BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sangat kaya, baik dari sisi budaya maupun sumber daya alam. Sumber daya alamnya mulai dari laut, hutan, sungai, hingga cadangan mineral. Menurut Bank Dunia (2010) kekayaan hayati Indonesia seperti hutan luasnya yang tersisa adalah 94.432.000 ha. Sekitar 31.065.846 ha di antaranya adalah hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain hutan tersebut, kekayaan akan mineral dan batu bara Indonesia tidak kalah besarnya. Mineral yang kita miliki diantaranya adalah emas, nikel, tembaga, uranium, dan lainnya. Dari sekian jenis mineral yang ada tersebut, emas adalah salah satunya yang cukup mencuri perhatian. Berdasarkan World Gold Council tahun 2015, cadangan emas Indonesia sebesar 78,1 ton atau berada pada posisi ke 40 dunia.
Kekayaan mineral yang sedemikian rupa tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara primadona bagi negara asing. Negara luar berlomba-lomba datang ke Indonesia untuk dapat mengambil keuntungan dari kekayaan yang ada tersebut. Negara luar masuk ke Indonesia melalui perusahaan-perusahaan swasta mereka. Sebut saja dua perusahaan raksasa dunia yang bergerak dalam bidang pertambangan emas, yakni Freeport dan Newmont telah beraktivitas di Indonesia guna mengelola pertambangan emas. Dari kedua perusahaan pertambangan tersebut, PT Newmont Indonesia adalah pertambangan yang terdapat di Sumbawa Barat, NTB. Perusahaan ini bergerak dalam mengelola tembaga dan emas yang ada di Kawasan Batu Hijau, Sumbawa Barat. Newmont masuk ke Indonesia pada masa orde baru, Pendantangan kesepakatan antara Pemerintah dengan PT NNT (Newmont Nusa Tenggara) ini berlangsung setelah PT NNT mengajukan permohonan pengusahaan tambang di Indonesia berdasarkan Surat Nomor 0434/03/M.DJP/86 tanggal 27 Oktober 1986. Dengan merujuk kepada surat-surat rekomendasi dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor KS.02/2907/DPR-RI/86 tanggal 27 September 1986 dan Ketua Badan Penanaman Modal 211/A.1/1986 tanggal 8 September 1986. Presiden Seohaerto pada tanggal 6 November 1986 menyampaikan Surat No.B- 43/Pres/11/1986 kepada Menteri Pertambangan dan Energi perihal Persetujuan bagi 34 (tiga puluh empat) buah Naskah Kontrak Karya salah satunya adalah PT. Newmont Nusa Tenggara (hukumperdataunhas.wordpress.com).
Adanya kekayaan alam yang besar, seperti emas mengharuskan adanya sebuah penanganan dan pengamanan yang tepat oleh pemerintah. Pemerintah perlu melindungi dengan baik setiap kekayaannya walaupun kekayaan alam tersebut pada akhirnya akan tetap dikelola baik oleh asing maupun secara mandiri. Cara yang lazim untuk itu adalah dengan adanya sebuah kebijakan. Seperti halnya pernyataan berikut, “kebijakan sebagai keputusan-keputusan pemeritah” Gunn, 1986 (dalam Solichin, hal. 16 : 2011). Kebijakan ini berupa peraturan perundangan tentang minerba (mineral dan batu bara) tentunya. Pemerintah Indonesia sejauh ini telah menerbitkan beberapa kebijakan terkait minerba. Diantaranya adalah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, dan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Minerba. Perundangan tersebut adalah beberapa diantara kebijakan yang telah dicetuskan oleh pemerintah terkait pertambangan minerba.
Berbagai kebijkan yang telah ditetapkan pemerintah sejatinya dapat memberikan kebaikan kepada seluruh negara. Dalam hal ini masyarakat maupun lingkungan akan dapat diuntungkan. Disamping akan memberikan keuntungan juga kepada penanam pemodal/ investor. Tentunya dari setiap kebijakan pada hakikatnya tidak ada yang sempurna, pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Seperti yang disampaikan oleh Eugne Bardach (dalam Agustino, 2006:138), “Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedenganrannya mengenakan bagi telinga pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”. Tetapi setidaknya yang menjadi hal terpenting adalah konsistensi dan ketegasan inplementasi dari kebijakan dapat dilaksanakan. Akan tidak bijaksana jika sebuah kebijakan publik yang telah disusun dengan seksama, memakan waktu dan biaya (dalam hal ini uang rakyat) kemudian tidak diimplementasikan dengan baik. Justru kebijakan tersebut hanyalah “hiasan” birokrat sebagai nyanyian “nina bobo” kepada rakyat.
