Langit hari ini cerah sekali, begitu kubuka pintu rumah didataran tinggi perumahan Wanabakti Indah, terlihat jelas pulau Kadatua.
Lalu terlintas sesuatu ide yang seolah menggugat jari-jari ini untuk menuliskannya.
Tentang Pilkades dan Peribahasa lama.
***
Masih membekas dibenakku sekitar belasan tahun yang lalu, sosok guru SD-ku La Hamuli, ia berjalan dari ruang guru menuju ruang kelas kami, tangannya menggenggam sebuah buku kecil berjudul "SARI KATA".
Kebetulan hari itu kelas kami akan belajar mapel Bahasa Indonesia, satu hal yang sangat membekas dalam kelas saat itu, sebuah peribahasa yang sudah lama sekali saya tidak pernah mendengarnya atau mengucapkannya lagi yaitu "Menang Jadi Arang kalah jadi Abu" peribahasa yang bermakna bahwa kekalahan maupun kemenangan dalam perang ataupun kompetisi selalu hasilnya sama.
Kita tidak perlu melakukan kerusakan atau kecurangan hanya untuk menghasilkan sebuah kemenangan, yang sifatnya semu.
Begitupun dalam menyikapi kemenangan dan kekalahan, tidak perlu berlebihan sampai mengorbankan sesuatu hal yang menjadi tujuan bersama. Tidak ada artinya kemenangan yang dirayakan di tengah kehancuran.
Dalam kaitannya menyambut pilkades di pulau kadatua, peribahasa ini masih sangat relevan dan harusnya menjadi permenenungan.
Kondisi desa yang akan berpilkades saat ini memanas baik itu diruang maya maupun ruang nyata masing-masing kubu mulai melancarkan serangan demi serangan. Polarisasi sedemikian tajam, kekeluargaan diabaikan, yang tersisa hanya "miento & miendo" (orangku dan orangmu). Tidak ada lagi kebersamaan desa yang identik dengan keguyuban dan kegotongroyongan.
Meskipun kondisi seperti ini sudah lama terjadi, zaman dan generasi telah berubah tetapi selalu saja berulang, seolah pemilu dan Pilkades adalah harga diri dan barang mewah yang harus direbut mati-matian. Apapun taruhannya, bahkan nyawa sekali pun.
Sungguh betapa bodohnya kita diperbudak syahwat politik yang sifatnya semu.