuk masa depan. Dengan demikian, kita tidak hanya mengubah nasib Busel tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang akan mewarisi daerah yang lebih baik dan lebih sejahtera.

 


Menjadi pendidik adalah panggilan jiwa yang mendalam. Mereka yang sejatinya adalah orang-orang yang sejak awal mencintai proses belajar, memiliki keinginan kuat untuk berbagi ilmu, dan merasa resah melihat kebodohan di sekelilingnya. Pendidik sejati tidak melihat profesinya sebagai sekadar pekerjaan atau jalan menuju karir yang lebih baik, tetapi sebagai misi mulia untuk mencerdaskan generasi. 


Sayangnya, fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan adanya pergeseran motif di kalangan calon pendidik, yang mengkhawatirkan bagi masa depan pendidikan kita.


Banyak orang masuk fakultas pendidikan bukan karena kecintaan pada dunia pendidikan atau panggilan hati untuk menjadi guru. Mereka masuk hanya karena melihat peluang besar untuk diterima sebagai PNS. Motivasi ini, meskipun pragmatis, seringkali tidak berkesesuaian dengan semangat yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik yang baik. Alhasil, ketika mereka akhirnya lulus dan menjadi guru, dedikasi mereka sering kali kurang maksimal. Mengajar hanya menjadi rutinitas formalitas yang tanpa makna, dan proses belajar-mengajar pun kehilangan rohnya.


Ketika seorang guru tidak menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati, dampaknya tentu saja dirasakan oleh siswa. Siswa adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya ditempa dengan ilmu dan keterampilan yang memadai untuk menghadapi tantangan masa depan. Sayangnya, ketika pengajaran dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban formal, kualitas pendidikan yang diterima siswa menjadi rendah. Mereka tidak mendapatkan inspirasi, motivasi, atau pemahaman mendalam tentang materi yang diajarkan. Akibatnya, proses pendidikan menjadi mandek dan tidak mampu menghasilkan SDM yang kompeten.


Lebih parah lagi, sikap kurang berdedikasi dari para pendidik ini dapat menular kepada siswa. Mereka mungkin saja melihat guru mereka yang tidak bersemangat dan menganggap bahwa belajar juga tidak penting. Rasa malas dan acuh tak acuh terhadap pendidikan dapat tumbuh dan berkembang di kalangan siswa, menciptakan generasi yang kurang termotivasi dan kurang berprestasi.


Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu dari guru ke siswa, tetapi lebih dari itu. Pendidikan adalah proses pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai, dan pengembangan potensi individu. Untuk menjalankan peran ini dengan baik, seorang pendidik harus memiliki panggilan hati. Mereka harus memiliki rasa cinta terhadap profesinya, kesabaran yang tinggi, dan keinginan kuat untuk terus belajar dan berkembang.


Panggilan hati ini tidak bisa dipaksakan. Mereka yang masuk dunia pendidikan hanya karena melihat peluang karir atau tuntutan ekonomi cenderung tidak memiliki ketahanan mental yang cukup untuk menghadapi tantangan dalam dunia pendidikan. Sebaliknya, mereka yang memiliki panggilan hati akan mampu menghadapi berbagai rintangan dengan semangat dan tekad yang kuat, karena mereka merasa bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa.

 


Sadar atau tidak, entah mungkin keliru, satu-satunya kantor pemerintahan di Kadatua yang tidak mengalami perubahan adalah Kantor Camat Kadatua. 


Ketika mendengar Kantor Camat Kadatua akan direnovasi, pikiran seolah kembali ke dua dekade yang silam. Di tempat inilah, seluruh elemen masyarakat kadatua dahulu berkumpul, bergotong royong membabat kawasan belantara untuk dijadikan pusat pemerintahan serta aktivitas warga, seperti lapangan voli dan sepak bola marawali. 


Perjuangan itu menandai dimulainya era baru bagi Kadatua dalam menyambut pemekaran kecamatan tahun 2003, resmi memisahkan diri dari wilayah administrasi Kecamatan Batauga. Dahulu, warga harus menyebrangi lautan untuk mendapatkan layanan publik, namun kini, semua urusan dan aktivitas kecamatan berpusat di Pulau Kadatua.


Transformasi besar juga terlihat dalam layanan pendidikan. Pada masa awal, SD hanya berjumlah tujuh, kini telah bertambah menjadi sembilan. SMP yang dulunya hanya ada satu, kini menjadi empat. Untuk tingkat sekolah menengah atas, yang dahulu harus ditempuh ke Kota Baubau dengan menyebrangi lautan, kini tersedia SMA dan SMK di Kadatua. 


Namun, di balik segala perubahan ini, pendidikan kita masih menghadapi tantangan besar. Pendidikan kita masih berkutat pada formalitas, sementara dunia terus berkembang menuntut inovasi dan kreativitas agar anak-anak dapat berprestasi di segala bidang, tidak hanya akademis tetapi juga non-akademis.


Kualitas pendidik menjadi tumpuan utama. Jika dahulu banyak guru berasal dari luar, kini banyak guru merupakan putra-putri asli Kadatua. Ini adalah perkembangan positif yang harus diapresiasi dan terus didorong.


Melihat masa depan, kita harus menyadari bahwa tantangan dalam dunia pendidikan bukan hanya soal jumlah sekolah atau sarana fisik semata, tetapi juga kualitas pembelajaran dan relevansi pendidikan dengan perkembangan zaman. Harus ada kesadaran kolektif di antara seluruh unsur di Kadatua, baik pemerintah, guru, maupun masyarakat, untuk berkumpul, duduk bersama, dan berdialog tentang masa depan pendidikan dan sumber daya manusia kita.


Kita perlu introspeksi diri. Apakah pendidikan yang kita berikan saat ini sudah memadai untuk menghadapi tantangan masa depan? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa anak-anak Kadatua mendapatkan pendidikan yang tidak hanya memadai, tetapi juga unggul dan relevan dengan kebutuhan zaman?


Salah satu kuncinya adalah kolaborasi. Pemerintah harus menyediakan fasilitas dan kebijakan yang mendukung. Guru-guru perlu terus meningkatkan kompetensinya dan menerapkan metode pembelajaran yang inovatif. Masyarakat harus terlibat aktif dalam mendukung pendidikan, baik melalui partisipasi langsung maupun dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.


Kita juga harus membuka diri terhadap teknologi dan metode pembelajaran baru. Dunia digital menawarkan banyak peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Penggunaan aplikasi pembelajaran, metode pembelajaran jarak jauh, dan alat bantu digital lainnya dapat membantu mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah.


Selain itu, kita perlu mendorong anak-anak untuk berprestasi di berbagai bidang. Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada pencapaian akademis. Keterampilan lain seperti olahraga, seni, dan keterampilan hidup juga harus mendapat perhatian. Dengan demikian, kita bisa mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kreatif, inovatif, dan siap menghadapi berbagai tantangan.


Momentum dua dekade Kadatua ini adalah saat yang tepat untuk merenungkan perjalanan yang telah kita tempuh dan menentukan langkah ke depan. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah arah yang kita ambil sudah benar? Apakah kita sudah memberikan yang terbaik bagi anak-anak dan masa depan Kadatua?