Tahun 2020, mayoritas para kades seolah terjangkit virus "ikut-ikutan" lagi, jika dulunya program pengadaan sampan tanpa motor bagi nelayan yang boleh dibilang tidak jelas pemanfaatannya (Baca: sampan dibawah kolong rumah), kali ini pembangunan SORGA Desa‐-Sarana Olah Raga Desa.

Desa-desa di Kadatua, secara massal membangun sorga, dipoles sedemikian rupa, cantik serupa kekasih sehabis mandi. Indah menawan.

Entah apa yang terlintas dibenak para pemangku kebijakan di desa-desa ini, setiap program selalunya serempak, jika desa yang satu membuat program lalu diadopsi desa-desa lainnya, apakah sudah kehabisan ide, bingung uang banyak mau diapakan, atau mungkin sekedar memuaskan hasrat agar dibilang membangun.

Tidak perlu membuka & membaca banyak literatur tentang bagaimana pembangunan itu, secara garis besar dan umum pembangunan memiliki banyak aspek yang harus dilihat, mulai perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, hingga dampak dan keberlanjutan.

Kalau dilihat kasat mata SORGA yang dibangun oleh para kades ini secara pelaksaannya mantap, lalu bagimana dengan pemanfaatannya serta dampak dan keberlanjutannya?

Disini tentu yang harus diperhatikan adalah perencanaannya sebelumnya!!! Mau dibuat bagaimana modelnya, dan manfaatnya untuk apa nantinya?

Jika hanya jadi ruang bermain bagi pemuda desa untuk mencari keringat, membuat turnamen yang skalanya kecil, seolah ada yang kurang. Habis turnamen, keringat kering. Ya sudah Selesai... Besok ulang lagi, terus-menerus seolah tak ada dampak.

Tapi kan, membikin kampung rame, melatih mental berkompetisi agar tak demam lapangan.

Turnamen di Kadatua sudah tak terhitung jumlahnya setiap tahun ada dan rutin. Ramai dan mental bagaimana lagi yang ingin dicari.

Harusnya sudah naik level, bukan lagi taputar-putar disitu. 

Tapi harus dampak, dampak yang saya maksudkan disini bukan keringat ataupun kumpul-kumpul biar rame.

Namanya saja SORGA, ada kata ORGA didalam, apa itu? OLAHRAGA, BAMBANG!!!

OLAH RAGA itu mindsetnya bukan mencari keringat, tetapi seni dan pretasi.

Kok seni? Ada keindahan disana, keindahan menggiring, menipu lawan dengan teknik, dll..

Terus, Kok pretasi? Ada kompetisi disana, bagaimana mengalahkan tim terbaik diantara yang terbaik itu, membanggakan Bung!!!

Kompetisinya berjenjang ada level, begitupun dengan prestasi bisa skala nasional hinggga internasional. Dan lagi-lagi membanggakan daerah dan negara. Sekali lagi bukan hanya sekedar mau cari keringat.

Tapi ketinggian sekali kalau ngomongnya prestasi tingkat nasional hingga internasional.

Mengutip omongannya Bung besar, mimpi harus setinggi langit, jika kau jatuh, jatuhnya diantara bintang-bintang.

Jika mindset kita SORGA adalah wadah membibit manusia unggul dibidang olahraga seperti saya maksud diatas, mulai sekarang sudah mulai digagas apa-apa yang diperlu dipersiapkan.

Masih bingung lagi?

Mulai kembali membaca literatur bagaimana memasimalkan latihan, sering ikut dalam persahabtan atau kompetisi lintas daerah atau bisa juga menghadirkan pelatih, atau apalah yang intinya fungsi SORGA menjadikan generasi kita bermental Juara. BUKAN MENCARI KERINGAT SEMATA.

Sudah tak terhitung jumlahnya saya hilir-mudik menggunakan jasa transportasi Ojek Laut Kapoa (OLK) ini. Selain murah, cepat juga karena langsung ke kampung saya, KAPOA.

Dulu sebelum mengantar penumpang ke Pelabuhan Topa, OLK ini mengantar ke Pelabuhan Puma (kini pantai kamali). Jarak tempuhnya kurang lebih 1 jam.

Semenjak infrastruktur jalan di Kadatua beberapa tahun terakhir ini sudah bagus diaspal, dan jasa transportasi darat (mobil) dan ojek kampo Kapoa - Banabungi sudah ada dan lancar. Warga Kapoa kebanyakan sudah beralih menggunakan jasa ojek laut yang dari Banabungi - Topa dengan jarak tempuh yang hanya 15 menit dibanding dari Kapoa 30 menit.

Tak hanya itu ojek laut Banabungi (OLB) memang memiliki keunggulan tidak seperti OLK, OLB berangkat hampir tiap 5 menit sekali meskipun kadang lebih karena harus menunggu penumpang full, tetapi jika terburu-buru juga bisa langsung carter sendiri tanpa menunggu penumpang lain tapi konsekuensinya dengan mengeluarkan biaya lumayan besar apalagi kita yang isi kantongnya pas-pasan ini, tarif umumnya 10ribu, carter 50 ribu. Lumayan kan? Selisi 40ribu (Bisa buat beli rokok surya mini dua bungkus, malah ada kembalian dua ribu lagi. Hehehe)

Meskipun begitu OLK tetap bertahan layaknya seorang jomblo yang ingin mengubah status, berjuang terus dan bertahan dalam usaha untuk mengejar meskipun lawan jenisnya enggan untuk menerimanya. Hehehe...

Saya belum tahu apa faktor OLK ini masih bertahan, padahal penumpangnya kadang tidak full, berangkatnya pun hanya satu kali dalam sehari juga pagi buta sekali, jam 7 cuy, bagi kita yang tidur dijam-jam kecil dini hari, jam keberangkatan OLK sungguh sangat ngeri, daya gravitasi kasur lagi kuat-kuatnya.

Masih menjadi pertanyaan dalam benakku, lain waktu saya akan tanya bapak-bapak pengemudinya, dan saya ceritakan disini. (Judul tulisan kali ini saya beri tanda [1] artinya ada bagian [2] nanti)

Sampai disini dulu ya.. cerita hari ini, jam sudah menunjukkan pukul 02:50, mata ini sepertinya kurang bersahabat.

Sepintas seperti bangunan pos yang umumnya tempat kumpul identik dengan "main song" atau pun tempat para timses pilkada berkumpul untuk mengatur strategi politik.

Namun tidak demikian, ini nantinya buat bangunan rumah baca sekaligus tempat jendela dunia bersemayam, tempatnya mercusuar ilmu pengetahuan berada.

Lebih tepatnya adalah PERPUSTAKAAN DESA KAPOA.

***

Atas dasar keresahan akan kondisi generasi setelah berpulang sekolah tak ada tempat bermain sekaligus belajar ataupun meriew pembelajaran disekolah.

Oleh Karang Taruna yang dimotori kamal dan kawan-kawan berinisiatif membangunan perpustakaan ini, dalam obrolannya beberapa hari lalu ia menyampaikan bahwa bukan hanya tempat untuk membaca ataupun mewarnai gambar sketsa bagi adik-adik tapi lebih dari itu sebagai ruang kreatif dan diskusi.

