Alhamdulilah akhirnya bisa kembali Ke Kota Kendari, sudah lama saya rindukan, Kota yang saya anggap rumah kedua, kota yang membikin jiwa ini menemukan titik balik, dimana saya ditempa menjadi pribadi yang "peka".  Hehehhe.... Tapi saya tidak ingin bicara soal "peka". Nanti itu saya tuliskan dilain waktu. :)

***

Setelah beberapa hari tinggal lagi di Kota ini dan aktivitas masih seperti semula,menikmati suasana liur, eh,,,tadi pagi  buka medsos tak sengaja lihat postingan teman, bahwa akan ada acara Pagelaran Budaya Buton di Tugu Religi malam ini dan  kebetulan juga amalam minggu tak berpikir panjang sayapun meluncur.

Tiba dilokasi ternyata sudah banyak yang hadir kursi-kursi yang disediakan juga full,, selang beberapa menit Gubernur Sultra juga datang, dan acaranya dimulai.

Banyak kesenian yang ditampilkan, mulai dari tari, silat, dll,,,,, dan yang membikin saya takjub adalah penampilan drama wandiu-ndiu yang dibawakan mahasiswa asal wakatobi, lucu bercampur sedih, penonton yang menyaksikan tegang, ada yang matanya sampai berkaca-kaca dan sesekali bersorak kegirangan.






Setelah terlepas dari ruang akademik formal, dan memasuki rimba publik  yang sarat akan santuy, jiwa yang sebelumnya menggebuh-gebu ingin terus belajar kian memudar. Ruang publik itu begitu wenak.

Saya merasakan itu, apalagi kelasnya baru ingin memulai mengembangkan diri atau memoles potensi, seperti yang saya ceritakan dalam postingan diblog ini sebelunya bahwa tahun ini saya baru memulai belajar nulis.

***

Menjadikan menulis sebagai kebiasaan perlu konsistensi, tapi alangkah rumitnya ketika masuk ruang nyata yang tidak ada lagi yang bisa menyemangati. Diluar ternyata  banyak sekali godaaan atau hal yang membikin kita malas, kerjaan nongkrong atau membincang hal-hal yang gak jelas dan tidak penting, pengennya santuy truss. dan tidak mau membebani otak dengan berpikir atau berlatih lagi.

Tapi kadang dirasuki juga pikiran, sayang sudah dimulai kalau gak dilanjutin, sepertinya inilah potensi bung, kerjakan!

Maka untuk mengembalikan keinginan untuk berlatih, saya memilih merantau kembali, menjauh dulu dari lingkungan yang membikin tekad menjadi ambyar dan tumpul itu. 

Jika dulu berkunjung ke Kapoa (barat),  maka sebelum masuk pemukiman padat warga akan disambut dua batu besar pas pendakian dipinggir jalan, oleh warga kapoa batu ini disebut batupoowu. Entah artinya apa. 


Konon cerita ditahun 70-90an batu ini masih menyatu, jalan masih tertutup belum ada akses, warga sekitar jika hendak ke kebun (masingkaru) atau kedesa sebelah masih menggunakan perahu atau berjalan kaki melewati pesisir kalau air laut lg surut. Nanti diera tahun 2000an baru di bongkar menggunakan alat Bom ikan, meskipun kala itu akses sudah terbuka, namun masih ala kadarnya, jika dilalui dua mobil yg kebetulan berpapasan,, yang satu biasanya mengalah, melipir kepinggir. Rawan kecelakaan, suasananya juga gelap. SERAM! hiii.. 

Kini batuupowu yang gelap & rawan itu berubah... batu besarnya sudah dihajar excavator,, jalan sudah lebar, suasananya menjadi terang benderang. Rumah-rumah warga &  Pesisir desa kapoa barat pun terlihat jelas.  keren.. 
Halo Alumni Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo dimanapun berada, Semoga kalian semua dalam keadaan sehat walafiat dan tentunya tetap kompak.

Saya tau kenapa kalian nyasar masuk diblog ini, sudah pasti kalian kebingungan sedang mencari sertifikat Akreditasi Jurusan untuk keperluan mengikuti seleksi CPNS. Iya kan? Udahlah ngaku aja. Hehehe...

Dipostingan kali ini saya ingin berbagi kepada kalian. Untuk memudahkan dalam pengurusan syarat administrasi.

Berikut foto akreditasi jurusan yang kalian cari, silahkan didownload. Kalau sudah download jangan lupa komen dibawah ya.. hehehe...

(Akreditasi tahun 2013 - 2018)

(Akreditasi tahun 2008 - 2013)

(Akreditasi 2018 - 2022)





Perasaan ini yang biasa menghantui kebanyakan orang apalagi objek yang ia kritik berhubungan atau sangat dekat. Kedekatan yang saya maksud disini adalah jika objek yang kita dikritik itu adalah keluarga yang notebene mempunyai jabatan penting misal pejabat publik, dan biasa berharap pekerjaan dari dia.

Takut tidak diberi pekerjaan. Takut akan berdampak pada keretakan hubungan keluarga, dll.

Jika demikian berarti kita sedang mengkultuskan dan menghamba padanya seolah-olah dia adalah sang Pemilik masa depan.

Padahal kan kita individu yang sama, sama-sama manusia diciptakan punya pikiran dan fisik untuk bisa berbuat atau menciptakan pekerjaan, hanya kebetulan aja dia jadi pejabat. Kita hanya warga biasa.

Tapi begitulah manusia, ada yang jadi penjilat, yang biasa meletakan tangan diselangkangannya jika bertemu pejabat dan tunduk serta yang keluar dari mulutnya hanya kalimat SIAP...SIAP.. ADA PERINTAH. Tapi ada juga yang rasional yang tahu menempatkan posisinya dimana ketika ia sebagai keluarga pejabat, silaturahmi tidak membahas urusan pekerjaan & warga negara memberi kritik jika ia salah.

Kamu tipe yang mana??

Sejak kemarin ucapan-ucapan selamat dari warganet busel, ramai dilinimasa FB. Ucapan itu ditujukkan kepada para anggota DPRD Busel yang hari ini disumpah untuk menjalankan tugas.

Tentu momentum ini menjadi titik awal dan penyegeraan kembali, bahwasannya diantara mereka-mereka yang dilantik itu sebagian besar merupakan wajah baru.

Wajah baru itulah yang kemudian diterjemahkan oleh sebagian warganet dengan penuh rasa optimisme dan harapan bahwa wajah baru akan berbanding lurus dengan gagasan baru dan tentunya lebih lantang bersuara.

Tapi ada juga sebagian yang menyampaikan cuitan yang sedikit bernada kekesalan, tak lain karena dua diantara anggota parlemen adalah kerabat dekat sang Bupati.

Saya tidak mau berspekulasi yang bukan-bukan mengenai hal yang dikesalkan itu, tapi tentu kita juga musti was-was mengingat banyak kasus KKN yang berhubungan dekat dinasti politik.

Walaupun demikian adanya (dinasti politik busel) tapi itulah realitas politik kita hari ini. Kita sudah memilih mereka Mau tidak mau harus diterima dan didukung.

Sembari husnuzon kita tidak boleh lengah, dalam artian tidak boleh abai, kita terus mengawasi, jangan sampai kasus KKN yang melibatkan dinasti didaerah-daerah lain. terjadi didaerah kita, Buton Selatan.

Halo.... Salam perjuangan!
Setelah kalian mengklik blog ini semoga dalam keadaan waras dan tentunya dengan nalar yang tidak tumpul

Sebelumnya maaf, ijinkanlah saya pada kesempatan ini menuliskan sesuatu kepada kalian yang dulu turun kejalan, yang tak lelah memperjuangkan Buton Selatan (Busel) menjadi sebuah daerah otonom.

