Akhir-akhir ini pikiranku mumet sekali dan perasaan tidak karu-karuan, mungkin bosan karena aktivitas yang itu-itu saja, makan tidur,

Memang semenjak perkuliahan berakhir, teman-teman yang biasa nongkrong dan ngobrolnya nyambung pada pulang ke daerahnya masing-masing, saya saja yang bertahan, karena urusan belum kelar, masih ada tes yang saya ikuti untuk syarat mengikuti wisuda.

Di awal-awal bertahan,  masih biasa, nyaman, karena cuaca dan tempat tinggal yang sangat bersahabat juga teman-teman kost yang asik diajak bercanda, tapi lama kelamaan mulai jenuh, aktivitas dan obrolan itu-itu saja, tidak ada yang baru, membaca pun rasanya malas sekali, karena biasanya setelah baca sesuatu saya coba diskusikan dengan teman, biar tau sejauh pemahaman saya tentang bacaan.

Hingga akhirnya kemarin saya bersih-bersih kamar kost dan merapikan buku-buku dilemari. untuk merubah suasana, agar mata dan perasaan terefresh kembali.

Ditengah kegiatan merapikan tersebut, tidak sengaja saya memegang Novel Tan yang ditulis oleh Hendri Teja, saya coba membaca-baca singkat sinopsinya dihalaman belakang sampul, dan akhirnya saya tertarik kembali untuk membacanya. Novel ini memang sudah pernah saya baca tapi sudah lama sekali kira-kira lima abad setahun yang lalu, sebagian alur ceritanya sudah hilang dari ingatan. hehehhehehe....

Maka untuk menaklukan kebosonan ini, saya coba mengisinya dengan membaca novel tan tersebut, semoga dengan kegiatan ini bisa menumbuhkan kembali semangat literasi (baca-tulis).

Itu saja mungkin tulisan saya kali ini, bingung mau nulis apalagi, hehehehe,,, tapi setidaknya tangan ini selalu dibiasakan menekan tombol huruf dipapan ketik laptop dan menjadi kata per kata, hingga jadi kalimat dan bacaan, meskipun gak beraturan.
"May Bahi-bahinto komu tamekata' kampoto yini........."

Begitulah penggalan lirik lagu "KAKESANO PULO KADATUA" yang di populerkan oleh La Ode Ansar, yang kurang-lebih bermakna "Mari kita semua, atur dan perbaiki kampung kita ini......"



Jika melihat konteks Kadatua hari ini, masih tertinggal dari daerah lain, padahal potensi yang kita miliki tidak kalah jauh, sebut saja sektor pariwisata, potensi tersebut bila dipadankan melalui program-program pemerintah tentu akan berdampak positif bagi perbaikan dan kemajuan.

Tetapi kebijakan dan program-program Desa di Kadatua saat ini, belum menyentuh sektor tersebut, masih berkutat pada bantuan-bantuan, yang boleh dibilang sifatnya sementara, tidak berkelanjutan, dan bahkan kurang tepat sasaran, sebagian masyarakat yang telah menerima, misal bantuan perahu nelayan tetapi banyak yang tidak difungsikan. Berarti disini ada problem, bisa jadi program tersebut tidak berdasar pada usulan masyarakat, atau asal saja yang penting dana yang di kucurkan oleh pemerintah pusat/kabupaten terpakai. pada akhirnya kesia-siaan dan pemborosan.

Mungkin sudah saatnya melirik sektor lain, sebagaimana yang saya sebut diatas, ya Pariwisata, ini cukup menjanjikan, apalagi secara geografis kadatua diutungkan dengan keberadaannya dekat dengan Kota Baubau hanya berjarak tempu 15 menit, kemudian trend masyarakat Kota saat ini adalah traveling, hunting, dan mencari spot untuk berselfie-selfie ria, tentu ini bisa dijadikan pasar, manakala sektor pariwisata Kadatua digenjot.

Tetapi pengembangan potensi wisata ini, perlu adanya kolaborasi atau semacam kerjasama antar desa dalam satu kecamatan, mengingat lokasi dan potensi wisata di Kadatua banyak tempat dan berbeda-beda. misal Kapoa, Kapoa Barat Waonu dan Mawambunga memiliki pengrajin tenun Buton, Kaofe punya jembatan kayu terapung yang dicat warna-warni, lipu punya wisata religi dan sejarah, kemudian banabungi dan bansel memiliki pantai one mopute dan tebing labulengke.

