Alhamdulilah akhirnya bisa kembali Ke Kota Kendari, sudah lama saya rindukan, Kota yang saya anggap rumah kedua, kota yang membikin jiwa ini menemukan titik balik, dimana saya ditempa menjadi pribadi yang "peka".  Hehehhe.... Tapi saya tidak ingin bicara soal "peka". Nanti itu saya tuliskan dilain waktu. :)

***

Setelah beberapa hari tinggal lagi di Kota ini dan aktivitas masih seperti semula,menikmati suasana liur, eh,,,tadi pagi  buka medsos tak sengaja lihat postingan teman, bahwa akan ada acara Pagelaran Budaya Buton di Tugu Religi malam ini dan  kebetulan juga amalam minggu tak berpikir panjang sayapun meluncur.

Tiba dilokasi ternyata sudah banyak yang hadir kursi-kursi yang disediakan juga full,, selang beberapa menit Gubernur Sultra juga datang, dan acaranya dimulai.

Banyak kesenian yang ditampilkan, mulai dari tari, silat, dll,,,,, dan yang membikin saya takjub adalah penampilan drama wandiu-ndiu yang dibawakan mahasiswa asal wakatobi, lucu bercampur sedih, penonton yang menyaksikan tegang, ada yang matanya sampai berkaca-kaca dan sesekali bersorak kegirangan.






Setelah terlepas dari ruang akademik formal, dan memasuki rimba publik  yang sarat akan santuy, jiwa yang sebelumnya menggebuh-gebu ingin terus belajar kian memudar. Ruang publik itu begitu wenak.

Saya merasakan itu, apalagi kelasnya baru ingin memulai mengembangkan diri atau memoles potensi, seperti yang saya ceritakan dalam postingan diblog ini sebelunya bahwa tahun ini saya baru memulai belajar nulis.

***

Menjadikan menulis sebagai kebiasaan perlu konsistensi, tapi alangkah rumitnya ketika masuk ruang nyata yang tidak ada lagi yang bisa menyemangati. Diluar ternyata  banyak sekali godaaan atau hal yang membikin kita malas, kerjaan nongkrong atau membincang hal-hal yang gak jelas dan tidak penting, pengennya santuy truss. dan tidak mau membebani otak dengan berpikir atau berlatih lagi.

Tapi kadang dirasuki juga pikiran, sayang sudah dimulai kalau gak dilanjutin, sepertinya inilah potensi bung, kerjakan!

Maka untuk mengembalikan keinginan untuk berlatih, saya memilih merantau kembali, menjauh dulu dari lingkungan yang membikin tekad menjadi ambyar dan tumpul itu. 

Jika dulu berkunjung ke Kapoa (barat),  maka sebelum masuk pemukiman padat warga akan disambut dua batu besar pas pendakian dipinggir jalan, oleh warga kapoa batu ini disebut batupoowu. Entah artinya apa. 


Konon cerita ditahun 70-90an batu ini masih menyatu, jalan masih tertutup belum ada akses, warga sekitar jika hendak ke kebun (masingkaru) atau kedesa sebelah masih menggunakan perahu atau berjalan kaki melewati pesisir kalau air laut lg surut. Nanti diera tahun 2000an baru di bongkar menggunakan alat Bom ikan, meskipun kala itu akses sudah terbuka, namun masih ala kadarnya, jika dilalui dua mobil yg kebetulan berpapasan,, yang satu biasanya mengalah, melipir kepinggir. Rawan kecelakaan, suasananya juga gelap. SERAM! hiii.. 

Kini batuupowu yang gelap & rawan itu berubah... batu besarnya sudah dihajar excavator,, jalan sudah lebar, suasananya menjadi terang benderang. Rumah-rumah warga &  Pesisir desa kapoa barat pun terlihat jelas.  keren..