Dari sini pengenalan literasi dimulai, buku-buku yang mungkin tidak ada disekolah ataupun karena waktu keberadaan mereka disekolah terbatas, disini akan lebih luwes dan koleksinya tak monoton buku mata pelajaran saja, disediakan juga dongeng, ataupun cerita-cerita lainnya, intinya bagaimana menumbuhkan semangat baca.

Kemudian untuk teman-teman Muda bisa jadi markas kreatif, ide-ide apapapun yang positif disalurkan ditempat ini, kemudian keresahan apapun, entah persoalan disekitar, isu-isu kekinian, bacaan yang menarik, film yang menginspirasi ,dll.. didiskusikan, dibedah, intinya saling bertukar pikiran dan pengetahuan.

Kita ketahui bahwa diera gempuran tekonologi yang sedemikian cepat dan masif ini, perlu adanya tameng, penyaring, ataupun fondasi, dan itu adalah lagi-lagi dibutuhlam pengetahuan & kemampuan literasi yang baik, kalau tidak, tentu akan gagap, atau mungkin diseret masuk dalam debat kusir bahkan HOAX.

Mudah-mudahan bangunan PERPUSTAKAAN DESA KAPOA ini cepat kelar, agar kerja-kerja kreatif segera dilakukan.

"Pembangunan Gemetar Hawa Panas, jangan mati kaku ditanah terbaring, Bangkitlah! Kadatua"

Sebuah kutipan diatas adalah penggalan sajak dari Bapak Hairuddin (Guru SDN1 Kapoa) seolah seperti seruan kepada generasi untuk kemudian selalu membangun optimisme, bahwa meskipun kondisinya gersang dan panas tapi tak boleh mati kaku.

Kini pembangunan itu beberapa tahun terakhir sudah sedemikian geliat, salah satunya jalan yang menghubungkan ujung barat dan timur pulau kadatua.

Tepatnya diareal tebing Desa Kapoa dan Banabungi Selatan, yang kini pembangunannya memasuki tahap tiga, dan diproyeksikan tahun 2021 akan terhubung.

Maka tahun 2021 nanti adalah babak baru pulau Kadatua mungkim kalau dibuatkan istilah " tahun 2021 adalah ERA KADATUA TIDAK BERUJUNG, jika dulunya akses harus memutar jauh kini dipangkas, bisa langsung. Orang Kapoa dan sekitarnya ke Banabungi langsung tanpa memutar begitupun sebaliknya.

Olehnya untuk menyongsong era ini, generasi serta para stakeholder baik itu pemuda serta pemerintah dilingkup pulau ini harus mulai memikirkan dan diskurus sudah terbangun.

Lokasi diareal jalan baru ini sangat potensial, untuk menumbuhkan sentra ekonomi, khususnya UMKM dan Wisata, panoramanya indah, laut, savana, dan matahari senja memanjakan mata. Sangat nikmat jika bersantai sambil kunyah-kunyah gorengan dan minum kopi, apalagi ditemani kekasih. Duh.. nikmat lagi yang engkau dustakan Bung!

Diatas kuda besi membela jalan desa, dermaga ke dermaga. Cempreng yang mendengung dan kelakar yang menyeru.

Beberapa bulan terakhir anak muda di Pulau Kadatua sedemikian geliat, tak heran ragam aktivitas yang berbau kreasi tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan.

Sebut saja Karang Taruna Desa Kapoa, dibulan agustus ini tak tanggung-tanggung tiga format kegiatan (Futsal Kids, Upacara di Laut, dan Pawai menyambut tahun baru hijriyah) berhasil dilakukan.

Melihat aksi-aksi yang dilakukan oleh pemuda ini, seperti melihat masa depan kadatua, bahwa pulau yang tandus gersang, senyap-sepi ditinggal warganya merantau ini bisa hidup.

Memang banyak teori yang mengatakan bahwa manakala usia produktif (muda) lebih banyak dibanding non produktif (lansia) tunggu saja kebangkitannya. Jangan kaget jika ada banyak kreasi dan bahkan angin perubahan ke arah positif segera datang menghampiri.

Tapi perlu digaris bahwa yang saya maksud disini adalah usia PRODUKTIF! Produktif dalam artian bukan hanya energik karena muda, tapi idenya yang brilian, pikirannya yang hidup, serta tindakannya. 

Saya belum melihat data statistik di Pulau ini, ada berapa jumlah kaum muda khusunya yang berpendidikan menengah atas dan tinggi. Tetapi merujuk pada obrolan saya dengan salah satu Kades beberapa bulan lalu ia menuturkan bahwa didesanya ada sekitar 40an (mahasiswa dan alumni PT).

Kalau asumsi diatas dijadikan sampel, lalu dirata-ratakan setiap desa 40, berarti total se Pulau Kadatua sekitar 400an. Wow angka yang begitu fantastis! Namun itu hanya angka-angka sifatnya spekulatif, kasat matanya tidak semua stay dikampung, sebagian masih berserak dirantau.

Sebagian mereka yang stay dikampung kebanyakan sudah alumni, yang saat ini menitih karir dikampung menjadi tenaga guru, kesehatan, dan sebagian lagi masuk dalam pemerintahan (Baca: aparat desa). Sedangkan yang masih aktif sebagai mahasiswa berada diluar nanti diwaktu-waktu libur baru pulang kampung. 

Melihat realita sudah banyaknya kaum muda yang berpendidikan dan bahkan sudah terlibat dalam intansi seharusnya memberikan perubahan, misal melakukan kerja-kerja kreatif, dan berkolaborasi, momen-momen perayaan ataupun peringatan yang bersejarah jangan dilewatkan begutu saja tetapi segera ambil bagian dengan diadakannya kegiatan entah itu perlombaan seni maupun olahraga ataupun apalah, intinya suasana kampung dihidupkan.

Kemudian dari sisi berdemokrasi, kemampuan partisipatif dan kritis diperlukan, manakala ada program ataupun kebijakan pemerintah di Kecamatan atau pun Desa yang mengabaikan rakyat atau keluar dari relnya kaum muda ini harus andil, bersuara.

Jika hal tersebut dilakukan maka pulau yang menghidupkan kita semua ini akan melangkah maju sejajar dengan kecamatan-kecamatan lain yang sudah duluan maju. 

(Foto bersama Remaja masjid, Karang Taruna & Majelis Taklim)

(Jalan santai menyambut tahun baru hijriyah)

(Buibu Majelis Talim)

(Lapak baca di Lapangan Desa Kaofe)

(Para juara futsal kids  saat menerima hadiah)

Tonton video jalan santai menyambut tahun baru hijriyah berikut:


Selepas waktu isya sehabis makan malam, saya langsung kerumah teman sesuai janji kami akan sharing soal dunia kepenulisan dan aplikasi bloggger.

Setibaku dikediamanya tak berselang lama ia mengajak ke sebuah gode-gode (bale bambu) persis dipesisir, kami berbincang lepas ngalor-ngidul apapun menjadi bahasan. 