Jika merujuk pada UU No. 6 Tahun 2014 pasal 83 disebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan merupakan perpaduan antar desa dalam satu kabupaten/kota, maka  dapat diartikan bahwa desa bisa melakukan kerjasama dalam hal pembangunan antar desa. Bila ini dilakukan dalam pengembangan sektor pariwisata di Kadatua, tentu akan berdampat positif bagi masyarakat khususnya peningkatan dan menggerakan perekonomian, kemudian bagi Kec. kadatua sendiri, akan dikenal dan ramai.

Saya berharap para Kepala Desa di Kadatua bisa melakukan hal ini, untuk kemajuan bersama, dan yang pastinya "......so kakesanoooo pulo kadatua................"
Tahun 2019 Buton Selatan akan menggelar Pilkades serentak dibeberapa kecamatan, tak terkecuali di Kec. Kadatua, delapan desa yang akan turut meramaikan pagelaran pesta demokrasi ini dan dijadwalkan berlangsung pada bulan juni mendatang.

Di Desa Kapoa Barat, kemarin sudah menerima pendaftar yang siap mencalonkan diri, tercatat sudah 3 orang. Sembari menunggu hasil dan pengumuman verikasi berkas serta penetapan. Alangkah baiknya kita sebagai warga mulai mengumpulkan informasi terkait ketiga Calon tersebut.

(Ketiga Pendaftar Calon Kepala Desa Kapoa Barat, Sumber Foto: Ardin)

Memilih Calon Kepala Desa tentu harus berdasar pada prefrensi yang jelas dan rasional. Kita bisa melihat dari kualifikasi dan kapasitasnya, misal dari sudut pandang pendidikan, pengalaman, program, dan pergaulan sosialnya.

Kita bisa belajar dari yang lalu-lalu bahwa calon kades kita, kadang kualifikasi pendidikannya bagus tapi kurang pergaulan sosialnya, kadang juga sebaliknya dan bahkan minim pengalaman. Sehingga pada akhirnya berdampak pada perilaku yang curang seperti money politik, dll, sebagai upaya mereka dalam menggaet suara pemilih.


Tapi begitulah realitas kontestasi politik, dibutuhkan peran pengawas yang mampu mencegah & meminimalisir terjadinya perilaku demikian,  dan yang paling penting disini adalah rasionalitas pemilih, sebisa mungkin dipakai, untuk menimbang mana yang dianggap baik. Seperti yang di bilang Magniz Suseno bahwa:
"Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik tetapi untuk mencegah yang buruk berkuasa"


Untuk itu saya ucapkan kepada ketiga Calon Kades Kapoa Barat yang baru daftar "Selamat berkontestasi, tetap dalam koridor hukum, dan selalu menjunjung akal sehat" juga kepada warga Desa Kapoa Barat "Selamat menyambut pesta demokrasi, pilihlah pemimpin sesuai kehendak nurani..."
SALAM DEMOKRASI...!!!
"Bansel, ganti kades atau tidak?"

Begitulah kira-kira inti postingan Kepala Desa Banabungi Selatan (Bansel) di media sosial facebook (FB), mungkin maksudnya mengharap respon netizen untuk mengomentari status tersebut.

Saya yang baru selesai makan siang kebetulan buka HP dan lihat-lihat timeline di FB. muncul status tersebut, buka kolom komentar memang mayoritas netizen menulis "lanjutkan!", saya ikut nimbrung, tapi dengan komentar yang berbeda intinya tulisan saya tuh ngomong gini "sebaiknya bapak istirahat berikan kepada generasi berikutnya apalagi sudah menjabat 12 tahun, bapak beralih saja kejenjang karir yang lebih tinggi atau yang lain".

Eh ternyata tanggapannya lain, kayaknya si Kades ini cukup tersinggung. hehehehe
intinya dia ngomong gini "BICARA GENERASI ITU LIHAT DULU PROFIL DAN KOMPETENSINYA, KEMUDIAN PENGABDIAN BUKAN HANYA 12 TAHUN 100 TAHUN BISA"

Cukup keras memang, saya sih tenang-tenang dan senyum saja, dalam hati "kok ada ya pemimpin kayak gini" hmmmmmmm.....

