Beberapa kali pulang kampung diwaktu weekend (sabtu-minggu) secara kebetulan selalu berbarengan dengan komunitas traveller dari Kota Baubau yang juga kesana untuk healing atau sekedar ingin menambah nutrisi story di medsos mereka. Katanya alam kadatua eksotis.


Bagi kita yang lahir dan besar di Pulau ini, mungkin akan beranggapan biasa saja tidak ada menarik. 


Namun ternyata bagi sebagian orang, apalagi mereka yang hidup di sesaki ruko dan padat kendaraan, Pulau seperti Kadatua adalah surga. Ketenangan dan healing ada disana.


Memang semenjak dibukanya jalur baru yang sejak lama terisolir ini seperti membuka salah satu tabir. Tak hanya jarak dan waktu yang dipangkas tapi juga harta karun yang sejak lama mengendap itu mulai nampak.


Kalau boleh berimajinasi liar, mungkin bakal menjadi spirit baru kadatua. Ya KADATUA TIMUR!!!


Lima desa yang masuk dalam jalur ini memiliki potensi yang mendukung itu, empat diantaranya adalah kawasan pesisir; Desa Banabungi, Bansel, Kapoa dan Kapoa Barat punya potensi perikanan dan wisata bahari dan Desa Lipu adalah Kampung Tua potensi untuk wisata budaya.


Namun untuk sampai kesana, harus ada infratruktur pendukung, utamanya dimulai dari kesadaran warga untuk menjaga dan melestarikan alam. Pengerukkan pasir untuk material bangunan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan harus segera dihentikan. Sudah cukup kita keroyok pulau ini dengan cara barbar. 


Selain itu juga peran pemuda, komunitas seperti Pokdarwis, Karang Taruna, dll, harus dihidupkan sebagai wadah pertemuan ide-ide kreatif. Saya yakin banyak ide dari anak-anak muda Kadatua namun masih berserak dan mengendap. Olehnya itu wadah komunitas menjadi penting.


Berikutnya adalah peran pemerintah desa. Sudah berulang kali saya menulis disini, bahwa transparansi dan partisipatif sesuatu yang wajib dilakukan, tanpa itu harmonisasi tidak akan jalan, akan muncul terus kecurigaan dan program akan selalu salah sasaran. Pada akhirnya bukan pembangunan yang dilakukan tapi justru pemubaziran.


Jika hal-hal diatas dilakukan, tak menutup kemungkinan ekonomi akan tumbuh, warga berbondong-bondong membangun pemukiman baru dijalur ini dan bisa jadi kelak membuka gerbang terbentuknya kecamatan baru: KADATUA TIMUR. 

 


Mengitari Pulau Kadatua melalui jalur baru (labulengke-kapoa) ini laksana berada dalam dunia dongeng, disekeliling dimanjakan ragam pemandangan nan elok; sabana, laut dan jingga langit.


Dipertengahan antara dua desa berdiri sebuah patung yang konon adalah manisfestasi dari sosok legendaris di Pulau ini. WA ODE POGO. 


Kisahnya yang samar dan penuh misteri membuat bertanya-tanya. Siapa yang berani mewujudkan wajah yang sudah lama berkalang tanah tanpa gambar dan lukisan itu. Pemerintah setempat ataukah kehendak tukang si pembuat patung?


Entahlah, patung sudah terlanjur berdiri, kembali mempertanyakan itu mungkin akan menjadi hal tabu bagi mereka. Yang masih melanggengkan sifat lawas, alergi pada suara kritis.


Namun, sebagaimana karya seni yang bertujuan untuk membangkitkan memori kolektif, patung selayaknya perlu dihidupkan. Tentu bukan menghidupkan layaknya manusia. Tetapi adalah warisannya berupa budaya dan tradisi.


Dibeberapa tempat di Indonesia, setiap momen yang berhubungan dengan sosok dalam patung sering diadakan ragam kegiatan kreatif. 


Di Kota Malang misalnya, di areal Patung Chairil Anwar, ataupun ditaman-taman kota, untuk memperingati ulang tahunnya setiap tanggal 26 Juli, anak muda/mahasiswa mengadakan ragam kegiatan; drama teatrikal dan pembacaan puisi. Tujuan tentu agar generasi selalu mengenang sosoknya.


Begitupun dengan patung Wa Ode Pogo, keberadaannya tak boleh hanya jadi spot selfie, tapi perlu kegiatan yang bisa menghidupkan sosoknya. Ada banyak momen untuk melakukan hal-hal tersebut, misal hari ulang tahun kecamatan, atau pun HUT Kemerdekaan.


Sudah lama Kecamatan Kadatua senyap dan vakum dalam kegiatan bertajuk budaya, padahal hampir semua Kecamatan di Kab. Buton Selatan selalu ada, olehnya kita tak boleh ketinggalan. Keberadaan patung ini harusnya menjadi titik awal bagi pemerintah, pemuda, dan siapapun untuk turun tangan, mengambil bagian. Agar pulau ini terus hidup.




Setelah pemerintah pusat mengumumkan kenaikkan harga BBM tgl 3 september lalu, sudah sangat jelas akan ada dampak ekonomi yang timbul menyertainya.


Salah satunya adalah Tarif Jasa Angkutan Laut Tradisional Penyebrangan Kadatua dan Sulaa (PP). 