Ditengah perbincangan muncul seorang anak muda desa yang raut wajahnya dan gerak-gerik sepintas seperti ada kobaran api semangat, bak Wikana dan Sukarni (dalam peristiwa rengas dengklok yang berani beda dengan kelompok Ahmad Subarjo (Baca: tua) berani menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk mendesak memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945), anak muda itu datang dengan tujuan berdiskusi soal rencana membangun perpustakaan desa. Namanya Kamal saat ini ia sebagai ketua karang taruna di desanya.

Sambil menjamunya kami menuntaskan dulu obrolan soal blog, selepas itu mulailah anak muda ini memantik, menanyakan respon soal rencananya itu, gayung bersambut kami menyemangati dengan sedikit kelakar, obrolan pun kian cair dan santai.

Rupayanya kesiapannya sudah demikian matang, lokasi sudah ada, koleksi buku-buku juga tersedia, tinggal eksekusi bangunan dan kerja-kerja literasi.

***

Selalu senang mendengar anak-anak muda didesa ingin melakukan sesuatu, apalagi menyangkut literasi. 

Sudah menjadi perbincangan umum bahwa daya minat baca anak-anak muda Indonesia sangat rendah, tak heran kemampuan menalar dan menulis kita parah.

Kita bisa menyaksikan sendiri di media-media sosial banyak sekali warganet terpapar hoax. Artikel & argumentasi ilmiah yang kaya data dan referensi, kemudian opini yang ditulis para intelektual manakala netizen tidak bersepakat bukannya argumen dibalas dengan argumen malah dibalas dengan sentimen diikuti hujatan dan kebencian bahkan menyerang pribadi hingga menyinggung hal sensitif, SARA.

Pemandangan seperti bukan hanya ada di media sosial atau di kota-kota, didesa-desa juga pun ada, jika pendapat berbeda cenderung dimusuhi, bahkan dikucilkan dari pergaulan.

Olehnya rencana Kamal dan kawan-kawan ini saya harap bisa segera terealisasi, ini penting! Walaupun dimulai dari level desa tapi tak menutup kemungkinan jika kerja-kerja literasi nantinya efektif, saya yakin ini akan menjadi contoh baik. Jika warga desa berdaya dengan kemampuan literasi yang baik, diskursus akan hidup, warga desa akan melek aturan, tahu hak da kewajibannya, tak segan kritis pada persoalan kebijakan, dengan demikian desapun pasti akan maju .
Semua meraya, semua merefleksi, meskipun agak beda karena pandemi, tapi upacara perayaannya baik di istana, dipuncak-puncak gunung, hingga dikampung-kampung atau di desa-desa semua berlangsung hikmat.

Di Desa Kapoa, Kecamatan Kadatua Kabupaten Buton Selatan pun demikian, tapi kali ini terbilang unik, upacara peringatan detik-detik proklamasi dilakukan di lautan, perahu-perahu nelayan dijejer dan sang saka dikibarkan. Seolah memberi sebuah pesan simbolik bahwa rakyat yang bermukim di pesisir dan pulau juga punya jiwa patriot, jiwa nasionalisme, dan cinta tanah air.

Meskipun pesannya simbolik akan patriotisme, tapi dibalik itu juga tersirat makna lain yang harus direfleksikan. Yakni KEMERDEKAAN LAUTAN.

Laut adalah rumah bagi semua khususnya bagi kita yang tinggal di pesisir dan pulau seperti Kadatua, ada banyak keragaman hayati dan potensinya yang telah memberi kita makan. Seharusnya ia juga punya hak kemerdekaan, dalam artian keberlanjutan dan kelestarian. Bukan dirampas isinya lalu diabaikan.

Sudah sering kita menyaksikan praktik penghacurannya, pasirnya disedot, ikannya ditangkap dengan cara-cara biadab yang tidak ramah pada lingkungan, bom, potas, dan pukat-pukat yang melululantakkan ekosistem didalamnya, seolah kita sedang menjajah lautan.

Walaupun seperti itu, ia tetap setia memberi kita hasil.
Apakah kita akan terus seperti ini? tentu jawabannya tidak! Jangan sampai dikemudian hari ia murka, ia marah, ia membalas dengan bencana.

Maka melalui momen ini mindset kita akan cinta tanah air perlu direview, bahwa kemerdekaan bukan hanya pada perayaan bendera maupun nyayian lagu raya semata, tapi lebih dari itu adalah bagaimana kita menjaganya dan mengisinya.

Selamat HUT Negeri Tercinta, SEKALI MERDEKA TAMBAH MERDEKA. Jalesveva Jaya Mahe!

Tonton videonya! 




Mulai dari mana ya... nulis tentang apa ya?
Ah... Saya juga bingung, intinya lakukan sesuatu!

Lakukan sesuatu?

Kalimat yang tidak asing, dimana ya saya dapat kalimat ini? Sepertinya tidak asing.

Oalah saya baru baru ingat ternyata lagi-lagi dari bukunya om Mark Manson. Ada aksi, ada reaksi, ada inspirasi, ada motivasi. Kita begini maksudnya lakukan sesuatu kalau misalkan menulis, menulislah! Disitu itu ada akan ada reaksi, beraksi mengambil HP lalu bereaksi membuka aplikasi blogger terus mencoba menulis apa saja, tanpa sadar akan muncul inspirasi ingin menuliskan tentang apa, lalu yang terakhir timbul motivasi untuk menyusunnya menjadi sebuah kalimat-kalimat.

***

Saya terinsipirasi ingin menuliskan keabaian saya terhadap blog saya yang sudah cukup tidak terisi sama sekali, khususnya dibulan maret hingga juni.

Dibulan-bulan ini memang lagi asik-asiknya bersama ex doi sebut saja namanya "bulan".

Sudah lama sekali memang tidak bergelut dengan dunia ini, mungkin karena lebih asik bergelut dengan bangku sokolah, selain belajar juga banyak teman yang lebih asik diajak nongkrong ngobrol ngalor-ngidul kemudian ragam tingkah dan cerita lucunya, sehingga membuat lupa atau kurang begitu tertarik kerelasi-relasi yang oleh Agnes Mo katakan tak ada logika dalam salah satu liriknya itu. Meskipun kadang ngenes juga siih kalau kebetulan berhenti dilampu merah lihat "mereka-mereka" lagi boncengan dengan jarak yang kalau diibaratkan silet saja gak bisa tembus.

Si Bulan dibulan-bulan seperti sudah saya sebutkan diatas mengisi hari-hari, chatingan hingga larut, ngedate berjam-jam dan juga boncengan seperti "mereka-mereka" itu, eh asik ternyata, pikirku saat itu.

Hingga Hari ke hari, kemudian minggu ke minggu masih asik, memasuki bulan ke bulan mulai sadar, logika sudah berjalan dengan semestinya, normal dan stabil yang sebelumnya sesuai kaya si Agnes Mo, logika lumpuh total.

Seperti candu, menurunkan produktivitas, blog sudah berdebu, sudah tidak diisi, membaca buku atau artikel sudah jarang-jarang, abai dengan teman diajak nongkrong banyak alasan, persis seperti anak yang diberi mainan baru enggan beranjak dan melakukan sesuatu. 

Saya pun memilih untuk jeda. Ia pun juga menerimanya.