Saya komentar lagi, cukup panjang, kira-kira intinya gini:
"Ini masukan, lagian sudah cukup lama memimpin apalagi waktu 12 tahun, istirahat saja, dan memang idealnya memang seperti itu, biar ada sirkulasi kepemimpinan, dan tercipta demokrasi yang sehat, kemudian soal pengabdian bisa dimana saja, soal generasi tak usah ragu nanti diuji pada saat pencalonan, biarkan masyarakat menilai, inikan untuk mencerdaskan masyarakat juga.

Saya tunggu komentar berikutnya, ternyata lebih keras dan langsung akun saya diblokir:
(Komentar terakhirnya sebelum ia memblokir saya)

Maka kesimpulan saya bahwa kades ini pikirannya tidak terbuka, atau memang tidak tahan kritik, hanya mendengar sesuai dengan apa yang ia mau, yang berbeda ia tutup telinga. Saya langsung teringat dengan kutipan yang terkenal Soe Hok Gie ketika ia memberikan kritik kepada gurunya yang tidak mau terbuka, dan menganggap jawabannya sendiri yang benar: "Guru yang tak tahan kritik boleh dimasukan dalam keranjang sampah", sama halnya dengan kasus ini sebaiknya "Kades yang tak tahan kritik sebaiknya dimasukan dalam keranjang sampah!!!"
Kemarin kebetulan lagi liat-liat timeline di facebook, ramai perbincangan tentang demo di kantor Gubernur Sultra, ragam postingan dan komentar, saya googling ternyata diberitakan bahwa ada aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Rakyat Wawonii menolak tambang, yang  kemudian dibubarkan paksa oleh aparat dengan gas air mata. (DetikSultra.com)

Saya coba mencari-cari informasi/artikel dan menggali lebih jauh, apa yang melatarbelakangi mereka sampai melakukan aksi penolakan tambang didaerahya. Ternyata ini protes dan kekhwatiran mereka terhadap keberadaan tambang, mengingat luas wilayah wawonii sangat kecil dan rawan terjadi kerusakan alam jika kegiatan pertambangan dipulau tersebut dilaksanakan.

"Kami warga Konkep resah karena jika tambangnya sudah beroperasi, maka kami tidak bisa lagi untuk bertani, nelayan, dan Konkep tidak bisa menjadi daerah parisiwata karena sudah rusak. Ungkap Mando dikutip dari Kompas.com

***

Secara demografis, Pulau Wawonii berada dalam wilayah administratif Konawe Kepulauan, sejak dimekarkan dari Kabupaten Induknya Konawe pada tahun 2013 lalu, luas pulau ini sekitar 867km2. potensi yang dimiliki adala sektor perikanan, pertanian dan pariwisata.

Logikanya jika industri pertambangan masuk di pulau wawonii, tentu sangat mengancam ekosistem dan keruskan lingkungan serta berdampak pada mata pencaharian warga, tapi hal tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah daerah, hingga saat ini tercatat sudah 15 Izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan. (kompas.com)

Peta Tambang yang mengerumuni Pulau Wawonii Foto KPA, di copas kembali melalui mongabay.com

Kemudian jika merujuk pada UU No 1 Tahun 2014 Tentang Perencanaan Wilayah Pesisisr dan Pulau-Pulau Kecil, yang mengatur bahwa larangan penambangan di wilayah kepulauan yang luasnya kurang dari 2000km dan aturan turunannya yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah Sultra No 2 Tahun 2014 tentang RT/RW ProvinsiSultra, dalam salah satu poinnya juga menegaskan bahwa,  Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) tidak diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan. Maka hal tersebut Pemerintah daerah yang telah menerbitkan IUP, telah menyalahi ketentuan peraturan dan perudangan-undangan yang berlaku.

Olehnya itu protes warga akan penolakan tambang dan menuntut pencabutan IUP tersebut, harusnya di dukung dan segera dilaksanakan oleh pemerintah, karena ini menyangkut keberlangsungan hidup mereka.

Setelah kembali membangkitkan semangat untuk menulis, alhamdulilah beberapa hari lalu sudah beberapa uneg-uneg dalam pikiran saya tuangkan dalam bentuk tulisan dan telah saya muat disini,  beberapa tulsan saya diantaranya tentang aktivitas keseharian dan pandangan-pandangan kecil terhadap apa yang saya lihat disekitar, meskipun mungkin masih terhitung receh atau berantakan, tapi namanya belajar harus berproses.

