Kurang lebih empat bulan lagi tahun 2022 akan segera berakhir. Maka nyaris setahun sudah pengelolaan keuangan desa, entah itu diperuntukan dibidang pemberdayaan maupun pembangunan lainnya. Kesemuanya tentunya bertujuan untuk kesejahteraan warga desa.
Namun, dengan kondisi Kadatua yang sepi, mayoritas penduduknya pergi merantau, kemudian minimnya partisipasi warga yang tinggal dikampung serta kurangnya pelibatan BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan. Keuangan desa sarat akan penyelewangan dan kongkalikong.
Sudah menjadi hal umum, desa-desa kita dalam urusan ini sangat tertutup. Tiba-tiba saja warga diperlihatkan dengan pembangunan tanpa mengetahui proses dan kesesuaiannya. Pada akhirnya kecurigaan warga selalu muncul, hal ini kemudian berdampak pada kurangnya harmonisasi dan kerukunan bersama.
Menurut ICW (2020) lemahnya SDM pengelola adalah menjadi penyebab utama, kapasitas kades mayoritas di Indonesia sangat rendah, masih banyak ditemukan kades yang tidak mampu untuk mengelola anggaran serta alergi pada kritik.
Padahal tim pendamping serta pengawas, baik dari satgas anti korupsi maupun inspektorat daerah serta dinas terkait untuk melakukan monitoring, pemeriksaan, konsultasi serta pembinaan, tapi tetap saja tidak ada perubahan yang siginifikan. Masih saja pengelolaan keuangan desa tidak transparan dan kurang partisipatif. Hal ini tentunya rentan terhadap manipulasi dan suburnya korupsi.
Jika masalah utama tersebut susah untuk diurai, cara alternatif lainnya untuk mengurai sengkarut itu adalah kekuatan partisipasi khususnya anak muda.
Sudah saatnya anak muda mengambil bagian, turun gelanggang masuki forum-forum desa menjadi penyambung lidah, melakukan usulan, kritik, protes dan sanggah manakala terjadi keganjilan. Bukankah tembok yang keras harus di bongkar dengar alat yang keras? Dan satu-satunya alat yang dimiliki adalah; SUARA!
Suara kita jangan hanya dipakai saat pencoblosan Pemilu atau Pilkades, tapi dipakai juga ketika pemerintahan berjalan. Baik itu dalam pelayanan publik, proses perencanaan program maupun implementasi serta evaluasi.
Dibawah ini adalah data APBDes tahun 2022, di sepuluh desa Kecamatan Kadatua. Kalau dilihat rinciannya porsi lebih banyak pada bidang pembangunan fisik.
Di bidang ini sangat rentan terhadap penyelewengan, biasanya modusnya sangat sederhana dan menggunakan cara lawas, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan fiktif dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.
Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat RAB yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.
Akhirnya kualitas bangunan sangat rendah, beberapa tahun saja sudah roboh, dan yang tinggi justru kualitas pengelola anggarannya dalam hal ini gaya hidup para kepala desa dan aparaturnya. Sedang warga hanya mampu gigit jari. Hidup dalam bayang-bayang pembodohan pemimpinnya. Sungguh ironi!
Untuk itu sengkarut ini perlu diurai. Menggantungkan harapan pada satgas anti korupsi atau inspektorat daerah untuk mengurai ini, sama halnya berharap pada kekasih yang masih mendambakan mantan. Palsu dan bulshit! Sekali lagi tak ada cara lain selain; PEMUDA HARUS BERSUARA.!