Tentu kita tahu cita-cita bersama kala itu bahwa perjuangan untuk menjadi daerah ini otonom, selain untuk memenuhi syarat administrasi Provinsi Kepulauan Buton yang dimpikan oleh seluruh masyarakat di ex kesultanan Buton, juga untuk menjadikan warga Busel dari batauga hingga unjung batu atas menjadi mandiri dan sejahtera.

Kini daerah ini sudah berusia 5 tahun, kalau diibaratkan manusia usia ini masih sangat belia, masih butuh asupan nutrizs, masih butuh bimbimbingan dari orang tuanya, dalam konteks busel asupan nutrisi dan bimbingan yang saya maksud adalah berupa ide-ide dan gagasan bernas daripada pengelolanya dalam hal ini pemimpinm birokrasi, dan kita warga busel.

Tapi tidaklah kau tau, dalam usia yang belia itu, busel masih berjalan tertati-tati, ia seperti dicampakkan dianggap bukan anak kandung perjuangan, Kenapa? sudah 5 tahun ia lahir, sudah 5 pula ia berganti pemimpin. Salah satunya bupati definitif tersandung kasus korupsi.

Saat ini Busel dipimpin wakilnya, yakni putra asli busel sendiri. tapi sadarkah ditengah kepimpinannya ia seolah imenjadikan daerah ini seperti kerajaan dinasti. Kalian bisa lihat sendiri bagaimana istri dan adiknya ditempatkan di DPRD, yang notabene lembaga berfungsi sebagai pengontrol dirinya agar ia berjalan tetap direl yang benar. Lalu kalau lembaga dewan itu diisi oleh kerabatnya bukankah itu sangat rawan. Tak usah jauh-jauh kita bisa lihat sendiri bagaimana diibukota sultra, Kendari, ditangkapnya anak dan bapak karena tersandung korupsi, hampir sama kasusnya mereka mengatur daerah seperti urusan dalam rumah tangga pribadinya, bapak bilang itu, anak siap menjalankan perintah.

Tentu kita tidak mau hal itu terjadi, tapi sudahlah nasi sudah menjadi bubur.

Saya amati beberapa diantara kalian yang dulu berjuang untuk memekarkan daerah ini, sekarang berada dilingkaran itu, ada yang jadi pengawal dan ajudan, ada yang ngurus proyek, serta ada yang jadi staff pribadi. Luar biasa, kalian sudah menikmati sebagian hasil yang sudah kalian perjuangkan.

Tetapi kadang kalian lupa atau karena sudah keenakan menikmati fasilitas. Ketika ada sebagian lainnya yang memilih tetap berada diluar lingkaran untuk mengawal dengan memberikan kritik, selalunya kalian anggap itu angin lalu dan bahkan nyinyiran belaka, seolah kalian melindungi sang bupati itu agar bebas, dan kalian bisa tenang.

Sungguh kalin telah menghianati cita-cita perjuangan.
Saya harap ketika kalian membaca tulisan ini, kembali merenung, dan mengingat kembali apa yang sudah diperjuangkan dahulu.

Era teknologi digital ditandai dengan era dimana semua-semua mudah dan canggih, apa-apa dalam semua lini kehidupan ada dalam genggaman (Smart Phone), tinggal klik. Karena era ini ada dizaman 2000an maka anak yang lahir dalam kurun  waktu ini benar-benar menikmatinya penuh, olehnya mereka disebut milenial.

Namun ada sebagian kalangan yang menggap bahwa milenial yang juga  anak kandung teknologi difital ini sebagai generasi merunduk dalam artian hanya peduli pada gadgetnnya, bermain game dan medsos, apatis pada hal-hal diluarnya, semisal urusan negara.

Tapi ketika kejadian yang menghebohkan bangsa semingu terakhir ini, membuka mata semua, bahwa milenial  tidak apatis mereka peduli pada nasib bangsanya. kita bisa lihat bagaimana mereka turun kejalan memadati pusat-pusat kota, alun-alun dan ke gedung DPR didaerah masing-masing dengan poster unyu, lucu dan jenaka, mereka menuntut agar penyelenggara negara tidak sewenang-sewenang mengebiri demokrasi, dengan mengeluarkan kebijakan yang hanya berpihak pada segelisntir elit. KPK sebagai alat negara untuk memberantas rasuah diemahkan, kemudian urusan privat rakyat diurusnegara  padahal rakyat juga butuh keleluasaan untuk berekspresi.

Itulah milenial jangan dianngap sepele, pemerintah jangan terlena dan bersikap keras, jangan mentang-mentang sudah tidak ada partai opisisi, lalu seenak jidat mau buat aturan tanpa melibatkan rakyat. Ingat didada mileial juga ada bara yang sewaktu-waktu bisa menyala,menjadi kobaran api untuk melawan dan tentu dengan cara mereka sendiri yang seusai dengan zamannyanya.

Olehnya itu sebelum api itu membesar, wahai pemerintah melunaklah, buka pikiran dan hatimu, batalkan semua aturan itu, ajak mereka dialog...!!!
Tiga hari, senin hingga Rabu kemarin, ribuan massa di Kota-Kota Besar khussunya dipulau Jawa tumbah ruah dijalanan, dialun-alun dan pusat kota hingga ke halaman DPR masing-masing utnuk menyuarakan berbagai macam tuntuntan perihal kebijakan yang dinilai tidak memihak diantaranya adalah tentang RUU KUHP , UU KPK, dll, untuk dibatalkan.
Meskipun sebagian tuntutan itu direspon oleh Presiden dengan menunda, tapi dibeberapa tuntuntan lainnya misal dikeluarkan Perpu untuk menganulir UU KPK, disini presiden masih bersikeras untuk tidak mau mengeluarkan kebijakannya.

Hingga kamis kemarin gelombang terus membesar, ini bukan lagi di Kota-Kota Besar, tapi dibeberapa daerah lainnya, salah satunya di Kota Kendari Provonsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Mahasiswa dari berbagai kampus disultra ini melalukan aksi longmarch menuju Kantor DPRD Sultra, untuk menyuraikan aspirasi mereka, sesampainya di kantor Dewan ternyata Zonk, tidak ada pihak legislatif yang mau menemui mereka, massa memaksa masuk, bentrokan pun tak terhirdarkan antara pihak keamanan dan mahasiswa, saling lempar, hingga terjadi pembakaran kantor dewan dan pos polisi ditaman Kota yang tidak jauh dari kantor DPRD.

Beberapa jam kemudian berita duka datang di Grup-grup WA saya, muncul chat dari beberapa teman  meninformasikan bahwa salah satu diantara massa bernama Randi mahasiswa FPIK Universitas Halu Oleo (UHO) terkena tembakan pas didada kananya dan dinyatakan meninggal, tak hanya itu esok harinya jumat pagi tadi muncul lagi berita bahwa salah satu mahasiswa yang mengikuti aksi kamis kemarin, Yusuf Kardawi juga dinyatakan meninggal yang sebelumnya sempat dilarikan kerumah sakit.


Hingga kini memang belum terungkap siapa pelakuknya, tapi berdasar pada pengakukan dokter yang mengatopsi bahwa randi terkena peluruh tajam, kemudian yusuf kepalanya retak diduga dipukul oleh aparat. Sungguh kejadian yang begitu memilukkan, ditengah udara reformasi yang bebas untuk menyampaikan pendapat dan eskpresi serta menjujung tinggi HAM, tapi tindakan repsetif masih terjadi.

Presidel Jokowi yang saya banggakan yang berasal dari rahim yang sama dengan saya yakni warga sipil, dalam artian ia bukan dari pensiunan militer seharusnya bisa berpihak, mencegah konflik, mengedapankan dialog. Saya yakin jika itu dilakukan tentu konflik bisa diminimalisir.