Nah, pada kesempatan kali ini saya coba belajar mereview apa yang saya baca, sesuai dengan pembahasan saya sebelumnya bahwa proses mengikat makna adalah menuliskan apa-apa yang penting dan bisa dipetik ketika membaca sebuah artikel, opini atau buku.

Olehnya itu saya akan mereview Artikel yang ditulis oleh Abdul Mu'ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah) berjudul Politisasi Politik Muslim yang dimuat di Koran Kompas hari ini.

Sangat menarik memang artikel ini, apalagi kondisi Indonesia saat ini masih dalam masa kampanye Pilpres & Pileg, pada uraian pembuka di artikel tersebut, ia awali dengan bahasan "Polarisasi", bahwa disetiap perhelatan politik Negara manapun tak terkecuali di Indonesia selalunya akan ada polarisasi, dan itu sangat lumrah.

Namun Polarisasi politik akar dan tingkatannya berbeda-beda, sebagai contoh pada pemilu legislatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan eksekutif (presiden hingga kepala desa), rendahnya polarisasi dalam pileg dipengaruhi oleh deideologi parpol, konrvergensi sosial, politik dan keagamaan.


Faktor yang sangat berpengaruh dalam polarisasi ini adalah agama, ia menyebut bahwa tingkat keberagamaan kita bangsa Indonesia sangat tinggi, masyarakatnya yang religion-centris, melihat semua hal dari perspektif agama, maka tak heran mudah terbakar atau sensitif, dan ini terjadi disemua agama, tetapi yang dominan kuat, dan terlihat di Indonesia hari ini ditubuh muslim, faktornya karena jumlahnya yang banyak, kemudian tingkat kemajemukan internal yang tinggi, serta kematangan demokrasi yang rendah.

Jika melihat fenomena akhir-akhir ini, polarisasi politik di internal islam sendiri sangat menguat, dibandingkan dengan tiga pilpres sebelumnya. ia menyebut bahwa Umat Islam terpolarisasi dalam kutub keislaman yang sebenarnya sudah klise atau tak lagi relevan. Isu-isu seperti Modernis-Tradisionalis, NU-Muhammadityah, dan ekskulif-pluralis dibangkitkan kembali dengan isu resonansi ekonomi seperti: Pribumi-Asing, Sosialisi-Kapitalis, Alit-Elit, dan Rakyat-Konglomerat.

Keterbelahan dan polarisasi diinternal islam tersebut kemudian dimainkan dan dikapitalisasi oleh para politisi, secara sistematis, serta dalih-dalih agama dijadikan referensi teologis untuk kendaraan politik  dalam meraih kekuasaan dan memenangkan pertarungan politik. 

Dalam artikel tersebut juga, ia menjelaskan bahwa dalam diri umat islam terdapat kelompok Islam kafah, yang berkeyakinan dan berpandangan integratif. Islam adalah agama yang lengkap dan semuprna, mengatur semua bidang kehidupan, dan merupakan satu kesatuan antara agama, kemasyarakatan, dan negara/pemerintahan. Faktor ini cukup kuat tertananam dan setiap saat tumbuh dan bersemi dalam iklim politik yang kurang berpihak pada umat islam.

Tumbuhnya kelompok ini ditandai dengan kelahiran, reinkarnasi, atau transformasi konservatisme politik, agama, dan kebudayaan. Kelompok ini juga juga disebut sebagai ortodks islam berusaha  mengapitalisasi, memainan dan meyakinkan umat di berbagai platform media serta memanfaatkan iklim kebebasan dengan memproduksi, mereproduski informasi, bahwa islam dan muslim dalam ancaman jika lengah dan lemah, muslim bisa kalah dan islam akan punah. ia mengutip tulisan Carool (2018), bahwa sejak reformasi umat islam terlibat dalam hiruk pikuk perebutan wacana antara progresif dan reaksione. pergulatan wacana terjadi di mimbar khotbah, pengajian, penyusunan undang-undang, dan kepemimpinan nasional.

Ditengah kepemimpinan yang lemah serta aparat yang gamang menegakan peraturan, membuat kelompok konservatif ini semakin percaya diri. Faktor ini juga turut memengaruhi kebangkitan aktivisme politik islam. banyak pihak menilai bahwa aksi 411 dan 212 tak sekedar konsolidasi kelompok konservatif tetapi merupakan arus baru gerakan islam sebagai "alternatif" dan "lawan" dua arus utama (NU-Muhammadiyah) yang dianggap rapuh, liberal, dan tunduk kepada pemerintah. Sungguh kelompok ini makin kesini kian mendapat tempat apalagi ditengah kemenangan politik konservatif di beberapa negara, Konservatif kriten (Eropa, AS), Hindu (India), Budha (Myanmar), dan Yahudi (Israel).

