Disuatu minggu pagi dikawasan kampung bugis dekat kompleks pecinan Larat Kota,  lengang sekali, toko-toko dan kios-kios pada tutup.

Suasana seperti ini tak mengherankan karena memang mayoritas penduduk asli larat (tanimbar utara) beragama nasrani, dihari minggu mereka beribadah ke gereja. Jadi suasana kota sepi, jalanan juga lengang kendaran mungkin hanya satu atau dua yang lewat.

Karena sepi, kondisi ini dimanfaatkan oleh ibu-ibu pendatang asal Buton, Kadatua khususnya, untuk merenggangkan otot & saraf dengan senam, maklum 6 hari penuh (senin-sabtu) berjibaku dengan dagangan.

***

Sebelum senam dihari minggu pagi, biasanya sabtu sore sehabis tutup toko/warung dagangan, ibu-ibu ini sudah saling sahutan, entah dilorong-lorong pasar maupun dilos-los tempat tinggal mereka. "Mboae naewinea rusiana toralah?" (Bagaimana besok goyang rusiana lagi kah?), "Maita!" (Pasti to!)

Malamnya speaker akan dicas, lagu diplaylist, dipilih apa saja yang akan diputar, biasanya lagu yang lagi trend semisal Rusiana, Tanah Timor Sonde Bae, dan Kajiama.

Selain mempersiapkan alat & lagu, kadang juga sesekali mereka urunan buat bubur kacang ijo atau ketupat untuk mengisi sulawesi tengah, eh kampung tengah, sehabis senam. Hehehe...

Minggu pagi mereka sudah berbaris dijalan, bersiap untuk berpacu dalam melodi. Karena ini bukan barisan 17an, tentu kostumnya berbeda-beda ada yang memakai daster, kaos, piyama dll... Lalu Speaker diaktifkan, blutut disambungkan, dan musikkkkkkkkk...... kaki pinggul pun bergerak paralel mengikuti ritme rusiana.


(Sumber Foto: Yasin Ghibyran)


Beberapa kali kurefresh timelineku untuk memperbaharui postingan diberanda untuk sekedar melihat fanpage media yang membagikan updatean berita hari ini, postingan ikan asin kambala ini juga selalu ikut muncul.

Seolah menggugat jempolku untuk meresponnya, tak berpikir panjang kuturuti gugatan itu, kubuka memo diaplikasi hapeku, kubuat catatan kecil tentangnya.

***

Saumlaki berada dipulau Yamdena secara administratif adalah ibukota Kabupaten Kepulauan Tanimbar Provinsi Maluku, lokasinya berada diujung paling selatan Indonesia berbatasan laut dengan negeri Kanguru-Australia. Kepulauan Tanimbar memiliki potensi laut yang begitu melimpah, dalam sebuah liputan Media Mongabay tahun 2017 menyebut potensi perikanan Tanimbar mencapai 2,4 juta ton (Baca: DISINI).

Jika dilihat dari peta jaraknya membentang sungguh sangat jauh beratus atau mungkin beribu kilo meter dari pulau kecil Kadatua, pulau asal ikan asin kambala itu.


Ada banyak Orang Buton yang sudah berdiaspora sejak lama disana, tak hanya di Kota Saumlaki, dipulau-pulau sekitarnya semisal Larat, Adaut, dll.. juga ada, dan bahkan secara administratif sudah berKTP Tanimbar, disana mayoritas mereka berprofesi sebagai nelayan dan berniaga.

Jika kita berjalan di kawasan pasar lama dekat pelabuhan atau pun pasar baru dekat terminal angkutan darat Kota Saumlaki, berjejer kios-kios yang sebagian besarnya diisi oleh Orang Buton, tak heran celetuk bahasa pancana dan wolio kerap kali terdengar. Pengalaman saya yang pernah kesana, memasuki kawasan itu seperti berada di kampung sendiri (Buton).

Diantara jejeran kios-kios itu satu kios yang terbilang unik, nama kiosnya ia namai dengan nama desa di Kadatua "Toko Mawambunga", jajakan dagangannya tak lazim sepeti toko pada umumnya, selain kelontong biasa, ia juga menjajakan makanan ringan dari Buton, mulai dari Jipang, Kacang Mete, Gola Kaluku, dan yang terakhir ikan asin. Ya ikan asin khas Mawambunga, yakni  Ikan kambala atau familiar orang menyebutnya ikan indosiar (karena mungkin  kemiripan pada logo indosiar yang siripnya panjang dan bisa terbang) yang sudah dikeringkan, lalu dimasukan dalam kemasan sederhana.