Tapi sudahlah itu terjadi, nasi menjadi bubur, tanpa mengurangi rasa kepercayaan padamu wahai pemerintah dan pihak wakilku diparlemen, saya harap tuntutan mereka segera dipenuhi. dan usut tuntas tindakan represif aparat. 

Cukup sudah Randi dan Yusuf yang menjadi korban. Kita haturkan Doa pada Tuhan YME, sebagai wujud pengormatan bahwa mereka adalah PAHLAWAN DEMOKRASI. Semoga keduanya ditempatkan ditempat yang istimewah disisiNYA, Amin......


"Siapa cepat dia dapat."

Entah ini ungkapan siapa. Tapi dari pengalaman saya berproses dengan dunia tulis menulis ini, baru saya sadar ternyata ungkapan itu ada hubungannya.

Saya sering tersendat ketika mengalirkan isi kepala dalam bentuk tulisan, kenapa? Karena saya memang belum terbiasa mengetik cepat, menekan tombol huruf masih lambat akhirnya isi kepala dan jemari tidak berkolerasi, kalau diibaratkan running teks, ide sudah berlari duluan, tangan masih mencari huruf. Hilanglah sudah ide-ide brilian dalam kepala.

Saya teringat dengan anjuran pak hernowo dalam bukunya yang berjudul free writing, ia mengatakan bahwa untuk penulis pemula itu harusnya memulai dengan latihan menggerakan jemari menekan tombol keyborad lalu menuliskan kata atau kalimat apa saja yang terlintas dipikiran saat itu,  dengan tidak mengedit atau melihat kembali tulisan yang sudah ditulis.

Anjuran ini sebelumnya sudah saya praktekkan selama beberapa minggu, tapi saya belum memahami, apa maksudnya. Karena ketidakpahaman saya pada anjuran itu saya abaikan, saya coba menulis tanpa latihan, menulis seolah-olah seperti penulis profesional, eh benar saja memang tersendat, tulis-edit tulis edit, sampai tidak jadi menulis. Adapun jadi tulisan itupun, seadanya tidak berbentuk. dan tidak puas.

Maka dari pengalaman beberapa bulan ngeblog ini saya baru ngeh , Oh ernyata menulis itu proses berkejaran dengan ide. Tugas saya menangkap ide itu secepat mungkin dan ikat dilayar Laptop/HP menjadii kata dan kalimat.
Dua hari terakhir ini berbagai elemen warga sipil LSM dan mahasiswa dari berbagai kampus diseluruh indonesia turun ke jalan memadati alun-alun, pusat kota, dan halaman DPR maupun DPRD  didaerah masing-masing menuntut kebijakan pemerintah perihal pengesahan dan pembatalan beberapa Rancangan dan Revisi Undang-Undang.

Meskipun saya berada dikost dan tidak turut bergabung, hanya menyaksikan didepan layar HP  dengan menonton live streaming, tapi melihat aksi itu seperti melihat harapan dan optimisme bahwa ternyata masih banyak anak-anak muda yang peduli dengan nasib bangsa ini, yang  keukeuh tidak mau cita-cita reformasi dikebiri oleh oligarki.


Dilain hal saya senyum-senyum sendiri, bagaimana tidak kalimat dalam poster-poster yang dibawa oleh mahasiswa, unik dan lucu-lucu, mungkin karena situasi dan zaman yang berbeda. Banyak diantara mereka adalah Gen Y dan Z atau bahasa kerennya milenial, hidup diera digital dan meme, jika dulu demontran menarik perhatian dengan kalimat-kalimat poster yang sedikit garang seperti LAWAN, TANGKAP!  Sekarang unik seperti meme-meme di medsos yang lucu dan menarik perhatian, tak heran poster-poster itu menjadi perbincangan seantero negeri, banyak warganet yang membagikannya disertai hastag dukungan dimedsos masing-masing, tadi saya cek ditwitter Tagar #HidupMahasiswa trending nomor satu, hinggal pukul 4:38 sudah 1.53 juta tweet.

Luar biasa.... saluuuuttttt.... Keren.... Hidup Mahasiswa!!! Panjang umur perjuangan......



Semenjak perkuliahan tuntas dan segala macam administrasi untuk syarat kepengurusan sselesai, kegiatan saya hanya makan tidur dan sesekali membaca buku maupun artikel untuk mengisi waktu sambil menunggu jadwa wisuda oktober mendatang.

Memang belum semua ringkasan atau hasil bacaan, saya tuangkan dalam tulisan padahal banyak sekali pengetahuan dan informasi baru yang saya dapat dari hasil bacaan, tapi seperti biasa kadang saya bingung nulisnya mulai dari mana. Ya maklum baru belajar nulis Hehehhe. Tapi perlahan saya akan coba terus hingga menjadi kebiasaan, menuliskan hasil bacaan ataupun pengamatan pada kehidupan sekitar.

Di Postingan kali saya coba menuliskan hasil bacaan yang saya peroleh dari artikel kompas berjudul “SARTAM MEMILIH BERDAMAI DENGAN YAKI”. Artikel  ini merupakan hasil tulisan tim ekspedisi Wallacea tahun 2019. Dan perjalanan mereka ini akan dipublikasi di Koran Kompas setiap hari senin.

Sudah beberapa kali dipublikasi. Awalnya saya hanya membaca sekilas saja, tidak terlalu tertarik tapi edisi senin kemarin membuat ingin membacanya, karena mungkin ceritanya soal perjalanan mereka di Pulau Sulawesi yang juga kampung halaman saya. Pertama kali membaca judulnya terlintas dipikiran tentang heman endemic di Sulawesi Anoa, Monyet dan Babi Hutan.

Dan benar ceritanya soal Petani di Gorontalo dan Yaki (Monyet:sebutan orang gorontalo/sulut).

(Yaki, Hewan Endemik Sulawesi)

Dikisahkan ada seorang petani yang bernama SARTAM di Desa Puncak Jaya, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, ia seorang transmigran asal jawa tengah, yang memiliki kebun bekas hutan seluas 20 hektare, banyak ditanami tanaman Kakao dan sayur-sayuran. Kebun tersebut ternyata menjadi santapan para hewan Yaki dan Babi Hutan, bagi sartam yaki adalah hama dan musuh yang mesti disingkirkan, berbagai macam cara sudah dilakukan dari memasang perangkap, hingga ia berencana membunuh hama-hama itu, tapi ternyata tidak berhasil, tetap saja hama itu selalu datang untuk memakan tanamanya.

Hingga suatu hari ia merenung dan mengingat cerita awal dibukanya kebun ini, 16 tahun silam sebelum kedatangan transmigran. Kebun itu dulunya adalah hutan, rumah bagi yaki dan hewan-hewan lainnya, disana mereka mencari makan dan bermain. Maka tak heran usaha apapun yang dilakukan Sartam tetap saja kawanan hewan akan terus datang karena rumah mereka hilang dan dirampas.

Dari situlah kesadarannya muncul bahwa percuma ia usir mending berdamai dengan mereka, membiarkan saja kebunnya disantap oleh Yaki, kebunnya luas dan tanamannya banyak, toh tidak mungkin Yaki menyantap semuanya, dan membuat dirinya rugi atau bangkrut lagian Kakao di Desa Puncak Jaya juga sangat berkualitas kalah jauh dibanding daerah lainnya, harganyapun sedikit mahal. dan benar ia menjadi petani sukses, bahkan mendapat ganjaran penhargaan dari pemerintah dan bahkan internasional.

Dari Kisah sartam yang memilih berdamai dengan yaki dengan menyisikan sebagian kebunnya kepada satwa merupakan sikap sangat bijak yang mesti diteladani banyak orang, apalagi ditengah maraknya eksploitasi alam besar-besaran dengan membuka hutan dan merampas hak mahluk hidup lannya.

