Tak butuh waktu lama untuk memangkas angka putus sekolah di Pulau Kadatua, dalam kurun belasan tahun saja terjadi lompatan besar. 


Adalah kehadiran SMAN 1 Kadatua menjadi salah satu pemicunya yang telah memberi kontribusi terhadap pengembangan manusia kadatua.


Dulu, menjadi polisi, tentara atau bahkan masuk perguruan tinggi hanya cita-cita yang mengawang-awang, sulit untuk diraih. Diraih pun butuh perjuangan extra. Melanjutkan sekolah pasca SMP harus hijrah ke Kota, tinggal dipondokan, rumah keluarga atau ngekost.


Kini tinggal cuss sampe, sekolah ada ditengah-tengah kita. 


Namun seiring perkembangan zaman, tantangannya kian besar pula. Bukan hanya sekedar lulus yang diharapkan tetapi kapasitas keilmuan yang dimiliki mumpuni atau tidak. Apalagi diluar sana persainganan semakin ketat.


Kreativitas guru, serta kebijakan sekolah adalah kunci untuk bagaimana mengembangkan potensi peserta didik.


Salah satunya adalah kegiatan yang bisa memacu semangat siswa datang dan betah di sekolah. Utamanya berkaitan dengan penyaluran minat dan bakat. Disekolah-sekolah maju di kota, hal tersebut bukan barang baru dan boleh dibilang adalah hal yang sangat lazim.


Berbeda halnya di Kampung-Kampung, apalagi di Pulau seperti Kadatua, yang fasilitasnya sangat terbatas. Mau tak mau mindset harus out of the box. Membongkar kebiasaan lama. Mendobrak, mencoba hal baru.


Seperti yang dilakukan oleh salah satu guru SMAN 1 Kadatua, beberapa hari lalu disela-sela kesibukannya mengikuti training disalah satu hotel ternama di kota ini. Ia menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan saya dan beberapa rekan di sebuah kedai kopi.


Ia menyampaikan bahwa kehadiran guru-guru muda telah memberi warna baru. Pola-pola lama telah ditata ulang, kreativitas mulai dibumikan. Kegiatan ekstrakurikuler mulai tumbuh, khususnya kepanduan pramuka dan kesenian (Marchingband).


Dan bahkan salah satu sekolah yang jadi sasaran program budaya "Revitalisasi Tradisi lisan Tambi" yang dimotori balai bahasa sultra tahun ini, adalah SMAN 1 Kadatua.


Mendengar penjelasannya itu saya tecengang. Ah, ternyata Sekolah di desa pun bisa juga bisa melakukan sesuatu. Muda & pikiran segar serta kemauan menjadi kunci.


Mudah-mudahan hal diatas menjadi titik balik untuk melakukan yang lebih, tak hanya terhenti disitu tapi lebih banyak lagi kegiatan ekstrakulier lainnya khususnya disesuaikan dengan konteks kekinian, misal olahraga, kepenulisan, video pendek, dll... Agar nanti pasca lulus siswa memiliki keterampilan dan kreativitas yang bisa dipakai menjadi modal bermasyarakat maupun ketika melanjutkan diperguruan tinggi.



Beberapa kali pulang kampung diwaktu weekend (sabtu-minggu) secara kebetulan selalu berbarengan dengan komunitas traveller dari Kota Baubau yang juga kesana untuk healing atau sekedar ingin menambah nutrisi story di medsos mereka. Katanya alam kadatua eksotis.


Bagi kita yang lahir dan besar di Pulau ini, mungkin akan beranggapan biasa saja tidak ada menarik. 


Namun ternyata bagi sebagian orang, apalagi mereka yang hidup di sesaki ruko dan padat kendaraan, Pulau seperti Kadatua adalah surga. Ketenangan dan healing ada disana.


Memang semenjak dibukanya jalur baru yang sejak lama terisolir ini seperti membuka salah satu tabir. Tak hanya jarak dan waktu yang dipangkas tapi juga harta karun yang sejak lama mengendap itu mulai nampak.


Kalau boleh berimajinasi liar, mungkin bakal menjadi spirit baru kadatua. Ya KADATUA TIMUR!!!


Lima desa yang masuk dalam jalur ini memiliki potensi yang mendukung itu, empat diantaranya adalah kawasan pesisir; Desa Banabungi, Bansel, Kapoa dan Kapoa Barat punya potensi perikanan dan wisata bahari dan Desa Lipu adalah Kampung Tua potensi untuk wisata budaya.


Namun untuk sampai kesana, harus ada infratruktur pendukung, utamanya dimulai dari kesadaran warga untuk menjaga dan melestarikan alam. Pengerukkan pasir untuk material bangunan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan harus segera dihentikan. Sudah cukup kita keroyok pulau ini dengan cara barbar. 


Selain itu juga peran pemuda, komunitas seperti Pokdarwis, Karang Taruna, dll, harus dihidupkan sebagai wadah pertemuan ide-ide kreatif. Saya yakin banyak ide dari anak-anak muda Kadatua namun masih berserak dan mengendap. Olehnya itu wadah komunitas menjadi penting.


Berikutnya adalah peran pemerintah desa. Sudah berulang kali saya menulis disini, bahwa transparansi dan partisipatif sesuatu yang wajib dilakukan, tanpa itu harmonisasi tidak akan jalan, akan muncul terus kecurigaan dan program akan selalu salah sasaran. Pada akhirnya bukan pembangunan yang dilakukan tapi justru pemubaziran.


Jika hal-hal diatas dilakukan, tak menutup kemungkinan ekonomi akan tumbuh, warga berbondong-bondong membangun pemukiman baru dijalur ini dan bisa jadi kelak membuka gerbang terbentuknya kecamatan baru: KADATUA TIMUR. 

 


Mengitari Pulau Kadatua melalui jalur baru (labulengke-kapoa) ini laksana berada dalam dunia dongeng, disekeliling dimanjakan ragam pemandangan nan elok; sabana, laut dan jingga langit.


Dipertengahan antara dua desa berdiri sebuah patung yang konon adalah manisfestasi dari sosok legendaris di Pulau ini. WA ODE POGO. 


Kisahnya yang samar dan penuh misteri membuat bertanya-tanya. Siapa yang berani mewujudkan wajah yang sudah lama berkalang tanah tanpa gambar dan lukisan itu. Pemerintah setempat ataukah kehendak tukang si pembuat patung?


Entahlah, patung sudah terlanjur berdiri, kembali mempertanyakan itu mungkin akan menjadi hal tabu bagi mereka. Yang masih melanggengkan sifat lawas, alergi pada suara kritis.


Namun, sebagaimana karya seni yang bertujuan untuk membangkitkan memori kolektif, patung selayaknya perlu dihidupkan. Tentu bukan menghidupkan layaknya manusia. Tetapi adalah warisannya berupa budaya dan tradisi.


Dibeberapa tempat di Indonesia, setiap momen yang berhubungan dengan sosok dalam patung sering diadakan ragam kegiatan kreatif. 


Di Kota Malang misalnya, di areal Patung Chairil Anwar, ataupun ditaman-taman kota, untuk memperingati ulang tahunnya setiap tanggal 26 Juli, anak muda/mahasiswa mengadakan ragam kegiatan; drama teatrikal dan pembacaan puisi. Tujuan tentu agar generasi selalu mengenang sosoknya.


Begitupun dengan patung Wa Ode Pogo, keberadaannya tak boleh hanya jadi spot selfie, tapi perlu kegiatan yang bisa menghidupkan sosoknya. Ada banyak momen untuk melakukan hal-hal tersebut, misal hari ulang tahun kecamatan, atau pun HUT Kemerdekaan.