Dan sekarang kembali ke lagi pengaturan awal (kondisi sebelum berkontaminasi dengan bulan), perlahan mulai menulis lagi walaupun mungkin acak ndak jelas, ndak beraturan tapi setidaknya jari ini mulai lagi melakukan pembiasaan.
Sudah beberapa hari ini tidur benar-benar gak berkualitas, betapa tidak, malam begadang sampe pagi, pagi tidur sampe siang, sore tidur lagi dan malam bangun lagi. Begitu terus. Sunggu kehidupan yang gabut.

Kok malah bahas tidur, (kembali ketopik woy!) Hehehe...

Oke.. Oke sodara.. sodara...

***


Sekitar jam 7 malam tadi notifikasi messenger masuk, saya buka ternyata dari sepupu, ia ngajak ke kondangan di Gedung, dibilangan stadion betaombari Baubau, dekat warung pujasera, atau akrab saya sebut warung nasi kuning stadion tempat biasa saya tongkrongkin kalau lagi malas masak dirumah.

Tak banyak ba..bi..bu.. saya jawab pesan dengan oke, lalu mandi dan meluncur....

Sebelum saya ke Tempat Kejadian Perkara Gedung acara, mampir dulu kerumahnya kebetulan rumahnya tidak jauh dari lokasi tersebut ya kira-kira 150meter, setiba saya dirumah ternyata ia belum apa-apa masih sementara berpakaian. Sembari nunggu, saya narik gumpalan-gumpalan asap keretek kesayangan yang dibuat di Kediri ini, kurang lebih habis satu batang, dan ia juga sudah menuntaskan berpakaiannya maka kamipun langsung OTW dengan berjalan kaki, motor saya titip dirumahnya.

Dari kejahuan sudah terlihat kendaraan tamu undangan yang berjejer parkir disamping-samping jalan dekat Gedung, para tamu hilir-mudik ada yang datang juga ada yang pulang.

Dan sampailah kami di Gedung tersebut, antri masuk satu-satu kemudian dicek suhu, setelah itu kedepan ketempat kedua mempelai berdiri, mau salaman, eh ternyata gak bisa (dimaklumi karena memang lagi musim pandemi) ya terpaksa hanya tatap-tatapan sembari menaikan kedua tangan (salim jarak jauh). Kemudian makan lalu pulang deh.
Tinggal didesa bagi warga desa dengan kesederhanaan dan hidup bersama dengan alam adalah hal biasa. Tapi bagi orang kota yang ke desa dan melihat realitas kehidupan warga desa adalah yang unik.

Saya warga desa yang sedari lahir dan besar pun di desa, sebelumnya saya tidak merasa ada yang unik.

Nanti ketika lulus sekolah dan melanjutkan studi ke Kota, baru saya merasa ternyata ada hal-hal unik dan kekurangan yang bisa diangkat menjadi sebuah tulisan entah itu berupa cerita inspiratif ataupun catatan kritis kepada pemerintah yang ada di desa.

Saya teringat dengan sebuah kutipan puisi WS. Rendra:
"Sesekali keluarlah dari rumahmu agar kamu dapat melihat lubang-lubang yang tak nampak dari dalam rumahmu", Saya tafsirkan kata "Lubang-lubang" adalah masalah. Jika kita berada "dirumah" seolah seperti biasa-biasa saja, tapi ketika sudah keluar disitulah kita sadar ternyata begitu banyak sekali lubang-lubang itu.

***

Beberapa bulan lalu saya berbincang dengan salah satu nelayan di Desaku, ada banyak pengalaman yang ia bagi, cerita yang sampai saat ini membekas dibenakku tentang keluhannya pasca ia melaut.

"Kadang-kadang juga kita dapat, tapi sekali dapat banyak sekali, tapi itulagi lantaran banyaknya ikan, harganya jatuh, murah sekali, bahkan tidak laku, kasian daripada dibuang saya keringkan saja jadikan ikan asin" keluh si nelayan itu.

Kemudian ia juga bercerita tentang peran "papalele" (sebutan tengkulak bagi warga didesa saya) yang biasa membeli ikan-ikan mereka. Papalele ini menggunakan perahu pribadinya biasanya ia berkeliling menyambangi langsung nelayan-nelayan ketika melaut membeli ikan-ikan mereka dengan harga murah, bahkan harganya jauh beda dengan harga di Kota, kalau dikota ikan langggora 10 ekor dengan harga 20ribu, dinelayan diambil 10 hingga belasan ekor dengan harga 10ribu.

Memang Di Desa saya ini program pemberdayaan nelayan sudah dijalankan oleh pemerintah desa, salah satunya adalah pengadaan fasilitas perahu (ketinting) bagi nelayan, hampir semua nelayan sudah kebagian.

Kalau ditelisik berdasar pada keluhan nelayan diatas, masih ada masalah, Program pemberdayaan yang dijalankan belum sepenuhnya efektif, nelayan masih tidak berdaya. bagaimana tidak berdaya, ikan yang ditangkap melimpah tapi tak berarti apa-apa dalam artian harganya murah, bahkan tidak laku, dan tidak berdampak bagi taraf ekonomi mereka.

Pemberdayaan masyarakat muaranya adalah kemandirian. Artinya sebelum mencapai kemandirian tentu nelayan harus dibuat berdaya terlebih dahulu.

Olehnya itu program pengadaan fasilitas nelayan ini seyogyanya perlu dievaluasi, dilihat kekurangannya kemudian dicarikan jalan keluarnya.

Saya belum melihat dokumen evaluasi pemerintah desa perihal pemberdayaan nelayan ini, tapi kalau berangkat dari keluhan nelayan diatas pemerintah harus hadir ditengah-tengah mereka. Bukan hanya diberi perahu lalu dilepas begitu saja, tapi ada hal lain yang perlu dilakukan.

Inti masalahnua disini adalah harga dan peran papalele.

Peran papalele inilah harusnya diambil oleh Pemerintah Desa sendiri, bisa melalui BUMDes atau apalah namanya intinya desa yang handle, harus menyiapkan berupa Tempat Pelelangan Ikan Desa (TPIDes) yang dikelola oleh Bumdes, hasil tangkapan nelayan berapa pun jumlahnya mau satu ekor kek, seribu ekor kek dibeli oleh BUMDES di TPIDes dan tentunya disesuaikan dengan harga pasar di Kota, dengan begitu nelayan tidak akan was-was lagi pergi melaut, hasil tangkapan mereka tetap akan laku.
Suasana pawai keliling desa (Foto: Evhiin ApriliaWulandari)

Pandemi yang membombardir seluruh warga dunia tak terkecuali warga negara berkembang dengan istilah rakjat "plus enam dua (+62)" ini, membikin lumpuh aktivitas luar rumah. 

Meskipun sebagian wilayah sudah direlaksasi diikuti dengan himbauan khas dari bapak-bapak satgas yang sering muncul jam 5 sore di TV bahwa asal patuhi protokol tapi tetap saja lumpuh selumpuh-lumpunya apalagi aktivitas yang berkaitan dengan kerumunan. Bagaimana tidak lumpuh jarak dijaga & tak boleh saling sentuh.