Di Tahun 2018 lalu merespon hal serupa, pihak Pemerintah dalam hal ini Camat Kadatua memediasi pihak-pihak terkait, saat itu disepakati beberapa poin, salah satunya adalah: JUMLAH PENUMPANG DIATAS 8 ORANG ATAU MAKSIMUM 15 ORANG DIKENAKAN TARIF RP. 7RIBU/ORANG.


Selang beberapa bulan saja berjalan, kesepakan ini kemudian tidak diindahkan lagi oleh Pemilik Jasa, mereka sewenang-wenang menaikan tarif secara sepihak dan mematok Rp. 10ribu/orang. Kesepakatan tertulis tersebut sangat lemah, bagaimana tidak, jelas menyalahi kesepakatan namun tdk ada sanksi dan teguran. Warga sebagai pengguna jasa pun tak berdaya, bingung keluhan mau disampaikan kemana.


Maka untuk menghindari hal yang sama dan gejolak yang timbul dimasyarakat, sebaiknya pemkab Busel mengambil langkah-langkah meninjau secara langsung serta menyerap aspirasi dari pengguna dan pemilik jasa. Lalu segera diputuskan kebijakan yang kongkrit. Berupa PERBUP atau SURAT KUAT LAINNYA sebagai payung hukum dan rujukkan bersama.


Namun jika hal ini masuk dalam domain Pemprov Sultra sebab penyeberangannya meliputi dua Daerah yakni; Kabupaten Busel dan Kota Baubau, maka DISHUB SULTRA pun harus segera mengambil tindakan.


Pelabuhan dan Laut itu bukan hanya milik pemilik jasa transportasi, tapi milik bersama. Tidak boleh ada monopoli dan perilaku sewenang-wenang. Kehadiran pemerintah sebagai pengelola untuk memfasilitasi pengaturan trayek, tarif, retribusi dll sesuatu yang wajib dan perlu, agar semua pihak merasa nyaman.

 


Cuaca Kadatua akhir-akhir ini kurang bersahabat, mendung panas, mendung panas. Meskipun seperti itu tapi tidak menyururutkan semangat kami untuk melalui hari-hari. 


Disudut-sudut kampung, digode-gode dibawah kolong rumah, seperti biasa kami masih bisa minum kopi sembari melepas tawa. Meski pun dengan suasana hati yang getir dan risih melihat tingkah laku kalian.


Pertama-tama izinkan kami untuk menyampaikan hal risau ini yang selama ini mengganjal dibenak kami, tentunya ini sebagai tanda sayang kami kepada kalian para pemimpin kami. Pemangku kebijakan di desa di Pulau Kadatua.


Sebenarnya surat ini harusnya disampaikan di forum atau di rumah sambil berbisik. Tapi tidak apa-apa, lagian tidak ada juga hal intim yang perlu dirahasiakan. Bukankah urusan publik harus disampaikan kemuka publik?


Baik langsung saja,


Sejak UU Desa disahkan tahun 2014, dan dieksekusi tahun 2015, Dana Desa kemudian digelontorkan, tak terkecuali desa-desa di Kadatua pun turut kecipratan. Betapa bahagianya kami warga desa kala itu, karena konon dana itu dikucurkan untuk menstimulan dan memberi dampak ekonomi bagi kami.


Namun, seiring berjalan, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, pengelolaan kian amburadul dan buruk saja. Banyak program yang tidak tepat guna dan tepat sasaran terkesan boros, transparansi kalian abaikan, kami tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan dan monitoring kegiatan.


Riset yang dilakukan oleh Pendais Haq (2019) lokus studi di Kabupaten Buton Selatan pun mengamini itu, bahwa transparansi belum berjalan dan program tidak mengedepankan skala prioritas. Secara tidak langsung amanat UU Desa telah kalian khianati dan cederai.


Maka sulit bagi kami untuk tidak menaruh curiga kepada kalian. Visi yang kalian sampaikan dimimbar saat Pilkades ternyata cuma kalimat ilusi dan utopis. 


Wahai para pemimpin kami...


Sudah lupakah kalian dari mana kalian berasal? Bukankah kalian itu sama dengan kami, sama-sama rakyat. Karena atas kecerdasan para pemimpin bangsa lebih setengah abad silam, yang telah memilih sistem demokrasi dalam bernegara, semua manusia yang berada dibawah kolong langit nusantara ini pun memiliki hak yang setara untuk dipilih dan memilih. Tak terkecuali kalian.


Sudah lupakah kalian kalimat sakral yang kalian ucapkan di bawah Kitab Suci saat pelantikan tempo hari? Lapangan Lakarada menjadi saksi bisu. Saat itu kalian rapalkan janji suci setia pada konstitusi untuk memajukan rakyat.


Memang kami mafhum bahwa kekuasaan itu sarat dengan jeratan, dimana-mana ada kubangan. Tetapi kami juga tahu, manakala di dalam diri masih ada keteguhan, dan hati yang bersih. Justru itu akan menjadi penerang, penunjuk jalan, agar menjalankan fungsi pemerintahan tetap berada dijalur yang benar.


Kami tidak mau suuzon, kami masih percaya. Dilubuk hati kalian yang paling dalam masih ada secercah sinar itu. Ikuti pentunjuk itu, abaikan segala macam godaan. Rakyat yang kalian pimpin ini juga saudara kalian yang berasal dari akar yang sama dengan kalian. Mengkhianati rakyat sama halnya menempeleng diri sendiri.


Sekian surat singkat ini, mudah-mudahan bisa memacu semangat. Dan memberikan yang terbaik.


Wassalam.

Peluk cium dan sayang dari kami ❤️


RAKYAT KADATUA