Oleh
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan
suatu kondisi dimana seseorang merasa tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya. Secara umum akibat yang akan timbul dalam permasalahan kemiskinan
adalah hilangnya kesejahteraaan bagi kalangan miskin yaitu tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan sandang, pangan dan papan, hilangnya
hak akan pendidikan, hak akan kesehatan, tersingkirnya dari pekerjaan yang
layak secara kemanusiaan, termarjinalkan dari hak akan perlindungan hukum, hak
atas rasa aman, hak atas partisipasi terhadap pemerintahan dan keputusan
publik, hak atas spiritualitas, dan hak akan kebebasan hidup (Mutaqien,
2006).
Keterbatasan masyarakat
miskin memperoleh haknya tersebut membuat masyarakat menjadi semakin terbatas
juga dalam memperoleh akses pelayanan umum, sependapat dengan Kartasasmita yang
menyatakan bahwa masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha
dan menjadi terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh
dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi
(Kartasasmita,1996).
Kemiskinan masih
menjadi masalah yang dihadapi tidak hanya di Indonesia, namun juga menjadi
permasalahan Internasional yang sedang dihadapi oleh berbagai Negara. Dalam
usaha mengatasi permasalahan kemiskinan, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah
menetapkan Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan suatu pendekatan
pembangunan global dan memiliki tujuan yang menitikberatkan pada hak ekonomi
sosial dan budaya untuk menghapuskan kemiskinan dan menuju masyarakat yang
bermartabat.
Indonesia menjadi salah
satu dari 189 negara yang ikut berkomitmen dalam melaksanakan program
pembangunan MDGs. Keikutsertaan Indonesia dikarenakan Pemerintah Indonesia
merasa apa menjadi tujuan dan sasaran MDGS sesuai dengan tujuan dan sasaran
pembangunan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Program pembangunan MDGs
memiliki delapan tujuan pokok, antara lain : (1) Menanggulangi Kemiskinan dan
kelaparan; (2) Mencapai pendidikan Dasar untuk semua; (3) Mendorong Kesetaraan
Gender dan Pemberdayaan Perempuan; (4) Menurunkan Angka kematian anak; (5)
Meningkatkan Kesehatan Ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit
menular lainnya; (7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup; dan (8) Membangun
Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Penanggulangan
kemiskinan berada dalam urutan pertama dari delapan tujuan MDGs yang perlu
mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah. Permasalahan kemiskinan dapat
dianalisis melalui dua cara yaitu secara makro dan mikro. Secara makro yaitu
pada level kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah dalam menangani
permasalahan kemiskinan. Selama ini Pemerintah telah berupaya menangani
permasalahan kemiskinan dengan membuat berbagai kebijakan penanggulangan
kemiskinan.
Melalui Undang-undang
No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin mengamanatkan bahwa fakir
miskin mempunyai hak yang dijelaskan pada bab 2 yang menjadi hak fakir miskin
antara lain hak memperoleh kecukupan pangan, sandang, perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, pelayanan sosial, derajat kehidupan
yang layak, lingkungan hidup yang sehat, kondisi kesejahteraan yang
berkesinambungan serta pekerjaan dan kesempatan berusaha. Untuk menjamin hak
fakir miskin tersebut maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah melakukan
penanganan fakir miskin dengan asas kemanusian, keadilan sosial, non
diskriminasi, kesejahteraan, kesetiakawanan, dan pemberdayaan. Asas tersebut
dijelaskan dalam pasal 2 Undang-undang No 13 Tahun 2011 tentang penanganan
kemiskinan.
Selama ini telah banyak
upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yaitu dengan
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Namun seringkali dalam
pelaksanaan kebijakan Pemerintah tentang penanggulangan kemiskinan menimbulkan
beberapa permasalahan diantaranya kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
belum sepenuhnya memberikan ruang bagi penduduk miskin untuk memberdayakan
diri. Seringkali kebijakan Pemerintah hanya mengedepankan aspek pertumbuhan
ekonomi saja sehingga kurang memperhatikan aspek pemerataan, keadilan, dan
kesejahteraan bagi penduduk miskin. Terjadinya kerentanan kemiskinan ditandai
dengan banyaknya penduduk miskin di sekitar Garis Kemiskinan yang mengakibatkan
mudahnya kelompok yang berada digaris kemiskinan jatuh kebawah.
Secara umum kondisi
kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun
terakhir. Upaya yang dilakukan Pemerintah telah merubah kondisi kemiskinan di
Indonesia. Pada bulan Maret 2014 tingkat kemiskinan sebesar 11,25 persen atau
turun sebanyak 0,22 persen dibandingkan jumlah kemiskinan pada saat bulan
September 2013.
Kemiskinan menjadi
permasalahan bangsa yang mendesak dan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut
diperlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu
dan menyeluruh. Upaya tersebut dilakukan pemerintah dan ditetapkan melalui
Peraturan Presiden No 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan dengan melakukan langkah-langkah koordinasi secara terpadu lintas
pelaku dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan kebijakan penanggulangan
kemiskinan.
Percepatan
penanggulangan kemiskinan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk
mempercepat penanganan kemiskinan bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota, pihak swasta dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan
kemiskinan. Perlunya campur tangan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
karena permasalaan kemiskinan yang terjadi di satu daerah dengan daerah lain
tidaklah sama, setiap daerah memiliki karakteristik dan keadaan sosial budaya
yang berbedabeda, dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota merupakan
pemerintah tingkat daerah yang dianggap paling mengetahui karakteristik dan
kondisi kemiskinan yang ada di daerahnya masing-masing.
Ketelibatan pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan percepatan penanggulangan
kemiskinan diharapkan juga mampu mengajak pihak swasta dan masyarakat untuk
besamasama melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan di masing-masing
daerah.
Pada pasal 15 Peraturan
Presiden No 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan
dijelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan
di tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota, dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan yang disebut TKPK. Ditingkat kabupaten/kota dibentuk TKPK
Kabupaten/kota yang bertugas untuk melakukan koordinasi penanggulangan
kemiskinan di daerah masing-masing sekaligus mengendalikan pelaksanaan
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan sesuai Keputusan Tim
Nasional.
Kabupaten Tuban
merupakan Kabupaten yang juga melaksanakan kebijakan percepatan penanggulangan
kemiskinan, hal tersebut dilakukan karena penanggulangan kemiskinan sesuai
dengan apa yang menjadi agenda dari Pemerintah Kabupaten Tuban untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan tingkat kemiskinan di
Kabupaten Tuban karena jika di tinjau dari sumberdaya alam, Kabupaten Tuban
memiliki potensi yang besar dan seharusnya menjadi wilayah yang bisa mengentas kemiskinan, beberapa
perusahaan besar seperti PT. Semen Indonesia dan PT. Semen Holcim tentunya juga
memiliki dana yang cukup besar untuk mendukung pembangunan di Kabupaten Tuban
melalui Corporation Social Responsibilty (CSR) namun ternyata kemiskinan di
Kabupaten Tuban masih mencapai 16,64 persen. Dalam data Badan Pusat statistik
Provinsi Jawa Timur Presentase kemiskinan, Kabupaten Tuban masuk dalam urutan
ke 6 dari 10 Kabupaten/kota dengan persentase kemiskinan terendah. Hal tersebut
sesuai dengan tabel dibawah ini:
Tabel 1
Kabupaten/kota
dengan persentase terendah di Jawa Timur
Sumber : Data diolah, Badan Pusat
Statistik Jawa Timur tahun 2014
Persentase penduduk
miskin di Kabupaten Tuban mencapai 16,64 persen dengan jumlah penduduk miskin
yang mencapai 191,10 ribu penduduk. Hal tersebut membuat Kabupaten Tuban
mendapatkan urutan ke 6 Kabupaten termiskin di Jawa Timur sehingga pemerintah
Kabupaten Tuban berupaya meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan menurunkan
tingkat kemiskinan di Kabupaten Tuban dan menjadikan penanggulangan kemiskinan
sebagai agenda utama yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tuban.
