Setiap melewati Desa Tua Lipu Kadatua, sebuah gerbang bertulis Benteng Wa Ode Pogo menyambut, ketika memasukinya terlihat Masjid dan Makam-makam tua dikelilingi pagar batu seperti miniatur benteng keraton buton, dibawahnya terbaring salah satu sosok yang dilegendakan oleh orang-orang di Pulau ini, yakni WA KARAAMAGUNA alias WA ODE POGO.


Tiada literatur lengkap menjelaskan sosoknya, hanya cerita lisan turun temurun bahwa sosok itu asalnya dari dari Pulau Muna kemudian bermigrasi ke Pulau Kadatua lalu mendirikan benteng.


Seperti mitos, kisahnya penuh misteri. Benar saja video promosi wisata yang diproduksi oleh Pemkab Busel bekerjasama dengan LPPM Unhas tahun 2016 itu menyematkan daerah ini sebagai negeri 1001 misteri, ada banyak hal serupa mulai dari legenda gajahmada di kampung majapahit batauga, mata biru di siompu, Hatibi Bula di Siompu Barat, petilasan Seykh Abdul Wahid di Batu Atas dan lain sebagainya.


Saat mereka menghidupkannya melalui narasi, dan ragam atraksi dan ritual kebudayaan, kemudian para generasinya mengemasnya dalam drama teatrikal. 


Disini di Pulau Kadatua, cerita legenda dan makam-makam tua itu hanya menyisahkan nisan dan tulang-belulang yang berserak. Padahal itu adalah artefak kebudayaan yang memiliki fungsi penting dan fundamental sebagai pijakan utama dalam laku kehidupan.


Olehnya kebudayaan perlu terus dihidupkan, digaungkan, serta diajarkan oleh masyarakat kepada generasi berikutnya kemudian dimaknai lalu diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakatkat. Jika tidak, tak menutup kemungkinan akan punah secara perlahan dan tergantikan oleh kebudayaan lain.


Seperti penggalan puisi "Krawang dan Bekasi" gubahan chairil anwar: 


Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu


Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan


Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa


Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak


Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami



Nurhayati tergegun, matanya berkaca-kaca saat Aiman reporter Kompas TV menanyakan keadaan Kondisi rumahnya.


Dia adalah bendahara Desa Citemu (Cirebon) bersama BPD membongkar penyelewengan Dana Desa yang ditengarai melibatkan Kepala Desa. 


Mereka melaporkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Nurhayati justru kemudian ditersangkakan balik sebab ia juga diduga turut terlibat, karena jabatan sebagai bendahara.


Tiada lagi tempat mengadu, Ia kemudian mempublikasi rekaman videonya, menyampaikan kronologi yang terjadi.


Sontak netizen ramai, videonya viral. Media massa lalu memberitakan, hingga sampai pada telinga Menkopolhukam Mahfud MD dan turut angkat bicara. Alhasil, kejaksaaan cirebon mengeluarkan Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan (SKP2) kepadannya dan kini Kepala Desa Citemu di Proses.


Kisah Nurhayati dan BPD adalah fenomena gunung es, satu dari sekian banyak kasus penyelewengan dana desa yang tidak terungkap oleh radar. 


Sebagai warga desa tentu kita tercengang, mungkinkah ini terjadi juga di Desa tempat tinggal kita?


Bisa jadi, dilansir dari Liputan6.com tahun 2020 Wamendes mengungkapkan ada 13 ciri pengelolaan Dana Desa yang tidak efektif dan mengarah pada perilkau koruptif. Empat diantaranya yaitu: (1) Tidak Ada Papan Proyek; (2) Laporan Realisasi sama persis dengan RAB; (3) Bumdes tidak berkembang; (4) BPD pasif alias makan gaji buta.


Disadari atau tidak ciri-ciri itu pasti ada disekitar kita, BPD sebagai mandataris mewakili rakyat desa melakukan monitoring perannya lumpuh, kita tidak tau bagaimana proses pengadaan barang dan jasa sebuah program didesa. Tiba-tiba saja bangunan ada.


Seolah prosesnya sengaja ditutup-tutupi, dibuat diruang senyap tanpa harus diketahui oleh publik. Papan-papan informasi desa hanya jadi pajangan tanpa ada informasi sama sekali.