Sudah lama Kecamatan Kadatua senyap dan vakum dalam kegiatan bertajuk budaya, padahal hampir semua Kecamatan di Kab. Buton Selatan selalu ada, olehnya kita tak boleh ketinggalan. Keberadaan patung ini harusnya menjadi titik awal bagi pemerintah, pemuda, dan siapapun untuk turun tangan, mengambil bagian. Agar pulau ini terus hidup.




Setelah pemerintah pusat mengumumkan kenaikkan harga BBM tgl 3 september lalu, sudah sangat jelas akan ada dampak ekonomi yang timbul menyertainya.


Salah satunya adalah Tarif Jasa Angkutan Laut Tradisional Penyebrangan Kadatua dan Sulaa (PP). 


Di Tahun 2018 lalu merespon hal serupa, pihak Pemerintah dalam hal ini Camat Kadatua memediasi pihak-pihak terkait, saat itu disepakati beberapa poin, salah satunya adalah: JUMLAH PENUMPANG DIATAS 8 ORANG ATAU MAKSIMUM 15 ORANG DIKENAKAN TARIF RP. 7RIBU/ORANG.


Selang beberapa bulan saja berjalan, kesepakan ini kemudian tidak diindahkan lagi oleh Pemilik Jasa, mereka sewenang-wenang menaikan tarif secara sepihak dan mematok Rp. 10ribu/orang. Kesepakatan tertulis tersebut sangat lemah, bagaimana tidak, jelas menyalahi kesepakatan namun tdk ada sanksi dan teguran. Warga sebagai pengguna jasa pun tak berdaya, bingung keluhan mau disampaikan kemana.


Maka untuk menghindari hal yang sama dan gejolak yang timbul dimasyarakat, sebaiknya pemkab Busel mengambil langkah-langkah meninjau secara langsung serta menyerap aspirasi dari pengguna dan pemilik jasa. Lalu segera diputuskan kebijakan yang kongkrit. Berupa PERBUP atau SURAT KUAT LAINNYA sebagai payung hukum dan rujukkan bersama.


Namun jika hal ini masuk dalam domain Pemprov Sultra sebab penyeberangannya meliputi dua Daerah yakni; Kabupaten Busel dan Kota Baubau, maka DISHUB SULTRA pun harus segera mengambil tindakan.


Pelabuhan dan Laut itu bukan hanya milik pemilik jasa transportasi, tapi milik bersama. Tidak boleh ada monopoli dan perilaku sewenang-wenang. Kehadiran pemerintah sebagai pengelola untuk memfasilitasi pengaturan trayek, tarif, retribusi dll sesuatu yang wajib dan perlu, agar semua pihak merasa nyaman.

 


Cuaca Kadatua akhir-akhir ini kurang bersahabat, mendung panas, mendung panas. Meskipun seperti itu tapi tidak menyururutkan semangat kami untuk melalui hari-hari. 


Disudut-sudut kampung, digode-gode dibawah kolong rumah, seperti biasa kami masih bisa minum kopi sembari melepas tawa. Meski pun dengan suasana hati yang getir dan risih melihat tingkah laku kalian.


Pertama-tama izinkan kami untuk menyampaikan hal risau ini yang selama ini mengganjal dibenak kami, tentunya ini sebagai tanda sayang kami kepada kalian para pemimpin kami. Pemangku kebijakan di desa di Pulau Kadatua.


Sebenarnya surat ini harusnya disampaikan di forum atau di rumah sambil berbisik. Tapi tidak apa-apa, lagian tidak ada juga hal intim yang perlu dirahasiakan. Bukankah urusan publik harus disampaikan kemuka publik?


Baik langsung saja,


Sejak UU Desa disahkan tahun 2014, dan dieksekusi tahun 2015, Dana Desa kemudian digelontorkan, tak terkecuali desa-desa di Kadatua pun turut kecipratan. Betapa bahagianya kami warga desa kala itu, karena konon dana itu dikucurkan untuk menstimulan dan memberi dampak ekonomi bagi kami.


Namun, seiring berjalan, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, pengelolaan kian amburadul dan buruk saja. Banyak program yang tidak tepat guna dan tepat sasaran terkesan boros, transparansi kalian abaikan, kami tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan dan monitoring kegiatan.


Riset yang dilakukan oleh Pendais Haq (2019) lokus studi di Kabupaten Buton Selatan pun mengamini itu, bahwa transparansi belum berjalan dan program tidak mengedepankan skala prioritas. Secara tidak langsung amanat UU Desa telah kalian khianati dan cederai.


Maka sulit bagi kami untuk tidak menaruh curiga kepada kalian. Visi yang kalian sampaikan dimimbar saat Pilkades ternyata cuma kalimat ilusi dan utopis. 


Wahai para pemimpin kami...


Sudah lupakah kalian dari mana kalian berasal? Bukankah kalian itu sama dengan kami, sama-sama rakyat. Karena atas kecerdasan para pemimpin bangsa lebih setengah abad silam, yang telah memilih sistem demokrasi dalam bernegara, semua manusia yang berada dibawah kolong langit nusantara ini pun memiliki hak yang setara untuk dipilih dan memilih. Tak terkecuali kalian.


Sudah lupakah kalian kalimat sakral yang kalian ucapkan di bawah Kitab Suci saat pelantikan tempo hari? Lapangan Lakarada menjadi saksi bisu. Saat itu kalian rapalkan janji suci setia pada konstitusi untuk memajukan rakyat.


Memang kami mafhum bahwa kekuasaan itu sarat dengan jeratan, dimana-mana ada kubangan. Tetapi kami juga tahu, manakala di dalam diri masih ada keteguhan, dan hati yang bersih. Justru itu akan menjadi penerang, penunjuk jalan, agar menjalankan fungsi pemerintahan tetap berada dijalur yang benar.


Kami tidak mau suuzon, kami masih percaya. Dilubuk hati kalian yang paling dalam masih ada secercah sinar itu. Ikuti pentunjuk itu, abaikan segala macam godaan. Rakyat yang kalian pimpin ini juga saudara kalian yang berasal dari akar yang sama dengan kalian. Mengkhianati rakyat sama halnya menempeleng diri sendiri.


Sekian surat singkat ini, mudah-mudahan bisa memacu semangat. Dan memberikan yang terbaik.


Wassalam.

Peluk cium dan sayang dari kami ❤️


RAKYAT KADATUA

 



Kurang lebih empat bulan lagi tahun 2022 akan segera berakhir. Maka nyaris setahun sudah pengelolaan keuangan desa, entah itu diperuntukan dibidang pemberdayaan maupun pembangunan lainnya. Kesemuanya tentunya bertujuan untuk kesejahteraan warga desa.


Namun, dengan kondisi Kadatua yang sepi, mayoritas penduduknya pergi merantau, kemudian minimnya partisipasi warga yang tinggal dikampung serta kurangnya pelibatan BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan. Keuangan desa sarat akan penyelewangan dan kongkalikong.


Sudah menjadi hal umum, desa-desa kita dalam urusan ini sangat tertutup. Tiba-tiba saja warga diperlihatkan dengan pembangunan tanpa mengetahui proses dan kesesuaiannya. Pada akhirnya kecurigaan warga selalu muncul, hal ini kemudian berdampak pada kurangnya harmonisasi dan kerukunan bersama.


Menurut ICW (2020) lemahnya SDM pengelola adalah menjadi penyebab utama, kapasitas kades mayoritas di Indonesia sangat rendah, masih banyak ditemukan kades yang tidak mampu untuk mengelola anggaran serta alergi pada kritik.


Padahal tim pendamping serta pengawas, baik dari satgas anti korupsi maupun inspektorat daerah serta dinas terkait untuk melakukan monitoring, pemeriksaan, konsultasi serta pembinaan, tapi tetap saja tidak ada perubahan yang siginifikan. Masih saja pengelolaan keuangan desa tidak transparan dan kurang partisipatif. Hal ini tentunya rentan terhadap manipulasi dan suburnya korupsi.