Penanganan kemiskinan
merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kabupaten Tuban 2011-2016 yang ditargetkan oleh Bupati Tuban bahwa penanganan
kemiskinan pada akhir tahun 2015 sebesar 15,25 persen.
Keseriusan Pemerintah
dalam mewujudkan apa yang telah menjadi tujuannya tersebut ditunjukkan dengan
terbitnya Surat Keputusan Bupati Tuban Nomor 188.45/15/KPTS/414.012/2012
tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Tuban yang bertujuan
mensinkronkan program penanggulangan kemiskinan dan melakukan koordinasi litas
sektor dan lintas pemangku kepentingan secara terpadu dan berkesinambungan.
Surat Keputusan tersebut juga menjadi dasar pelaksanaan Penanggulangan
kemiskinan yang dijalankan unsur dunia usaha seperti pihak swasta dan juga
masyarakat juga diharapkan dapat bersinergi untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin yang ada dengan menyeleggarakan Program penanggulangan kemiskinan yaitu
suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha,
serta masyarakat melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan
usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan
kegiatan ekonomi.
Selain tindak lanjut
Pemerintah Kabupaten Tuban membentuk Tim Koordinasi Penangulangan Kemiskinan
sebagai upaya Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang menjadi agenda
Pemerintah Indonesia, Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK)
Kabupaten Tuban juga menerbitkan Surat Keputusan Nomor
188.45/481/KPTS/TKPK/2014 tentang pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Kabupaten Tuban agar dapat
bersinergi dalam upaya Pemerintah untuk Penanggulangan Kemiskinan.
Selanjutnya Satuan
Kerja Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat dapat melaksanakan Gerakan
Bersama Membantu Masyarakat Miskin, agar
Gerakan Membantu Masyarakat Miskin ini dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat dan tepat sasaran dan pelaksanaan kebijakan yang disesuaikan dengan
karakteristik dan kondisi kemiskinan yang ada di Kabupaten Tuban maka perlu
adanya strategi dalam pelaksanaannya.
Strategi Pelaksanaan
Tim Koordinasi Penanggulangan kemiskinan tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota
dijelaskan melalui Peraturan Menteri dalam Negeri No 42 tahun 2010 dimana ada
pasal 3 dijelaskan bahwa strategi yang dimaksud dapat dilakukan dengan
mengurangi beban masyarakat miskin, meningkatkan kemampuan dan pendapatan
masyarakat miskin, mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha ekonomi mikro
dan kecil serta mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Untuk dapat
melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan strategi
percepatan penanggulangan kemiskinan, pemeintah Kabupaten Tuban melaksanakannya
melalui konsep Desa Model dimana langkah awal yang dilakukan adalah dengan menetapkan
lokasi pelaksanaan program desa model. Program Penanggulangan kemiskinan oleh
Pemerintah Kabupaten Tuban menggunakan konsep “Desa Model” yaitu suatu konsep
penanganan kemiskinan dengan penetapan desa sebagai lokus dan focus dari
berbagai bentuk program yang ada dikarenakan penanganan kemiskinan tidak dapat
sekaligus tertangani semuanya, dalam skala wilayah minimal dapat tertangani
satu desa untuk setiap Kecamatan.
Hal tersebut bertujuan
agar desa yang menjadi lokus desa model tersebut dapat menjadi contoh bagi desa
lainnya dalam hal penanganan kemiskinan, yang selanjutnya diatur dalam Pedoman
Umum Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan melalui Desa Model. Dengan demikian
Pemerintah berharap penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Tuban seperti yang diharapkan
dapat terwujud.
Setelah menetapkan
lokasi Desa Model oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Tuban
melalui Keputusan Ketua TKPK No 188.45/11/KPTS/TKPK/2014 dengan tujuan agar
Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait memberikan bantuan kepada Rumah Tangga
Sasaran (RTS) pada masing-masing Desa/Kelurahan yang menjadi Lokasi Program
Desa Model dengan jenis bantuan disesuaikan dengan kebutuhan serta potensi dari
Lokasi Desa Model tersebut.
Prinsip dasar dalam
penanggulangan kemiskinan melalui Desa Model ada 4 yaitu (1) membantu dengan
hati; (2) komunikatif yaitu dengan mengajak bicara secara langsung Rumah tangga
sasaran untuk dimintai aspirasi dan kebutuhan yang mereka inginkan dalam rangka
meningkatkan taraf hidup; (3) keterpaduan yang berarti memadukan unsur
sumberdaya yang ada, sumber daya yang dimaksud antara lain satuan kerja
perangkat daerah (SKPD), aparatur pemerintah, perusahaan, perguruan tinggi,
lembaga/badan amal dan masyarakat; (4) keberlanjutan yang berarti bahwa
program/kegiatan yang dilaksanakan untuk penanganan kemiskinan melalui Desa
Model pada dasarnya merupakan stimulus ekonomi dan sosial yang perlu terus
ekonomi dan sosial yang perlu terus dikembangkan dan dijaga
keberlanjutannya.
Dari dua puluh desa
yang ditetapkan sebagai Desa Model, Kelurahan Mondokan adalah satu-satunya yang
menjadi Kelurahan percontohan dalam penanggulangan kemiskinan. Kelurahan
Mondokan terletak tidak jauh dengan pusat pemerintahan namun sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh tani. Menurut bapak Sutrisno
salah satu kasi di Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa di Kecamatan Tuban
sendiri terdapat 11 kelurahan dan 3 desa, ditetapkannya Kelurahan Mondokan
sebagai kelurahan percontohan dalam penanggulangan kemiskinan karena wilayah
Kelurahan Mondokan yang memang tidak terlalu besar dengan jumlah penduduk yang
tidak terlalu banyak juga, membuat Kelurahan Mondokan lebih mudah untuk
mengatasi permasalahan kemiskinan yang terjadi, selain itu kondisi geografis
Kelurahan Mondokan yang juga banyak memiliki sumberdaya alam seperti lahan yang
cukup luas yang dimilki oleh penduduk, banyaknya rumput untuk bahan pakan
ternak, sehingga sesuai apabila memperoleh bantuan seperti bantuan ternak dari
pemerintah. Hal tersebut memungkinkan Kelurahan Mondokan dipilih menjadi
kelurahan percontohan.
