Setelah kembali membangkitkan semangat untuk menulis, alhamdulilah beberapa hari lalu sudah beberapa uneg-uneg dalam pikiran saya tuangkan dalam bentuk tulisan dan telah saya muat disini, beberapa tulsan saya diantaranya tentang aktivitas keseharian dan pandangan-pandangan kecil terhadap apa yang saya lihat disekitar, meskipun mungkin masih terhitung receh atau berantakan, tapi namanya belajar harus berproses.
Nah, pada kesempatan kali ini saya coba belajar mereview apa yang saya baca, sesuai dengan pembahasan saya sebelumnya bahwa proses mengikat makna adalah menuliskan apa-apa yang penting dan bisa dipetik ketika membaca sebuah artikel, opini atau buku.
Olehnya itu saya akan mereview Artikel yang ditulis oleh Abdul Mu'ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah) berjudul
Politisasi Politik Muslim yang dimuat di Koran Kompas hari ini.
Sangat menarik memang artikel ini, apalagi kondisi Indonesia saat ini masih dalam masa kampanye Pilpres & Pileg, pada uraian pembuka di artikel tersebut, ia awali dengan bahasan "Polarisasi", bahwa disetiap perhelatan politik Negara manapun tak terkecuali di Indonesia selalunya akan ada polarisasi, dan itu sangat lumrah.
Namun Polarisasi politik akar dan tingkatannya berbeda-beda, sebagai contoh pada pemilu legislatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan eksekutif (presiden hingga kepala desa), rendahnya polarisasi dalam pileg dipengaruhi oleh deideologi parpol, konrvergensi sosial, politik dan keagamaan.
Faktor yang sangat berpengaruh dalam polarisasi ini adalah agama, ia menyebut bahwa tingkat keberagamaan kita bangsa Indonesia sangat tinggi, masyarakatnya yang religion-centris, melihat semua hal dari perspektif agama, maka tak heran mudah terbakar atau sensitif, dan ini terjadi disemua agama, tetapi yang dominan kuat, dan terlihat di Indonesia hari ini ditubuh muslim, faktornya karena jumlahnya yang banyak, kemudian tingkat kemajemukan internal yang tinggi, serta kematangan demokrasi yang rendah.
Jika melihat fenomena akhir-akhir ini, polarisasi politik di internal islam sendiri sangat menguat, dibandingkan dengan tiga pilpres sebelumnya. ia menyebut bahwa Umat Islam terpolarisasi dalam kutub keislaman yang sebenarnya sudah klise atau tak lagi relevan. Isu-isu seperti Modernis-Tradisionalis, NU-Muhammadityah, dan ekskulif-pluralis dibangkitkan kembali dengan isu resonansi ekonomi seperti: Pribumi-Asing, Sosialisi-Kapitalis, Alit-Elit, dan Rakyat-Konglomerat.
Keterbelahan dan polarisasi diinternal islam tersebut kemudian dimainkan dan dikapitalisasi oleh para politisi, secara sistematis, serta dalih-dalih agama dijadikan referensi teologis untuk kendaraan politik dalam meraih kekuasaan dan memenangkan pertarungan politik.
Dalam artikel tersebut juga, ia menjelaskan bahwa dalam diri umat islam terdapat kelompok Islam kafah, yang berkeyakinan dan berpandangan integratif. Islam adalah agama yang lengkap dan semuprna, mengatur semua bidang kehidupan, dan merupakan satu kesatuan antara agama, kemasyarakatan, dan negara/pemerintahan. Faktor ini cukup kuat tertananam dan setiap saat tumbuh dan bersemi dalam iklim politik yang kurang berpihak pada umat islam.
Tumbuhnya kelompok ini ditandai dengan kelahiran, reinkarnasi, atau transformasi konservatisme politik, agama, dan kebudayaan. Kelompok ini juga juga disebut sebagai ortodks islam berusaha mengapitalisasi, memainan dan meyakinkan umat di berbagai platform media serta memanfaatkan iklim kebebasan dengan memproduksi, mereproduski informasi, bahwa islam dan muslim dalam ancaman jika lengah dan lemah, muslim bisa kalah dan islam akan punah. ia mengutip tulisan Carool (2018), bahwa sejak reformasi umat islam terlibat dalam hiruk pikuk perebutan wacana antara progresif dan reaksione. pergulatan wacana terjadi di mimbar khotbah, pengajian, penyusunan undang-undang, dan kepemimpinan nasional.