Bukan kah kita khalifah dimuka bumi yang diberi akal untuk menjaga dan memelihara semesta?

Sudah dini hari, tapi mata ini masih terus melek tak mau terpejam. Menyala seperti ingin berbuat sesuatu. Kebetulan tadi menoleh kalender yang terpampang pas depan kasur, langsung terlibnas ide menulis soal September.
***
Ya september....
Bagi warga Indonesia yang hidup diera 60an ataupun mereka yang melek sejarah pasti paham. Ada apa dengan Bulan september.

ADA SEJARAH KELAM!!!!

Ditahun 65 bulan september, bulan yang sungguh memilukan, bagaimana tidak, terjadi pembunuhan para 6 jendral dan 1 perwira ABRI yang kemudian dibalas dengan pembataian/genosida terhadap warga yang dituduh sebagai anggota PKI dibeberapa daerah.

Bukan saya tidak mau membahas pembataian yang terjadi di Madiun, Solo, Bali, di Rote atau didaerah-daerah lainnya .

Tapi saya ingin warga di kampung saya yang kebetulan membaca blog ini juga tidak boleh menolak ingat, tapi harus melawan lupa. Bahwa pembataian itu pernah juga terjadi di BUTON Sulawesi Tenggara.

Ha?? Di BUTON? Yaps betul di BUTON - Sulawesi Tenggara.

Terjadi pada tahun 1965, bermula dari kabar singgahnya kapal KRI DOMPU di selatan Buton tepatnya di Teluk Sampolawa dalam pelayaran dari Tanjung Priok menuju Maluku. kemudian beredar kabar HOAX bahwa kapal tersebut memuat senjata api buatan china untuk dipasok kepada para simpatisan/anggota PKI di Buton.

Kabar tersebut lalu kemudian diperiksa kebenarannya oleh Pemkab Buton yang kala itu dipimpin oleh Bupati Muh. Kasim yang berasal dari Sipil (Non Militer), bersama TIM yang terlibat diantaranya adalah unsur ABRI dan POLRI, dan ternyata benar bohong, bahwa kabar tersebut hoax alias tidak tebukti.
Isu pemasokan senjata ternyata lenyap sebentar, selang 4 tahun muncul lagi tepatnya ditahun 1969 dihembuskan oleh pihak militer, entah apa maksudnya tapi konon bahwa isu tersebut sengaja dihembuskan untuk merebut kepemipinan di Buton yang kala iti dipimpin oleh Sipil (Muh. Kasim) untuk kebutuhan pengamanan dan kontrol terhadap kepemimpinan sipil.

Alhasil berhasil direbut, Lalu kemudian ,muncul tigma BUTON BASIS PKI! Begitu kira-kira stempel yang diberikan kepada orang Buton kala itu. 

Banyak yang ditangkap  diseret, dimasukan kepenjara tanpa proses peradilan, dalam penjara mereka dihajar. Salah satu korbannya adalah Bupati Buton Muh. Kasim sendiri yang meninggal mengenaskan terlilit tali. Ada yang bilang ia bunuh diri dan ada yang bilang ia dibunuh oleh petugas.

Begitulah kelamnya September 69 dinegriku Buton.
Pagi tadi publik Buton Selatan dihebohkan oleh salah satu postingan netizen di lini masa Facebook, dalam postingannya itu ia menyatakan bahwa Mega Proyek Rencana Pembangunan Sentra Perikanan Terpadu (SKPT) di Kabupaten Buton Selatan (Busel) dihapus/dibatalkan.

Tidak hanya omdo (omong doang),  postingan tersebut juga dilampirkan dengan screenshot Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 13 Tahun 2019 Tentang perubahan lokasi SKPT yang sebelumnya 20 lokasi menjadi 13.

***

SKPT merupakan progran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang bertujuan untuk menggaraikan ekonomi masyarakat pesisisr di wilayah Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) dengan mengintegrasikan rantai nilai bisnis perikanan dalam satu lokasi, menyediakan seluruh sarana dan prasarana bisnis perikanan seperti pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan cold stroge, tempat perbaikan kapal, penyediaan BBM, karantina untuk ekspor serta tempat penginapan bagi nelayan.


Pada tahun 2016 melalui Kepmen KP 51/2016 ditetapkan 20 lokasi SKPT diantaranya Simelue dan Kota Sabang (Aceh), Mentawai (Sumbar), Pulau Enggano (Bengkulu), Natuna (Riau), Sebatik (Kaltara), Talaud dan Tahuna (Sulut), Busel (Sultra), Pulau Rote dan Sumba Timur (NTT), Tual, Moa, dan Saumlaki (Maluku) serta Biak, Sarmi, Timika dan Merauke di Papua.

Dari ke 20 wilayah diatas yang ditargetkan untuk pembangunan SKPT hanya Kabuapten Busel yang non PPKT padahall dalam Permen KP 48/2015 dijelaskan ada 6 poin kriteria pengusulan dan penetapan lokasi SKPT. 2 poin  diantaranya adalah harus merupakan wilayah PPKT dan telah tersedia sarana dan prasarana dibidang kelautan dan perikanan.

Dari kedua poin tersebut diatas, Busel tidak masuk kriteria, kenapa? karena bukan wilayan PPKT, dan sarana prasaranya masih sangat terbata belum adanya TPI dan PPI.

Lalu kenapa bisa masuk dalam target pembangunan SKPT?
inilah pertanyyanya yang mesti dijawab oleh pihak pemkab Busel.

Tapi menurut asumsi saya ini karena lemahnya pengawasan, harusnya pihak KKP meninjau langsung lokasi dan kesiapan daerah, dan juga tidak menabrak aturan tentang PPKT, tapi entahlah mungkin faktor lobi-lobi. Terlepas dari itu, saya salut sama pemkab Busel, meski banyak kekurangan tapi bisa meyakinkan pemerintah pusat. hehehe....

Tak berhenti disitu, pemkab Busel luar biasa usahanya untuk meyakinkan pihak KKP, dalam pertemuan tanggal 18 tahun 2018 lalu di Kantor KKP, Plt. Bupati Busel menyampaikan bahwa ia telah serius, ia sudah menerbitkan keputusan terkait penempatan lokasi SKPT dan rencana menyiapkan APBD ditahun 2019 sebesar 8 Milyar. (Sultrakini.com).

Setelah membaca berita itu saya merasa agak ganjil  kok bisa Kepmennya terbit tahun 2015 tapi keputusan akan penempatan lokasiya diterbitkan 2 tahun kemudian. Hmmm.... lagi-lagi aneh ferguso...... Tapi kita harus apreasi.  usaha yang warrrrrrbiyaaaasaaaaa....

Dan sampai tahun 2019 ini rencana mega proyek itu itu tak kunjung terealisasi, hingga terbit Kepmen KP yang baru bernomor 13/2019 tertanggal 27 Maret 2019, dan membuat heboh publik Busel pagi tadi bahwa rencana pembangunan SKPT di Busel itu zonk, alias dihapus.

Hmmm... kasian ya.... tapi tak boleh putus asa, tetap rawat dan pelihara mimpi dan rencana ada banyak jalan menuju roma. 

Kita tunggu konfirmasi dari pihak KKP dan Pemkab Busel besok, informasi apa yang disampaikan semoga bisa meneduhkan suasana dan tetap membuat seluruh warga busel optimis.
Sebenarnya isu ini sudah basi, sudah dibahas dibanyak media bebera tahum belakangan ini. Tapi karena tadi ada yang posting lagi soal ini. Maka sayapun kepikiran ingin menuliskannya.

