Setibaku di kawasan Tebing Labulengke kurang dari setengah jam baskara diufuk barat akan tenggelam. Laksana berada dalam sebuah lukisan hidup, terlihat jingga langit, sabana, dan pemandangan laut yang memanjakan mata.

Rombongan perempuan dengan usia belia mengenakan baju monyet bersepatu kets putih sekilas mirip nisya sabyan, yang tiba lebih awal dibibir tebing, mengabadikan momen itu diponselnya dengan beberapa kali jepretan secara bergantian.

Disisi lain tebing tepat diujung jalan aspal terlihat beberapa perempuan yang sudah lanjut usia dengan bedak dingin diwajahnya, berkaos parpol lengan panjang sedang memanggul keranjang kerikil diatas kepala lalu menumpakannya dibahu jalan pengerasan yang konon sebentar lagi jalan itu akan disiram cairan hitam panas (aspal) hingga tersambung ke desa tetangga yang sejak lama terisolir.

Melihat sekilas aktivitas perempuan lansia itu mungkin sebagian kita beranggapan  biasa saja, laiknya bekerja dalam sebuah proyek pembangunan untuk mendapat upah dan selesai begitu saja tanpa ada sesuatu hal yang akan dikenang.

Tetapi tidak, mereka sebenarnya turut andil dalam sebuah peradaban besar.

Kita tahu Pulau Kadatua dengan kondisi geografis yang gersang, kemudian deposito sumberdaya lautnya juga kian kikis, pesisirnya abrasi, terumbu karang hancur. Hal ini kemudian menjadikan kita pesimis untuk mau hidup dan bahkan membayangkan masa depan pulau ini seakan suram.

Kita tinggalkan pergi merantau berniaga, bersekolah, lalu pulang ketika renta dan menunggu ajal tanpa andil.  Sedang mereka para perempuan-perempuan lansia itu berupaya ambil bagian merintis sebuah jalan membangun harapan dan optimisme kembali.

Tidak akan lagi sekat dan kawasan terisolir. Desa-desa akan terhubung melingkar menjadi satu kesatuan. Sepersekian menit memacu kuda besi kita sudah berada di Kapoa begitupun ke Banabungi atau ke Desa lain.

Jika secara fisik kita tidak lagi berjarak, seharusnya ide-ide juga pun demikian. Semoga keterhubungan ini nantinya memacu kita untuk berkontribusi.

 

(Pantai one mopute banabungi)



Setiap pergantian tahun kita selalu merayakannya dengan gempita, tentu bukan karena tanggal dalam kalendernya tetapi waktu yang dihitung berdasar kalender masehi itu dimulai dihitung dari awal lagi.

Maka maksud dari merayakan itu adalah menjemput awal yang baru dengan harapan yang baru agar kelak ditahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Begitu pun dalam merayakan HUT organisasi publik, entah itu negara, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan maupun desa. Pemerintah biasanya merayakannya dengan ritual-ritual yang melibatkan warganya.

Ragam umbul-umbul dan kegiatan lomba diadakan, kemudian diakhir kegiatan biasanya para kepala pemerintahan menyampaikan sambutan tentang perjalanan daerahnya setahun terakhir apa-apa yang sudah dan belum dicapai, disertai harapan dan doa-dia agar ditahun berikutnya harapan itu bisa ditercapai.

Pun dengan Kecamatan Kadatua, pada 5 Februari 2022 mendatang akan genap berumur 19 tahun, usia yang diibaratkan manusia adalah usia yang menapaki masa dewasa.

Tentu sudah berbagai macam pembangunan yang dilakukan di kadatua, tetapi momen akan pentingnya hari lahirnya itu diabaikan tidak ada perayaan maupun kegiatan yang bisa menggungah kita sebagai warga untuk merefleksi dan menunjukkan ekspresi.

Pada akhirnya kita melalui tahun demi tahun dengan biasa saja, kita acuh pada pembangunan yang ada disekitar kita.

Tak heran pemerintah dan kita seolah berjarak, berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah dengan urusan kantornya dan kebijakannya, warga dengan kegiatannya. Padahal sebuah daerah harus dibangun secara bersama-sama pemerintah dan warganya.

Maka HUT Kecamatan Kadatua harusnya menjadi titik pijak untuk kita kembali berkumpul dan merefleksi guna mengoreksi dan melihat kembali sejauh mana semangat dan cita-cita awal yang hendak diperjuangkan sudah berjalan. 

Para pemangku kebijakan, stake holder dan para pemuda duduk berdialog membincangkan berbagai hal tentang daerah ini sehingga momen HUT Kadatua itu sendiri benar-benar terasa geliatnya, dirindukan kehadirannya dan memiliki ruh, serta orang-orang yang tinggal di daerah ini pun akan mendapatkan motivasi untuk terus berpikir demi kemajuan daerah.

 



Setiap bangun pagi, yang pertama saya dilihat adalah gadget buka esai mojok, kalau tulisannya menarik untuk baca biasanya ku sampai habis kalau gak, scroll kegiatannya scroll medsos sampai lupa waktu. Meskipun tidak ada yang menarik tapi tetap saja dilakukan seolah menjadi kebiasaan. 


Alhasil buang-buang waktu, tidak ada hal produktif lainya bisa dilakukan sepanjang hari, padahal kalau mau dipikir lagi, Tuhan sudah ngasih waktu 24 jam. 