Awalnya ikan asin kemasan ini hanya dijajakan di Kadatua oleh anak muda di Desa Mawambunga dan sesekali dipromosikan via medsos, hingga suatu waktu pemilik toko Mawambunga yang saya sebutkan diatas meliriknya untuk dicoba dijajakan di Kota Saumlaki, dari situlah ikan asin kemasan ini terbang melintasi lautan dan ribuan pulau hingga keujung paling selatan, lalu berakhir dilapak toko Mawambunga.

Sebagian kita mungkin heran kok bisa di Kepulauan Tanimbar yang kaya potensi ikan itu, ada ikan import dari Buton. Tentu ada alasan lain dari pemilik toko ini saya belum mengetahui pasti apa motivasinya, tetapi saya meyakini ada spirit untuk mendukung produk asal kampung halamannya, ia membantu para wirausaha muda  untuk membukakan akses pasar.

 


Sejak akses pada smartphone kian mudah dan paket data terbilang murah, beragam warganet melakukan ekspresi apa saja diruang maya, dari bermain game, mengupload momen sampai menjadi yutuber dadakan. 


Seperti beberapa warganet kadatua misalnya, berbagai kegiatan di Kadatua serentak diupload dalam channel yutube, lalu linknya dibagikan diakun medsos, disertai caption "bantu subreker".


Meskipun terbilang monoton tanpa ide kreatif dan dominan konten lomba, hanya modal rekam, ubah thumbnail, lalu pasang judul klik bait, tapi setidaknya momen-momen dikampung tersebar, menjadi obat penawar rindu bagi warga dirantau untuk menyaksikan orang-orang terkasih terekam dalam video. 


Selain itu fenomena menjamurnya para yutuber dadakan ini tergolong unik & snob, entah apa yang menjadi penyebabnya, padahal penggunaan smartphone dipulau ini sudah cukup lama. Tetapi fenomena ini baru muncul beberapa bulan belakangan. 


Atau karena hobi copas, jika yang satu bikin yang lain juga bikin? 


Seperti contoh-contoh sebelumnya program pengadaan koli-koli di Desa A dicopas desa B,C, dst.. juga desa A bikin Lapangan  desa B juga bkin lapangan, dan kegiatan futsal kids didesa A, lalu muncul futsal cilik di desa B. Entahlah.. saya juga bingung. 

Terlepas dari itu semua, paling tidak warganet kadatua keren... πŸ‘πŸ‘πŸ‘


"Jangan hanya jadi pemain kampung terus" begitu sambutan Kades Kapoa dalam pembukaan turnamen futsal kids 9 agustus kemarin.

Memang beberapa tahun belakangan, kegiatan serupa minim atau bahkan sudah tidak pernah diadakan. Kita hanya fokus pada turnamen orang-orang dewasa.

Generasi usia belasan SD-SMP selalu luput,  bakat mereka terpendam dan terkubur, tidak adanya ruang-ruang bagi mereka untuk membumikan skill & talenta, pada akhirnya liar hingga terjerumus hal-hal negatif.

Sudah beberapa kali pergantian generasi tidak ada talenta kadatua yang menembus skala daerah ataupun nasional, selalu berputar pada tarkam (Baca: antar kampung). Nah memang turnamen yang sering diadakan selama ini tujuannya hanya sekedar cari keringat dan rame-rame kampung.

Maka sudah seharusnya generasi kadatua disiapkan dengan matang  sejak usia dini, dilatih dan dibiasakan ikut dalam kompetisi diturnamen, agar skil dan mentalnya terbentuk. Kemudian lapangan-lapangan yang dibangun oleh pemerintah difungsingkan, bukan jadi pajangan yang kosong melompong.

Ketika Futsal Kids Kapoa Cup diadakan lagi tahun ini, saya turut senang, seolah ada kebangkitan, ternyata masih ada pemuda desa yang peduli, pada generasi dibawahnya.

Ini menjadi preseden baik, yang harus dibumikan bukan hanya di Kapoa, tetapi semua desa dikadatua tanpa terkecuali.

Kita bisa belajar dari Apriani Rahayu Juara Badminton Olimpiade Tokyo baru-baru ini, seorang anak yang tinggal dipelosok desa anggaberi Konawe, bisa berprestasi dan membanggakan nama daerah dan negara.

Saya meyakini, jika generasi muda kadatua, skillnya terus diasa. Tak menutup kemungkinan beberapa tahun kedepan akan ada apriani-apriani baru di Kadatua.

 


Energik, adaptif dan up to date, adalah kata-kata yang sering disematkan pada milenial. Mereka lahir di era yang range kemajuan teknologi yang sangat cepat jika dibandingkan dengan generasi diatasnya.

Dari analog ke digital tak berselang lama, seperti baru kemarin sore memencet tombol eh, tiba-tiba besok paginya sudah layar sentuh. Dari menunggu jadwal tayangan di tv berubah tinggal ketik dikolom pencarian dikanal yutub.