Ya lumayanlah itung-itung buat nambah arsip tulisan blog. Hehehe.... Kan sayang kalau dibiarkan kosong terus. Mumpung masing semangat nulis. Heheheh...

***
Kita mulai dengan pertanyaan yang juga mwnjadi judul blog "Radikalisme di UHO" memang ada?
Kalau kita berangkat dari oemahaman banyak orang twrmasuk pemerintah bahwa radikalisme itu adalah paham yangbertenyangan dengan ideologi negara dan itu adalah HTI, menurut saya ada benarnya.

HTI sangat besar di UHO, mereka menguasai semua wacana dan diskursus keagamaan. Hampir setiap hari ada-ada saja keguatan mereka, saya sensiri waktu jama kuliah heran, kok bisa spanduk-spanduk kegiatan mahasiswa semua dari organisasi keagamaan instra kampus dan anggitanya itu masih berafiliasi dengan HTI.

Mereka menguasai mushola-mushola fakultas dan Masjid Besar kampus. Saya ingat setiap mau sholat jumat dimasjid kampus pasti ada selebaran kertas yang kurang kebih 4 halaman timbal-balik berupa buletin yang disimpan diatas kotak amal ataupun ditembok masjid, buletin tersebut gratis buat para jamaah yang ingin mengambil dan membacanya.

(Buletin dakwah HTI)

Dan Saya selalu membaca buletin itu, isinya menarik membahas berbagai macam persoalan bangsa, kaya data dan dalil. Saya sempat berpikir waktu itu, luat biasa organisasi ini mwnhhidupkan literasi ditengah susahnya akses bacaan menarik, dan malasnya mahasiswa membaca buku-buku kuliah.

Tapi ada sedikit juga yang membikin saya agak ganjil dengan tulisan dalam buletin itu, meskipun kaya data dan dalil, pasti diujungnya tuh solusinya adalah KHILAFAH, Tegakkan syariat islam!!!

Dalam pikiran saya waktu itu, emang bisa? Apakah tidak bertentangan dengan sistem negara kita?
Pikiran itu hanya terlintas begitu saja. Kayak angin lalu.

Nanti setelah heboh demo besar soal penistaan agama dijakarta tahun 2017 lalu dan kemudian dikeluarkannya kebijakan pembuaran organisasu HTI oleh pemerintah, diskusi soal KHILAFAH mulai mencuat dipublik, saya langsung teringat HTI di kampus UHO dengan buletinya itu.

Diskusi soal HTI di Televisi mulai marak, semua tokoh dan akademisi angkat bicara, mereka mengatakan bahwa organisasi itu bertentangan dengan ideologi bangsa, HTI mengusung ide akan mendirikan negara transnasional, dan paham radikalisme. Hal seoerti yang diungkapan oleh Kepala BNPT bahwa ada bibit radikalisme pada tubuh simpatisan HTI dalam memperjuangkan ideologinya. Dia lantas memaparkan data yang menunjukkan bahwa ada pelaku aksi teror di Indonesia yang telah tertangkap dan diputuskan bersalah dalam persidangan berasal dari HTI atau setidaknya pernah bergabung dalam organisasi tersebut.

Lalu pertanyaanya, kenapa mereka tumbuh subur dan banyak mahasiswa yang terpapar?

Saya baru baca juga hasil riset yang dilakukan oleh Setara institute tahun 2018 lalu, yang salah satu temuanya menyebut bahwa hal ini karena minimnya kontesrasi dan oengaruh wacana keagaamaan dan gerakan mahasiswa yang mengusung ideologi kebangsaan dikampus senisal NU atau Muhammadiyah.

Memang kalau saya lihat anggota organisasi ekstra semisal HMI ataupun PMII lebih banyak berkegiatan diluar sibuk mengurusi politik ataupun kebijakan oemerintah diluat, lupa dan tidak mengisi diskurus keagamaan dalam kampus, pada akhirnya kajian soal khilafah di UHO tumbuh bak jamur dimusim hujan, mereka menguasai Mushola-Mushola Fakultas dan Masjid Kampus, dan bahkan di Fakultas saya dulu diberikan satu ruangan oleh pihak kampus untuk sekretariat organisasi sayap HTI (Gema Pembebasan). (*)

Pernah gak sih kalian menunda-nunda suatu pekerjaan atau tugas?
Dan kalian akan berbuat jika ada sesuatu yang menekan. Misal deadline, ancaman, ataupun hal yang menekan lainnya. Hal seperti itu disebut  procrastination.

Dan itu bukan hanya kalian Bung dan Nona, ada banyak orang yang punya masalah seperti ini, menurut penelitian yang dilakukan oleh Laura J. Salomon dan Esther D. Rothblum dari University of Vermont pada 1984.sebagimana dikutip tirto.id,  Sebanyak 342 mahasiswa diteliti untuk mengetahui frekuensi penundaan yang mereka biasa lakukan. Sebanyak 46 persen responden menyebut mereka selalu atau hampir selalu menunda pengerjaan tugas, 27,6 persen menunda belajar untuk ujian, dan 30,1 persen menunda tugas membaca mingguan.

Bagaimana dengan di negara +62 yang berflower ini? kita bisa kira-kira sendiri, mungkin lebih banyak, ndak usah buat penilitian deh, cukup tanya diri sendiri dan teman-teman sekolah, pasti mayoritas akan menjawab ya. Alasannyapun bermacam-macam, mulai dari:
tunggu dulu kan masih lama, dosennya juga slow kadang lupa, dan lain-lain.

Nanti sudah mendekati hari H dan dosennya meningatkan dengan, baru mulai kocar-kacir, panik dan bahkan frustasi dan stres, hingga materinya gak sempat dipelajari. saat persentse umpanya kita merasa kurang maksimal. dan ini terus berulang, tidak pernah diubah, dan menjadi kebiasaan hingga lulus kuliah.

Padahal menurut banyak ahli psikologi mengatakan bahwa orang yang lebih mementingkan masa depan memiliki perilaku menunda yang lebih sedikit. nah apalagi kalau orang sering menunda, berari secara tidak langsung mereka mengabaikan masa depannya.

Jadi sangat salah jika kita harus menunggu hal yang menekan dulu baru mau berbuat. kerjankanlah sekarang, meskipun itu sedikit, intinya perlahan tapi pasti bukan cepat tapi panik dan stres.
Saya baru saja membaca bagian satu bukunya Mark Manson yang berjudul "Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat. Dari sekian lembar yang saya baja satu bagian yang membekas, ngeri kan, padahal ada sekitar 25 halaman.

Begitulah nasib seorang yang baru menitih hobi dijalan literasi, ya karena memang saya tidak memiliki hobi. hehehehe.... kenapa? kalau hobi diartikan sebagai kegemaran sedangkan saya tidak memiliki kegeraman, ada paling cuman rehat dan rehat... ya jadi tidak salah omongin diri sendiri tidak memiliki hobi.  Kasian ya,,,, :)

Jadi wajarlah dari sekian halaman itu hanya poin itu tertentu yang membekas. Apa itu?
"Memilih Medan Juang" untuk menikmati setiap proses hingga sampai pada finish. Finish itu adalah bonus dari memilih medan juAng tersebut.

***

Mungkin kita pernah mendengar sebuah ungkatan yang begitu familiar "Hasil tidak mengkhianati proses" dan ini sering kita temui pada postingan orang dimedsos yang baru saja habis ujian skripsi ataupun setelah wisuda/yudiusum. Benar gak sih???

Ya udah benerin aja.... *hehehhehehhhehehe

Pertanyaannya proses yang mana dan hasil seperti apa? Proses mengikuti kuliah , mngumpulkan tugas, lalu bimbingan Tugas Akhisr? dan hasilnya wisuda? begitukah? kalau hubungannya proses dan hasil seperti itu, berati kita harus mengamini omongan seorang filsuteiment Rocky Gerung, bahwa ijazah itu adalah tanda orang pernah bersekolah, bukan tanpa orang berpikir.