Pola ini yang mungkin terjadi pada banyak orang walaupun sadar bahwa itu buruk. Hingga suatu waktu, saya merenung dan intropeksi, ada yang salah dalam cara saya berkehidupan. 


Kebetulan ini awal tahun waktu yang tepat memulai hal-hal baru. Maka langkah yang dilakukan adalah mengganti pola yang negatif seperti kegiatan scroll-scroll yang nirfaedah ke kegiatan yang positif. 


Yapsss... membaca Buku! Ini akan saya paksa masuk dalam pola itu. Meski berat tetapi harus dilakukan, seperti kata pepatah ala bisa karena biasa. 


Untuk itu saya mulai dengan sebuah target yang menurutku boleh dibilang sangat radikal yaitu melumat habis novel berat berlatar sejarah dengan total halaman 577. Nanti dilain kesempatan sangat ceritakan isi novel itu. 


Oke sampai disini dulu cerita saya hari ini, semoga ini menjadi awal yang baik.

 




Ia seorang kawan sekaligus guru disebuah pulau, sebut saja namanya Bravo.


Beberapa hari lalu ia ke kota untuk keperluan mengisi mengisi kelontong dapurnya yang nyaris tandas dengan kelontong baru, dan sekaligus juga menemui kepala sekolahnya dirumah pribadinya mengurus sebuah dokumen, entah dokumen apa.

Setelah urusannya selesai ia menghubungiku, menanyakan kabarku dan posisiku. Saya jawab baik dan sekarang di rumah, di Kota.

Yang seharusnya dia langsung balik lagi ke pulau tapi hari itu ia memilih menunda dan bermalam dirumah kerabatnya, yang tak jauh dari tempat tinggalku. Ia ingin ngobrol dan ngopi denganku katanya, memang sudah lama kami tidak bersua, mungkin 8 atau 9 bulan lalu terakhir kami becengkrama.

Tak pikir panjang saya pun mengamini, dan memang begitulah saya, siapapun yang ngajak ngopi saya selalu siap siaga, apalagi teman ngobrolnya itu nyambung, seperti kawan satu ini.

Sesuai janji sekitar jam 9 malam saya pun menjemputnya dirumah keluarganya, lalu kupacu maticku meluncur disebuah warung kopi hits dikota ini, di dekat sungai dengan tampilannya sarat milenial sangat instagrammable lampu kuning yang dibungkus kain adat.

 



Beberapa bulan lalu saya menemani senior saya yang kebetulan wartawan lepas mengantar hasil liputannya ke narasumbernya.

Setelah itu kami kesuatu tempat disebuah taman untuk bersantai sembari berdiskusi banyak hal, satu hal yang membekas dalam obrolan hari itu, ia bilang bahwa bercerita begini juga bagian dari kerja-kerja literasi.

Sekitar tiga detik memproses pernyataan itu saya langsung paham, dan senyum-senyum sendiri. Betul...betul...

Secara definisi literasi bermakna, kemampuan individu untuk mengolah informasi, dititik ini tidak hanya membaca buku tetapi bagaimana bertemu orang-orang mengobrol meskipun ngalor-ngidul tetapi tanpa sadar terjadi dialektika dan saling tukar informasi, dan tentunua informasi diproses oleh pikiran dan menjadi ilmu. Ilmu itu juga kadang menjadi insprasi untuk melakukan banyak hal.

Jadi, jika tidak hobi baca buku, paling tidak jangan malas bertemu orang dan mengobrol. Karena ilmu ada dimana-mana.

Seperti kata ki hajar, semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru.

 


Akhir tahun 2021, dengan seragam putih-putih mirip seragam Angkatan Laut (cuma yang membedakan logo topi AL logonya jalesveva jayamahe sedang kades garuda) 14 Kades hasil pemilihan serentak itu dikukuhkan dan diambil sumpah. Empat diantaranya berasal dari kecamatan Kadatua: Banabungi, Lipu, Bansel, dan Waonu. 


Kesemuanya itu mayoritas berlatar dari generasi 60 dan 70. Meski generasi milenial 80 dan 90 turut meramaikan bursa tetapi ternyata mayoritas warga masih menginginkan kepemimpinan dari kalangan bapak-bapak. 


Namun milenial 80-90 tidak serta diabaikan, mereka biasanya ditempatkan pada posisi aparatur, dari kasi, kaur, hingga sekdes. Harapannya terjadi kolaborasi bapak-bapak sebagai nahkoda pemegang kemudi, sedangkan milenial sebagai penggerak mesin. Lambat atau cepat, serta dimana arah kapal menuju tergantung kolaborasi apik mereka. 


Kolaborasi itu beberapa tahun belakangan sudah dilakukan, tetapi hasilnya belum terlihat, ragam kebijakan yang diambil masih jauh dari kata tepat guna dan tepat sasaran, miskin inovasi dan aksi. Yang nampak hanya pameran keki. 


Lalu apa yang keliru? Kolaborasinya kah? SDM aparaturnya kah? Atau Kadesnya yang egois tidak menerima masukan & saran? 


Entahlah... biarkan ini menjadi PR bersama. Tetapi saya berharap para kades yang baru dilantik beberapa hari ini, melakukan upaya terobosan, juga para milenial yang dilingkungan pemerintah jangan pernah bosan terus menambahan pengetahuan & wawasan, terbuka pada kritik dan masukan, agar tercipta ide-ide inovatif sehingga roda pemerintahan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.