Seperti permainan "Boy" tim yang satu menyusun kaleng sampai full, sedangkan tim lainnya lagi berusaha mengahancurkan susunan kaleng itu.

Begitulah mungkin gambaran yang tepat melihat sebuah pameran kepandiran di sebuah Pulau bernama Kadatua, yang seharusnya lautan, pesisir serta ekosistem didalamnya dijaga dan dilestarikan untuk keberlanjutan, tetapi justru sebaliknya.

Semenjak UU Desa diiimplementasikan pada tahun 2014 desa-desa diguyur dengan dana 1 milyar. Pemerintah Desa di Pulau ini kemudian menyambut itu dengan ragam program diantaranya adalah pembangunan fisik  yang tentunya meminta bahan dan material.

Ekspolaitasi alam kadatua pun dilakukan , aktivitas galian C kian marak penyedotan pasir dan pengerukkan dipesisir. Pulau Kadatua yang dulunya disepanjang pesisirnya indah karena pasir putihnya yang panjang, kini hancur, sirna dan tinggal cerita.

Lalu muncul abrasi, alam pun kemudian mencari keseimbangan barunya, gelombang pasang musim barat dan timur yang dulunya hanya pecah dibibir pantai kini memasuki areal pemukiman warga.

Maka untuk menyiasati itu pemerintah desa membangun talud-talud pemecah ombak, tetapi disisi lain aktivitas galian C juga masih marak.

Melihat ini, seperti berada dalam sebuah festival tetapi bukan pentas atau pameran karya. Tapi pameran kepandiran, seperti permainan yang saya singgung diatas disana menyusun kaleng disini mengancurkan, disana menanggul disini menyedot.

Dalam koja-koja santai dengan mahasiswa disebuah warung kopi beberapa hari lalu isu ini menjadi bahan diskusi kemudian muncul ide-ide, salah satunya ide soal larangan kepada warga untuk menghentikan aktivitas penyedotan pasir.

Lalu terlintas dibenak saya, ide larangan bukan langkah solutif, mereka tidak ada pilihan pekerjaan mereka adalah korban dari pada kebijakan pemerintah yang tidak tepat.

Akar masalahnya bukan pada aktivitas penyedotan pasir, tetapi itu hanya imbas. Akarnya adalah kurangnya lapangan pekerjaan.

Pemerintah Desa tidak pernah jeli melihat persoalan, kebijakan serta program yang diambil semau-maunya dan malah orientasinya laba proyek. Dan terkesan, tambal sulam, tiba masa tiba akal.

Ketika masalah muncul dipermukaan baru dicarikan solusinya tidak menyasar akarnya. Pada akhirnya terus muncul masalah baru, kebijakan yang diambil pun berulang-ulang.

Padahal dalam siklus kebijakan publik ada namanya: (a.) Formulasi (bagaimana kebijakan itu dirumuskan? (Apakah berangkat dari akar masalah?) Kemudian, (b) Implementasi (apakah pelaksanankan sesuai dengan rencana) dan, c. Evaluasi (Apakah berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan?)

Suhu kota malam itu dingin sekali, menusuk hingga tulang belulang, saking dinginnya dagu juga ikut tremor bak mesin jahit.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, kopi nyaris tandas, rokok juga sisa sebatang. Tetapi obrolan kian seru.

"Kita cari rokok dulu, baru lanjut" ajaknya
Oke gas...

Disepanjang jalan mencari kios yang buka, kami melewati kafe remang-remang, konon katanya tempat ini surga bagi para manula yang rindu belaian belia. Menurut teman yang pernah bekerja disana ketika musim "proyek" tempat ini ramai pengunjung.


Sesampai dirumah sepulang berkelana mencari alat pengasapan, ia melanjutkan ceritanya.

***

Selama warga terus diam, para elit desa ini akan terus menggarong dana desa.

Mereka ini kerjanya senyap bak mafia yakuza, berbagai cara dilakukan. Mulai dari manipulasi nota pembelajaan dan kwitansi yang harga barangnya sudah dimarkup diseusaikan dengan RAB,  serta pemalsuan tantandangan pejabat berwenang, hingga menduplikat stempel-stempel toko penyedia barang, tujuannya agar  LPJ keuangan benar-benar sesuai.

Disitulah kenapa ada "keuntungan" seperti yang dimaksud aparatnya. Mereka ini jahat, bak firaun. Ditengah kesusahan warga, mereka berpesta pora, hidup glamour.

Mungkin kita sering kali mendengar kata "keuntungan" proyek pembangunan fisik atau pengadaan barang didesa, tetapi kita mafhum saja berpikir bahwa itu uang capeknya, tanpa sadar mereka telah menipu kita semua. Padahal mereka sudah digaji.

Untung-untung kalau uang capeknya hanya 300ribu atau 500ribu mungkin kita bakal memaklumi, tetapi realita angkanya fastatis mencapai puluhan bahkan ratusan juta.


Tak heran kualitas bangunan fisik ataupun barang begitu-begitu saja, dua tiga tahun dipake rusak dan roboh karena lagi-lagi barang tidak sesuai rencana pembelajaan.

Mereka tertawa dibelakang meja-meja kafe remang sambil meneguk air soda ditemani para belia malam, sembari melihat kebodohan kita. Mereka berpesta tanpa sedikitpun merasa bersalah.

Ketika pilkades kita mati-matian membela mereka setelah menjadi, kita dijadikan pesakitan. Sungguh betapa biadabnya.