Faktor lainnya adalah residu pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, dan rivalitas Politik Jokowi-Prabowo, koalisasi partai yang mengusung Calon Gubernur DKI kembali bertarung diarena yang lebih tinggi, ia mengibaratkan seperti sepak bola derbi elclasico tanding ulang Jokowi-Prabowo. Isu-isu politik keagaamaan direproduksi kembali sevara masif dan kreatif melalui media sosial. Pihak jokowi menengarai pihak prabowo memproduksi konten hoax sebagai sarana kampanye negatif dan kampanye hitam.

Media sosial memang media paling ampuh dan sangat berpengaruh terhadap polarisasi politik akhir-akhir ini, dan itu membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa. ia mengutuip jurnal yang ditulis oleh Erbschole (2019) yang berjudul Extremist Propoganda in Social Media: A Threat To Homeland Security  menjelaskan bahwa ada 10 alasan mengapa medsos menjadi pilihan utama dalam propaganda berbagai ideologi sebagai berikut: Blissfulness, Easy to Understand, Laziness, Repertition, Familiarity, Consistency, Lack of Knowledge, Confusion, Group Expectioan, Peer Pressure. sebagian menganologikan "perang tagar" laksana perang badar. Dalam konteks Pilpres 2019, perang badar dimunculkan dua kali dalam pernyataan Amien Rais dan doa Neno Warisman di acara munajat nasional 212.

Dibagian akhir ia menyampaikan dalam sebuah sub judul, bahwa perlunya kesadaran politik, Pilpres bukan segalanya, pilpres adalah peristiwa politik biasa, dalam perspektif islam menurut pandangan NU-Muhammadiyah politik merupakan masalah muamalah, bukan akidah atau ibadah, hal ini sebagaimana disebutkan dalam muktamar Muhammadiyah di jakarta (2000), muhammadiyah memandang bahwa politik termasuk piplpres merupakan wilayah 'muamalah duniawiyah" yang didalamnnya manusia memiliki kekuasaan untuk mengembangkan sistem dan berpatisipasi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam. yakni prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan akhlak berpolitik, bukan bentuk negara, partai, sistem politik.

Jabatan presiden memang penting, tapi buka segala-galnya. masa jabatan, kinerja, dan kewenannya dibatasi konstitusi dan di awasi oleh DPR, ia tak kebal hukum dan kuasanya tak mutlak. Sejak amandemen UUD 1945, kewenangannya berkurang dan harus berbagi peran dengan legislatif dan yudikatif. sangat berlebihan manakala kepemimpinan seorang presiden dikaitkan dengan eksistensi islam. semua capres dan cawapres yang mengikuti pemilu 2019 bergama islam, bagaimanapun kualitas keislamannya mustahil jika berani membuat kebijakan yang bertentangan dengan islam. selain bertentangan dengan pancasila, kebijakan yang merugikan atau tak sejalan dengan aspirasi muslim sangat berpengaruh terhadap dukungan politik. Siapaun yang terpilih pada pilpres 2019, islam dan muslim akan tetap menjadi faktor politik yang menentukan.

Dia juga mengutip tulisan Jamest Q Wilson (2005;58) bahwa polarisasi politik dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perdebatan penting dan isu-isu publik. namun perselisihan yang terus menerus berpotensi menurunkan kinerja pemerintah dan melupakan cita-cita bersama dalam bernegara. Polarisasi politik berpotensi menimbulkan segresi umat, Cendekiawan Kuntowijowo (2001:325) menyatakan keberatan atas berdirinya partai-partai islam karena bisa mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial, disintegrasi umat, umat menjadi miopis, pemiskinan, runtuhnya prolifreasi dan alineasi generasi muda. peringatan ini, tampaknya terjadi ditengah polarisasi politik umat islam.