Jika masalah utama tersebut susah untuk diurai, cara alternatif lainnya untuk mengurai sengkarut itu adalah kekuatan partisipasi khususnya anak muda.


Sudah saatnya anak muda mengambil bagian, turun gelanggang masuki forum-forum desa menjadi penyambung lidah, melakukan usulan, kritik, protes dan sanggah manakala terjadi keganjilan. Bukankah tembok yang keras harus di bongkar dengar alat yang keras? Dan satu-satunya alat yang dimiliki adalah; SUARA!


Suara kita jangan hanya dipakai saat pencoblosan Pemilu atau Pilkades, tapi dipakai juga ketika pemerintahan berjalan. Baik itu dalam pelayanan publik, proses perencanaan program maupun implementasi serta evaluasi.


Dibawah ini adalah data APBDes tahun 2022, di sepuluh desa Kecamatan Kadatua. Kalau dilihat rinciannya porsi lebih banyak pada bidang pembangunan fisik.




Di bidang ini sangat rentan terhadap penyelewengan, biasanya modusnya sangat sederhana dan menggunakan cara lawas, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan fiktif dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.


Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat RAB yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.


Akhirnya kualitas bangunan sangat rendah, beberapa tahun saja sudah roboh, dan yang tinggi justru kualitas pengelola anggarannya dalam hal ini gaya hidup para kepala desa dan aparaturnya. Sedang warga hanya mampu gigit jari. Hidup dalam bayang-bayang pembodohan pemimpinnya. Sungguh ironi!


Untuk itu sengkarut ini perlu diurai. Menggantungkan harapan pada satgas anti korupsi atau inspektorat daerah untuk mengurai ini, sama halnya berharap pada kekasih yang masih mendambakan mantan. Palsu dan bulshit! Sekali lagi tak ada cara lain selain; PEMUDA HARUS BERSUARA.!


Berikut lampiran rincian APBDes T.A. 2022
Sepuluh Desa di Kecamatan Kadatua:

(APBDes Kapoa Barat)

(APBDes Mawambunga)

(APBdes Waonu)

(APBDes Kapoa)

(APBDes Lipu)

(APBDes Banabungi)

(APBDes Banabungi Selatan)

(APBDes Kaofe)

(APBDes Marawali)

(APBDes Uwemaasi)




 


Sebuah kapal besar milik pemerintah dari arah Barat transit di kota kami, petang itu. Memuat dan menurunkan penumpang, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Timur. Di negeri rempah sebuah negeri yang berabad-abad silam, bangsa Eropa Spanyol dan Portugis pernah memperebutkannya.


Sekarang negeri itu telah menjelma menjadi ladang Nikel, segala macam manusia dari berbagai penjuru ingin kesana, memupuk pundi.


Disanalah lelaki itu akan menggantungkan asa. Pergi meninggalkan istri dan daerah asal yang pepohonannya pun enggan menghidupi warganya. Tandus dan gersang.


Sembari menunggu bunyi stom ketiga sebuah peringatan untuk lepas tali, ia peluk istrinya kuat-kuat. Suaranya lirih dan isak tangis pun pecah tak terbendung, haru.


Ah, pelabuhan memang sarat akan pemandangan seperti ini, perjumpaan dan perpisahan, bahagia dan sedih.


***


Memasuki bulan kesembilan penanggalan masehi, Pulau kami Kadatua kembali sepi, ditinggal manusianya ke berbagai daerah. Setelah hiruk pikuk lebaran dan bulan kemerdekaan usai. Rumah-rumah kembali dikunci rapat, kosong melompong.


Daerah yang umumnya akan dikunjungi itu adalah daerah yang menjanjikan, yang bisa menghasilkan dan meningkatkan taraf ekonomi keluarga.


Kawasan Timur adalah tumpuan. Konon, disanalah peluang ekonomi terbentang luas. Weda, di Pulau Halmahera (Malut) adalah salah satunya.


Memang beberapa tahun belakangan semenjak perusahan tambang memporoleh kontrak pengelolaan nikel di daerah Halteng, kemudian disertai dengan dibukanya lapangan pekerjaan. Warga di Pulau Kadatua, tak mau ketinggalan, setiap kapal yang akan mengarah ke Timur, selalu diisi oleh mereka.


Bahkan remaja yang masih mengeyam bangku SMA pun, kalau ditanya mau kemana pasca lulus, beberapa dari mereka akan menjawab; WEDA!


Weda seolah menjadi kata seksi disetiap perbincangan, tak heran memang kisah-kisah keberhasilan sering dijumpai pada postingan diberanda medsos mereka ataupun informasi dari keluarga di kampung. 


Selain kabar yang menggembirakan disisi lain juga kita kerap mendengar kabar yang tentu menyesakkan dada; kecelakaan kerja sering terjadi, karyawan ditindis loder, tabrakan, bahkan perkelahian antar mereka.


Namun begitulah suka duka dalam setiap perjalanan, baik dalam mencari ilmu dan pengalaman, atau mengais rejeki sekali pun, apalagi nun jauh dinegeri orang tentu tidak terlepas dari itu. Intinya kita selalu waspada, tabah dan sabar. (*)

 



Langit mendung tetapi rintiknya enggan turun, cuaca sungguh bersahabat sore itu. Berbagai orang dari segala penjuru desa di Pulau Kadatua berkumpul dalam satu titik. Tak lain, untuk turut menyemarakkan hajatan tahunan bulan agustus yakni HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 77.


Lapangan Desa Kaofe yang menjadi titik kumpul itu seperti disulap, laiknya lukisan abstrak penuh warna warni oleh kostum yang dikenakan peserta.


Jika sebelum-sebelumnya yang dilakukan hanya berkumpul lalu longmarch biasa menuju lapangan utama marawali dengan memegang spanduk kontingen dan bendera kecil, kali ini sungguh berbeda. 


Dibarisan paling depannya terlihat atraksi beberapa orang mayoret yang sedang memainkan tongkatnya, memandu barisan serta mengatur irama musik drumband yang dimainkan oleh sekelompok rekan remajanya. 


Sungguh apik. Baik peserta kontingen maupun warga yang menonton semua berdecak kagum. Tersihir oleh perpaduan ragam alat musik yang menghasilkan bunyi seolah-olah membangkitkan rasa nasionalime itu. ".....maju tak gentar... membela yang benar...."


Pertunjukkan itu benar-benar memukau. Sudah sekian tahun, pulau ini tak ada kegembiraan seperti ini. Kita sumpek dengan keheningan dan bebunyian jangkrik dikala malam. Kita rindu dengan kreativitas remaja dan anak muda yang bergairah dan membangkitkan semangat.


Selama ini kita hanya sibuk sendiri-sendiri, kita luput, padahal diruang-ruang paling sunyi, dibenak anak-anak muda kita, mereka juga ingin dilibatkan dalam ragam aktivitas. Agar pulau ini tak hanya terkesan seperti seonggok batu dan laut yang mati, tetapi ia juga butuh digerakkan oleh manusianya.


Jika kita menoleh kebelakang sejarah panjang negeri ini, bahwa negeri yang permai ini tak hanya tersusun dari batas peta mati belaka, tetapi gerak dan peran besar kaum muda. Kongres pemuda II tahun 1928 dan Peristiwa Rengas Dengklok dimalam 16 Agustus 1945 itu adalah buktinya nyata yang menjadi tonggak persatuan serta pembebasan diri dari belenggu penjajahan.


