Tahun 2022 ini beberapa tempat di jazirah Buton Selatan akan dibangun beberapa patung. Diantaranya Patung Hatibi Bula dan Lalole di Siompu Barat, Syekh Abdul Wahid di Batu Atas, serta di Pulau Kadatua sendiri yakni; PATUNG WA ODE POGO, yang konon akan menelan anggaran 240 Juta.

Ketika mendengar rencana ini, imajinasi seolah traveling, entah seperti apa visualisasi bentuk dan wajah Wa Ode Pogo itu. Sebab selama ini tidak ada satu pun lukisan maupun cerita mengenai bagaimana ciri dan bentuknya.

Sosoknya dalam memori kolektif orang kadatua, direkam dalam tradisi lisan bahwa ia adalah putri bangsawan kerajaan yang diasingkan lalu kemudian membangun peradaban. Warisannya hingga kini masih bisa dilihat; adat serta peninggalan berupa benteng dan gua bekas hunian.

Kita tahu patung adalah ikon sekaligus sebagai penanda suatu peristiwa maupun tokoh. Agar orang yang melihatnya, mengenang dan mengingatnya. Dan mungkin diejawantah dalam laku kehidupan.

Olehnya itu membangun patung bukan perkara mudah, tidak boleh asal jadi, apalagi sekedar memburu laba proyek. Sebab ia mengandung makna, nilai, falsafah, dan estetika.

Tentu seyogyanya diperlukan kajian secara mendalam terhadap semua aspek yang terlibat dalam pembangunan, apalagi sosok Wa Ode Pogo, sebagaimana saya sampaikan diawal tadi, visualisasinya masih sangat samar.

Maka keterlibatan tokoh adat dan masyarakat sangatlah penting agar patung yang dibangun itu nantinya benar-benar dapat dimaknai secara tepat.

 


Sebelumnya saya belum pernah mengenal, mendengar atau membaca tentang kapal legendaris ini, entah karena buku sejarah saat masih duduk dibangku sekolah dulu tidak mencantumkannya atau karena saya sendiri yang malas baca. 


Kemungkinan paling sahih yang kedua: MALAS BACA!!. Hehehe...


Nanti ketika lanjut kuliah di sebuah kota dingin di jawa timur, kota yang tidak habis-habisnya memanjakan manusianya dengan banyaknya buku murah. Disinilah awal perkenalan saya dengan kapal tersebut.


Tak ada rencana saat itu, disuatu siang ketika pulang dari kampus, kebetulan lewat di Pasar Buku Wilis, saya pun singgah untuk sekedar lihat-lihat, sembari menanti waktu sore untuk balik ke kost.


Beberapa jam keliling dari lapak ke lapak, secara kebetulan, mata saya tertuju pada sebuah buku yang sampulnya berwarna biru muda bergambar kapal layar di kios paling pojok. 


Karena saya asalnya dari Pulau, yang notabene laut dan kapal adalah kehidupan kami sehari-hari, kaki saya pun tergerak untuk  melihatnya buku itu lebih dekat.


Ternyata betul, buku itu sesusai yang tertera disampulnya adalah tentang kapal. Lebih jelasnya berjudul SEBUAH KISAH NYATA DEWA RUCI, PELAYARANAN PERTAMA MENAKLUKAN 7 SAMUDRA. Terbitas Kompas, yang ditulis seorang kadet asal Sulawesi Utara.


Ketika melihat nama penulisnya berasal dari sulawesi dan ceritanya tentang pelayaran. Meski tersegel, tanpa mengetahui isinya, buku itu kuangkut dan langsung pulang ke kostan. Kurang lebih dua hari buku sudah ku lahap habis.


Jarang saya keranjingan membaca buku dalam hitungan hari, biasanya minggu atau bahkan tidak tamat. Saya tipikal orang yang cepat jenuh, apalagi bahasanya berat dan membingungkan. Tapi ketika membacanya buku itu seolah berada dalam cerita.


***


Akhir bulan desember tepatnya tanggal 28 dan 29, tahun 2020, sebuah link webinar zoom bertemakan Jalur Rempah dibagikan di grup WhatsApp.


Jalur rempah? Apalagi nih... (pikirku saat itu). Rempah yang hanya dalam benakku, yang ku ketahui saat masih duduk dibangku SD, bahwa Belanda datang ke Indonesia karena rempah-rempah, itu saja, tidak lebih. Tidak ada kisah lain dibaliknya.


Maka untuk mengobati rasa penasaaranku mengenai tema webinar itu, ku searcing di Google, rupanya tentang alur perdagangan rempah masa lalu yang coba dihidupkan kembali.


Webinar itu seolah membuka tabir yang selama ini ternyata banyak tidak kuketahui, apalagi mengenai sejarah rempah nusantara.


Semenjak itu, saya tak melewatkan manakalah ada link atau artikel tentang rempah, tahun 2021 saya membeli Majalah Natgo edisi khusus rempah, dan juga menonton film dokumenter berjudul Banda: The Dark Forgotten Trail di Netflix.