Tapi itu lagi-lagi tergantung priibadinya, tidak ada yang salah. meskipun ijazah hanya tanda orang pernah bersekolah itulah hadiah dari perjuangan dia. dan yang terpenting ia bahagia.

Tapi ingat, setelah ini ada perjuangan besar yang akan ditempuh lagi, yakni menghadapi dunia nyata yang sarat akan kompetisi dan membutuhkan kompetensi.

Kembali lagi soal medan mana yang ingin ditempuh.
Setelah belajar dari ilustri diatas (soal kuliah), seharusnya kita bisa lebih siap menghadapi dunia nyata selanjutnya. bahwa kita jangan berpikir soal hasil, terjuanlah ke medan juang itu dan memlih dimana posisi terbaik kamu dalam berproses itu dan nikmatilah,. jangan sesekali berpikir soal hasil,  karena hasil itu adalah akumulasi dari semua proses yang kita nikmati itu.


Tingginya animo siswa SMA yang baru menamatkan sekolahnya untuk melanjutkan ke jenjang ke perguruan beberapa tahun terakhir ini  sungguh luar biasa. tak hanya di Kota, bahkan didesapun tak mau ketinggalan. Mereka berkuliah bukan hanya didaerahnya  bahkan keluar daerah hingga ke Pulau Jawa yang banyak disebut orang sebagai ladang ilmu penegtahuan, banyak tokoh bangsa yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di pulau ini,

Tiap tahun puluhan ribu sarjana muda dicetak, ada yang bertahan menaklukan  Kota dimana ia kuliah untuk bekerja sesuai dengan ilmu dan pengalamannya selama berkuliah, dan ada juga yang pulang ke Kampung halamannya di Desa.

Di Desa mayoritas para sarjana ini mengabdi, masuk diinstansi pemerintah, ada yang dipuskesmas kantor desa, kecamatan,dan sekolah-sekolah,.

***

Desa merupakan ruang lingkup terkecil dalam struktur negara indonesia yang otonom dan didalamnya terdapat orgaisasi yang diisi oleh perangkat desa serta dikepalaii oleh seorang kepala desa yang mengelola urusan administrasi desa, pelayanan publik serta urusan-urusa keperintahan lainnya.

Semenjak kebijakan hukum terkait UU desa, perhatian pemerintah begitu serius, apalagi diera pemerintahan Jokowi saat ini dimana salah satu nawacintanya adalah mebangun dari pinggiran. hal ini bisa dilihat dari digelontorkannya Dana Desa keseluruh desa, dan tiap tahun mengalami peningkatan. 

Tapi dari besarnya perhatian pemerintah pusat tersebut tidak berbanding lurus dengan program yang ada didesa, hal ini bisa dilihat dari mayoritas desa, yang masih kaku dalam membuat program, misal di Desa saya ada banyak program yang belum menyentuh akar persoalan. sebut saja program pengadaan perahu nelayan. Bantuan yang disudah dibagikan kepada masyarakat nelayan ternyata banyak tidak difungsikan, disimpan di bawa kolong-kolong rumah mereka.

Menurut Kadesnya bahwa program tersebut sudah berdasarkan pada usulan mayoritas warga dan pembagiannya sudah berdasarkan data nelayan didesa.

Dari gambaran kasus diatas tentu ada yang tidak beres, saya berpendapat bahwa kadesnya tidak melihat akar persoalan, tidak bisa membedahkan mana kebutuhan dan kemauan.

Meskipun mayoritas warga mengusulkan itu, seharusnya bisa dilihat, dari data, dan kondisi. apakah data itu benar-benar valid atau tidak, dan kondisinya sangat urgen atau seperti apa. jika tidak bisa mempelajari data, seharunsya para sarjana dilibatkan dalam urusan yang didesa,  apalagi menyangkut kebijakan, mintai pendapat mereka, saya yakin mereka juga punya ide dan gagasan yang baik.

Jangan abaikan keberadaan mereka, jadikan juga mereka sebagai subjek pembangunan!!!!
Membincang soal Pemuda tak pernah ada habisnya, karena ditangan mereka masa depan akan perbaikan da mejauan suatu bangsa diharapkan, nisa dilihat bagaimana selallaui diceritakan soal aksi-aksi heroik anak muda dimasa lampau, tentang perjuangan kemerdekaan hingga meruntuhkan rezim otoriter, dan juga berbgai macam invoasi yang mereka lakukan saat ini, sebut saja teknologi digital semisal yang kini meraih status Unicorn. Sungguh Luar biasa.

Tapi dari sekian banyak hal positif tersebut, ada juga sisi negatifnya, hampir setiap hari kita dmendengar atau membaca diberbgai macam media di indonesia, berita soal tawuran, narkoba, hingga tindak asusila. yang dilakukan oleh mereka (anak muda).

Tak perlu jauh-jauh dilingkungan kita sendiri selalu ada tindakan-tindakan seerti itu, kebetulan judulnya soal Kadatua, jadi saya tulisan saya kali ini soal anak muda Kadatua.

Di Kadatua pun sama ada anak muda yang melakukan hal positif dan ada juga anak muda yang kegitannya tidak produktif dan negatif, positif dalam artian mereka berkumpul untuk melakukan suatu hal semisal  berolahraga, meskipun lapangan sangat terbatas, tapi mereka mensiasatinya, mencari lahan-lahan kosong yang tidak terpakai untuk dijadikan lapangan untuk menyalurkan hibinya yakni berolahraga. tapi ada juga yang enggan melalukan itu mereka beralih ke hal-hal negatif miras, main judi ataupun merencanakan sesuatu yang berujuang pada perkelahian sesama mereka yang berlainan desa,


Keterbatasan tesebut seharunya difasilitasi dan diwadahi, mereka tidak boleh diabaikan, padahal saat ini pemerintah banyak sekali mengelontarkan Dana untuk pemerintah Desa, dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat di Desa, dan kesmua dana tersenut tidak serta merta untuk pembangunan infratsruktur saja tapi juga bagaimana mebnagunan manusianya. termasuk dalam bidang olahraga.

Tahun 2019 ini pemerintah pusat melalui kementerian PDTT mengeluarkan 4 program prioritas pemanfaatn dana desa yang salah satunya adalah Raga Desa (Sarana Olahraga Desa), dengan tujuan, sebagai alteratif hiburan masyarakat melalui perandingan/antar desa/liga desa yang ujungnya bisa mendongkrak ekonomi masyarakat.


Iniah yang seharusnya yang perlu dilakukan oleh Kepala Desa di Kadatua, untuk bagaimana menyibukkan anak Muda Kadatua dengan membanguan Raga Desa. agar hal-hal negatif (miras/tawuran) bisa diminimalisir.

Manusia diciptakan setara, begitu kira-kira ungkapan banyak orang, punya waktu yang sama 24 jam, tapi kok ada yang lebih unggul dibanding yang lainnya dan itu hanya sedikit?

Itulah pertanyaan yang ada dipikiran saya sekarang, dan saya tuangkan diblog ini dalam bentuk tulisan, ya itung-itung mengisi koleksi tulisan, yang bulan kemarin hanya beberapa *hehehhee,,,,,

Saya langsung teringat dengan kutipan di Buku "Sebuah seni bersikap bodo amat" bahwa kunci kehidupan itu adalah memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli apa yang benar dan penting. 

Mungkin disinilah letak keunggulan dari beberapa orang, dalam waktu 24 jam itu ada waktu yang mereka sisihkan atau gunakan untuk hal-hal penting, dan itu menambah penegtahuan atau membuat mereka ingin terus berbuat sesuatu yang positif.

