DNA orang buton itu adalah perantau. Disetiap persinggahan kapal apalagi di Timur Indonesia tidak sulit untuk menemukan mereka. Kantong-kantong orang Buton menyebar dimana-mana khususnya di Pelabuhan, di Pasar maupun kampung nelayan.

Akhir tahun 2022 lalu saya berkesempatan untuk melihat itu semua. Dengan menumpang kapal Pelni saya berlayar ke Ambon, kemudian transit di Banda Naira, dan berakhir di Kepulauan Tanimbar yakni salah satu pulau terluar yang perbatasan laut langsung dengan negeri kanguru Australia. Disana banyak sekali komunitas Buton, disetiap persinggahan selalu ada mereka.

Di Tanimbar, khususnya di Kota Saumlaki dan Larat. Perantau Buton asal Kadatua cukup banyak, seperti perantau Buton pada umumnya disini mereka bekerja sebagai pedagang serta nelayan dan rerata berhasil. Jumlah mereka pun ratusan, dan sudah berdiaspora sejak lama sekitar periode tahun 90an.

Keberadaan mereka yang jauh dari kampung halaman, bukan berarti lupa dengan tanah asalnya. Dikala malam tiba, ketika jualan sudah tutup, atau musim terang bulan saat nelayan libur melaut,  bale bambu (gode-gode) dipesisir dekat tambatan perahu nelayan selalu ramai. Musik daerah Buton kerap diputar. Berada disini serasa dikampung.

Apalagi mendekati momen ramadan atau lebaran, efforia perantau mulai kerasa, obrolan tentang kampung mulai intens dibicarakan. Jadwal kapal mulai dipantau, tujuannya tentu selain ingin melepas rindu dengan sanak famili dan handai tolan juga ingin menikmati hiburan di tanah asalnya. Maklum sepanjang tahun mereka harus bergelut dengan pekerjaan mengumpulkan pundi-pundi.

Jika dilihat, seharusnya disinilah peluang untuk membangkitkan kampung halaman sementara waktu. Bagaimana menjamu perantau ketika mudik yang membawa segepok uang mereka untuk diputar menjadi peluang ekonomi dikampung.

Hiburan adalah satu upaya untuk itu, kita bisa berkaca pada tradisi Maacia di Sampolawa dan Lapandewa.

Suatu ketika saya pernah berbincang dengan salah satu Kepala Desa disana, ia mengatakan pesta kampung Maacia selain upaya merawat tradisi leluhur orang cia-cia, juga sebagai ajang reuni dan nostalgia para perantau. Selama keberadaan para perantau dikampung konon perputaran ekonomi mencapai ratusan juta bahkan miliyaran. Para perantau nyaman disungguhi dengan ragam atraksi dan kegiatan. Tanpa sadar mereka turut berkontribusi, ekonomi warga di kampung pun ikut menggeliat. Warung-warung kecil di desa serta penenun kain buton kena dampak ekonomi.

Turnamen Merantau Cup yang digagas oleh Pemuda adalah salah satu contohnya, kita bisa menyaksikan sendiri dampak dari turnamen ini, selama hampir sebulan kegiatan berlangsung, warga yang menjual disekitar lapangan turut kecipratan, sembari menyaksikan pertandingan penonton berbelanja.

Seharusnya hiburan seperti ini lebih banyak lagi diadakan. Bukan hanya olahraga tetapi juga yang lainnya semisal budaya. Kita punya warisan adat tradisi yang sejak lama mati, hanya upaya kita bagaimana menghidupkan itu semua. (*)


Perahu Nelayan Buton

Suasana Pertokoan Larat Kota

Kios-kios diaspora Buton

Pasar Malam




Kurang lebih 27 hari lagi ramadhan akan menyapa. Perbincangan PULANG KAMPUNG pun mulai hangat. Diberanda medsos pamflet digital Turnamen Futsal mulai ditebar, walaupun desain pamfletnya terkesan lawas dan agak kaku, tapi sudahlah, intinya turnamen itu ada.


Mereka yang dirantau, pecinta, manager maupun pemain entah yang bekerja sebagai pedagang atau pun nelayan, disela-sela menunggu pembeli atau ketika baru pulang melaut, topik ini tak luput dibicarakan. Maklum, satu-satunya hiburan ketika pulang kampung lebaran hanyalah turnamen ini.