***

Langit nyaris terang, sebentar lagi matahari memancarkan sinarnya, tak terasa obrolan kami malam itu menembus pagi.

"Sudah mo pagi, kita rehat.. lain waktu baru kita koja-koja lagi" tandasnya..

Sayapun membunyikan kuda besiku, pamit pulang lalu memacunya membela jalan kota yang sudah ramai lalu lalang dan hilir mudik penjual sanggara bandang dan nasi kuning.

SELESAI.

Entah karena apa tiba-tiba obrolan malam itu menyerempat ke hal-hal yang membikin dada ini mengelus.

Ia bercerita tentang oknum Kades dan aparatnya yang baru pulang pencairan Dana Desa tahap satu sekitar 300juta lebih.

Pada saat itu kebetulan ia sedang belanja dipasar tak sengaja bertemu dua orang elit desa itu, karena sekampung dan mungkin sudah akrab dan diyakini bisa menjaga rahasia, ia diajak ke warung makan.

Sambil menunggu makanan datang, kades menanyai aparatnya yang kebetulan duduk bersebelahan "coba cekkan kembali rencana program tahap satu ini sekitar berapa makan anggaran?"
"Paling duaratus jutaaan pak, keuntungan 100 lebih" jawab aparatnya
"Oke kalau begitu pisahkan 10 buat hiburan sebentar malam."

Sebelum ia melanjutkan ceritanya, saya bertanya "maksudnya keuntungan apa? Bukannya dana desa diporsikan untuk semua item kegiatan yang sudah terencana. Tidak ada namanya keuntungan, lagi pula dana itu bukan milik pribadi kepala desa atau aparatnya, tetapi uang negara. Anggaran yang terpakai harus dilaporkan sesuai pembelajaan.

Sampai disini dia tersenyum, lalu dia lanjutkan ceritanya, warga desa itu asal sudah diberikan bantuan atau dibangunkan sesuatu mereka sudah bersyukur, anggap saja itu sebagai pengunci mulut warga untuk tidak bertanya soal kesesuaian harga, kualitas barang dan lain-lain.

Mendengar cerita itu laksana palu godam raksasa yang diturunkan dari langit untuk menghantam dada ini, getir rasanya. Seraya membantin betapa buruknya praktik pengelolaan anggaran di didesa oleh elit desa, parahnya lagi ia memanfaatkan ketidaktahuan warganya.

Apakah tidak ada satu pun manusia didesa yang menyanggah ataupun menanyakan itu?

Apa fungsi BPD sebagai mitra pemerintah untuk melakukan tugas pengawasan?

Bagaimana peran intelektual desa untuk bersuara lantang? Apakah nurani mereka mati, takut atau apa? Entahlah...

(bersambung)


Jumat malam yang gabut, cuaca saat itu juga kurang bersahabat, cerah lalu gerimis.

Tiba-tiba notifikasi pesan WA bergetar, "merapat kita ngopi santai diteras rumah" seorang teman menyeru. Tak berpikir panjang kutancap gas. Menorobos tajamnya air langit.

Sesampai disana tepat diteras rumahnya dibilangan Jalan Erlangga kopi sudah tersedia bersiap untuk diseruput. Obrolan pun dimulai, dari soal remeh temeh, hingga sesekali merambah ke yang serius.

***

Ada berapa jumlah mahasiswa Kadatua yang berstudi di Kota Baubau? Tanya seorang teman seraya memantik diskusi.

"Sekitar tujuh puluh, ini data yang diketahui, yang belum teridentifikasi masih banyak" sahut salah satu mahasiswa.

Mendengar jawaban itu, saya tercengang. Secara kuantitas berarti potensi sumberdaya Manusia Kadatua sudah sangat banyak. Kalau misal di hitung kotor mulai dari tahun 2010 hingga 2021, dengan rata-rata 70/angkatan berarti sekitar 700an lebih. Angka yang begitu fantastis!

Meminjam omongan Bung Karno Jika 10 pemuda saja bisa menggunjang dunia apalagi 700?

Namun sayang 700 itu hanya sebatas angka, Kadatua belum terguncang, masih tertatih-tatih. Hal ini bisa dilihat dari peran dan partisipasi dalam pembangunan di desa yang cenderung pasif.

Musyawarah dan rapat-rapat desa masih diwarnai kata setuju, tidak ada lalu lintas nalar yang bekerja untuk melakukan silang pendapat, kritik, gagasan serta tawaran-tawaran program yang membangun.

Belum lagi ruang kreatif yang senyap, masih berkutat pada wilayah otot, dalam hal ini senam dan futsal yang ujungnya hanya mencari keringat bukan menumbuhkan talenta untuk bagaimana bisa berprestasi.

Lalu apa yang keliru Bung?
Tanyakan pada domino kabuki yang dikocok.

Apalah arti angka 700 kalau hanya huruf singkatan gelar yang bertengker dibelakang nama tanpa isi!

Seharusnya ini menjadi intropeksi kolektif, bukan lagi berkutat pada kuantitas, levelnya sudah harus dinaikkan ke kualitas.

Yang masih aktif berstudi, perbanyak belajar membaca menulis, temui orang-orang baru, berorganisasi dan berdiskusi. Yang sudah alumnus mengevaluasi dan bersuara lebih lantang!

Karena Kadatua sudah harus seribu langkah lebih maju, dan itu bergantung pada potensi manusianya!