Beda halnya kebanyakan orang lainnya waktu 24 jam (termasuk saya, hehehe) itu tidak digunakan dengan baik, misal main game, ngobrol, tidur, nongkrong gak jelas, dan polanya terus berulang setiap hari, akhirnya tidak potensi yang ia miliki atau bisa dikembangkan

Khusus bagi pelajar ini yang seharusnya menjadi intropeksi, sudah dberi waktu yluang oleh orang tua untuk belajar dan bahkan tidak ada beban kerja seharusnya bisa digunakan untuk hal yang penting tadi, misal belajar atau berekspremien, mencoba hal-hal baru atau mengunjungi tempat bersejarah atau wisata untuk mengetahui apa yang ada disana dan apa yang bisa dipelajari. Ini sangat penting menambah wawasan dan kepekaan, kalau ini dilakukan tentu daya kita unggul, dan bisa jadi menjadi bekal untuk siap menghadapi dunia nyata (kerja).

Ada banyak orang keluaran bangku kiliah atau sekolahan gagal alias tidak mampu bersaing, mereka hanya mengandalkan kedekatan atau materi (uang) untuk bisa diterima. Tak heran ketika pulang/dan berada dalam masyarakat, mereka fakum, tidak berbuat banyak untuk kepentingan masyarakat dilingkungannya, hanya menunggu proyek-proyek yang diberi pemerintah dan masuk intansi dengan modus pengabdian padahal mengharap belas-kasih pemerintah untuk diangkat resmi menjadi abdi negara atau mengharap tunjangan lebih. Hal inilah yang menjadikan sebagai generasi "menunduk", siap pada perintah, takut mengkritik dan berkarya.

Pada akhirnya pembangungan kita melambat, hmmmmm...  Ini ironi Bung dan Nona. Sungguh..........!!!!


Baru saja saya membaca bagian pertama Buku yang ditulis Burhanuddin Muhtadi yang berjudul "Populisme Politik Identintas & Dinamika Elektoral" yang sedikit membuat saya bingung, tidak menemui titik pemahaman atas apa yang saya baca tadi.

Entah mungkin karena tidak fokus (banyak memikirkan hal diluar) atau karena inti dari judul besar "Populisme" yang masih bias atau tidak terdefinisikan dengan baik, saya coba merenung kira-kira apa ya,,, hingga sampai pada kesimpulan sepertinya kedua2nya: saya TIDAK FOKUS dan KETIDAKJELASAN DEFINISI POPULISME ITU SENDIRI.

Dalam sub Bab pertama buku tersebut, banyak sekali yang ia kutip dari para sarjana imu politik tentang definisi populisme mulai dari analogi bahwa populime itu seperti bunglon yang bisa berubah-ubah tergantung pada kondisi geografis dan periode waktunya.

Kemudian disebutkan lagi bahwa populisme itu sebuah retorita politik yang mengaggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat dan memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup serta sasaran yang ingin dicapai paling baik adalah berhubungan langsung dengan pemerintah tanpa perantara lembaga negara. dan masih banyak lagi dan inilah yang membuat saya kebingungan.

Tapi diakhir tulisan itu penullisnya memberikan sebuah contoh konfkrit tentang populisme, yang sedikit membantu saya memahami konteks popullsme itu sendiri. contohnya yaitu  kebijakan Pengurangan subsidi BBM, di Indonesia perdebatannya seharusnya berdasar pada norma dengan melihat persolan secara utuh, kalau dalam kaca mata intelektual mungkin bisa membedahnya mulai UU serta kajian ekonominya agar perdebatannya lebih rasional, tapi dikalangan kaum popilimse mereka mempelintir itu untuk kepentingan elektoral, tanpa memberikan kajian yang utuh kepada publik sehingga perdebatannya ngalor-ngidul sehingga terjadi pembelahan dimasyarakat dan pemerintah. tak heran ada narasi Pro aseng,asing, anti agama, dan lain-lain.



Selepas maghrib pukul 18.05 tepat hari kesebelas bulan september 2019 berita duka itu datang dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta,  bahwa telah berpulangnya Putra Terbaik Bangsa Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie.

Dalam sekejap Media massa cetak, elektrnok dan sosial membanjiri lini masa hingga menjadi trending topic, semua mengucapkan belasungkawa yang mendalam.

Sosok Habibie memang bukan hanya seorang pejabat negara biasa, ia adalah negarawan sekaligus manusia pembelajar yang terus haus akan ilmu penegtahuan, tak heran ada banyak pikiran dan karya yang telah diberikan kepada bangsa, umat dan dunia. khususnya dibidang sains dan teknologi.


Karya dan warisan itu terus bernyawa, nyawanya adalah optimisme bahwa negara bisa membangun dan mengembangan sains dan teknologi.

Bagi kami Orang yang lahir dan besar ditimur Indonesia, sosok eyang Habibie merupakan inspirasi, bagaimana tidak ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya  ditimur (Pare-pare, Sulsel) tapi bisa menjadi sosok yang dikagumi dunia dan menjadi orang nomor 1 dinegri ini.

Padanya kami belajar tentang optimisme bahwa dimanapun berasal asalkan mau belajar dan berusaha keras cita-cita setinggi apapun akan diraih.

SELAMAT JALAN EYANG BJ HABIBIE, SEMOGA DHARMA BHAKTIMU SEMASA HIDUP MENJADI PENERANG DI ALAM SANA UNTUK MENUJU SURGA. Amin.....


Karena poin traveloka yg bisa ditukarkan dengan akses majalah digital dengan gratis akhirnya punya bacaan menarik untuk bulan ini. ...hehehe..hehehe....

Tadi iseng baca Majalah Tempo edisi mnggu ini (7 sept) yg merilis hasil investigasinya, khususnya soal kebijakan pemerintah tentang swasembada gula yang kemudian diterjemahkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dengan mengundang pengusaha untuk berinventasi membuka kebun tebu dan pabriknya di beberapa Provinsi, salah satunya di Kampung saya Sultra. Tepatnya di Kabupaten Bombana.


Dalam laporan tempo tersebut, investasi pengusa asal Sulsel yang juga merupakan "sepupu" Mentan ini di Bombana sarat akan masalah, tapi demi memuluskan "sepupunya" itu Mentan menabrak aturan (tata ruang).


Saya membayangkan edisi majalah tempo ini bakal heboh besok di kampung halaman apalagi ada banyak pejabat tinggi sultra yg disebut.

Jadi inget kasus korupsi Gub Sultra dulu, gegara laporan Tempo "putar-putar duit nikel" yang semula tertutup rapat jadi terbuka lebar menjadi perbincangan publik semua kalangan di Sultra hingga berujung buih.

Mendengar kata Politik oleh mayoritas kita selalu diidentikan dengan kepentigan dan bagi-bagi kuasa antar elit ataupun dengan konstributor (penyandang dana), kepentingan masyarakat hanya sebatas jargon atau tagline ataupun sebatas pemanis setelah kekuasaan direbut maka pemanis tadi dibuang dan diabaikan. Maka tak heran Politik sering dianggap kotor.

Lalu muncul pertanyaan, kalau kotor kenapa masih ada Jurusan Ilmu Politik di Kampus?
Berarti mahasiswanya belajar yang kotor-kotor donk. Ya... Mungkin ada benarnya.......

Benar karena beralasan, sebagaimana utarakan diawal yakni "KEPENTINGAN ELIT"

Saya sebagai warga biasa saat ini dan pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Sospol, meskipun spesifikasi keilmuan bukan politik, tapi sedikit paham, bahwa politik adalah Muara segala ilmu.