Selain itu juga, tentu sebagai wadah ekspresi para perantau. Hobi yang terpendam serta pundi-pundi yang dikumpulkan selama dirantau disinilah ditunjukkan. Maka tak heran perbincangan seputar pemain mana yang akan diturunkan serta model jersey yang akan dipakai menjadi perhatian lebih mereka. Seolah Pulang Kampung dan turnamen Futsal adalah pasangan kekasih yang terpisahkan.


Dan yang tak kalah menarik konon turnamen yang diselenggarakan tahun ini berbeda dari biasanya, skopnya lebih luas--- se Kabupaten Busel. Ternyata animo besar tidak hanya datang dari para perantau tapi panitia di Kampung juga demikian, berani keluar zona nyaman serta pakem yang selama ini hanya mampu membuat event tarkam skop kecil lingkup kadatua. 


Pertanyaan kemudian adalah apakah mampu? Mengingat banyak catatan buruk disetiap turnamen yang dilaksanakan dan selalunya berulang, mulai dari soal transparansi hadiah, wasit yang merangkap pemain, dlsb. Mengundang tamu luar tentu tidak main-main, butuh effort yang lebih, kesalahan kecil saja bisa berdampak buruk bukan hanya pada panitia tetapi se pulau kadatua kena imbasnya.


Namun kita tidak boleh pesimis. Inilah tantangan yang mesti dijawab bersama bukan hanya panitia sebagai penyelenggara, tetapi semua yang terkait, baik itu pecinta, manager maupun pemain.


Mumpung masih ada tenggat waktu kurang lebih 60 hari lagi. Diskursus soal ini musti dilakukan, masukan dan catatan dari berbagai pihak mesti didengar. Tidak boleh lagi ada potalo-talo. Tidak boleh lagi ada istilah "mieku" dan "miendo". Sebab sejatinya Turnamen Merantau Cup bukan hanya milik panitia semata, tetapi sudah menjadi milik kita orang Busel dan Kadatua khususnya secara keseluruhan. Maka Suksesnya turnamen adalah sukses kita semua. (*)


BRAVO MERANTAU CUP!!! 🫰

 



Sering kali dalam banyak penelitian mengungkapkan bahwa generasi milenial itu apolitis. Hanya fokus pada urusan gaya hidup. Abai pada urusan politik.


Sebagai milenial rasa-rasanya kok tidak seperti itu. Sikap tersebut karena kejenuhan saja akan situasi politik yang ada, apalagi tayangan dimedia selalu direcoki perbincangan politisi yang jauh dari subtansi. Sesungguhnya milenial butuh yang konkrit bukan sekedar omdo (omongan doang).


Faktanya memasuki tahun politik jelang 2024, milenial mendominasi penyelenggara Pemilu di semua tingkatan mulai dari PPK hingga pantarlih, Panwascam hingga PKD, diisi oleh mereka. Seolah ini menjawab bahwa mereka sebenarnya peduli.


Di Kecamatan Kadatua kegiatan milenial sebagai penyelenggara pemilu mulai intens dilakukan, meski sifatnya masih teknis namun berbeda dengan sebelum-sebelumnya. 


Upaya mereka untuk menyemarakkan pemilu mulai kelihatan, akun-akun medsos tumbuh bak jamur dimusim penghujan. Dokumentasi kegiatan, serta ajakan untuk aktif dipublikasi.


Namun tentu tak boleh hanya berhenti sampai disitu, manakala hanya bersifat teknis dan publikasi, akun medsos tak ubahnya seperti humas pada instansi pemerintahan. Tak berdampak apa-apa dan hanya formalitas belaka.



Sebagai milenial yang notebene melek digital dan enerjik, harus kreatif dan inovatif. Mencari formula agar penyelenggara pemilu (PPK,PPS PANWAS, dll) yang selama ini diindentikan dengan tukang data atau jaga tinta dan pemilu itu sendiri tidak dimaknai negatif sebagai hanya momen menerima serangan fajar. 


Kehadiran milenial menjadi garda terdepan pengawal demokrasi harusnya lebih menyasar hati dan pikiran warga, kegiatan-kegiatan yang bertajuk pendidikan politik mesti digalakkan, bukan sekedar sosialisasi monolog yang ujungnya sekedar dokumentasi laporan.


Milenial harus lebih out of the box membangkitkan gairah warga. Agar warga berdaya sefta siap mengawal demokrasi, dan memahami bahwa pemilu sesungguhnya adalah sarana untuk memilih legislagor dan pemimpin berkualitas. Bukan arena menerima serangan fajar!!!