Pada akhirnya pilpres adalah ikhtiar demokratis untuk memilih pemimpin terbaik yang mampu memimpin bangsa, karena itu hendaknya harus dilaksanakan dengan keadaban, saling menghormati, mengutamakan persatuan bangsa, diatas kehendak kekuasaan. Dalam islam diajarkan bahwa sesuatu yang baik harus diraih dengan cara-cara baik, terlalu mahal jika karena pilpres membuat umat terpecah-belah. Sudahi dan hindari polarisasi dan ekstremisme politik untuk kebaikan dan kemaslahatan umat dan bangsa.
Mungkin diantara kalian pengunjung blog ini baik yang nyasar karena diarahkan algoritma mbah google untuk iseng cari sesuatu dengan kata kunci "Kebudayaan Sultra", maupun dengan sengaja lagi nyari bahan bacaan tentang budaya sultra, anda tepat sekali dan tidak salah masuk kesini.... hehehehe

Pada kesempatan yang berbahagia ini, kebetulan saya bingung, mau nulis apa, ya secara  tiba-tiba saja terlintas dipikiran untuk berbagai bahan bacaan, maka dari itu saya berbagi, apalagi menyangkut daerah asal. Bacaan tersebut berupa Buku yang telah di konversi menjadi E-Book.

Buku/Ebook ini memang sangat legendaris dan cukup familiar ditelinga kita khususnya orang Sulawesi Tenggara apalagi yang tinggal di Jazirah Kepulauan Buton dan di Daratan Sulawesi bagian Tenggara (Kendari, Kolaka raya dan Konawe Raya) lebih khusus lagi yang beretnis Buton dan Tolaki.

Yang Pertama judul bukunya MEMBARA DI API TUHAN, yang merupakan tulisan dari Alm. LA ODE MALIM, membahas syair "Kabhanti Bula Malino" gubahan Sultan Buton Muh. Idrus Kaimuddin.

Yang Kedua adalah KEBUDAYAAN TOLAKI, tulisan ABDURRAUF TARIMANA, seperti yang saya sudah sebutkan diatas, buku ini sangat populer dikalangan warga daratan sultra khsusuna yang beretnis tolaki, sudah banyak literatur baik itu skripsi, tesis, maupun disertasi yang risetnya mengenai kebudayaan didaratan sultra sering mengutip buku ini, karena ulasannya cukup lengkap, mulai dari sejarah asal usul, adat perkawinan, dan lain-lain....


 
(Sampul Buku Membara di Api Tuhan & Kebudayaan Tolaki)

Oh ya kedua penulis tersebut juga merupakan generasi terbaik yang pernah dimiliki Sulawesi Tenggara, keduanya merupakan Dosen dan pernah menjabat sebagai Rektor di Universitas Halu Oleo Kendari.

Nah Bagi kalian yang ingin miliki dan baca silakan download, klik Judul buku (yang berwarna biru diatas. Semoga bermanfaat..... Salam Budaya!!!
Kala minggu pagi saya terbangun, seperti biasa mulai terdengar bunyi-bunyian dari SD dekat kost, seperti Alarm pagi,,, bergegaslah saya untuk memulai aktivitas, terlebih dahulu saya awali dengan membaca artikel (Esai) di mojok.co yang terbit setiap pukul 7.00, setelah otak diisi nutrisi dengan sedikit bacaan, baru mencari aktivitas lain, ngopi dan sarapan pagi.

Ngomong-ngomong soal bunyi tadi, kadang membuat risih, tapi kadang juga terdengar merdu.
Risih karena nadanya yang monoton, merdu karena kadang-kadang biasa selipkan dengan nada-nada dangdut koplo..... serasa bersamangat seolah pengin berdendang dan bergoyang... hahahahha

Awal-awal ngekost dan tau tempat tinggal saya ini dekat dengan SD dan tau kalau SD tersebut, punya fasilitas Drum Band, saya terdecak kagum. Luar biasa,,,,, sekelas SD sudah punya fasilitas gitu, dan siswanya bisa mengisi dan mengasah minat dengan kegiatan memainkan drum tersebut.. wah keren.....

Dibanding SD saya dulu, boro-boro punya fasilitas, papannya aja masih seadanya, pake kapur tulis, penghapusnya masih menggunakan kain-kain bekas, begitupun dengan aktivitas kami ketika jam istirahat atau misalkan guru tidak ada, paling diisi dengan main bola ataupun kejar-kejaran gak jelas, hehehhee....