Ditengah kepemimpinan yang lemah serta aparat yang gamang menegakan peraturan, membuat kelompok konservatif ini semakin percaya diri. Faktor ini juga turut memengaruhi kebangkitan aktivisme politik islam. banyak pihak menilai bahwa aksi 411 dan 212 tak sekedar konsolidasi kelompok konservatif tetapi merupakan arus baru gerakan islam sebagai "alternatif" dan "lawan" dua arus utama (NU-Muhammadiyah) yang dianggap rapuh, liberal, dan tunduk kepada pemerintah. Sungguh kelompok ini makin kesini kian mendapat tempat apalagi ditengah kemenangan politik konservatif di beberapa negara, Konservatif kriten (Eropa, AS), Hindu (India), Budha (Myanmar), dan Yahudi (Israel).
Faktor lainnya adalah residu pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, dan rivalitas Politik Jokowi-Prabowo, koalisasi partai yang mengusung Calon Gubernur DKI kembali bertarung diarena yang lebih tinggi, ia mengibaratkan seperti sepak bola derbi elclasico tanding ulang Jokowi-Prabowo. Isu-isu politik keagaamaan direproduksi kembali sevara masif dan kreatif melalui media sosial. Pihak jokowi menengarai pihak prabowo memproduksi konten hoax sebagai sarana kampanye negatif dan kampanye hitam.
Media sosial memang media paling ampuh dan sangat berpengaruh terhadap polarisasi politik akhir-akhir ini, dan itu membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa. ia mengutuip jurnal yang ditulis oleh Erbschole (2019) yang berjudul
Extremist Propoganda in Social Media: A Threat To Homeland Security menjelaskan bahwa ada 10 alasan mengapa medsos menjadi pilihan utama dalam propaganda berbagai ideologi sebagai berikut:
Blissfulness, Easy to Understand, Laziness, Repertition, Familiarity, Consistency, Lack of Knowledge, Confusion, Group Expectioan, Peer Pressure. sebagian menganologikan "perang tagar" laksana perang badar. Dalam konteks Pilpres 2019, perang badar dimunculkan dua kali dalam pernyataan
Amien Rais dan doa
Neno Warisman di acara munajat nasional 212.
Dibagian akhir ia menyampaikan dalam sebuah sub judul, bahwa perlunya kesadaran politik, Pilpres bukan segalanya, pilpres adalah peristiwa politik biasa, dalam perspektif islam menurut pandangan NU-Muhammadiyah politik merupakan masalah muamalah, bukan akidah atau ibadah, hal ini sebagaimana disebutkan dalam muktamar Muhammadiyah di jakarta (2000), muhammadiyah memandang bahwa politik termasuk piplpres merupakan wilayah 'muamalah duniawiyah" yang didalamnnya manusia memiliki kekuasaan untuk mengembangkan sistem dan berpatisipasi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam. yakni prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan akhlak berpolitik, bukan bentuk negara, partai, sistem politik.
Jabatan presiden memang penting, tapi buka segala-galnya. masa jabatan, kinerja, dan kewenannya dibatasi konstitusi dan di awasi oleh DPR, ia tak kebal hukum dan kuasanya tak mutlak. Sejak amandemen UUD 1945, kewenangannya berkurang dan harus berbagi peran dengan legislatif dan yudikatif. sangat berlebihan manakala kepemimpinan seorang presiden dikaitkan dengan eksistensi islam. semua capres dan cawapres yang mengikuti pemilu 2019 bergama islam, bagaimanapun kualitas keislamannya mustahil jika berani membuat kebijakan yang bertentangan dengan islam. selain bertentangan dengan pancasila, kebijakan yang merugikan atau tak sejalan dengan aspirasi muslim sangat berpengaruh terhadap dukungan politik. Siapaun yang terpilih pada pilpres 2019, islam dan muslim akan tetap menjadi faktor politik yang menentukan.
Dia juga mengutip tulisan Jamest Q Wilson (2005;58) bahwa polarisasi politik dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perdebatan penting dan isu-isu publik. namun perselisihan yang terus menerus berpotensi menurunkan kinerja pemerintah dan melupakan cita-cita bersama dalam bernegara. Polarisasi politik berpotensi menimbulkan segresi umat, Cendekiawan Kuntowijowo (2001:325) menyatakan keberatan atas berdirinya partai-partai islam karena bisa mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial, disintegrasi umat, umat menjadi miopis, pemiskinan, runtuhnya prolifreasi dan alineasi generasi muda. peringatan ini, tampaknya terjadi ditengah polarisasi politik umat islam.
Pada akhirnya pilpres adalah ikhtiar demokratis untuk memilih pemimpin terbaik yang mampu memimpin bangsa, karena itu hendaknya harus dilaksanakan dengan keadaban, saling menghormati, mengutamakan persatuan bangsa, diatas kehendak kekuasaan. Dalam islam diajarkan bahwa sesuatu yang baik harus diraih dengan cara-cara baik, terlalu mahal jika karena pilpres membuat umat terpecah-belah. Sudahi dan hindari polarisasi dan ekstremisme politik untuk kebaikan dan kemaslahatan umat dan bangsa.