Dibanding generasi diatasnya butuh puluhan tahun untuk bisa menikmati atau beradaptasi dengan perubahan2 diatas, tak heran cenderung gagap. Banyak contoh yang kita temui jokes lawas yang sering dishare pakbapak atau buibu, dan juga hoax ditebar, tanpa cek dan ricek.

Jika dilihat dalam konteks pemerintahan, gaya memerintah juga pun demikian, kebijakan yang diambil tak sesuai konteks yang benar-benar dibutuhkan pada zaman itu, salah satu contohnya program pengadaan sampan nelayan tanpa motor, program ini seolah nelayan dipaksa kembali ke zaman bahela, menggunakan tangan untuk mengayuh, padahal teknologi mesin sedemikian canggihnya.

Begitupun juga transparansi dalam pengololaan anggaran, ini nyaris tidak ada, paling yang dibuka dipublik sekedar baliho infografis yang tidak informatif sama sekali, hanya formalitas belaka, padahal fungsinya sangat urgen bukan hanya pajangan tanpa makna, tetapi bagaimana memantik partisipatif warga.

Padahal kalau jeli, ada banyak kanal yang bisa dimanfaatkan diera digital ini, smartphone menyediakan itu, sebagian besar warga juga sudah menggunakannya, harusnya ruang-ruang informasi apapun entah itu tata kelola anggaran, pemerintahan, maupun kebijakan/program dishare disana, intinya harus kreatif, ruang digital bisa dimanfaatkan. Yang intinya bagaimana memantik partipasi warga. Agar arah pembangunan tepat guna dan tepat sasaran serta transparan.

Tahun 2021 bulan November nanti, konon pilkades se Busel akan digelar serentak. Khusus di Kadatua agendanya empat desa yang akan turut melaksanakan perhelatan pesta demokrasi tersebut.

Melihat kondisi kepemimpinan saat ini, yang banyak diisi generasi gagap, terbesit dibenak saya harusnya pos-pos kepemimpinan di pemerintahan dimasuki oleh anak-anak muda yang kreatif dan punya ide dan gagasan yang maju sesuai dengan kondisi masyarakat dan konteks zaman. Bukan lagi berada diluar atau dilevel aparatur yang hanya jadi kacung tanpa memberi kontribusi dan pengaruh pada arah kebijakan di desa.

Memang memasuki arena pilkades laiknya memasuki palagan, tantangan cukup berat karena sebagian masyarakat masih banyak yang mempertahankan status quo, memilih bukan berdasar pada nalar rasional yang notabene suka akan gagasan yang dibawa oleh kandidat, tetapi masih transaksional berdasar pada uang.

Tetapi kita tidak boleh pesimis, ini tantangan yang harus dijawab. Kalau bukan sekarang kapan lagi?


Rokok masih panjang, lebih 4 senti dari filter, tetapi sound sudah bunyi. "Cepat sudah e.. lapangan su mau pono, kaka lambat, kaka seng dapa tampa", seru pasangan perempuannya.


Bergegaslah silelaki yang berkaos merk supreme KW dengan rambut klimis itu lalu ia mematikan rokoknya dan menuju kelapangan.

Intro musik "nona pasir putih" dengan dentuman bas yang khas menghentak, kaki pinggul tak bosannya bergerak paralel mengikuti ritme. Dunia seolah miliknya malam itu. Pokoknya Happy.. happy... dan happy...

***

Bagi orang Timur, buton dan kadatua pada khususnya, acara joget bukan hanya seremonial untuk turut merayakan kegembiraan ataupun kebahagiaan tuan acara yang baru selesai melangsungkan resepsi atau selamatan.

Tetapi juga sebagai sarana untuk menghibur diri ditengah minimnya hiburan didesa, dan arena bagi para muda-mudi untuk bejumpa dengan kekasih. (Karena hanya diacara jogetlah orang tua biasanya memberi kebebasan anaknya berada diluar rumah hinggal larut)

Di dalam arena joget, semua diperlakukan setara, tidak ada kelas atas, menengah maupun bawah, baik dia berprofesi sebagai orang kantoran, pengusaha, nelayan, dan bahkan pengangguran sekalipun semua sama, begitupun dengan pakaian yang dikenakan bebas rapi, baik yang ori, KW super sampai KW level empat, selagi tidak merokok didalam acara dipersilahkan dengan hormat dan tangan terbuka.

Namun demikian tak selalu berjalan mulus, namanya juga acara bebas dan terbuka, pasti selalu saja ada orang-orang usil yang memiliki tujuan lain, menjadikan acara joget sebagai arena untuk tarung. Insiden-insiden kecil, misal keributan ataupun bahkan perkelahian kerap terjadi.

Disisi lain acara joget juga punya andil dalam menggerakan ekonomi warga sesaat, kios-kios disekitar acara berefek, rokok, bensin, aqua, teh gelas, mi inter, laku keras diserbu muda-mudi pegiat acara.