Muara segala ilmu, karena segala gagasan ataupun ide pasti muaranya kesana. kok Bisa? contoj aplikasi transportasi seperti gojek untuk memudahkan masyarakat dalam hal pelayanan jasa. Ide ini tentu bagus, tapi bisa gak langsung diterapkan. ada hal-hal yang harus dilewati. yaitu KEPUTUSAN POLITIK.

Tau sendirikan gimana dulu awal diluncurkan aplikasi Gojek di Indonesia, banyak menuai kritik dan hingga berujung pada konflik antar pengemudi online dan konvensial.

Berarti disini menerapkan suatu inovasi atau ide tdidalam negara ak segampang mengkil tombol smartphone, ada hal-hal yang menjadi pertimbangan. pertimbangannya adalah Aturan agar diterima oleh semua orang. 

Aturan disini adalah domain Pemerintah,
pemerintah itu siapa???

Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, walikota, parlemen. mereka-mereka inilah yang bertugas mengatur. agar inovasi dan ide bisa dilaksanakan dan  tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan (Baca: konflik). 

Mereka adalah pejabat pemerintah sekaligus pejabat yang dihasilkan melalui pentas politik atau pesta demokrasi (Pilkada/Pemilu), keputsan yang diambil untuk mengatur adalah keuputusan politik.

Maka inilah yang saya sebut sebagai muara segala ilmu. tanpa keputusan mereka ide kita akan mengalami kemandekan ataupun tidak terlaksana.

Jadi belajarlah memahami politik, dan pilihlah orang-orang terbaik yang masuk kedalam politik, agar keputusan politik yang diambil oleh mereka bisa benar-benar pro pada keadilan sosial.
Sebelumnya saya ucapkan, selamat bulan september dan selamat tahun baru hijriyah.

Sungguh dibulan agustus kemarin kurang begitu produktif untuk menulis blog hanya beberapa tulisan yang berhasil saya post, ini  karena sesuatu dan lain hal, olehnya untuk mengaktifkan kembali keinginan menulis maka buka dengan ucapakan selamat. heheheh....

dan tema kali ini tentang Papua. Kenapa papua?


Selain karena isunya masih hangat diperbicangkan juga karena baru-baru ini saya mendapatkan komentar atau boleh dibilang semacam kritikan pedas dari teman, kakak, dan sekaligus sedaerah sama saya saya yang kebetulan bertugas sebagai pengaman di papua.

Ceritanya saat itu ada postingan yang intinya kurang lebih NKRI HARGA MATI!, sayapun membalas dengan komentar PAPUA MERDEKA! disambung dengan kalimat Merdeka dari Gizi Buruk, kelaparan, represif.

Tidak lama kemudian masuk notifikasi balasan yang bukan dari si pemosting tapi dari akun lain yang pemiliknya seperti yang sudah sampaikan diatas, ia mengomentarinya dengan kalimat JIKA BELUM PERNAH KESANA MENDING KAMU DIAM!

Kaget, seolah membungkam saya.
saya hanya tersenyum mungkin ia tidak memahami inti yang saya maksud.

Bisa jadi kata merdeka saya sampaikan itu dia pahami sebagai kata untuk melepaskan diri dari Negara, dan ingin membuat negara sendiri.

Perhatikan baik-baik, saya ulangi PAPUA MERDEKA! MERDEKA DARI GIZI BURUK, KELAPARAN DAN REPRESIF. Dalam KBBI ada 3 arti salah satunya bahwa merdeka itu adalah BEBAS! Jika dikaitkan dengan komentar saya maka maksudnya adalah Bebas dari Gizi Buruk, Kelaparan, dan Represif.

Seharusnya ini yang harus dipahami. Ketika sodara-sodara kita teriak MERDEKA! harusnya kita semua intropeksi diri kenapa sih ada teriakan itu? Ndak usah harus kesana, googling aja dengan kata kunci masalah papua, akan banyak artikel yang keluar, intinya soal ketidakadilan.

Jangan seolah-olah ada teriakan itu kita langsung menjudge bahwa mereka semua adalah separatis, dan lain-lain. apalagi dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakan bagi mereka. bodoh, primitif dan sepatutnya di perangi dengan senjata. Jangan Ferguso! Biar bagaimana Mereka adalah sodara kita! mereka adalah warga biasa sama dengan kita.

Tapi kan dana banyak digelontorkan hingga pembangunan infrastruktur yang begitu masif disana.
itu hanya sebagian penyelesaian masalah. 

Ada hal yang belum selesai, apa itu?
Kalau berdasar dari hasil temuan lipi, disebutkan bahwa ada 4 akar masalah papua:
1. Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli Papua, 2. Tidak Optimalnya Pembangunan, 3. Masih ada kekerasan dan pelanggaran HAM, 4. Pro-Kontra mengenai proses integrasi Papua ke Indonesia yang belum selesai.

Dari ke 4 poin diatas mana yang belum tuntas??? Jawab dan renungkan Bung dan Nona!

Ditengah suasana memepengaringati HUT RI ke 74 yang begitu semarak, bersamaan dgn itu pula Tagar Pen74jah ramai dilina masa medsos, tagar ini merupakan respon netizen terhadap aksi burutal yang dilakukan oleh oknum ormas dan aparat di Malang dan Surabaya tanggal 15 dan 17 agustus. Hingga berbuntut pada kerusuhan yang terjadi di beberapa Kota, Jayapura, Sorong, Manaokwari tanggal pada 19 Agustus kemarin.

Kronologi kejadian bermula pada aksi damai tgl 15agustus yang dilakukan sekelompok mahasiswa papua yang menatasnamakan west papua di Malang, dalam aksinya mereka mengecam New York Agreement yang dalam beberapa poinnya dinilai melanggar perjanjian. Ditengah aksi, massa mengeluarkan kalimat "PAPUA MERDEKA", sontak langsung oknum masyarakat menyerang dan berujung bentrok, oknum masyarakat melemparai massa aksi hingga mengalami luka-luka.

Besoknya (17/8) tepat hari kemerdekaan  di Kota Surabaya, aparat dan ormas mengepung asrama Papua, yang dipicu oleh adanya kabar pengrusakan tiang  bendera merah putih dilingkungan asrama. penghuni asrama ketakutan memilih bertahan, diluar massa menghujat dengan mengeluarakan kata "usir dan umpatan-umpatan rasial,  dan sore hari aparat kepolisian mengeluarkan tembakan serta gas air mata dan memaksa masuk untuk "mengevakusi" mahasiswa yang ada didalam. dilaporkan 45 mahasiswa digiring di Mapoltabes Surabaya untuk dimintai keterangannya sekitar tengah malam mahasiswa di bebaskan.

Dari krnologi diatas yang menjadi poin atau kata kunci disini adalah "PAPUA MERDEKA, PERSEKUSI DAN RASIAL".

Kenapa mau merdeka? Mungkin dibenak kita berpikir bahwa itu adalah tindakan Makar tidak dibenarkan oleh Undang-undang, tapi satu hal yang hari ini masih luput dalam ingatan kita dan belum dituntaskan oleh pemerintah adalah sejarah mengenai proses integrasi papua ke indonesia. Oleh sebagian besar generasi papua dari tahun ke tahun mereka terus mempertanyakan kenapa Perjanjian New York diingkar, kenapa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) hanya melibatkan 1025 orang dari jumlah populasi dengan tekanan oleh aparat kala itu. Kemudian tindakan persekusi, setiap penyelesaian masalah di Tanah papua selalunya dilibatkan Aparat, pembangunan lagi-lagi aparat.  Lalu soal rasial, katanya berbhineka tunggal ika, tapi kenapa masih ada rasisme terhadap wara papua, cuman karena beda kulit rambut dan Ras.

Inikah yang namanya Kemerdekaan? Hey..!!! Papuaku butuh jawaban dan pendekatan yang memanusiakan.