Memasuki bulan kedelapan penanggalan masehi yang kebetulan di negara kita tercinta ini bertepatan dengan HUT PROKLAMASI KEMERDEKAANNYA membikin hasrat berkegiatan warga +62 seolah tak terbendung, Intansi pemerintah, sekolah, dan bahkan komunitas ingin memeriahkan dan menyemarakkan, tapi apalah daya dibatasi La Covid.

Tapi tidak dengan warga pulau Kadatua yang terletak diujung ini. Yaaa.. WARGA DESA KAPOA Alhamdulillah hasrat ingin menyemarakkan HUT KEMERDEKAAN bisa tersalurkan dengan digelarnya Turnamen Futsal Kids.

Abai pada himbauan bahaya covid?
Abai dengan protokol?
Bilang iya mungkin, tidak juga bisa jadi.

Lagiankan ini pulau yang terpisah, zonanya juga masih hijau. Maka Bolehkan bapak/ibu dokter, perawat, kadis kesehatan, satgas, sedikit dilonggarkan???
Boleh yaaa... plis..pliss.. 
Heheh...

***

Turnamen futsal Kids adalah ajang kompetisi futsal pertama yang melibatkan anak-anak di Pulau ini, sudah beberapa dekade, sudah beberapa kali gonta-ganti camat maupun kades anak-anak seperti dinomor 6 kan (kok 6? karena 1-5 tetap pancasila). Hehehe..

Meskipun dulu-dulu ada juga perlombaaan yang melibatkan kids tapi tidak se spesifik yang diadakan oleh Desa Kapoa ini, biasanya kejuaraannya umum antar SD se pulau ini, cabang yang dilombahkan juga banyak.

Ini bukan sembarang turnamen, bukan sekedar mau cari siapa yang bakal jadi juara, tapi lebih dari itu, adalah sebagai wadah hiburan rakyat yang haus akan keramaian dan kumpul-kumpul, ya maklum seperti saya katakan diatas tadi pandemi membikin sepi, aktivitas lumpuh.

Selain itu juga ya untuk memupuk serta membibit anak-anak Kadatua, supaya bagaimana punya mental berkompetisi, mental petarung, agar tidak gagok, tidak demam lapangan dikemudian hari jika ikut dalam kompetisi yang sama dan tentunya sebagai pengembangan minat dan bakat 

Harapannya turnamen ini semoga berjalan lancar dan sukses serta menjadi preseden yang baik, untuk kedepannya bisa terlaksana lagi dan lebih meriah lagi.
Sore cerah menikmati kopi capucino diteras rumah, sambil menarik asap surya, sepintas terlintas ide untuk menuliskan fenomena sekitar.

Ya... Bendera!!! Sudah menjadi hal yang rutin setiap tahun dibulan agustus pernak-pernik merah putih selalu menghiasi jalan-jalan, perkantoran, dan rumah-rumah warga, baik itu didesa maupun di Kota.

Pengalamanku yang pernah tinggal Di perkampungan kota dan Di Desa pemandangan di bulan agustus seperti ini lebih semarak, banyak sekali bendera dan umbul-umbul yang dijejer dipinggir jalan, bahkan sampai dibuat lampion merah putih dan gambar mural pancasila dan pahlawan didinding-dinding gang.

Tapi disekitarku tempat saya menikmati kopi ini (kebetulan saya berada diperumahan di Kota) sungguh berbeda, pernak-pernik merah putih berupa bendera maupun umbul-umbul sangat jarang, hanya beberapa rumah yang memasang.

Padahal warga diperumahan ini mayoritas bekerja di instasi pemerintah yang notabene makan dari gaji yang dibayarkan negara meskipun ada juga sebagian pengusaha. Dibanding dengan diperkampungan kota dan desa mayoritas warganya pekerja lepas, ada yang jualan bakso, mie siram, nelayan, dan lain sebangsanya. 

Tapi soal menyemarakkan HUT KEMERDEKAAN kok lebih meriah dikampung-kampung?

Saya hisap rokok suryaku lalu mengeluarkan asapnya dengan pelan sambil merenung sembari bertanya dalam hati, apakah makin tingginya ekonomi berbanding lurus dengan pengabaian pada acara-acara seremonial kenegaraan? Apakah perumahan yang dihuni oleh para pekerja kantoran ini indonesia dalam bentuk lain? Apakah para penghuni perumahan ini lupa dengan jasa para pendiri bangsa? Apakah mereka tidak mau merefleksi?

Kemudian warga kampung yang hidup dengan pekerjaan seadanya yang mau menyemarakkan agustusan dengan memasang bendera dan umbul-umbul itu betul cinta NKRI?

Semenjak menginjakkan kaki di Kampung halaman tercinta pasca bergelut dengan dunia rantau selama beberapa tahun, kepekaan terhadap hal-hal kecil mulai sedikit kelihatan tajam. Sebut saja soal pakaian.

Bukan life style (gaya hidup)! Tapi pemandangan keki yang sangat kontras berbeda dengan tempat nun jauh yang pernah saya kunjungi, ditempat jauh itu pemandangan orang-orang lewat kebanyakan menggunakan baju perusahaan.

Saya tertegun, membantin dalam hati dan pikiran dengan penuh duga-duga dan kira-kira, pikirku saat itu mungkinkah ini wujud daerah yang kurangnya aktivitas wirausaha industri sehingga banyak orang khususnya para milenial didaerah ini pasca wisuda langsung berlomba-lomba masuk ke instansi pemerintah. Bahkan ada jebolan keguruan dan tenaga kesehatan jadi perangkat desa.

Ketika tadi membaca salah satu artikel yang dibagi di jejaring sosial FB oleh akun rektor USN pak Azhari, dari bacaan tersebut saya terhenti di paragraf ke 3-5 (Baca: Disini) saya menyimak dengan seksama ia mengatakan bahwa sederhana saja melihat daerah dari sisi ekonomi & politik, cukup dua yakni: sektor privat dan publik, jika daerah minus privat dalam artian aktivitas ekonomi rakyat seok maka orang-orang memiliki kecenderungan begitu tinggi pada personal pemimpin daerah, tak heran diskusi soal politik begitu masifnya karena memang banyak yang mengharap remah bisnis yang dijalankan oleh sektor publik.

Membaca ini dugaan saya seolah menemukan afirmasi, pantas saja banyak baju keki bertebaran dijalan-jalan, gode-gode dan warung-warung kopi pun banyak dihiasi dengan diskusi politik yang receh. Ternyata memang karena lumpunya aktivitas ekonomi sektor privat. Semua ingin mengais rejeki dari ekonomi sektor publik. 

"Kekuatan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar"

Sebuah kutipan yang oleh penulis lupa diambil dari mana, yang dia baru tau belakangan dari komentar blognya bahwa kutipan itu berasal dari film Spiderman entah aktor siapa yang mengatakan dan dalam adegan apa, lupa. Intinya kutipannya begitu. Hehehe...

Dari sekian banyak sub judul yang dibahas dalam buku inu sub bab tentang "tanggung jawab" yang membuat saya berkonsentrasi betul membaca bait per baitnya.

Bagaimana tidak, dalam bahasannya ia ngambil kasusnya dipengalamannya sendiri, soal hubungan pacaran yang putus ditengah jalan, Alias Ditinggal lagi sayang-sayangnya.