Padahal dana yang digelontorkan bukan main besarnya, Di Kecamatan Kadatua saja menurut data Kemendes tahun 2021 ada puluhan milyar. Masing-masing 10 desa dikucurkan:

1. Banabungi = 939 juta

2. Bansel = 966 Juta

3. Lipu = 1 Milyar

4. Uwemaasi = 1,1 Milyar

5. Kaofe = 896 Juta

6. Marawali = 1,1 Milyar

7. Mawambuga = 694 Juta 

8. Waonu = 1, 2 Milyar

9. Kapoa Barat = 1, 2 Milyar

10. Kapoa = 866 Juta


Besarnya anggaran tersebut jika dikelola dengan baik tentu ekonomi warga bergerak dan meningkat. Tapi jelas pengelolaannya harus transparan dan partisipatif. Agar tidak ada kecurigaan serta tidak mengarah pada perilaku korupsi dan memiliki asas manfaat, tepat guna serta tepat sasaran. Jika tidak, selamanya kita akan dikadali oleh para Oknum Kades yang biadab.


Ketika itu terus terjadi, tak ada cara, selain keberanian melantangkan suara kritis pada setiap proses pembuatan dan realisasi kebijakan dan program serta mau membongkar setiap penyelewangan. Sebagaimana dicontohkan oleh Nurhayati dan BPD diatas.



Sebelum gadget dengan aplikasi pabji dan em'elnya menyerang. Anak-anak Indonesia tak terkecuali di Pulau Kadatua memiliki ragam permainan tradisional, yang tentu sebagian besar permainan itu, menguji strategi dan ketangkasan.


Salah satunya adalah permainan bola lumpur, ya, bukan bermain bola dilumpur layaknya bermain bola dilapangan. Tetapi bola-bola kecil seukuran kepalan tangan dibuat dari lumpur laut (tomba) lalu ditaburi pasir putih agar keras, dan kemudian diadu (poburu).


Tidak ada juri maupun wasit, tapi sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa hukum yang berlaku dalam permainan ini adalah pecah berarti kalah.


Maka kelihaian dalam mencari dan memilih tomba berkualitas adalah hal yang menentukan. Tidak sedikit anak-anak kala itu menyembunyikan lokasi lumpur yang diambil agar tidak diketahui. Semacam rahasia perusahan jika diketahui akan takut kalah saing.


Pengalaman saya kala itu, konon bola lumpur yang tahan adu adalah lumpur yang berwarna kehitaman kemudian dijemur beberapa saat dipanas matahari lalu ditaburkan pasir sebagai pengeras. Entah benar atau salah tapi sebagian besar meyakini itu benar.


Karena hukumnya sekedar kesepakatan biasa, pecah-kalah, tidak serinci Perda, Perbup atau perdes, sehingga ada kelonggaran dalam memainkan celah. Ini kemudian dimanfaatkan sebagian anak untuk berlaku curang.


Bukan bola lumpur yang dibuat, tapi bola semen yang dilapisi lumpur. Bayangkan saja bagaimana kerasnya. Semua anak yang menggunakan lumpur jelas akan kalah, mau itu lumpur berkualitas nomor wahid se pesisir kadatua bahkan sedunia sekalipun jelas tidak akan mampu menandingi.


Kalau sudah seperti itu, anak ini akan dikucilkan tidak akan ada lagi yang beradu dengannya, terkecuali bolanya diuji dengan dilemparkan kerikil. Kalau retak ringan maka permainan lanjut tapi kalau tetap kokoh berarti besar dugaan ia curang. 


Meski begitu, pertemanan anak-anak kala itu tetap terjalin, lawan dalam permainan bukan berarti lawan dalam permainan lainnya. Yang penting dalam permainan ini adalah adu strategi dan rasa kebersamaan.


Perda pemekaran Kecamatan Kadatua tahun 2003 diteken oleh Bupati Buton LM. Sjafei kemudian disambut suka cita oleh seluruh elemen masyarat di Pulau Kadatua, yang menandakan bahwa resmi terpisah dari induknya Batauga.


La Ode Muhidin kemudian ditunjuk sebagai camat pertama, pembangunan digalakkan, mulai kantor hingga lapangan.


Warga di kerahkan untuk gotong royong membabat belantara lereng banawa, lokasi dibangunnya kantor dan lapangan yang kini kita kenal MARAWALI.


Tahun berikutnya mulai dibuka pagelaran akbar perlombaan seni dan olahraga semua tingkatkan, dalam rangka menyambut HUT Proklamasi.