Ternyata rempah-rempah memuat banyak kisah, bukan hanya tragedi (penjajahan) yang familiar kita dengar dalam buku-buku sejarah disekolah, tetapi disana juga ada akulturasi budaya, agama, dan persahabatan antar nenek moyang kita dari ujung selat malaka hingga banda naira. Dan bahkan bangsa-bangsa dibelahan dunia lain.


***



Saat mendengar akan di adakan ekspedisi muhibah budaya jalur rempah awal bulan juni tahun 2022 menggunakan KRI Dewa Ruci, dan salah satu titik lokasi singgah yang akan dilalui ditahap pertama adalah Pulau Buton. Tak sabar saya menanti.


Hingga akhirnya 8 juni lalu tepatnya, Kapal layar yang memuat para laskar rempah itu pun tiba dipelabuhan Murhum Baubau, salah satu pelabuhan tua yang berabad-abad lalu juga pernah menjadi bagian dalam alur perdangan rempah. Ragam sambutan hangat masyarakat Buton, hingga tarian-tarian penyambutan.


Selama persinggahannya di Baubau selama dua hari, KRI Dewa ruci mengadakan open ship bagi siswa dan masyarakat umum untuk bisa melihat langsung kapal legendaris milik TNI AL itu. Tak mau ketinggalan, saya juga turut serta melihat langsung dan mengabadikannya.

 


Semenjak gencar pembangunan perumahan di kompleks Sulaa bagian atas beberapa tahun belakangan ini, kawasan yang dulunya sepi hanya dilalui beberapa kendaraan. Jika malam hanya terdengar bunyi jangkrik dan suara sumbang musik dari rumah-rumah karaoke dekat hutan. Kini lumayan ramai, kendaraan roda dua dan empat lancar berhilir mudik.


Geliat ekonomi pun tumbuh, jika lapar tengah malam karena kehabisan stok indomie di rumah atau mau mencari snack buat ngemil, serta rokok untuk pencuci mulut. Tak sulit lagi, warung-warung kelontong berjejer disepanjang jalan dan dibuka 24 jam. ATM, Pon Besin (Pertamina), bahkan apotik hingga sayuran dan ikan pun tersedia.


Bagi saya dan mungkin kamu, iya kamu, para penikmat jam kecil, yang tinggal di areal ini. Kondisi tersebut adalah surga. Asal ada duit di dompet/ATM dan kendaraan, tinggal cus. Kebutuhan kontemplasi tengah malam terpenuhi dengan sempurna. Ide-ide yang sebelumnya beku muncul kembali mengalir deras laksana air bah. Bebas hambatan.


Namun beberapa hari terakhir ini, suasana agak berubah tak seperti biasanya. Sebuah plank berwarna merah biru kuning terpasang di depan ruko yang tak jauh dari jejeran kelontong itu, tanda bahwa tak lama lagi akan dibuka gerai mini market Indomaret.



Lalu terbesit di kepala saya jika gerai itu dibuka bagaimana nasib kelontong itu? Mengingat gerai indomaret sebuah retail besar yang memiliki jaringan raksasa di hampir semua kota, produk yang jual juga boleh dibilang lengkap, dari sabun, beras, kondom, kinder joy, hingga buah tersedia. Harganya pun relatif sama.


Suasana didalamnya pun nyaman, ber AC. Apalagi ditambah dengan mbak-mbak kasirnya yang lembut dan ramah yang selalu menyambut pengujungnya dengan sambutan khas "Selamat datang, Selamat berbelanja," kemudian disertai senyumnya yang pura-pura manis itu.


Pembeli seolah dibuat tersihir. Ale waopue... Nikmat mana lagi kau dustakan. Jangankan odol, mbaknya pun saya angkut sekalian. Hehehe 


Memang gerai yang akan dibuka ini, bukan hal baru di kota ini, sebelumnya sudah ada gerai serupa, semisal, MGM, Liwanda, Rika Mart, dan terakhir Alfamidi, yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Namun itu adanya di pusat kota yang dekat dengan keramaian. 


Sementara di Kawasan Sulaa Atas, dan sekitarnya ini, kali pertama. Kemudian warung-warung kelontong yang berjejeran itu juga masih tergolong baru mungkin satu tahun terakhir seramai ini. 


Tentu kehadiran gerai tersebut bakal menjadi pesaing keras dan alarm peringatan bagi pedagang kelontong. Kenyamanan dan produk lengkap yang ditawarkan oleh gerai jelas akan berdampak pada usaha kelontong, entah beralihnya konsumen, penurunan omset atau bahkan gulung tikar. Keluar arena.


Saya berharap para pembeli cukup jeli melihat ini, belanja nantinya bisa proporsional. Tidak selalu berbelanja digerai tapi di warung kelontong juga, agar ia terus hidup.





Lama tak bersua sekian dasawarsa hidup di negeri orang, perubahan kian cepat saja. Gedung SMA pertama di Bumi Waode Pogo ini, yang dulu hanya sepanggal ruang guru dan tiga ruang kelas, kini berubah pesat, beberapa RKB sudah terbangun.