Lalu apa hubungan dengan tanggung jawab?

Gini, baca lagi kutipan paling atas yang didahulukan adalah kekuatan lalu tanggung jawab, tapi versinya ia balik, justru tanggung jawablah yang didahulukan lalu kekuatan menyusul.

Apa maksudnya?
Dari bangun tidur sampai tidur lalu bangun lagi kita tidak akan lepas dari tanggung jawab, kita tidak tau apa yang terjadi tapi tanggung jawab pasti selalu ada. Misal ketika kamu bangun tidur mencium bau gosong didapur padahal bukan kamu yang masak, tapi karena kamu yang pertama menciumnya kamu segera mematikan kompor. Disini bukan tentang yang siapa salah tapi siapa yang harus bertanggung jawab mematikan kompor. Sangat jelas tanggung jawab itu selalu ada tanpa masalah atau salah yang dilakukan, tanggung jawab selalu melekat dipribadi semua orang. Tanggung jawab selalu yang utama!

Sama halnya dengan kisah asrama penulis buku ini yang ditinggal kekasih pas lagi sayang-sayangnya, bagi persepsi orang kebanyakan si cewek pasti salah tapi ia tidak bertanggung jawab pada kerapuhan, kegalauan, kesedihan, si cowok penulis ini. Yang harus bertanggung jawab dengan perasaan negatif itu ialah si cowok penulis itu sendiri.

*
Oh ya Sampai disini paham gak dengan tulisanku ini?
Klo gak paham gpp, bukan salahmu kok, salah saya, tapi ingat kamu bertanggung jawab menyimpulkan tulisanku nyambung atau tidaknya. Hehehe.. ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ

Sungguh sulit menikmati hari-hari ditengah pandemi kayak gini, semua serba terbatas, langkah pikiranpun ikut buntu.

Mau ngelanjutin program yang sudah jadi rencana jangka panjang, yakni tulis-menulis untuk ngisi entri blog yang sudah sekian minggu terbengkalai, mandek.

Sudah banyak tontonan & bacaan seputar kepenulisan, masih tetap juga menemui jalan buntu, membuka aplikasi memo dan memunculkan papan keyboard tetap jari ini kaku tidak mau berkompromibenggan berpindah dari huruf ke huruf untuk membuat kalimat. Entah setan alas apa yang merasuki, sungguh benar-benar beku.

Sebuah postingan dimedia sosial facebook oleh salah satu akun alumni tahun 2001 yang keterangannya berlokasi di masjid-masjid diseluruh desa di Kecamatan Kadatua dengan menggegam spanduk dan Alquran untuk diwakafkan, terlintas sepintas dibenak saya untuk menuliskan memori tentang SMP ini. YA... SMPN 1 KADATUA!


Dulu sekolah ini bernama SLTPN 3 BATAUGA, konon ceritanya dulu sebelum ada SMP, generasi Kadatua sangat susah menjangkau akses pendidikan, jika ingin melanjutkan studi pasca SD pilihannya nyebrang ke Siompu atau ke Kota Baubau. Tidak ada pilihan lain. Kalo misal dilihat data statistik tahun itu mungkin bisa jadi angka putus sekolah atau yang tidak lanjut sangat tinggi.

Hingga era akhir 80an atau awal 90an mulai berdiri SMP yang berlokasi ditengah² Kadatua tepatnya di Desa Kaofe (kini marawali) yang cukup jauh dari pemukiman padat warga. Bagi siswa yang berasal dari Kaofe, uwemaasi dan waonu kala itu aksesnya cukup dekat berjalan kaki mungkin bisa ditempuh kurang lebih 30menit. Tapi bagi kami yang tinggal didesa ujung (Kapoa & Banabungi) sungguh jauh, ditempuh bisa 1 jam bahkan lebih, berangkat sekolah badah subuh suasana masih agak gelap. Pulang sekolahpun disambut dengan terik matahari yang seolah membikin kepala ini mau pecah. Hehehe. Tapi itulah perjuangan SEKOLAH! apapun tantangannya harus dilalui. 

Melihat siswa dari dua desa ini yang kondisi fisik masih kecil (baru lulus SD) sudah harus berjalan kaki dengan jarak yang jauh, maka dibuatlah sekolah filial (jarak jauh) seadanya yang terbuat dari kayu di masing-masing desa ini untuk menampung siswa belajar sementara 2 tahun lebih, nanti jelang ujian nasional baru diterjukan dilapangan untuk jalan kaki menembus hutan masingkaru & makutanda lalu ke SMP induk (sebutan SMPN 1 Kadatua). Hehehe...

Kedua kelas jarak jauh (Filial) yang didirikan dikedua desa ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya SMPN 2 dan SATAP Kapoa, dan perlahan angka putus sekolah pasca SD di Kadatua pun dientaskan.

Sungguh luar biasa keberadaan SMP ini dalam menunjang pembangunan sumberdaya manusia di Bumi Waode Pogo, Kadatua. Kini alumninya tersebar diberbagai pelosok negeri mayoritas di Wilayah Papua & Maluku dengan ragam profesi, mulai dari TNI, Polri, Guru, Wirausaha, dan lain-lain.

Harapan saya dengan adanya kegiatan yang dilakukan oleh rekan-rekan alumni 2001 ini bisa memberi stimulus bagi yang lain untuk bagaimana bisa tetap menjaga persaudaraan & tali silaturahmi serta memberi kontribusi nyata baik itu pikiran, tindakan maupun sumbangsi materi bagi pembangunan Kadatua hari ini dan masa yang akan datang.

| BRAVO SMPN 1 KADATUA!!!

Beberapa minggu terakhir  lapangan yang dulunya senyap sepi ini kerap dikerumuni warga, mereka datang untuk menyeruput kopi, bergurau, berdiskusi, dan ada juga yang sekedar cuci mata.

Memang semenjak dibukanya kedai di tempat ini seolah ada geliat, oleh Daru (pemilik kedai) dalam perbincangan dengan saya minggu lalu ia menuturkan:

"Bahwa sebenarnya orang-orang Kadatua apalagi anak mudanya butuh sekali ruang beraktivitas, entah sifatnya mencari jajanan maupun melakukan kreativitas, dan lapangan Kaofe sangat tepat & strategis, karena ia berada dijantung Kadatua" 

Tak hanya itu dengan adanya tempat seperti ini tanpa sadar perlahan menggeser kebiasaan-kebiasaan anak muda yang dulunya mungkin kumpul²nya SOPI beralih ke KOPI, yang dulunya cerita BAKU PUKUL beralih ke BAKU TEMU IDE.

Mudah-mudahan para pemangku kepentingan di KEC. KADATUA bisa melihat ini. Ini sangat positif.
Suatu Sore rombongan anak muda yang rambutnya basah yang sedikit ditaburi pomet keliatan mengkilap serta berpakaian keren bertopi supreme (KW) dengan boncengan teman mudinya mengenakan jilbab yang sepintas mirip Nisya Sabyan berkendara keliling kampung membela jalan dari desa ke desa lalu membelok pas dijalan setapak depan Kantor Camat.