Sejauh ini kondisi
kemiskinan di Kabupaten Tuban mengalami penurunan dari tahun 2008 – 2009 yang
mencapai 28 persen, di tahun 2011 menjadi 20,19 persen 2012 menjadi 17,78
persen dan pada tahun 2013 turun menjadi 17,16 persen. Namun Kemiskinan di Kabupaten Tuban masih
diatas target Nasional yang mencapai 8,0-10,0 persen di tahun 2014, dan menurut
data PPLS 2011 masih sebanyak 122.120 Rumah Tangga Sasaran yang masih membutuhkan
bantuan sosial, peningkatan ekonomi sampai dengan kebutuhan sarana dan
prasarana.
Kondisi kemiskinan
selalu mengalami perubahan apabila dilihat kondisi kemiskinan yang dulu dan
sekarang sangatlah berbeda. Untuk itulah tidak mengherankan apabila dalam
mengatasi permasalahan kemiskinan Pemerintah menggunakan strategi-strategi
penanggulangan kemiskinan yang sesuai dengan kondisi kemiskinan yang dihadapi
sekarang. begitu pula dengan strategi pemerintah kabupaten dalam penanggulangan
kemiskinan.
Banyaknya akibat yang
timbul karena kemiskinan telah menjadikan kemiskinan sebagai prioritas yang
mendesak dan harus ditangani, baik di tingkat Nasional, Regional maupun
Kabupaten/Kota. Penanganan permasalahan kemiskinan harus mendapat perhatian
serius dari pemerintah karena apabila kemiskinan dibiarkan, dikhawatirkan akan
dapat menyebabkan timbulnya sejumlah permasalahan yang tidak mendukung bagi
pembangunan.
Suatu kebijakan hanya
akan menjadi sia-sia apabila tidak diimplementasikan. Untuk itulah kebijakan
yang telah diambil menjadi suatu altenatif pemecahan masalah harus
diimplementasikan yaitu dilaksanakan badan administrasi maupun agen pemerintah
di tingkat bawah (Winarno,2007).
Kebijakan yang baik
adalah kebijakan yang berlandaskan strategi yang tepat, yang pemecahannya
berkaitan dengan wilayah tanpa menghilangkan struktur kekuasaan dan
instrumen-instrumen inovatif yang ada untuk pelaksanaan kebijakan publik.
Mengingat implementasi merupakan tahap krusial dalam proses kebijakan publik,
untuk itulah perlu adanya kajian mendalam mengenai Implementasi strategi
Pemerintah Kabupaten Tuban dalam pengentasan kemiskinan.
Untuk memperoleh
pandangan yang holistic mengenai strategi Pemerintah Daerah dalam pengentasan
kemiskinan maka kita dapat melihat dari studi terdahulu dari Desiana Dwi
Astiyaningsih yang membahas tentang Implementasi Program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Sidoarjo Kabupaten
Sidoarjo dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa Implementasi PNPM
Mandiri perkotaan di kelurahan Lemah Putro memiliki kekurangan dalam
koordinasi. Implementasi berfokus pada fungsi strategi tridaya yaitu unit
kegiatan lingkungan, unit kegiatan sosial, dan unit kegiatan ekonomi dalam
penanggulangan kemiskinan (Astiyaningsih, 2011).
1. Bagaimana
Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Program Desa Model di Kabupaten Tuban dalam perspektif
Communication Model Goggin ?
2. Bagaimana
output dan outcome Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Program Desa
Model di Kabupaten Tuban?
Tujuan penelitian merupakan suatu
bagian untuk memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian serta untuk
mengetahui apa yang ingin dicapai penulis dalam melakukan penelitian. Dalam
penelitian ini, tujuan yang ingin di capai penulis adalah untuk menggambarkan
proses implementasi kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan melalui
Pelaksanaan Desa Model di Kelurahan Mondokan Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban.
1. Manfaat
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan sumbangan perkembangan Ilmu
Administrasi Negara terutama untuk
kajian studi Implementasi Kebijakan. Peneitian ini melihat proses implementasi
dari pelaksana kebijakan di tingkt daerah untuk melaksanakan kebijakan yang
telah ditetapkan sesuai dengan kondisi dan karakteristik yang ada di daerah
tersebut, selain itu penelitian ini juga melihat implementasi dari segi
masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran kebijakan karena pada dasarnya
proses implementasi kebijakan dilihat dari kebijakan itu sendiri, pelaksana
kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Penelitian ini
memberikan sumbangan akademis dengan berusaha untuk mengaplikasikan kajian
teoritis tentang studi implementasi dengan fenomena empirik yang terjadi di
lapangan,
2. Manfaat
Praktis
Memberikan gambaran dan informasi
tentang pelaksanaan implementasi kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
di Kabupaten Tuban yang dilaksanakan melalui strategi Desa Model untuk
pengentasan kemiskinan sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan kepada pelaksana kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan
instansi yang terkait dalam melaksanakan strategi Desa Model sebagai upaya
pemerintah dalam penangguangan kemiskinan serta. Peneliti memberikan gambaran
tentang pelaksanaan Desa Model sebagai upaya pemerintah Kabupaten Tuban dalam
penanggulangan kemiskinan sehingga diharapkan dapat memberi gambaran kepada
daerah lain yang juga akan melaksanakan kebijakan percepatan penaggulangan kemiskinan
dan memberikan sumbangan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian
selanjutnya khususnya yang akan mengkaji tentang permasalahan serupa.
TINJAUAN
PUSTAKA
Secara
etimologis, istilah policy (kebijakan)
berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa
Yunani dan Sansekerta polis (negara-kota)
dan pur (kota) dikembangkan dalam
bahasa Latin menjadi politia (negara)
dan akhirnya dalam bahasa Inggris pertengahan policie, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau
administrasi pemerintahan. Asal usul etimologis kata policy sama dengan kata penting lainnya: police dan politics (Dunn h.51)
Setiap
negara di dunia pasti memiliki kebijakan-kebijakan tertentu yang digunakan
sebagai pedoman dan sifatnya mengikat setiap warga negara untuk mematuhi
kebijakan tersebut, meskipun disetiap negara memiliki kebijakan yang
berbeda-beda namun dapat dikatakan kebijakan bertujuan untuk membawa masyarakat
kepada kesejahteraan melalui kebijakan yang dibuat tersebut. Anderson dkk dalam
Abidin h.23 mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan sebagai berikut :
1.
Public policy is purposive, goal-oriented behavior
rather than random or chance behavior.
Setiap kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak
boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Tanpa
ada tujuan tidak perlu ada kebijakan.
2.
Public policy consists of courses of action—rather
than separate, discrete decision, or actions—performed by government officials. Artinya, suatu kebijakan tidak berdiri sendiri,
terpisah dari kebijakan yang lain. Namun, ia berkaitan dengan berbagai
kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada implementasi, interpretasi,
dan penegakan hukum.
3.
Policy is what government do—not what they say will
do or what they intend to do.
Kebijakan adalah apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih
ingin atau dikehendaki untuk dilakukan pemerintah.
4.
Public policy may either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang
dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.
5.