Olehnya itu dimomen ini, semoga menjadi refleksi bersama, bahwa kita yang hidup di era pasca kemerdekaan ini, meski bermukim di pulau, tak boleh patah arang, terus berkontribusi mengisinya dengan potensi yang kita miliki. (*)

 



Sebagai wilayah yang geografisnya dikelilingi lautan, Pulau Kadatua harusnya menjadikan kelautan sebagai leading sector untuk memajukan ekonomi warganya, potensi lautnya khususnya perikanan tangkap cukup tinggi, menurut data BPS Tahun 2021 mencapai 6068 ton dengan total rumah tangga nelayan sebanyak 812, namun geliat ekonomi belum terlihat. Penyaluran bantuan bagi nelayan entah melalui Dana Desa ataupun bantuan DKP Buton Selatan (Busel) masih berkutat pada alat tangkap dan perahu/Kapal, padahal masalah utama nelayan adalah keterbatasan akses pasar, hasil tangkapan nelayan tidak tersentuh dan masih menjadi bancakan para tengkulak.


Revitalisasi Pasar rakyat di Desa Kaofe dan Mawambunga yang puluhan tahun mangkrak oleh Pemerintah Kabupaten Busel belum menjawab persoalan yang dihadapi nelayan, pasar hanya direhabitilasi tetapi tidak ada stimulant dan evaluasi yang dilakukan oleh dinas terkait, setelah dibangun kemudian ditinggal, hanya bertahan beberapa bulan saja setelah itu kembali mangkak tidak ada aktvitas jual beli, pada akhirnya nelayan di Pulau ini menjual hasil tangkapannya kembali kepada para tengkulak (papalele) dengan harga yang relatif rendah atau menjualnya langsung ke Kota Baubau atau ke Pasar Lapara Siompu dengan jarak yang cukup jauh, dan tentu ongkos bahan bakar yang dikeluarkan pun tidak sedikit.


Belum selesai persoalan pasar rakyat, tahun 2022 ini Pemkab Busel kembali melakukan pengembangan Dermaga Desa Kapoa sebagai fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan total anggaran yang digelontorkan 1,2 milyar, tentu ini menjadi angin segar bagi masyarakat nelayan di Pulau Kadatua, mengingat TPI mempunyai peranan sangat penting dalam kegiatan perikanan dan juga merupakan salah satu faktor yang menggerakan dan meningkatan kesejahteraan nelayan, keberadaannya bisa membuka akses pasar membantu aktivitas nelayan yang ingin menjual hasil tangkapannya dengan cepat serta harga yang memadai.


Namun agar fasilitas TPI yang dibangun nantinya tidak sia-sia, maka perlu regulasi yang mengatur sebagai pedoman pelaksanaan agar pengelolaannya terarah, dan bisa terus dievaluasi manakala ada kendala. Agar kejadian pasar rakyat yang mangkrak tidak kembali terulang. Dan keberlasungannya terus dinikmati oleh para nelayan.

 


Tahun 2022 ini beberapa tempat di jazirah Buton Selatan akan dibangun beberapa patung. Diantaranya Patung Hatibi Bula dan Lalole di Siompu Barat, Syekh Abdul Wahid di Batu Atas, serta di Pulau Kadatua sendiri yakni; PATUNG WA ODE POGO, yang konon akan menelan anggaran 240 Juta.

Ketika mendengar rencana ini, imajinasi seolah traveling, entah seperti apa visualisasi bentuk dan wajah Wa Ode Pogo itu. Sebab selama ini tidak ada satu pun lukisan maupun cerita mengenai bagaimana ciri dan bentuknya.

Sosoknya dalam memori kolektif orang kadatua, direkam dalam tradisi lisan bahwa ia adalah putri bangsawan kerajaan yang diasingkan lalu kemudian membangun peradaban. Warisannya hingga kini masih bisa dilihat; adat serta peninggalan berupa benteng dan gua bekas hunian.

Kita tahu patung adalah ikon sekaligus sebagai penanda suatu peristiwa maupun tokoh. Agar orang yang melihatnya, mengenang dan mengingatnya. Dan mungkin diejawantah dalam laku kehidupan.

Olehnya itu membangun patung bukan perkara mudah, tidak boleh asal jadi, apalagi sekedar memburu laba proyek. Sebab ia mengandung makna, nilai, falsafah, dan estetika.

Tentu seyogyanya diperlukan kajian secara mendalam terhadap semua aspek yang terlibat dalam pembangunan, apalagi sosok Wa Ode Pogo, sebagaimana saya sampaikan diawal tadi, visualisasinya masih sangat samar.

Maka keterlibatan tokoh adat dan masyarakat sangatlah penting agar patung yang dibangun itu nantinya benar-benar dapat dimaknai secara tepat.

 


Sebelumnya saya belum pernah mengenal, mendengar atau membaca tentang kapal legendaris ini, entah karena buku sejarah saat masih duduk dibangku sekolah dulu tidak mencantumkannya atau karena saya sendiri yang malas baca. 


Kemungkinan paling sahih yang kedua: MALAS BACA!!. Hehehe...


Nanti ketika lanjut kuliah di sebuah kota dingin di jawa timur, kota yang tidak habis-habisnya memanjakan manusianya dengan banyaknya buku murah. Disinilah awal perkenalan saya dengan kapal tersebut.


Tak ada rencana saat itu, disuatu siang ketika pulang dari kampus, kebetulan lewat di Pasar Buku Wilis, saya pun singgah untuk sekedar lihat-lihat, sembari menanti waktu sore untuk balik ke kost.


Beberapa jam keliling dari lapak ke lapak, secara kebetulan, mata saya tertuju pada sebuah buku yang sampulnya berwarna biru muda bergambar kapal layar di kios paling pojok. 


Karena saya asalnya dari Pulau, yang notabene laut dan kapal adalah kehidupan kami sehari-hari, kaki saya pun tergerak untuk  melihatnya buku itu lebih dekat.


Ternyata betul, buku itu sesusai yang tertera disampulnya adalah tentang kapal. Lebih jelasnya berjudul SEBUAH KISAH NYATA DEWA RUCI, PELAYARANAN PERTAMA MENAKLUKAN 7 SAMUDRA. Terbitas Kompas, yang ditulis seorang kadet asal Sulawesi Utara.


Ketika melihat nama penulisnya berasal dari sulawesi dan ceritanya tentang pelayaran. Meski tersegel, tanpa mengetahui isinya, buku itu kuangkut dan langsung pulang ke kostan. Kurang lebih dua hari buku sudah ku lahap habis.


Jarang saya keranjingan membaca buku dalam hitungan hari, biasanya minggu atau bahkan tidak tamat. Saya tipikal orang yang cepat jenuh, apalagi bahasanya berat dan membingungkan. Tapi ketika membacanya buku itu seolah berada dalam cerita.


***


Akhir bulan desember tepatnya tanggal 28 dan 29, tahun 2020, sebuah link webinar zoom bertemakan Jalur Rempah dibagikan di grup WhatsApp.


Jalur rempah? Apalagi nih... (pikirku saat itu). Rempah yang hanya dalam benakku, yang ku ketahui saat masih duduk dibangku SD, bahwa Belanda datang ke Indonesia karena rempah-rempah, itu saja, tidak lebih. Tidak ada kisah lain dibaliknya.


Maka untuk mengobati rasa penasaaranku mengenai tema webinar itu, ku searcing di Google, rupanya tentang alur perdagangan rempah masa lalu yang coba dihidupkan kembali.


Webinar itu seolah membuka tabir yang selama ini ternyata banyak tidak kuketahui, apalagi mengenai sejarah rempah nusantara.


Semenjak itu, saya tak melewatkan manakalah ada link atau artikel tentang rempah, tahun 2021 saya membeli Majalah Natgo edisi khusus rempah, dan juga menonton film dokumenter berjudul Banda: The Dark Forgotten Trail di Netflix.