Mereka ke Danau asin, orang-orang di pulau ini menyebutnya "Teilalo", danau yang kini sudah cantik persis seperti pakaian yang mereka kenakan, keren..... Sungguh! Rumah-rumah yang terbuat dari kayu disusun rapi dengan model klasik seperti fila kecil.

Rombongan anak muda itu mengeluarkan ponsel mengatifkan kamera lalu cekrek, mereka berselfie didepan rumah-rumah kecil itu lalu diuploadnya di medsosnya.

Setelah selfie, mereka pulang! Danau asin itu pun kembali sepi!
.
Penggalan kisah diatas adalah sebuah ilustrasi bahwa sebenarnya warga dikecamatan Kadatua butuh hiburan, butuh tempat untuk narsis. Kemudian Danau teilalo sendiri juga ingin ramai, rumah-rumah kecil itu ingin difungsikan sebagaimana mestinya, bukan datang untuk di foto lalu ditinggal begitu saja. Tanpa faedah.

Sudah sekian lama pulau ini berdiri menjadi kecamatan, sudah sering pucuk pimpinan wilayah berganti, sudah banyak momen yang terlewatkan. Tetapi tetap saja senyap dan sepi!

Seharusnya Pembangunan kawasan di Danau asin Teilalo dengan polesan rumah-rumah cantik setahun belakangan ini, menjadi stimulus bagi semua komponen yang ada didalam Pulau ini, wabil khusus Pemerintah kecamatan dan desa serta para pemerhati yakni anak muda kreatif untuk bagaimana berkolaborasi mendorong dan menggejotnya.
Pagi sekali dihari jumat (3/7)  Besi Apung yang bernama ferry berkapasitas lumayan besar itu mengangkut para pemangku kebijakan didaerah ini beserta Kendaraannya dari bumi gajamada batauga membela laut basilika menuju pulau pengasingan karamaguna yang tandus nan gersang, Kadatua, Pulau yang hanya memiliki batu dan para perempuan yang membilang usia dengan memecahkan karang. pulau yang pepohonnya susah payah menghidupi nelayan (Aan mansyur).

Mereka sandar di desa ujung, Kapoa, tepat dipelecingan pelabuhan, sorak dan gempita disambut oleh para penghuninya camat, kades, perangkat hinga warganya, tak hanya itu jagad maya pun menggema, pemilik akun medsos yang berasal dari pulau ini yang sekarang ada dirantau pun membagikan kabar baik itu.

Dengan mengendarai DT 1 W berkeliling pulau serta Bertemu dengan warga dan para stakeholder kecamatan, Nahkoda Busel La Ode Arusani memberi pesan harapan:

"dengan beroperasinya feri ini semoga bisa mendorong percepatan pembangunan dan perekonomian, yaitu menekan harga² baik bahan bangunan seperti pasir, kayu, semen dan lain-lain serta kebutuhan masyarakat berupa sembako, dan mendorong sektor pariwisata di seperti Labulengke, TeiLalo, dan Liwutongkidi"

Uji coba pengoprasian feri di Kadatua ini serta pesan yang disampaikan adalah sebuah optimisme dan langkah awal menstimulus Kadatua untuk bangkit.

Namun stimulus yang diberikan ini perlu disambut dengan kebijakan dilevel terendah, yakni pemerintah dikecamatan khususnya Desa kiranya mampu memanfaatkan  potensi yang ada di desa masing-masing  agar stimulus tersebut tidak berujung sia-sia.

Beberapa hari lalu anak muda progresif Kadatua berkumpul dalam satu wadah dialog yang bertemakan ADA APA DENGAN KADATUA tepat dilapangan desa Kaofe, perkumpulan ini menurut saya merupakan langkah awal yang mungkin menjadi tonggak sejarah bahwasannya anak Muda di Kadatua tidak sedang tidur. MEREKA ADA.

Mereka berbagi resah duduk manis dalam dialog, membincang banyak hal, budaya pemuda, dan pembangunan serta pemberdayaan. 

Meskipun tidak tuntas, dan mungkin belum mellahirkan gagasan yang bernas untuk rekomended kepada pihak terkait karena keterbatasan waktu dan kesiapan, tapi satu hal yang menjadi catatan penting bahwa sebenarnya mereka mau berperan dan berkontribusi nyata untuk desanya!!!

Selama ini kita melihat bagaimana praktik tata kelola pemerintahan didesa yang mengabaikan partipasi. Padahal partisipasi adalah kunci utama dalam proses pembangunan dan kontrol kebijakan.

Partipasi hanya syarat normatif dan kemudian ditafsirkan hanya dengan kehadiran warga masyarakat yang datang duduk dibalai desa lalu disodorkan dengan menu pilihan rencana pembangunan dan mereka hanya tau setuju atau tidak. Proses partipasi ini tidak pernah dievaluasi oleh pemerintah.

Apakah Menu rencana program pembangunan yg disodorkan kepada khayalak desa sudah sesuai kebutuhan untuk pemecahan masalah yang ada di Desa?

Apakah menu rencana pembangunan berangkat dari analisa atau hanya sebatas pengamatan yg tanpa kajian?

Lalu apa dampaknya? Tepat sasaran kah? Atau hanya menghaburkan duit negara?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi bahan permenungan dan kontemplasi bagi pemangku kebijakan khususnya para Kades dan perangkatnya.

Kita punya segudang anak muda dari ujung Kapoa hingga Banabungi baik yang masih mengenyam bangku kuliah dan pasca kuliah, mereka adalah aset dan potensi. Mereka dari ragam jurusan. Berangkat dari pengalaman dan proses belajar dikampus yang sarat akan kajian ilmiah dan diskusi tentu kehadirannya didesa entah itu sekedar pulang liburan atau pun alumni yang tinggal didesa, pelibatan mereka dalam hal partipasi pembangunan seharusnya menjadi penting.

Lalu pertanyaanya apakah sudah dilibatkan dalam partipasi pembangunan?
Mungkin sebagian akan menjawab, ya mereka terlibat bahkan masuk dalam sistem pemerintahan menjadi perangkat desa.

Sejauh mana kontribusi mereka?
Jangan-jangan hanya sebatas melayani KTP warga dan tukang ketik, dan bahkan mungkin hanya gagahan² dengan baju keki yang dikenakan, bukan pada pemecahan masalah didesa dengan kontribusi ide dan gagasan.

Tentu kita tidak inginkan seperti itu, kita ingin anak muda kadatua yang progresif, dan partisipatif, semua komponen Muda desa baik didalam sistem maupun diluar sistem duduk bersama, berbagai meresahan dan berdiskusi. Jika selama ini warga masyarakat partipasinya hanya disodorkan menu dan hanya tau nyanyian lagu SETUJU, anak Muda desa inilah yang harusnya hadir ditengah-tengah mereka, mengkaji potensi dan masalah desa turut serta menjadi bagian dalam forum-forum musyawarah lalu bersuara lantang mengkiritik maupun memberi gagasan untuk pembangunan desa.