Public policy is based on law and is authoritative. Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga
mempunyai kewenangan untuk memaksa masyarakat mengikutinya.
Seperti
yang diungkapkan oleh Thomas R. Dye dalam Riant Nugroho h.38, understanding public policy is through
whatever governments choose to do or not to do. Public policy is what
government does, why government does it, and what difference does it makes.
Dimana nantinya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan berdampak secara
luas menurut Sueuer & Sunkin dalam Riant Nugroho h.40 bahwa :
“public policy is a color that pour upstream of a river. If we pour red color, the river will turn to red. If we pour poison, everybody who drinks the water will be poisoned. Public policy is rules of game, in any society as a political entity. Life is about the growth and the order toward welfare and prosperity. There is always life’s rule of game. Even mafia has its own rules of game. The excellent society must be a society who has an excellent rule of game. Common people, and sometimes scholars, mention “rule of game” as “law”. Rule of game is not as simple as law. Rule of game is public policy since law is a formal and legal form of public policy”(Kebijakan publik adalah warna yang tuangkan hulu sungai. Jika kita tuangkan warna merah, sungai akan berubah menjadi merah. Jika kita tuangkan racun, semua orang yang minum air akan diracun. Kebijakan publik adalah aturan permainan, di setiap masyarakat sebagai entitas politik. Hidup adalah tentang pertumbuhan dan urutan ke kesejahteraan dan kemakmuran. Selalu ada aturan hidup dari permainan. Bahkan mafia memiliki aturan sendiri permainan. Masyarakat yang baik harus menjadi masyarakat yang memiliki aturan yang sangat baik dari permainan. Masyarakat umum, dan kadang-kadang pemerintah, menyebutkan "aturan permainan" sebagai "hukum". Aturan permainan tidak sesederhana hukum. Aturan permainan adalah kebijakan publik karena hukum adalah bentuk formal dan hukum dari kebijakan publik)
Jika
dilihat dari segi struktur, ada lima unsur kebijakan. Pertama, Tujuan
Kebijakan. Tujuan atas kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah menurut
Riant Nugroho h. 48 adalah :
“the first objective of public
policy is to distribute national resources, the second objective of public
policy is to regulate, to liberate, and to deregulate, the third objective of
public policy is dynamics and stabilization, and the fourth objective of public
policy is strengthening the state versus strengthening the market.”
(tujuan pertama dari kebijakan publik adalah untuk mendistribusikan sumber daya
nasional, tujuan kedua dari kebijakan publik adalah untuk mengatur, untuk
membebaskan, dan deregulasi, tujuan ketiga kebijakan publik adalah dinamika dan
stabilisasi, dan tujuan keempat kebijakan publik adalah memperkuat negara
terhadap penguatan pasar)
Namun,
Riant Nugroho h.51 menegaskan bahwa :
“any public policy must have more than one policy objectives. The underlining principles is to keep all actors of the nation, state, and society balance and equal, working together to achieve the mission of the nation, the belief on goodness which they have in mind and heart.”(setiap kebijakan publik harus memiliki lebih dari satu tujuan kebijakan. Prinsip-prinsip yang digarisbawahi adalah untuk menyimpan semua pelaku bangsa, negara, dan keseimbangan masyarakat dan setara, bekerja sama untuk mencapai misi bangsa, kepercayaan pada kebaikan yang mereka miliki dalam pikiran dan hati)
Kedua,
Masalah. Menurut Abidin h.27 masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam
kebijakan. Kesalahan dalam menentukan masalah yang tepat, dapat menimbulkan
kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Tidak ada artinya suatu cara
atau metode yang baik untuk pemecahan suatu masalah kebijakan jika pemecahannya
dilakukan terhadap masalah yang tidak benar.
Ketiga,
unsur tuntutan (demand) dimana
menurut Abidin h.28 tuntutan muncul karena salah satu dari dua sebab. Pertama,
karena terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam proses perumusan
kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dirasakan tidak
memenuhi atau merugikan kepentingan mereka. Kedua, karena munculnya kebutuhan
baru yang menyusul setelah suatu tujuan
tercapai atau suatu masalah terpecahkan.
Keempat,
unsur dampak (outcome. Abidin h.30
menyebutkan dampak merupakan tujuan lanjutan yang muncul sebagai pengaruh dari
pencapaian suatu tujuan. Berapa besar dampak yang terjadi untuk setiap jenis
kebijakan sulit diperhitungkan. Hal ini disebabkan oleh : (a) tidak tersedianya
informasi yang cukup, (b) dalam bidang sosial, pengaruh dari satu kebijakan
sulit dipisahkan dengan pengaruh dari kebijakan lain, dan (c) proses
berjalannya pengaruh dari sesuatu kebijakan dalam bidang sosial sulit diamati.
Kelima,
unsur sarana atau alat kebijakan (policy
instruments). Abidin h.31 berpendapat bahwa suatu kebijakan
diiplementasikan dengan menggunakan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana
ini dapat disebutkan, antara lain kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan,
simbolis, dan perubahan dari kebijakan itu sendiri.
Definisi
kebijakan publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi,
Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dalam Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah
“keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk
mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk
mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang
banyak”. Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua)
bentuk yaitu peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan
pejabat publik di depan publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik
dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah
Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati.
Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat publik juga merupakan
bagian kebijakan publik. Hal ini dapat dipahami karena pejabat publik adalah
salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu
sendiri.
Kebijakan dapat
pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem,
maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya. Menurut Thomas R. Dye dalam
Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem
kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai kebijakan
publik/public policy, pelaku kebijakan/policy
stakeholders, dan lingkungan kebijakan/policy
environment.
Implementasi
kebijakan menurut Abidin (2012) merupakan langkah yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Tanpa implementasi, suatu kebijakan hanyalah merupakan sebuah
dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat.
Gambar Proses
implementasi berkaitan dengan faktor utama internal dan faktor utama eksternal
Kondisi kebijakan adalah faktor yang paling dominan
dalam proses implementasi karena yang diimplementasikan justru kebijakan itu
sendiri. Berhasil tidaknya implementasi suatu kebijakan ditentukan oleh dua
hal, yaitu kualitas kebijakan dan ketepatan strategi implementasi. Abidin h.148
mendefinisikan beberapa elemen suatu kebijakan yang dapat dianggap berkualitas:
1. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai
untuk mengadakan kebijakan itu. Tujuan atau alasan suatu kebijakan dapat
dikatakan baik jika tujuan atau alasan itu memenuhi kriteria berikut.
aa, Rasional,
artinya tujuan tersebut dapat dipahami atau diterima oleh akal sehat
bb. Diinginkan (desirable), tujuan dari kebijakan
tersebut menyangkut kepentingan orang banyak sehinga memperoleh dukungan dari
banyak pihak
2. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan
itu realistis. Asumsi tersebut tidak mengada-ada. Asumsi ini menentukan tingkat
validitas suatu kebijakan.
3. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar.
Suatu kebijakan menjadi tidak tepat apabila didasarkan pada infomasi yang tidak
benar atau sudah kadaluarsa. Sementara itu, kebijakan yang didasarkan pada
informasi yang kurang lengkap boleh jadi tidak sempurna atau tidak tepat.