Pun jumlah guru yang sebelumnya tidak kurang dari jumlah program pokok PKK, kini bertambah banyak seiring dengan tumbuhnya generasi yang melanjutkan studi pendidikan Guru.

*** 

Dalam sebuah wawancara Pimred ButonPos dengan mantan Bupati Buton LM. Sjafei Kahar di channel Youtube "Catatan Irwansyah Amunu", ia menjelaskan kala pertama kali menjabat bupati tahun 2001 tak satupun SMA di Selatan Buton. Tak terkecuali di Pulau Kadatua.

Pilihan para generasi pasca SMP saat itu, putus atau hijrah ke Kota Baubau untuk melanjutkan studi.

Tak mengerankan, sumber daya manusia di Pulau Kadatua saat itu sangat minim. Sulit menemukan warga yang mengenyam pendidikan tinggi.

Hingga era 2003 keatas, gencar dilakukan pemekaran kecamatan, kemudian disertai dengan kebijakan satu kecamatan satu SMA. Kebijakan ini alhasil berdampak signifikan terhadap berkurangnya angka putus sekolah.

Sekian tahuh semenjak pasca pendirian SMA, bak jamur dimusim penghujan, manusia kadatua yang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi juga tumbuh pesat. Tak lagi sulit menemukan, guru, bidan, suster, mantri, dlsb.

Namun bertambahnya manusia baru Kadatua itu, tidak berbanding lurus dengan kondisi kadatua. Yang hari ini sepi, minim aktivitas, pembangunan yang asal tanpa partipasi, sumberdaya alam yang rusak, serta budaya yang terus tergerus. 

Hal diatas harusnya menjadi refleksi bersama dan menjadi tamparan keras, bagi kita khususnya manusia kadatua yang sudah menikmati pendidikan. 

Bahwa nampaknya ada yang keliru dalam proses kita geluti selama ini. Kita hanya fokus memikirkan diri sendiri. Tujuan pendidikan sekedar memburu gelar, kerja hanya untuk transit menanti jodoh, atau sekadar mengumpulkan pundi-pundi. Sementara generasi dibawa membutuhkan teladan, dan Kadatua juga ingin dibenah oleh kehadiran kita ditengah-tengah mereka, melalui partisipasi, kritik, dan inovasi.

Padahal pendirian SMA ini tujuannya tak sekadar hanya memangkas angka putus sekolah saja, tapi lebih dari itu adalah melahirkan manusia Kadatua yang memiliki visi, potensi, bernalar kritis serta berjiwa pembangunan.

 


Beberapa hari lalu mediasultra.co.id secara berurutan menurunkan berita 4 desa di Kadatua tentang wacana pengembangan Desa Wisata. Dua diantaranya Kapoa dan Kapoa Barat lengkap dengan lampiran foto serta desain master plannya.


Membayangkannya saja kita seolah turut senang, sebentar lagi kampung kita akan ada bangunan keren untuk jadi spot selfie dan swafoto, namun disisi yang lain mungkin juga kita bergumam dalam hati sambil mengernyitkan dahi, sudah tepatkah, atau hanya mengejar laba proyek? Mengingat bangunan fisik di Kadatua umumnya mangkrak terlunta-lunta dan tidak terurus, dan sudah menjadi rahasia umum, proyek fisik selalu menjadi ladang empuk oleh para pemburu laba.


Sebut saja lapangan futsal di hampir semua desa hanya dimanfaatkan ketika baru selesai dibangun, setelah itu ditinggal. Tidak ada kegiatan yang menghidupkan aktivitas anak muda, untuk mengembangkan minat bakat. Asas manfaat diabaikan, tidak ada kepekaan para pemangku kebijakan di desa untuk menstimulan.


Melihat fenomena dari pengalaman diatas mungkin kita geram, namun kita tidak boleh alergi pada pembangunan. Pembangunan tidak selalu bermuara ke hal negatif, tetapi ada banyak sisi positif serta manfaatnya manakala kajiannya utuh dan komperesif.


Mengutip dari artikel Hannif Andy disitus eticon.co.id ia menyebut 10 tahapan dalam merintis desa wisata, 3 diantaranya adalah: (1) Komitmen bersama; (2) Pemetaan potensi & permasalahan wilayah melalui proses partisipasi; (3) Kelembagaan POKDARWIS.


Pertanyaan kemudian adalah apakah rencana mega proyek pengembanganan destinasi wisata di Kadatua itu sudah memenuhi 3 tahapan diatas?


Sebut saja satu 1 yakni lembaga Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dibeberapa desa yang beberapa bulan lalu dikukuhkan oleh Bupati Busel itu, yang kondisinya sekarang vakum tanpa aktivitas, seolah memunculkan perasaan pesimistis. Muaranya bakal mangkak lagi.


Olehnya itu mumpung ini masih tahapan wacana, segera lakukan langkah-langkah jitu, misal konsultasi dengan dinas terkait, serap aspirasi warga, serta kuatkan peran dan kapasitas kelembagaan di desa, agar pembangunan tepat sasaran dan tepat manfaat.