Ternyata rempah-rempah memuat banyak kisah, bukan hanya tragedi (penjajahan) yang familiar kita dengar dalam buku-buku sejarah disekolah, tetapi disana juga ada akulturasi budaya, agama, dan persahabatan antar nenek moyang kita dari ujung selat malaka hingga banda naira. Dan bahkan bangsa-bangsa dibelahan dunia lain.


***



Saat mendengar akan di adakan ekspedisi muhibah budaya jalur rempah awal bulan juni tahun 2022 menggunakan KRI Dewa Ruci, dan salah satu titik lokasi singgah yang akan dilalui ditahap pertama adalah Pulau Buton. Tak sabar saya menanti.


Hingga akhirnya 8 juni lalu tepatnya, Kapal layar yang memuat para laskar rempah itu pun tiba dipelabuhan Murhum Baubau, salah satu pelabuhan tua yang berabad-abad lalu juga pernah menjadi bagian dalam alur perdangan rempah. Ragam sambutan hangat masyarakat Buton, hingga tarian-tarian penyambutan.


Selama persinggahannya di Baubau selama dua hari, KRI Dewa ruci mengadakan open ship bagi siswa dan masyarakat umum untuk bisa melihat langsung kapal legendaris milik TNI AL itu. Tak mau ketinggalan, saya juga turut serta melihat langsung dan mengabadikannya.

 


Semenjak gencar pembangunan perumahan di kompleks Sulaa bagian atas beberapa tahun belakangan ini, kawasan yang dulunya sepi hanya dilalui beberapa kendaraan. Jika malam hanya terdengar bunyi jangkrik dan suara sumbang musik dari rumah-rumah karaoke dekat hutan. Kini lumayan ramai, kendaraan roda dua dan empat lancar berhilir mudik.


Geliat ekonomi pun tumbuh, jika lapar tengah malam karena kehabisan stok indomie di rumah atau mau mencari snack buat ngemil, serta rokok untuk pencuci mulut. Tak sulit lagi, warung-warung kelontong berjejer disepanjang jalan dan dibuka 24 jam. ATM, Pon Besin (Pertamina), bahkan apotik hingga sayuran dan ikan pun tersedia.


Bagi saya dan mungkin kamu, iya kamu, para penikmat jam kecil, yang tinggal di areal ini. Kondisi tersebut adalah surga. Asal ada duit di dompet/ATM dan kendaraan, tinggal cus. Kebutuhan kontemplasi tengah malam terpenuhi dengan sempurna. Ide-ide yang sebelumnya beku muncul kembali mengalir deras laksana air bah. Bebas hambatan.


Namun beberapa hari terakhir ini, suasana agak berubah tak seperti biasanya. Sebuah plank berwarna merah biru kuning terpasang di depan ruko yang tak jauh dari jejeran kelontong itu, tanda bahwa tak lama lagi akan dibuka gerai mini market Indomaret.



Lalu terbesit di kepala saya jika gerai itu dibuka bagaimana nasib kelontong itu? Mengingat gerai indomaret sebuah retail besar yang memiliki jaringan raksasa di hampir semua kota, produk yang jual juga boleh dibilang lengkap, dari sabun, beras, kondom, kinder joy, hingga buah tersedia. Harganya pun relatif sama.


Suasana didalamnya pun nyaman, ber AC. Apalagi ditambah dengan mbak-mbak kasirnya yang lembut dan ramah yang selalu menyambut pengujungnya dengan sambutan khas "Selamat datang, Selamat berbelanja," kemudian disertai senyumnya yang pura-pura manis itu.


Pembeli seolah dibuat tersihir. Ale waopue... Nikmat mana lagi kau dustakan. Jangankan odol, mbaknya pun saya angkut sekalian. Hehehe 


Memang gerai yang akan dibuka ini, bukan hal baru di kota ini, sebelumnya sudah ada gerai serupa, semisal, MGM, Liwanda, Rika Mart, dan terakhir Alfamidi, yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Namun itu adanya di pusat kota yang dekat dengan keramaian. 


Sementara di Kawasan Sulaa Atas, dan sekitarnya ini, kali pertama. Kemudian warung-warung kelontong yang berjejeran itu juga masih tergolong baru mungkin satu tahun terakhir seramai ini. 


Tentu kehadiran gerai tersebut bakal menjadi pesaing keras dan alarm peringatan bagi pedagang kelontong. Kenyamanan dan produk lengkap yang ditawarkan oleh gerai jelas akan berdampak pada usaha kelontong, entah beralihnya konsumen, penurunan omset atau bahkan gulung tikar. Keluar arena.


Saya berharap para pembeli cukup jeli melihat ini, belanja nantinya bisa proporsional. Tidak selalu berbelanja digerai tapi di warung kelontong juga, agar ia terus hidup.





Lama tak bersua sekian dasawarsa hidup di negeri orang, perubahan kian cepat saja. Gedung SMA pertama di Bumi Waode Pogo ini, yang dulu hanya sepanggal ruang guru dan tiga ruang kelas, kini berubah pesat, beberapa RKB sudah terbangun.

Pun jumlah guru yang sebelumnya tidak kurang dari jumlah program pokok PKK, kini bertambah banyak seiring dengan tumbuhnya generasi yang melanjutkan studi pendidikan Guru.

*** 

Dalam sebuah wawancara Pimred ButonPos dengan mantan Bupati Buton LM. Sjafei Kahar di channel Youtube "Catatan Irwansyah Amunu", ia menjelaskan kala pertama kali menjabat bupati tahun 2001 tak satupun SMA di Selatan Buton. Tak terkecuali di Pulau Kadatua.

Pilihan para generasi pasca SMP saat itu, putus atau hijrah ke Kota Baubau untuk melanjutkan studi.

Tak mengerankan, sumber daya manusia di Pulau Kadatua saat itu sangat minim. Sulit menemukan warga yang mengenyam pendidikan tinggi.

Hingga era 2003 keatas, gencar dilakukan pemekaran kecamatan, kemudian disertai dengan kebijakan satu kecamatan satu SMA. Kebijakan ini alhasil berdampak signifikan terhadap berkurangnya angka putus sekolah.

Sekian tahuh semenjak pasca pendirian SMA, bak jamur dimusim penghujan, manusia kadatua yang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi juga tumbuh pesat. Tak lagi sulit menemukan, guru, bidan, suster, mantri, dlsb.

Namun bertambahnya manusia baru Kadatua itu, tidak berbanding lurus dengan kondisi kadatua. Yang hari ini sepi, minim aktivitas, pembangunan yang asal tanpa partipasi, sumberdaya alam yang rusak, serta budaya yang terus tergerus. 

Hal diatas harusnya menjadi refleksi bersama dan menjadi tamparan keras, bagi kita khususnya manusia kadatua yang sudah menikmati pendidikan. 

Bahwa nampaknya ada yang keliru dalam proses kita geluti selama ini. Kita hanya fokus memikirkan diri sendiri. Tujuan pendidikan sekedar memburu gelar, kerja hanya untuk transit menanti jodoh, atau sekadar mengumpulkan pundi-pundi. Sementara generasi dibawa membutuhkan teladan, dan Kadatua juga ingin dibenah oleh kehadiran kita ditengah-tengah mereka, melalui partisipasi, kritik, dan inovasi.

Padahal pendirian SMA ini tujuannya tak sekadar hanya memangkas angka putus sekolah saja, tapi lebih dari itu adalah melahirkan manusia Kadatua yang memiliki visi, potensi, bernalar kritis serta berjiwa pembangunan.

 


Beberapa hari lalu mediasultra.co.id secara berurutan menurunkan berita 4 desa di Kadatua tentang wacana pengembangan Desa Wisata. Dua diantaranya Kapoa dan Kapoa Barat lengkap dengan lampiran foto serta desain master plannya.