Kemudian implementasi kebijakan menurut Van Meter
dan Van Horn (dukutip dari Winarno 2005, h.102) mengatakan :
“Tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah atau
swasta atau kelompok-kelompok pemerintah yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan, yaitu untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun
waktu tertentu. Implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan
sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan.”
Menurut Wahab (2014) suatu kebijakan
dapat mencapai dampak yang diinginkan jika : (a) output-output kebijakan
badan-badan pelaksana sejalan dengan tujuan formal undang-undang, (b) kelompok
sasaran terhadap output kebijakan atau terhadap dampak kebijakan sebagai akibat
adanya peraturan-peraturan yang saling bertentangan, (c) undang-undang atau
peraturan tersebut memuat teori kausalitas yang andal mengenai hubungan antara
perubahan perilaku pada kelompok sasaran dengan tercapainya tujuan yang telah
digariskan.
Dalam
tulisan ini, model implementasi yang digunakan untuk menganalisis implementasi
kebijakan percepatan penanggulangan kemiskinan ini menggunakan model
implementasi Goggin, dimana Pada bagian awal buku “Implementation Theory and Practice – Toward a third Generation”,
Goggin et al (1990:13-17) membandingkan penelitian dari generasi pertama (First Generation Research), penelitian
generasi kedua (Second Generation
Research), hingga penelitian generasi ketiga (Third Generation Research)
yang menjadi pembahasan utama dalam buku “Implementation Theory and Practice – Toward
a third Generation”. Dalam buku tersebut, Goggin et al (1990:13)
menjelaskan bahwa penelitian generasi pertama cenderung bersifat atheoretical, case-specific, dan non-cumulative.
Sedangkan pada penelitian generasi kedua, Goggin et al (1990:14) beranggapan
bahwa penelitian tersebut cenderung memiliki fokus variabel yang sama dengan
penelitian generasi pertama, namun memiliki rincian antara kategori variabel
yang berbeda. Goggin et al (1990:15) terinspirasi menulis buku “Implementation Theory and Practice – Toward
a third Generation” berdasarkan kontribusi para pakar yang telah melakukan
penelitian sejak generasi pertama sampai generasi kedua. Selain itu, Goggin et
al (1990:15) beranggapan, melalui buku tersebut, akan meningkatkan pemahaman
terkait implementasi di masa depan.
Goggin et al (1990:15-19) membahas
terkait impelementasi melalui pendekatan ilmiah yang mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan utama terhadap
variabel-variabel dalam penelitian top-down
maupun bottom-up, selain itu “Implementation of Third Generation” lebih
menekankan mengenai desain serta jaringan (Networking)
terhadap keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dapat dikatakan bahwa “Implementation of Third Generation”
mengutamakan desain kebijakan sebagai tolak ukur terhadap keberhasilan
implementasi suatu kebijakan. Pada buku “Implementation
Theory and Practice – Toward a third Generation”, Goggin et al (1990:19-21)
membahas mengenai “Implementation Theory
and Practice”, sesuai dengan judul utama dalam buku tersebut. Goggin et al
(1990:20) beranggapan bahwa “Implementation
in Theory” ialah interaksi dinamis antara birokrat, legislator, serta
pemangku kepentingan yang terorganisir dengan baik di tingkat nasional maupun
daerah, sedangkan “Implementation in
Practice” harus mampu menentukan langkah serta menemukan data yang valid
untuk memudahkan sang peneliti ketika hendak menafsirkan suatu permasalahan
maupun pertentangan yang terjadi pada saat melakukan suatu penelitian.
Pada buku “The Communication Model of Intergovernmental
Policy Implementation”, Goggin et al (1990:31) memperhatikan pola perilaku
dari agen-agen pelaksana terhadap implementasi suatu kebijakan. Oleh sebab itu,
Goggin et al (1990:32) mengemukakan suatu pendekatan terkait teori komunikasi
yaitu “The Communication Model of
Intergovernmental Policy Implementation”, yang menjadikan model tersebut
sebagai suatu alat untuk menyamakan persepsi serta pemahaman antar agen-agen
pelaksana terkait implementasi suatu kebijakan. Berikut ini gambar dari “The Communication Model of Intergovernmental
Policy Implementation”, seperti yang telah dikemukakan oleh Goggin et al
(1990:32), yaitu:
Gambar “The
Communication Model of Intergovernmental Policy Implementation”
Terkait “The
Communication Model of Intergovernmental Policy Implementation”, Goggin et al
(1990:33) telah menjelaskan bahwa implementasi kebijakan antar pemerintah
merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan terjadi di lingkungan yang
kompleks. Selain itu menurut Goggin et al (1990:33) “The Communication Model of Intergovernmental Policy Implementation”,
didasari oleh teori komunikasi yang menghubungkan pendekatan “top-down” dan “bottom-up” yang telah mendominasi beberapa literatur terkait
implementasi. Goggin et al (1990:34-40) menjelaskan beberapa komponen yang
terdapat pada “The Communication Model of
Intergovernmental Policy Implementation”, seperti:
1)
State
Implementation
State
Implementation merupakan proses atau rangkaian mengenai
keputusan atau pelaksanaan suatu kebijakan yang menghasilkan suatu outputs serta outcomes. Dalam model komunikasi antar pemerintahan, outputs dari State Implementation mengacu pada kepuasaan yang dihasilkan dalam
pelaksanaan suatu kebijakan public sedangkan outcomes dari State
Implementation ialah ketika pelaksanaan suatu kebijakan dapat memberikan
perubahan terkait permasalahan sosial.
2)
Federal
Level Inducements and Constraints
Setiap keputusan pemerintah
terkait suatu kebijakan dipengaruhi oleh pilihan serta perilaku dari agen-agen
pelaksana (stakeholder). Selain itu,
implementasi suatu kebijakan harus berdasarkan Undang-Undang melalui perintah
eksekutif, keputusan pengadilan, serta peraturan administratif.
3)
State
and Local-Level Inducements and Constraints
Komponen ini berorientasi
terhadap interaksi dari kelompok kelembagaan seperti kelompok kepentingan,
lembaga politik, serta lembaga Negara. Selain itu, komponen ini mengemukakan
mengenai struktur sederhana hingga struktur yang rumit dalam implementasi suatu
kebijakan.
4)
Decisional
Outcomes and State Capacity
Komponen ini lebih
mengutamakan keselarasan yang sempurna mengenai informasi secara “top and down” yang bertujuan untuk mengoptimalkan keadaan terkait
implementasi suatu kebijakan.
5)
Feedback
and Policy Redesign
Merupakan komponen penting
dalam model komunikasi antar pemerintahan terkait masukan serta saran mengenai
implementasi suatu kebijakan.
Pada dasarnya “The Communication Model of Intergovernmental
Policy Implementation” merupakan suatu model komunikasi yang terwujud
ketika Goggin et al. terinspirasi oleh teori komunikasi, sehingga memunculkan
pemikiran untuk menerapkan suatu model komunikasi yang mencoba untuk menyamakan
persepsi antar pemerintahan maupun agen-agen pelaksana terkait implementasi
suatu kebijakan. Melalui pelaksanaan model komunikasi antar pemerintahan,
Goggin et al. berharap bahwa model tersebut dapat menjadi suatu alat serta
pedoman untuk menjalin hubungan yang baik antar pemerintah maupun agen-agen
pelaksana terkait proses implementasi suatu kebijakan.