Ya... Sangat luat biasa SD di Kota ini,,,, serba difasilitasi, jadi minat siswa bisa terwadahi, kalau misal minatnya ke musik atau band-band, langsung aja praktek, dan kemampuanyapun bisa diasa sejak dini... Semoga ajalah sekolah-sekolah lain di Indonesia, khususnya di Timur nantinya punya fasilitas kayak gini...

Gambar mungkin berisi: tanaman, pohon, luar ruangan dan alam
Siswa SD dekat kost, saat memainkan Drum Band
Setelah kurang lebih setahun tinggal di dekat kampus (jl Kerto) pada bulan agustus 2017 saya bermigrasi berpindah kost ke Pisang Agung III, memulai kehidupan baru, dengan lingkungan baru. 

Pisang agung III adalah nama jalan di Kelurahan Pisang Candi. Kawasan pisang agung ini dekat perumahan elit ,istana dieng dan puncak dieng, disini juga terdapat mall, dan salah satu kampus swasta tertua di Kota Malang yakni UNMER. Kawasan ini memang cukup sejuk karena bertempat di dataran tinggi.

Awal-awal kost disini memang bingung karena harus menyesuaikan, tapi sebagai orang yang terbiasa hidup dirantau, kebingungan untuk menyesuaikan bisa dan cepat diatasi, apalagi teman-teman kost, mayoritas berasal dari Timur (NTT pada umumnya) kultur, dialek bahasa dan budaya hampir mirip dengan daerah asal saya.

Setahun disini banyak kesan, dan pelajaran penting yang bisa dipetik, kesannya adalah kesamaan dan sepenanggungan sebagai mahasiswa dan anak kost, kemudian ragam tipe dan karakter dalam menjalani aktivitas keseharian, mulai dari tidur-tiduran panggi hingga pagi lagi, ada yang main game, ada yang diem-diem bae dikostan jarang bersosialisasi, ada juga yang semangat berapi-api rajin kekampus, dan lain-lain.....  jika bekesempatan duduk bersama obrolan bisa macem-macem ngalor ngidul,hingga obrolan serius, sejarah peradaban, agama, hingga politik luar negeri, hehehehehhehehhe,,,  Tapi itulah cara saya dan mereka memaknai dan mengisi hari-hari dan  perjalanan berkehidupan dirantau.

Mungkin itu dulu tulisan hari ini,,,,,  bingung mau nulis apa lagi... wkwkwkwk
Sore tadi Bapak Joko Widodo berkunjung di Daerah kami (Sultra), setelah lawatannya di provinsi Gorontalo, kunjungan ini merupakan yang kedua kalinya selama menjabat sebagai Presiden.

Dijadwalkan Bapak Presiden akan bermalam, dan esok pagi dilanjutkan dengan jalan santai di pelataran eks MTQ Kendari kemudian pembagian sertifikat, dan berkunjung ke Tempat pelelangan Ikan (TPI).

Antusias warga sultra, terkhusus warga kota lulo Kendari begitu hangat dan luar biasa, jalan-jalan yang dilalui presiden dipenuhi lautan manusia, mulai dari bandara, tempat perbelanjalan, hingga tempat penginapan, semua meneriakan nama... JOKOWI...JOKOWI.......

Besar harapan kami terhadap kunjungan ini, mengingat potensi daerah yang tidak kalah penting dengan daerah lain. kemudian  ragam persoalan, yang harusnya mesti menjadi perhatian serius,  Tenaga kerja Asing di Morosi, yang sampai saat ini menjadi Polemik,  kemudian nasib pembangunan bendungan pelosika di Kabupaten Konawe yang sempat dicoret padahal sebelumnya proyek pembangunan ini masuk dalam Proyek Strategi Nasional (PSN) untuk kiranya diperhatikan lebih serius.

Dan tak kalah pentingnya adalah saya sebagai Warga Kepulauan Buton sudah lama menanti perhatian  terhadap tindak lanjut potensi Aspal Buton dan Sentra Perikanan Terpadu Sampolawa, Buton Selatan untuk dikembangkan, kemudian nasib Pemekaran Daerah Otonomi Baru Provinsi Kepulauan Buton hingga saat ini belum ada kejelasan.

Semoga kunjungan ini tak sia-sia, dan tak sekedar seremonial belaka.

Selamat datang Bapak Presiden.....!!!