Membayangkannya saja kita seolah turut senang, sebentar lagi kampung kita akan ada bangunan keren untuk jadi spot selfie dan swafoto, namun disisi yang lain mungkin juga kita bergumam dalam hati sambil mengernyitkan dahi, sudah tepatkah, atau hanya mengejar laba proyek? Mengingat bangunan fisik di Kadatua umumnya mangkrak terlunta-lunta dan tidak terurus, dan sudah menjadi rahasia umum, proyek fisik selalu menjadi ladang empuk oleh para pemburu laba.


Sebut saja lapangan futsal di hampir semua desa hanya dimanfaatkan ketika baru selesai dibangun, setelah itu ditinggal. Tidak ada kegiatan yang menghidupkan aktivitas anak muda, untuk mengembangkan minat bakat. Asas manfaat diabaikan, tidak ada kepekaan para pemangku kebijakan di desa untuk menstimulan.


Melihat fenomena dari pengalaman diatas mungkin kita geram, namun kita tidak boleh alergi pada pembangunan. Pembangunan tidak selalu bermuara ke hal negatif, tetapi ada banyak sisi positif serta manfaatnya manakala kajiannya utuh dan komperesif.


Mengutip dari artikel Hannif Andy disitus eticon.co.id ia menyebut 10 tahapan dalam merintis desa wisata, 3 diantaranya adalah: (1) Komitmen bersama; (2) Pemetaan potensi & permasalahan wilayah melalui proses partisipasi; (3) Kelembagaan POKDARWIS.


Pertanyaan kemudian adalah apakah rencana mega proyek pengembanganan destinasi wisata di Kadatua itu sudah memenuhi 3 tahapan diatas?


Sebut saja satu 1 yakni lembaga Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dibeberapa desa yang beberapa bulan lalu dikukuhkan oleh Bupati Busel itu, yang kondisinya sekarang vakum tanpa aktivitas, seolah memunculkan perasaan pesimistis. Muaranya bakal mangkak lagi.


Olehnya itu mumpung ini masih tahapan wacana, segera lakukan langkah-langkah jitu, misal konsultasi dengan dinas terkait, serap aspirasi warga, serta kuatkan peran dan kapasitas kelembagaan di desa, agar pembangunan tepat sasaran dan tepat manfaat.

 



Jelang kepergian Ramadhan, hangat perbincangan ajang tahunan kompetisi futsal Merantau Cup, mulai dari jersey merk apa yang akan digunakan, sampai kocok ulang pemain mana yang pas untuk diturunkan. Sungguh, betapa rindunya warga dan hausnya para pecinta bola di Pulau ini.

Memang sejak vakumnya perlombaan agustusan, Pulau Kadatua seolah lumpuh, ruang-ruang anak muda untuk menyalurkan libido olahraga juga mati, setahun penuh tanpa hiruk-pikuk.

Untungnya keberadaan ajang turnamen tahunan ini sedikit menjadi obat penawar. Warga terhiburkan & hasrat anak muda tersalurkan.

Tak hanya warga dan pecinta bola, beberapa tahun belakangan pemerintah dihampir semua desa di Pulau ini pun juga ikut dalam eforia itu. Ramai-ramai membangun fasilitas penunjang yakni lapangan yang tak sedikit anggarannya hingga mendekati angka milyaran rupiah.

Melihat fenomena ini seolah ada optimisme, bahwa sebentar lagi akan lahir bibit-bibit unggul.

Namun ternyata ajang turnamen dan fasilitas itu tidak berbanding lurus dengan prestasi yang dicapai, nyaris sewindu berjalan, belum ada talenta yang bermunculan. Sebut saja kompetesi yang diadakan di Kota Baubau baru-baru ini, club-club yang berasal dari Kadatua tandas dan tumbang dibabak penyisian.

Olehnya itu hendaknya ada evaluasi, utamanya perubahan mindset bahwa  turnamen dan keberadaan lapangan futsal di desa tak sekadar menjadi pajangan atau hiburan biasa, tetapi dinaikan levelnya sebagai pabrik talenta.

Anak-anak muda di desa diberikan tanggung jawab untuk menghidupkan lapangan, kemudian pemerintah desa memfasilitasi kebutuhan mereka, semisal bola, alat latihan dan bila perlu pelatih.

Dan juga turnamen-turnamen bila memungkinkan menggunakan standar nasional, kemudian dibuka seluas-luasnya tanpa batasan leluhurnya dari mana, darah apa dan ras apa.

Olahraga tidak boleh dikungkung, karena ia sejatinya bebas, asal ia minat dan raganya sehat, silahkan diolah. Supaya kita bisa belajar. Agar ada kesinambungan tidak putus begitu saja, habis turnamen surut juga semangatnya.

Jika hal itu dilakukan, tak menutup kemungkinan akan lahir talenta muda Kadatua yang berprestasi.




Ketika deposito sumberdaya laut Kadatua ludes karena eksplotitasi yang tidak ramah lingkungan dimasa lalu.

Sebagian besar orang-orang dipulau ini lalu merantau bermigrasi ketempat-tempat yang alamnya masih natural. Mencoba peruntungan disana, umumnya dikawasan timur indonesia (Maluku & Papua).

Menjadi nelayan lalu kemudian beralih berwirausaha. Perlahan ekonominya meningkat, dan menjadikan mereka naik tingkat menjadi masyarakat kelas menengah.

Saya teringat ketika masih duduk dibangku SMA, guru saya yang bukan asli kadatua saat itu pernah menyampaikan anekdot, katanya, meskipun pulau kadatua gersang dan alamnya hancur tapi kalau mau cari baret putih disinilah tempatnya.

Baret putih yang dimaksud adalah orang-orang yang sudah menunaikan rukun islam ke lima yang identik dengan kopiah putih.

Tak mengherankan memang, semenjak gelombang migrasi besar-besaran orang kadatua diwilayah timur, kelas ekonomi menengah baru juga ikut bermunculan. 

Berbeda dengan orang-orang yang memilih bertahan dikampung. Kehidupannya cenderung biasa-biasa saja, namun merekalah penjaga kadatua agar tidak mati dan terus hidup.

Sedang perantau itu muncul ketika dimomen-momen tertentu, semisal lebaran saja, setelahnya kembali ke daerah rantauan. Atau menetap kembali ke kampung ketika renta, sakit dan tidak berdaya.

Sungguh pun kampung kadatua yang dalam penggalan puisi aan mansyur adalah pulau yang hanya memiliki batu yang pepohonnya susah payah menghidupi nelayan. Tetapi ia selalu menanti pulang, menampung semua warganya dengan tangan terbuka tanpa terkecuali.

Maka hal itu seharusnya menjadi refleksi bersama, bahwa Kadatua bukan hanya identitas yang melekat dalam diri orang kadatua tanpa makna, tapi Kadatua adalah kata sifat dan kata kerja. Kata sifat dicerminkan dalam laku kehidupan dimanapun berada untuk toleran dan menghargai sesama sebagaimana diwariskan oleh leluhur, serta kata kerja adalah tindakan nyata untuk berkontrbusi.

Kita tahu momentum mudik lebaran adalah siklus peredaran uang yang masif yang digerakan umumnya oleh para perantau ketika pulang kampung, semua pelaku usaha mulai jasa transportasi serta sembako ikut masuk dalam pusaran itu. 

Harapannya siklus ini tidak hanya berkutat diperkotaan, tetapi dikampung halaman juga demikian. Jika perantau ingin belanja keperluan lebaran utamakan dulu barang yang dijual dikampung, ketika tidak ada baru belanja dikota, jangan pernah ngeluh belanja dikampung mahal atau apa, tetapi semata-mata untuk menghidupkan sementara aktivitas ekonomi dikampung, meskipun mungkin kecil namun itu bagian dari upaya untuk berkontribusi. (*)

 



Disela-sela rebah, menanti waktu sahur kuscroll akun medsosku, sebuah postingan dari kampung menggugah jempol ini untuk mengklik.