Kemiskinan merupakan
persoalan klasik dan mengandung pengertian multidimensional yang berhubungan
dengan kondisi ekonomi, sosio kultural,
dan persoalan struktural. Dalam perspektif ekonomi, merujuk definisi
Badan Pusat Statistik (dalam Yuwono,
2006 : 8), kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk
makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau
batas kemiskinan (poverty threshold).
Garis kemiskinan adalah
sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar
kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non
makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,
transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. Sedangkan menurut Bank
Dunia, kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan
penghasilan 1 (satu) dollar per hari. Dalam perspektif budaya, merujuk pada
Teori ”kemiskinan budaya”(cultural poverty) yang diketengahkan Oscar Lewis
(dalam Suharto, 2006:135), bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Pendekatan lain untuk
mengkaji kemiskinan menggunakan pendekatan berbasis hak. Dalam dokumen Bappenas
tentang Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (2005:13), kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Merujuk dokumen
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (2005:70), penyebab kemiskinan
yaitu : Pertama, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi
hak-hak dasar, berkaitan dengan kepemilikan aset dan modal; terbatasnya
jangkauan layanan dasar terutama kesehatan dan pendidikan; terbatasnya sarana
dan prasarana pendukung; rendahnya produktivitas masyarakat; lemahnya
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik; pemanfaatan
sumberdaya alam yang berlebihan, tidak berwawasan lingkungan dan kurang
melibatkan masyarakat; kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral, berjangka
pendek dan parsial; serta lemahnya koordinasi antar instansi dalam menjamin
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar. Kedua, kerentanan
masyarakat menghadapi persaingan, konflik dan tindak kekerasan. Ketiga,
lemahnya penanganan masalah kependudukan. Keempat, ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender. Kelima, kesenjangan pembangunan yang menyebabkan masih
banyaknya wilayah yang dikategorikan tertinggal dan terisolasi. Masalah
kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antar wilayah perdesaan,
perkotaan, serta permasalahan khusus di kawasan pesisir dan kawasan tertinggal.
Upaya penanggulangan
kemiskinan merupakan amanat konstitusi sesuai dengan tujuan nasional dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Penanggulangan kemiskinan juga merupakan mandat Undang-Undang
Dasar 1945 yang tertuang dalam beberapa pasal yaitu : 27 Ayat 2, 28 Ayat 2, 28
B, 28 C, Pasal 28 D, 28 F, 28 G, 28 H, 28 I, 31 Ayat 1, 33 dan 34. Kebijakan penanggulangan kemiskinan diatur
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Peraturan Presiden,
Keputusan/Peraturan Menteri, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah, Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD). yang mengatur program
penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan Peraturan
Presiden No 15 Tahun 2010 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, yang
dimaksud dengan penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program
pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana,
dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin, melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, serta
pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil.
Untuk meningkatkan koordinasi
penanggulangan kemiskinan, pemerintah menerbitkan Peraturan
Presiden Nomor 96 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 15
Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Dalam Perpres tersebut diamanatkan
untuk membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di
tingkat pusat yang keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat,
dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan di provinsi dan
kabupaten/kota dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK)
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Adapun program program pemerintah
yang telah berlangsung dan telah di terapkan di seluruh sektor Pemerintahan
Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengenai pengentasan
kemiskinan, beberapa diantaranya yaitu: PNPM, Program Beras
Miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
Kesehatan (JAMKESMAS/DA/SPM dll).
PEMBAHASAN
Implementasi
penanggulangan kemiskinan yang menjadi tanggung jawab Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Tuban merupakan kebijakan
dorongan dari pemerintah diatasnya, yang meliputi Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat nasional dan Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskianan (TKPK) Provinsi Jawa Timur. Merujuk terhadap
implementasi kebijakan penanggulanagan kemiskinan Kabupaten Tuban, apabila
dilihat dalam Model Implementasi kebijakan menurut Malcolm L. Goggin “The Communication Model of
Intergovernmental Policy Implementation” dapat dilihat dari 4 komponen,
meliputi:
1)
State
Implementation
2)
Federal
Level Inducements and Constraints
3)
State
and Local Level Inducements and Constraints
4)
Decisional
Outcomes and State Capacity
Berikut merupakan gambar coding implementasi kebijakan
pengentasan kemiskinan Desa Model Kabupaten Tuban dalam perspektif Implementation Communication Model.
Gambar
Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Desa Model Kabupaten Tuban
Sumber: Diolah
Federal
Level Inducements and Constraints menuruti Goggin adalah
setiap keputusan pemerintah terkait suatu kebijakan dipengaruhi oleh pilihan
serta perilaku dari agen-agen pelaksana (stakeholder).
Selain itu, implementasi suatu kebijakan harus berdasarkan Undang-Undang
melalui perintah eksekutif, keputusan pengadilan, serta peraturan
administratif. Dalam konteks implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Kabupaten Tuban, secara normatif dipemerintah pusat telah memiliki landasan
hukum yang meliputi dibentuknya Undang-undang No 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin yang kemudian diturunkan melalui Peraturan Presiden No
15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang telah dirubah
melalui Perpres No 96 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No
15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Selain itu
peraturan lain yang menyertai ialah Permendagri no 42 tahun 2010 tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kab/Kota, Permendagri No 34
tahun 2009 tentang Pedoman Pembentukan TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dorongan atau desakan
pengentasan kemiskinan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Tuban dengan membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Lembaga tersebut sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku
kepentingan ditingkat pusat, yang diketuai oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia, yang bertujuan untuk menyelaraskan berbagai kegiatan percepatan
penanggulangan kemiskinan.
Terbentuknya TNP2K mengingat
masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia data selama tahun 2008-2010
sebanyak 75 persen dengan total 4,5 juta Rumah Tangga Miskin tidak pernah
keluar dari kemiskinan dengan rincian sebanyak 2,1 juta Rumah Tangga Miskin
keluar dari sangat miskin namun tetap miskin dan sebanyak 0,9 juta Rumah Tangga
Miskin keluar dari kondisi sangat miskin namun jatuh kembali dengan jumlah 1,5
juta Rumah Tangga Miskin senantiasa dalam kondisi kemiskinan yang kronis.
Terjadinya kerentanan kemiskinan ditandai dengan banyaknya penduduk miskin di
sekitar Garis Kemiskinan yang mengakibatkan mudahnya kelompok yang berada
digaris kemiskinan jatuh kebawah. Sebanyak 25 persen Rumah Tangga Miskin tidak
pernah membaik tingkat kemiskinannya.