Ketika dulu sebelum berpisah, kegiatan 17an hanya dinikmati oleh warga laompo dan sekitarnya, pasca pemekaran akhirnya bisa dinikmati oleh seluruh warga di Pulau Kadatua tanpa terkecuali.


Meskipun kala itu masih duduk dibangku SMP, tetapi saya merasakan sendiri bagaimana euforia warga. Kapal-kapal ikan berukuran besar sandar dipelabuhan Kaofe yang mengangkut warga banabungi, kemudian jalan dipenuhi massa pejalan kaki Waonu dan Kapoa menuju lapangan untuk menyaksikan acara yang puluhan tahun tidak dinikmati itu.


Membayangkan kembali euforia itu seolah rasa kebanggaan itu muncul kembali. Kapan, kapan, dan kapan bisa terulang lagi?


Nyaris dua dekade sudah Kecamatan Kadatua berdiri lalu pemimpin silih berganti, kegiatan itu kemudian sirna. Lapangan marawali yang menjadi kebanggaan warga Kadatua yang dibabat dengan semangat kebersamaan itu menyisahkan alang-alang yang tinggi menjulang, kembali keasalnya menjadi belantara yang seolah ingin menutup kenangan yang tersisa.


Sebagai generasi, apa makna perjuangan berdikari menjadi kecamatan berpisah dari induk batauga yang dipupuk oleh rasa kebersamaan para pendahulu itu? Lalu apa yang hendak dilakukan untuk membangkitkannya kembali?

 

(Sumber Foto: Jabal Kubais)


Suasana siang itu sepi sekali hanya beberapa motor yang lewat, tak heran karena memang matahari tepat diatas kepala, teriknya seperti laser yang siap membakar manusia yang berkeliaran.


Beberapa jam kemudian teriknya reda, sudah sore ternyata, terlihat kendaraan mulai lalu lalang, rombongan pemuda-pemudi desa sudah saling sahutan, rambutnya klimis, jilbabnya rapi. Bersiap berkeliling kampung lalu finish di dermaga dan tebing adalah satu-satunya hiburan.


Tak mau terlewatkan saya pun turut serta menikmati hiburan itu, kupacu kuda besiku membelah jalan poros kadatua, ragam pemandangan alami khas desa yang jarang ditemukan di Kota, mulai dari buibu yang memandikan anak depan rumah, mencari kutu, hingga menapis beras. Juga pakbapak yang nongkrong dibale-bale sambil mengikat tali pancing, menggergaji besi (ladu) dan menjahit jala yang putus.


Selain aktivitas warga, terlihat juga bangunan-bangunan pemerintah yang membikin nyesek, bangsal tenun yang tak terpakai, perahu nelayan yang disimpan dibawah kolong rumah, tanaman hidroponik yang kering, gazebo teilalo tanpa pengunjung.


Dan yang terakhir yang paling mecengangkan adalah dua buah bangunan mangkrak dibelantara makutanda dan pantai mbanua. Pasar rakyat!


Jika Pasar rakyat Makutanda telah lama terkubur beberapa dekade silam, meskipun sempat renov tapi tak kunjung hidup. Berbeda dengan Pasar Mbanua, tahun 2021 lalu pasca peresmiannya kembali oleh Bupati Busel, aktivitasnya sempat ramai, bertahan cukup lama mungkin beberapa bulan, saya dan teman-teman dari Kapoa sempat ngabuburit dipasar ini, ragam menu makanan dan minuman pabuka juga tersedia kala itu.


Kini aktivitas itu hilang bak ditelan bumi. Tanpa ada upaya untuk menghidupkannya kembali. Yang tersisa tinggal puing-puing lapak penjual beserta kenangannya mengikuti pasar pendahulunya makutanda dan bangunan-bangunan lainnya menjadi monumen mangkrak simbol kekerdilan pikiran para pemangku kebijakan. Sungguh ironi!


Setelah beberapa jam berkeliling desa tak terasa hari nyaris gelap. Sepanjang jalan menuju pulang ada aroma yang menganggu penciumanku, yakni aroma pisang goreng silaja yang membikir leher ingin berteriak. Tak tahan, ku parkir kuda besiku di pinggir jalan Desa Marawali tepat depan gerobak penjualnya. Sepuluh buah telah terisi dikantong, setelah membayarnya kulanjutkan perjalanan menuju rumah.

Kopi hitam, rokok surya dan buah tangan itu menyempurnakan perjalananku hari itu. Kuseruput lalu berteriak pelan: ...edede nyamannaa... ๐Ÿ˜