Kuklik munculah sebuah kanal youtube "Lelaki Super Mancing" menayangkan aktivitas nelayan sedang melaut. 


Sosok dalam video itu saya kenal persis ia adalah kakak-kakak kompleks, namanya Darlin warga Desa Kapoa yang akrab disapa Pak Guru Daali yang kini berprofesi sebagai nelayan. Sematan "Guru tentu bukan karena dia mantan atau pensiunan guru, tetapi ada alasan lain, nanti saya ceritakan dilain waktu.


Sekilas videonya biasa saja menampilkan adegan diatas perahu yang alat pancingnya disambar ikan seperti akun-akun pemancing lainnya, semisal Daeng Lala, Laode Arsan, La Ode Sahadati, dlsb.


Namun yang menjadi luar biasa adalah lokasinya dikampung Kadatua. Yang mana disini nelayan dianggap sebagai warga kelas dua yang identik dengan ketidakberdayaan. 


Padahal potensi yang dimiliki oleh mereka (nelayan) ada, namun tidak didukung dengan pendampingan dan fasilitas yang memadai, sebagaimana temuan riset yang dilakukan oleh Karmidin (2018) di Pulau Kadatua bahwa secara struktural penyebabnya yakni: Akses pasar & jaminan sosial.


Meski persoalan dunia kenelayanan dipulau ini pelik, tapi saya melihat sosok Darlin tidak mau pasrah berada dalam lingkaran itu, ia keluar dari zona mencoba berinovasi memadukan kapasitasnya sebagai nelayan dengan dunia kekinian. Dunia digital!


Kini channel youtubenya sudah memiliki 1900 lebih subscribe dan terus bertambah, dengan unggahan 53 video.


Kita tahu di dunia persilatan digital semua setara dan punya potensi viral, dikenal, dan peluang menghasilkan cuan, asal konsisten membuat konten. 


Mudah-mudahan Darlin dengan akun LELAKI SUPER MANCING-nya selalu konsisten menghasilkan konten, dan menjadi role model bagi kita semua, bahwa lokasi nun jauh dipelosok pulau gersang sekalipun bukan menjadi penghalang untuk berkreasi. (*)

 



Setiap melewati Desa Tua Lipu Kadatua, sebuah gerbang bertulis Benteng Wa Ode Pogo menyambut, ketika memasukinya terlihat Masjid dan Makam-makam tua dikelilingi pagar batu seperti miniatur benteng keraton buton, dibawahnya terbaring salah satu sosok yang dilegendakan oleh orang-orang di Pulau ini, yakni WA KARAAMAGUNA alias WA ODE POGO.


Tiada literatur lengkap menjelaskan sosoknya, hanya cerita lisan turun temurun bahwa sosok itu asalnya dari dari Pulau Muna kemudian bermigrasi ke Pulau Kadatua lalu mendirikan benteng.


Seperti mitos, kisahnya penuh misteri. Benar saja video promosi wisata yang diproduksi oleh Pemkab Busel bekerjasama dengan LPPM Unhas tahun 2016 itu menyematkan daerah ini sebagai negeri 1001 misteri, ada banyak hal serupa mulai dari legenda gajahmada di kampung majapahit batauga, mata biru di siompu, Hatibi Bula di Siompu Barat, petilasan Seykh Abdul Wahid di Batu Atas dan lain sebagainya.


Saat mereka menghidupkannya melalui narasi, dan ragam atraksi dan ritual kebudayaan, kemudian para generasinya mengemasnya dalam drama teatrikal. 


Disini di Pulau Kadatua, cerita legenda dan makam-makam tua itu hanya menyisahkan nisan dan tulang-belulang yang berserak. Padahal itu adalah artefak kebudayaan yang memiliki fungsi penting dan fundamental sebagai pijakan utama dalam laku kehidupan.


Olehnya kebudayaan perlu terus dihidupkan, digaungkan, serta diajarkan oleh masyarakat kepada generasi berikutnya kemudian dimaknai lalu diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakatkat. Jika tidak, tak menutup kemungkinan akan punah secara perlahan dan tergantikan oleh kebudayaan lain.


Seperti penggalan puisi "Krawang dan Bekasi" gubahan chairil anwar: 


Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu


Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan


Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa


Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak


Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami



Nurhayati tergegun, matanya berkaca-kaca saat Aiman reporter Kompas TV menanyakan keadaan Kondisi rumahnya.


Dia adalah bendahara Desa Citemu (Cirebon) bersama BPD membongkar penyelewengan Dana Desa yang ditengarai melibatkan Kepala Desa. 


Mereka melaporkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Nurhayati justru kemudian ditersangkakan balik sebab ia juga diduga turut terlibat, karena jabatan sebagai bendahara.


Tiada lagi tempat mengadu, Ia kemudian mempublikasi rekaman videonya, menyampaikan kronologi yang terjadi.


Sontak netizen ramai, videonya viral. Media massa lalu memberitakan, hingga sampai pada telinga Menkopolhukam Mahfud MD dan turut angkat bicara. Alhasil, kejaksaaan cirebon mengeluarkan Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan (SKP2) kepadannya dan kini Kepala Desa Citemu di Proses.


Kisah Nurhayati dan BPD adalah fenomena gunung es, satu dari sekian banyak kasus penyelewengan dana desa yang tidak terungkap oleh radar. 


Sebagai warga desa tentu kita tercengang, mungkinkah ini terjadi juga di Desa tempat tinggal kita?


Bisa jadi, dilansir dari Liputan6.com tahun 2020 Wamendes mengungkapkan ada 13 ciri pengelolaan Dana Desa yang tidak efektif dan mengarah pada perilkau koruptif. Empat diantaranya yaitu: (1) Tidak Ada Papan Proyek; (2) Laporan Realisasi sama persis dengan RAB; (3) Bumdes tidak berkembang; (4) BPD pasif alias makan gaji buta.


Disadari atau tidak ciri-ciri itu pasti ada disekitar kita, BPD sebagai mandataris mewakili rakyat desa melakukan monitoring perannya lumpuh, kita tidak tau bagaimana proses pengadaan barang dan jasa sebuah program didesa. Tiba-tiba saja bangunan ada.


Seolah prosesnya sengaja ditutup-tutupi, dibuat diruang senyap tanpa harus diketahui oleh publik. Papan-papan informasi desa hanya jadi pajangan tanpa ada informasi sama sekali.

Padahal dana yang digelontorkan bukan main besarnya, Di Kecamatan Kadatua saja menurut data Kemendes tahun 2021 ada puluhan milyar. Masing-masing 10 desa dikucurkan:

1. Banabungi = 939 juta

2. Bansel = 966 Juta

3. Lipu = 1 Milyar

4. Uwemaasi = 1,1 Milyar

5. Kaofe = 896 Juta

6. Marawali = 1,1 Milyar

7. Mawambuga = 694 Juta 

8. Waonu = 1, 2 Milyar

9. Kapoa Barat = 1, 2 Milyar

10. Kapoa = 866 Juta


Besarnya anggaran tersebut jika dikelola dengan baik tentu ekonomi warga bergerak dan meningkat. Tapi jelas pengelolaannya harus transparan dan partisipatif. Agar tidak ada kecurigaan serta tidak mengarah pada perilaku korupsi dan memiliki asas manfaat, tepat guna serta tepat sasaran. Jika tidak, selamanya kita akan dikadali oleh para Oknum Kades yang biadab.


Ketika itu terus terjadi, tak ada cara, selain keberanian melantangkan suara kritis pada setiap proses pembuatan dan realisasi kebijakan dan program serta mau membongkar setiap penyelewangan. Sebagaimana dicontohkan oleh Nurhayati dan BPD diatas.