Secara umum kondisi
kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun
terakhir. Upaya yang dilakukan Pemerintah telah merubah kondisi kemiskinan di
Indonesia. Pada bulan Maret 2014 tingkat kemiskinan sebesar 11,25 persen atau
turun sebanyak 0,22 persen dibandingkan jumlah kemiskinan pada saat bulan
September 2013. Hal tersebut tidak lain kareena political will pemerintah untuk percepatan penanggulangan
kemiskinan melalui beberapa paket programnya. Setidaknya terdapat beberapa program
pemerintah pusat terkait pengentasan kemiskinan yang kemudian sekaligus
dijadikan rujukan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam mengentaskan
kemiskinan didaerah yang meliputi:
1. Program
Membangun Keluarga Produktif
2. Listrik
Bagi Masyarakat Miskin
3. Kartu
Perlindungan Sosial
4. KIAT
Guru
5. Pokja
Kebijakan Bantuan Sosial
6. Pokja
Kebijakan Jaminan Kesehatan
7. Pokja
Kebijakan Peningkatan Kapasitas Ekonomi dan Pendapatan
Desakan pemerintah pusat
terhadap pengentasan kemiskinan tidak langsung menjurus terhadap Kabupaten/Kota
melainkan kepada Pemerintah Provinsi yang kemudian menjadi penghubung ke Kota
dan Kabupaten. Di Provinsi Jawa Timur TKPK Provinsi Jawa Timur dibentuk melalui
SK. Gubernur Jawa Timur No.188/152/KPTS/013/2014 tentang Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Jawa Timur. Berikut merupakan program dari
TKPK Provinsi Jawa Timur diantaranya adalah:
1. Bosda
Madin
2. BOS SLTA
dan BKSM
3. Jamkesda
4. Program
Keluarga Harapan
5. Kegiatan
Pemberdayaan Fakir Miskin
6. Kegiatan
Pemberdayaan Keluarga Rentan
7. Dll
State and
Local Level Inducements and Constrains diartikan oleh Goggin
sebagai komponen yang berorientasi terhadap interaksi dari kelompok kelembagaan
seperti kelompok kepentingan, lembaga politik, serta lembaga Negara. Selain
itu, komponen ini mengemukakan mengenai struktur sederhana hingga struktur yang
rumit dalam implementasi suatu kebijakan. Dalam konteks pembahasan mengenai
implementasi pengentasan kemiskinan di Kabupaten Tuban ini yang menjadi
dorongan atau desakan mengenai pengentasan kemiskinan adalah tingginya angka
Kemiskinan di Kabupaten Tuban. Menindak lanjuti hal tersebut, pemerintah
Kabupaten Tuban dengan dorongan dari TNPPK dan TKPK Provinsi Jawa Timur
membentuk TKPKD Kabupaten Tuban melalui Surat Keputusan Buppati No
188.45/481/KPTS/TKPK/2014. Selain itu TKPKD Kabupaten Tuban juga menetapkan
beberapa paket program penanggulangan kemiskinan. Beberapa diantaranya adalah
meliputi:
1. Program
Klaster 1 (Kelompok Program Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga
2. Program
Klaster 2 (Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pembedayaan
Masyarakat)
3. Program
Klaster 3 (Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pada
Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil)
4. Program
Aksi Pelatihan
5. Dan
Program Pendukung
Tahap selanjutnya menurut
Goggin adalah Decisional Outcomes and
State Capacity. Goggin menjelaskan komponen ini lebih mengutamakan
keselarasan yang sempurna mengenai informasi secara “top and down” yang
bertujuan untuk mengoptimalkan keadaan terkait implementasi suatu kebijakan.
Proses penyelarasan antara desakan pemerintah pusat, provinsi, dan daerah
terlihat dalam upaya Pemerintah Kabupaten Tuban menyusun tim dan program
penanggulangan kemiskinan melalui intruksi pemerintah pusat dan provinsi, hal
tersebut menunjukkan dalam implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan
Kabupaten Tuban adanya proses Top Down.
Dalam proses penyusunan program, pemerintah Kabupaten Tuban tidak serta merta
merujuk terhadap program pemerintah pusat dan provinsi, namun kebijakan disusun
melihat kondisi kebutuhan masyarakat Kabupaten Tuban secara umum, hal
tersebutlah yang menggambarkan proses Bottom
Up. Sehingga dalam Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan khususnya
program Desa Model telah tampak adanya integrasi antara keepentingan dan
dorongan dari pemerintah pusat dan juga adanya dorongan dari pemerintah daerah
Kabupaten Tuban.
State
Implementation merupakan proses atau rangkaian mengenai
keputusan atau pelaksanaan suatu kebijakan yang menghasilkan suatu outputs serta outcomes. Dalam model komunikasi antar pemerintahan, outputs dari State Implementation mengacu pada kepuasaan yang dihasilkan dalam
pelaksanaan suatu kebijakan public sedangkan outcomes dari State
Implementation ialah ketika pelaksanaan suatu kebijakan dapat memberikan
perubahan terkait permasalahan sosial. Berdasarkan uraian diatas yang dimaksud
dengan State Implementation adalah
dilaksanakannya atau diputuskannya strategi pengentasan kemiskinan Kabupaten
Tuban yang dilaksanakan oleh TKPKD Kabupaten Tuban, khsusunya adalah melalui
konsep Desa Model. Kosep ini adalah penanganan kemiskinan dengan penetapan desa
sebagai lokus dan fokus dari berbagai bentuk program pengentasan kemiskinan.
Dalam skala wilayah minimal terdapat minimal satu desa untuk setiap kecamatan yang
dijadikan sebagai pilot project bagi
desa lainnya.
Menindak lanjuti terhadap output dari State Implementation yang lebih melihat kepuasan implementasi
kebijakan pengentasan kemiskinan dengan konsep Desa Model. Secara umum
pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui Desa Model di Kelurahan
Monokan terbagi atas 3 tahapan. Tahap
pertama adalah melakukan identifikasi sasaran yang dilakukan oleh petugas
dari kantor kelurahan melalui pendataan dan survey sasaran. Tahap selanjutnya
adalah membentuk kelompok masyarakat penerima bantuan, namun yang mengakibatkan
ketidak puasan masyarakat adalah karena masyarakat tidak dilibatkan dalam
penentuan siapa yang berhak untuk menerima bantuan, sehingga dirasa bantuan
yang diberikan tidak tepat sasaran.
Tahap
kedua adalah pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh SKPD terkait atau
lembaga dari pihak swasta kepada kelompok sasaran penerima bantuan. Jenis
bantuan yang diberikan adalah meliputi bedah rumah, bantuan ternak kambing,
sapi, ayam, dan lele, dan bantuan berupa sembako.
Tahap
terakhir adalah monitoring dan evaluasi yang bertujuan untuk memastikan
apakah pelaksanaan program berjalan sesuai tujuan dan untuk menilai keberhasilan
suatu program. Evaluasi yang telah dilakukan terhadap implementasi kebijakan
Desa Model menghasilkan beberapa catatan, diantaranya adalah 1) Banyaknya
kelompok sasaran yang menerima bantuan tidak tepat sasaran, sebagai contohnya
orang lanjut usia yang memperoleh binatang ternak. Pemerintah tidak
memperhatikan faktor usia yang tidak lagi produktif, sehingga lansia tersebut
lebih memilih menjual binatang ternaknya dari pada memiliharanya; 2) Adanya
kecemburuan sosial dari desa-desa disekitar Desa Mondokan yang tidak
mendapatkan bantuan, masyarakat merasa bahwa banyak masyarakat di desanya yang
berhak dan layak mendapatkan bantuan; dan 3) Tidak adanya ketegasan dari
pemerintah daerah terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok sasaran.