Mengamati perkembangan dan gaya kepemimpinan para kepala desa di Kadatua sedikit mengernyitkan dahi bagaimana tidak program dan cara merespon kebijakan yang sifatnya topdown cenderung stag, kebingunan, dan seolah seperti ajang mengamburkan duit.
Sebut saja kebijakan Mendes PDTT berkaitan dengan pencegahan penularan pandemi, yang bunyi regulasinya memerintahkan seluruh desa di Indonesia untuk membuat posko relawan desa lawan covid-19, hal ini kemudian direspon oleh sebagian besar kades seperti kejatuhan durian runtuh.

Ramai-ramai semua desa dari ujung Kapoa hingga Banabungi membuat posko, mencetak baliho, membuat jadwal jaga yang makannya ditanggung per hari, sampai belanja logistik yang sangat boros membeli galon, sabun, disinfektan, pengukur suhu, konon belanja tsb menghabiskan hingga puluhan juta.

Padahal kalau dicermati Kadatua adalah sebuah pulau, yang pintu masuknya kewilayah ini hanya melalui 2 pelabuhan Kapoa dan Banabungi, bayangkan jika ada orang kapoa dari Baubau menyeberang ke Kadatua lewat pelabuhan banabungi berarti harus melewati 10 desa sementara tempat cuci tangan dan pemeriksaan tersedia disemua posko desa, berarti ia melakukan cuci tangan dan pemeriksaan sebanyak 10 kali.

Luar biasa biasa rancunya cara mereka mengimplementasikan himbauan Mendes PDTT ini, sampaikan ada lelucon "cuci trosss lama kelamaan takupasmi dengan kulit telapak tangan"

Padahal sederhana saja, tidak usah seheboh sampai mendirikan posko dengan penjagaan seolah menjemput teroris yang datang dan belanja seboros itu, cukup 2 desa yang harusnya difokuskan. Meskipun mungkin desa otonom punya kewenangan & dana tersendiri juga, tapi bisa dilakukan koordinasi lintas desa bagaimana baiknya untuk melakukan kerja-kerja pencegahan tetapi juga meminimalisir dana yang keluar.

Pasca Media online telisik.id mengangkat beritanya netizen seantero busel khususnya Kadatua heboh. Yang sebelumnya hanya bisik-bisik di gode-gode kini mulai berani komentar, ada menyayangkan adapula yang meluapkan emosinya.

"Rapatkan barisan, ada indikasi melanggar UU, bla...bla...bla..." bgt komentar salah satu netizen.

Saya yang sedari kemarin mengikuti isunya & membaca komentar-komentar berdecak kagum, ternyata orang Kadatua itu tidak apatis, melek hukum & juga bisa melawan.

Lalu muncul tanya dibenak, apa yang mau dilawan?
Benarkah ada pelanggaran disana?

Bukankah selama ini kaliliwuto itu mati, lalu kenapa dihidupkan kembali dengan pembangunan pariwisata, kita risih. Bukankah kita itu lebih baik?

Atau jangan-jangan risih karena sertifikatnya atas nama Anak Bupati & pembangunan (gasebo, dll) atas nama Pemda?

Lalu timbul spekulasi yang bukan-bukan: "oh sudah dijual, uangnya nanti masuk perut bupati & kroninya. Dan warga hanya menatap & meratap dari kejauhan?"

Tentu harapan kita kaliliwuto harusnya dikelola untuk kepentingan publik.

Jadi sebelum spekulasi yang bukan-bukan itu dikemudian hari benar adanya. Sebaiknya kita membuka kembali regulasi lalu mengonfirmasi kepihak terkait (Bupati Busel, Risawal, Kades Mawambunga, DKP, dan BPN) agar jelas, lurus, & tidak mengawang-ngawang. ๐Ÿ˜
(Tiga Rumah di Desa Kapoa yg baru teraliri listrik)

Setiap kali matahari terbenam,  sehabis makan malam ia ke "kampung".

"Asumampu kadei nakampo e, acumasi hapeku" (Saya turun dulu dikampung e, cas HPku). Begitulah kalimat yang sering diungkapan salah satu warga kepada istrinya ketika malam tiba.

Rumahnya jauh dari pemukiman padat warga, mereka tinggal dekat kebun. Akses agak susah, bila kesana harus melewati tangga. Orang-orang didesa ini menyebutnya dengan istilah "warga tangga sembilan" padahal secara administratif mereka warga Desa Kapoa Kec. Kadatua.

Sudah sekian puluh tahun Indonesia merdeka dan belasan tahun Kadatua menjadi kecamatan, mereka masih hidup dalam "samar", dengan penerangan seadanya (lampu pelita).

Meskipun dengan kehidupan seperti itu mereka menikmati hari-harinya seperti warga kebanyakan, tapi kadang ketika malam tiba dan hendak ingin berkomunikasi dgn keluarga jauh atau sesekali ingin mendengarkan musik. Mereka harus membatasinya. Bukan karena dihalau ruang & waktu, tapi daya listrik yg tak menentu, jika pemakaianya lama, hiburannya dan komunikasi terputus. Lobet. Lenyap sudah. Harus menunggu lagi esok malamnya untuk ke "kampung" dan mengisi daya kembali.

Begitu terus sekian tahunnya lamanya.....

"Bukan mengabaikan, tapi karena tiangnya tidak ada. Begitu jawabannya pihak terkait (Baca: pelayanan listrik)

Sekian tahun menunggu, kabar baikpun itu datang. 

"Nanti diusahakan apapun & bagaimanapun caranya tiang harus ada, kalian harus menikmati listrik." Tutur kadesnya.

Dan alhamdulilah beberapa minggu  lalu perangkat desa & warga bergotong royong, menyemen pipa untuk dijadikan tiang. Tak berselang lama pelayan listrik pun datang menyambung.

SELAMAT DATANG TERANG! SUDAH LAMA KAMI MENANTIMU! MERDEKA!!!

Resolusiku ingin........ semoga pribadi ini menjadi.....

Begitulah harapan kebanyakan orang ketika menyambut tahun baru, tak terkecuali saya. hehehe,,,,

Setiap momen ini, apalagi hidup bermahasiswa selama kurang lebih satu dekade, resolusi utama saya selalunya itu-itu mulu tidak berbeda. HARUS WISUDA!!! Sungguh resolusi yang mainstream. Tapi begitulah kehidupan seperti ungkapan syahrini "hempas datang lagi, hempas lagi"

Dan Alhamdulilah resolusi itu baru tercapai di tahun 2019.
Tahun baru 2020 ini menjadi awal kehidupan saya terlepas dari status tersebut serta memulai babak baru dalam bermasyarakat dan memasuki dunia kerja, dunia yang sarat persaingan, apalagi seperti zaman sekarang ini, gelar tidak lagi menjadi hal utama seperti dulu, sudah banyak orang menyadang itu, negeri ini sudah surplus gelar, yang lebih utama adalah keterampilan, kreativitas dan bagaimana berkolaborasi.

Tentu ini hal baru dan menantang, jika tidak terus mengupdate informasi, mengembangkan potensi/pengetahuan dan memperluas jaringan, akan digilas dan tertinggal jauh.

Olehnya berbekal pengetahuan dan pengalaman selama berkampus, harapannya semoga 2020 dengan suasana yang benar-benar berbeda ini bisa diisi dengan hal-hal yang bermakna. berdaya, dan berfaedah.