Sebelum gadget dengan aplikasi pabji dan em'elnya menyerang. Anak-anak Indonesia tak terkecuali di Pulau Kadatua memiliki ragam permainan tradisional, yang tentu sebagian besar permainan itu, menguji strategi dan ketangkasan.


Salah satunya adalah permainan bola lumpur, ya, bukan bermain bola dilumpur layaknya bermain bola dilapangan. Tetapi bola-bola kecil seukuran kepalan tangan dibuat dari lumpur laut (tomba) lalu ditaburi pasir putih agar keras, dan kemudian diadu (poburu).


Tidak ada juri maupun wasit, tapi sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa hukum yang berlaku dalam permainan ini adalah pecah berarti kalah.


Maka kelihaian dalam mencari dan memilih tomba berkualitas adalah hal yang menentukan. Tidak sedikit anak-anak kala itu menyembunyikan lokasi lumpur yang diambil agar tidak diketahui. Semacam rahasia perusahan jika diketahui akan takut kalah saing.


Pengalaman saya kala itu, konon bola lumpur yang tahan adu adalah lumpur yang berwarna kehitaman kemudian dijemur beberapa saat dipanas matahari lalu ditaburkan pasir sebagai pengeras. Entah benar atau salah tapi sebagian besar meyakini itu benar.


Karena hukumnya sekedar kesepakatan biasa, pecah-kalah, tidak serinci Perda, Perbup atau perdes, sehingga ada kelonggaran dalam memainkan celah. Ini kemudian dimanfaatkan sebagian anak untuk berlaku curang.


Bukan bola lumpur yang dibuat, tapi bola semen yang dilapisi lumpur. Bayangkan saja bagaimana kerasnya. Semua anak yang menggunakan lumpur jelas akan kalah, mau itu lumpur berkualitas nomor wahid se pesisir kadatua bahkan sedunia sekalipun jelas tidak akan mampu menandingi.


Kalau sudah seperti itu, anak ini akan dikucilkan tidak akan ada lagi yang beradu dengannya, terkecuali bolanya diuji dengan dilemparkan kerikil. Kalau retak ringan maka permainan lanjut tapi kalau tetap kokoh berarti besar dugaan ia curang. 


Meski begitu, pertemanan anak-anak kala itu tetap terjalin, lawan dalam permainan bukan berarti lawan dalam permainan lainnya. Yang penting dalam permainan ini adalah adu strategi dan rasa kebersamaan.


Perda pemekaran Kecamatan Kadatua tahun 2003 diteken oleh Bupati Buton LM. Sjafei kemudian disambut suka cita oleh seluruh elemen masyarat di Pulau Kadatua, yang menandakan bahwa resmi terpisah dari induknya Batauga.


La Ode Muhidin kemudian ditunjuk sebagai camat pertama, pembangunan digalakkan, mulai kantor hingga lapangan.


Warga di kerahkan untuk gotong royong membabat belantara lereng banawa, lokasi dibangunnya kantor dan lapangan yang kini kita kenal MARAWALI.


Tahun berikutnya mulai dibuka pagelaran akbar perlombaan seni dan olahraga semua tingkatkan, dalam rangka menyambut HUT Proklamasi.


Ketika dulu sebelum berpisah, kegiatan 17an hanya dinikmati oleh warga laompo dan sekitarnya, pasca pemekaran akhirnya bisa dinikmati oleh seluruh warga di Pulau Kadatua tanpa terkecuali.


Meskipun kala itu masih duduk dibangku SMP, tetapi saya merasakan sendiri bagaimana euforia warga. Kapal-kapal ikan berukuran besar sandar dipelabuhan Kaofe yang mengangkut warga banabungi, kemudian jalan dipenuhi massa pejalan kaki Waonu dan Kapoa menuju lapangan untuk menyaksikan acara yang puluhan tahun tidak dinikmati itu.


Membayangkan kembali euforia itu seolah rasa kebanggaan itu muncul kembali. Kapan, kapan, dan kapan bisa terulang lagi?


Nyaris dua dekade sudah Kecamatan Kadatua berdiri lalu pemimpin silih berganti, kegiatan itu kemudian sirna. Lapangan marawali yang menjadi kebanggaan warga Kadatua yang dibabat dengan semangat kebersamaan itu menyisahkan alang-alang yang tinggi menjulang, kembali keasalnya menjadi belantara yang seolah ingin menutup kenangan yang tersisa.


Sebagai generasi, apa makna perjuangan berdikari menjadi kecamatan berpisah dari induk batauga yang dipupuk oleh rasa kebersamaan para pendahulu itu? Lalu apa yang hendak dilakukan untuk membangkitkannya kembali?

 

(Sumber Foto: Jabal Kubais)


Suasana siang itu sepi sekali hanya beberapa motor yang lewat, tak heran karena memang matahari tepat diatas kepala, teriknya seperti laser yang siap membakar manusia yang berkeliaran.


Beberapa jam kemudian teriknya reda, sudah sore ternyata, terlihat kendaraan mulai lalu lalang, rombongan pemuda-pemudi desa sudah saling sahutan, rambutnya klimis, jilbabnya rapi. Bersiap berkeliling kampung lalu finish di dermaga dan tebing adalah satu-satunya hiburan.


Tak mau terlewatkan saya pun turut serta menikmati hiburan itu, kupacu kuda besiku membelah jalan poros kadatua, ragam pemandangan alami khas desa yang jarang ditemukan di Kota, mulai dari buibu yang memandikan anak depan rumah, mencari kutu, hingga menapis beras. Juga pakbapak yang nongkrong dibale-bale sambil mengikat tali pancing, menggergaji besi (ladu) dan menjahit jala yang putus.


Selain aktivitas warga, terlihat juga bangunan-bangunan pemerintah yang membikin nyesek, bangsal tenun yang tak terpakai, perahu nelayan yang disimpan dibawah kolong rumah, tanaman hidroponik yang kering, gazebo teilalo tanpa pengunjung.


Dan yang terakhir yang paling mecengangkan adalah dua buah bangunan mangkrak dibelantara makutanda dan pantai mbanua. Pasar rakyat!


Jika Pasar rakyat Makutanda telah lama terkubur beberapa dekade silam, meskipun sempat renov tapi tak kunjung hidup. Berbeda dengan Pasar Mbanua, tahun 2021 lalu pasca peresmiannya kembali oleh Bupati Busel, aktivitasnya sempat ramai, bertahan cukup lama mungkin beberapa bulan, saya dan teman-teman dari Kapoa sempat ngabuburit dipasar ini, ragam menu makanan dan minuman pabuka juga tersedia kala itu.


Kini aktivitas itu hilang bak ditelan bumi. Tanpa ada upaya untuk menghidupkannya kembali. Yang tersisa tinggal puing-puing lapak penjual beserta kenangannya mengikuti pasar pendahulunya makutanda dan bangunan-bangunan lainnya menjadi monumen mangkrak simbol kekerdilan pikiran para pemangku kebijakan. Sungguh ironi!


Setelah beberapa jam berkeliling desa tak terasa hari nyaris gelap. Sepanjang jalan menuju pulang ada aroma yang menganggu penciumanku, yakni aroma pisang goreng silaja yang membikir leher ingin berteriak. Tak tahan, ku parkir kuda besiku di pinggir jalan Desa Marawali tepat depan gerobak penjualnya. Sepuluh buah telah terisi dikantong, setelah membayarnya kulanjutkan perjalanan menuju rumah.

Kopi hitam, rokok surya dan buah tangan itu menyempurnakan perjalananku hari itu. Kuseruput lalu berteriak pelan: ...edede nyamannaa... ๐Ÿ˜