Banyak dari kelompok sasaran yang menjual bantuan yang diberikan, seperti sapi
dan kambing yang seharusnya dikembangkan. Namun pemerintah hanya memberikan
peringatan dan teguran terhadap masyarakat, sehingga masih sangat banyak yang
melakukan pelanggaran.
Outcome
dalam implementasi kebijakan diartikan oleh Goggin ketika suatu kebijakan yang
diimplementasikan dapat memberikan pereubahan terkait permasalahan sosial.
Merujuk terhadap pembahasan terkait implementasi kebijakan pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Tuban khsusunya Desa Model, maka dapat dilihat secara
umum penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Tuban. Sejauh ini kondisi
kemiskinan di Kabupaten Tuban mengalami penurunan dari tahun 2008-2009 yang
mencapai 28%, di tahun 2011 menjadi 20,19 persen 2012 menjadi 17,78 persen dan
pada tahun 2013 turun menjadi 17,16 persen. Namun yang perlu menjadi catatan
adalah, meskipun presentase kemiskinan mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Tuban masih memiliki
presentase kemiskinan yang cukup tinggi, yaknis pereingkat 7 terbesar diantara
Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Implementasi dari kebijakan pengentasan
kemiskinan “Program Desa Model” Kabupaten Tuban sesuai dengan pendekatan
komunikasi model Goggin, yang dapat diainterpretasikan sebagai berikut:
a. Federal Level Inducement and
Constrain dalam implementasi kebijakan tersebut diartikan
sebagai dorongan dari pemerintah pusat dalam upaya pengentasan kemiskinan di
Indonesia
b. State and Local Inducement and
Constrains dalam implementasi kebijakan tersebut diartikan
sebagai dorongan dari pemerintah daerah dalam upaya pengentasan kemiskinan di
Kabupaten Tuban yang notabene sebagai salah satu daerah termiskin di Provinsi
Jawa Timur (peringkat enam termiskin).
c. Decisional Outcomes and State
Capacity dalam implementasi kebijakan tersebut diartikan
sebagai dampak dari kebijakan yang diinginkan oleh Kabupaten Tuban untuk
mengentaskan kemiskinan di daerahnya melalui TKPKD
d. State Implementation
dalam implementasi kebijakan tersebut diartikan sebagai implementasi kebijakan
pengentasan kemiskinan “Program Desa Model” di Kabupaten Tuban.
2.
Output
dan outcomes dari kebijakan pengentasan kemiskinan
di Kabupaten Tuban adalah:
a. Output
kebijakan pengentasan kemiskinan “Program Desa Model” di Kabupaten Tuban dapat
dilihat dari tiga tahap implementasinya, yaitu formulasi, implementasi dan
evaluasi. Pertama, dalam tahap
formulasi terdapat hambatan di dalamnya, yakni tidak dilibatkannya masyarakat
dalam mengidentifikasi kelompok sasaran. Kedua,
dalam tahap implementasi tidak ada masalah yang berarti. Dan ketiga, dalam tahap evaluasi terdapat
masalah diataranya kurang tepatnya bantuan yang diberikan kepada kelompok
sasaran, kurang tegasnya pemerintah dalam menindak pelanggaran pelaksanaan
kebijakan, ketiadaan komitmen dari masyarakat dalam menjalankan instruksi dari
TKPKD Kabupaten Tuban.
b. Outcomes
yang diharapkan adalah pada dasarnya harapan jangka panjang dalam menyelesaikan
asalah kemiskinan. Hal ini adalah berkurangnya bahkan hilangnya angka
kemiskinan di Kabupaten Tuban.
Saran yang dapat
penulis berikan adalah :
1.
Komunikasi Model dari Goggin sepatutnya
dapat dilaksanakan sehingga akan membawa kebaikan pada pelaksananya, termasuk
Kabupaten Tuban agar dapat melaksanakan model tersebut sesuai kondisi idealnya
2.
Pemerintah Kabupaten Tuban harus dapat
menyelesaikan masalah-masalah dalam kebijakan pengentasan kemiskinan. Yang
dapat dibagi dalam tiga tahapan:
-
Pada tahap formulasi masyarakat
sepatutnya dilibatkan secara aktif dalam mengidentifikasi kelompok sasaran.
Mengingat masyarakatlah yang paling paham akan kondisi tersebut (bagaimana
kelompok sasaran tersebut)
-
Pada tahap evaluasi bantuan-bantuan yang
akan diberikan oleh pemerintah sepatutnya dianalisa (hal ini dapat dilakukan
dengan adanya pendataan di masyarakat) terlebih dahulu, apa jenis dan kepada
siapa bantuan tersebut diberikan. Jenis bentuan yang diberikan haruslah sesuai
dengan penerima agar dapat dipergunakan dengan maksimal.
-
Pemerintah haruslah tegas dalam melihat
dan menindak adanya pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini
akan sangat tepat dengan adanya kebijakan tersendiri dalam menangani
pelanggaran. Disamping itu komitmen dari pemerintah dalam melaksanakan
ketegasan akan sangat dibutuhkan.
-
Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran
dan komitmennya dalam menjalankan kebijakan dari pemerintah. Tanpa adanya
kerjasama yag aktif dari masyarakat, maka semua kebijakan akan menjadi sia-sia.
Sosialisasi dan pendekatan oleh pemerintah dalam hal ini patut digencarkan.
Abidin, Said. 2012. Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta.
Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi
Kedua. Yogyakarta: University of Gajah Mada Press.
Goggin, Malcolm L. et al. 1990. Implementation
Theory and Practice – Toward a third Generation
Kartasasmita, Ginanjar. 1996.
Pembangunan untuk rakyat:Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan,cetakan pertama.
Jakarta: PustakaCIdesindo
Mutaqien,Arip.2006.Menuju Indonesia
Sejahtera: upaya konkret pengentasan kemiskinan. jakarta: Khanata, Pustaka
LP3ES Indonesia
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy for The Developing Countries.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pedoman
Umum Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan melalui Desa Model Kabupaten Tuban
Peraturan
Menteri Dalam Negeri No 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan Daerah
Peraturan
Presiden No 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Skripsi Astiya Ningsih,Desiana Dewi.
2011. Studi Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis
Pemberdayaan Masyarakat (Studi deskriptif tentang Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kelurahan Lemah Putro,
KecamatanSidoarjo, Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: Universitas Airlangga
Subarsono,
A. G. 2005. Analisis Kebijakan Publik:
Konsep, Teori dan Aplikasi.
Suharto,
Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama
Winarno, Budi. 2002. Teori & Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Media Pressindo
Winarno,
Budi.2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo
Yuwono,
dkk. 2006. Pelayanan Publik dan Kemiskinan, Sebuah Alternatif Administrasi Pelayanan Publik. Surakarta :
Sebelas Maret University Press.