Hasil gambar untuk jokowi di kendari
(Foto: Gubernur Sultra (Batik) menjemput Bapak Presiden Joko Widodo saat tiba di Bandara Haluoleo)
Entah setan manalagi yang mengangggu aktivitas untuk mempraktekan "free writing" ini, tiba-tiba saja semangat turun drastis, mood dan ide pun tiba-tiba saja hilang. diumpan dengan membaca buku artikel dan opini-opini dimedia online masih sama. Membaca saja tidak sampai habis satu dua paragraf sudah bosen, maunya langsung ke akhir. alhasil hampa, tidak ada makna yang diikat dalam kegiatan  membaca ini, dan tidak bisa ditumpahkan dalam bentuk tulisan.

Tapi ya mau gimana, harus tetap dipaksa, sebagai seorang anak kuliahan, harus menguasai keterempilan ini (membaca & menulis) jika tidak sangat berat risikonya, apalagi jika nanti sudah berhadaan dengan dunia kerja, yang sarat dengan pena, kertas, papan tik dan monitor. Tentu akan dinilai buruk, dan bahkan dicerca jika tidak menguasai hal tersebut.

***
Saya menulis ini dalam keadaan hampa tanpa ide, tanpa mood, tapi harus saya tulis apapun itu dan bagaimanpun caranya, selain mengisi entri pada blog ini juga membiasakan diri, pokoknya harus dipaksa, minimal satu atau dua paragraf dalam sehari, lumayanlah, paling tidak tangan ini dibiasakan  memencet tombol huruf pada keyboard laptop, hinggga menjadi kalimat-kalimat meski tidak utuh dan berantakan.

Saat saya menulis ini saya teringat dengan kutipan seorang khalifah muslin Ali Bin Thalib ia mengungkapkan "ikatlah ilmu dengan menuliskannya", Kalimat ini yang selalu terbayang dalam keseharian hidup saya akhir-akhir ini, tapi lagi-lagi selalunya sulit untuk saya mempraktekannya, misal ketika  membaca artikel atau tulisan lainnya, jangan disiakan-siakan, jangan membaca sambil lalu tanpa ada makna yang bisa diikat.

Memang ia, ketika kita membaca sebuah buku atau artikel, seperti diungkapkan oleh Yusran darmawan, seperti memasuki rimba raya ilmu pengetahuan, banyak ilmu yang bertebaran disana, sayang kalau tidak diikat.

Olehnya itu, kegiatan ini memang berat, tidak bisa langsung sekali jadi (memiliki kegemaran membaca atau menulis), butuh waktu, bertahap, step by step.

Untuk hari ini itu dulu mungkin uneg-uneg saya, bingung mau nambah kalimat apalagi, kosa kata dalam otak sudah nihil, heheheh..... lagian waktu juga sudah menunjukkan pukul 5 sore, saatnya menyergarkan tubuh dengan mandi..
Kabar tersandungnya para pejabat daerah di Indonesia terhadap kasus Narkoba tentu bukan hal baru lagi, terkhusus di Kabupaten Buton Selatan (Busel) semenjak pemerintahan resmi berjalan pasca dimekarkan pada tahun 2014 lalu tercatat sudah 3 kasus, yang melibatkan oknum Kepala Sekolah di Salah satu SMPN di Kadatua. Kabid di BKKBN Busel, dan yang lebih mencengakan lagi adalah kabar tertankapnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Busel. La Usman pada bulan November 2018 lalu di salah satu Hotel Jakarta.

Hal ini tentu membuat kaget dan geram seluruh masyarakat, kok bisa-bisanya daerah yang baru seumur jagung ini , birokrasinya dan pejabatnya dihuni oleh berandalan nan BNGST,
SUNGGUH KEJAM kau Roma!!!

Beragam cuitan dimedia sosial disampaikan, demontrasi juga kemudian dilakukan oleh sekelompok mahasiswa busel di Mapolda Sulawesi Tenggara (Sultra), menuntuk agar dilakukan tindakan tegas, aksi demontrasi dan ragam cuitan ini, tentu merupakan bentuk keprihatinan warga terhadap masa depan daerahnya.

Perlu diingat bahwa pemberantasan Narkoba, tidak akan akan selesai jika tidak ada ketegasan dari Pemerintah Busel khususnya bupati, melalui kebijakan dan langkah-langkah solutif lainnya. olehnya itu, harapan saya kepada pemkab Busel segera mengambil langkah secepatnya. agar daerah yang kita cintai ini benar-benar bersih.