Implementasi kebijakan terkait minerba, sejauh ini dari adanya UU Nomor 11 Tahun 1967 sampai yang terbaru adalah UU Nomor 4 Tahun 2009 belumlah terimplementasi dengan sempurna. Sebelum berbicara mengenai implementasi dari perundangan tersebut, perlu diketahui bahwa terdapat perubahan atau perbedaan dari UU Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Nomor 4 Tahun 2009. Yang menjadi sorotan adalah perubahan dari bentuk kerjasama/kontrak antara pemerintah dengan investor. Semulanya pada saat penerapan UU Nomor 11 Tahun 1967 kerjasama/kontrak pertambangan di Indonesia berupa Kontrak Karya (KK), namun setelah berganti dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kembali dalam hal implementasi, mengambil contoh perundangan terakhir yaitu UU Nomor 4 Tahun 2009, dalam penerapannya masih kurang konsisten. Dari pasal-pasal yang terdapat di dalam UU tersebut misalnya dalam pasal 103 ayat 1, yang berbunyi “pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”, dan pasal 170 berbunyi “pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU ini diundangkan”. Dengan amanat UU sedemikian mengisyaratkan perusahaan seperti PT. Newmont untuk melakukan pemurnian di dalam negeri, sehingga pada akhirnya perusahaan harus membangun smelter (sebuah alat pemurnian). Namun dalam prakteknya tidaklah dilaksanakan dengan baik. Pemerintah nampaknya masih memberikan ruang kepada investor untuk tidak mengindahkan peraturan tersebut. Perusahaan seperti PT. Newmont hingga angkat kaki dari Indonesia sama sekali belum membangun smelter, yang dengan kata lain tidak mengindahkan amanat UU. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, “Pemerintah tidak konsisten terhadap isi UU Minerba, oleh karenanya KSPI mendesak pemerintah untuk memaksa perusahaan tambang untuk membangun pabrik pengolahan atau smelter”, (industri.bisnis.com).
Berkaitan dengan hal tersebut yakni inkonsistensi dari pemerintah, yang menarik lainnya adalah adanya tumpang tindih dalam perundangan minerba. Di satu sisi pemerintah telah dengan tegas mengatur segala hal mengenai minerba termasuk bagaimana ketentuan-ketentuan didalamnya (misalnya syarat pelaksanaan usaha pertambangan), diantaranya adalah mengaharuskannya perusahaan untuk melakukan pemurnian dengan membangun smelter sebelum melakukan ekspor, melalui UU Nomor 4 Tahun 2009. Namun, di satu sisi pemerintah justru memberi ruang kepada pengusaha termasuk PT Newmont untuk melakukan ekspor. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar, “Ada enam hasil mineral olahan yang masih boleh yakni tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan”, (industri.bisnis.com). Proses kegiatan ini sesuai dengan terbitan kebijakan lainnya, yaitu berupa PP Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014, yang pada dasarnya peraturan yang tingkatannya lebih rendah tidak dapat mendahului peratuan yang ada diatasnya (dalam hal ini tingkatan antara UU yang lebih tinggi dari PP ataupun Permen). Tentu dengan hal tersebut memberikan gambaran jelas bahwa adanya inkonsistensi dari pemerintah.
Sebuah kebijkan yang merupakan produk dari pemerintah sapatutnya dapat diimplementasikan dengan baik. Apa yang terjadi dengan implementasi dari UU Minerba adalah catatan yang kurang baik dari pemerintah Indonesia. Oleh karena itu hal ini sangat baik untuk dapat dianalisis. Berdasarkan permasalahan dan fenomena diatas, maka penulis mengangkat sebuah makalah dengan judul, “Implementasi UU Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah, maka rumusan masalah yang dapat diberikan adalah:
1. Bagaimanakah implementasi UU Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara?
2. Apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi UU Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi UU Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara
2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi UU Nomor 4 Tahun 2014 TentangPertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara
D. Kegunaan/Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dari makalah ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, makalah ini dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, sistematis serta analistik dalam menyikapi fenomena yang terjadi dan menjadi sebuah usaha menerapkan disiplin ilmu yang telah diperoleh selama kuliah.
b. Dapat digunakan sebagai bahan informasi, referensi, maupun kajian mendalam mengenai implementasi kebijakan publik, khususnya UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba
2. Manfaat Praktis
a. Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai implementasi kebijakan publik yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba
b. Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait mengenai bagaimana implementasikan sebuah kebijakan, khsusnya kebijakan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba
E. Metode Penyusunan
Untuk memberikan gambaran mengenai makalah ini, maka akan dijelaskan mengenai metode penyusunan yang akan disajikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN :
Dalam bab ini, dijabarkan mengenai latar belakang dari penulisan makalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Selain itu bab ini merupakan pengantar yang digunakan untuk lebih memahami bab selanjutnya melalui penjabaran mengenai kondisi implementasi UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba di Nusa Tenggara Barat khususnya PT. Newmont yang mengalami kendala dalam proses implementasinya.
BAB II PEMBAHASAN :
Dalam bab ini, dijabarkan mengenai kajian teori dan pembahasan. Teori-teori yang digunakan dan dianggap relevan dengan kasus yang diangkat sebagai masalah dalam implementasi UU No. 4 Tahun 2009
BAB III PENUTUP :
Dalam bab ini, memuat mengenai kesimpulan dan saran atas kasus yang diangkat dalam makalah ini dan diharapkan dapat memberi masukan bagi pihak-pihak terkait.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Konsep dan Teori Kebijakan Publik
Secara etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis (negara-kota) dan pur (kota) dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris pertengahan policie, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan. Asal usul etimologis kata policy sama dengan kata penting lainnya: police dan politics (Dunn h.51)
Setiap negara di dunia pasti memiliki kebijakan-kebijakan tertentu yang digunakan sebagai pedoman dan sifatnya mengikat setiap warga negara untuk mematuhi kebijakan tersebut, meskipun disetiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda namun dapat dikatakan kebijakan bertujuan untuk membawa masyarakat kepada kesejahteraan melalui kebijakan yang dibuat tersebut. Anderson dkk dalam Abidin h.23 mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan sebagai berikut :
1. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or chance behavior. Setiap kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Tanpa ada tujuan tidak perlu ada kebijakan.
2. Public policy consists of courses of action—rather than separate, discrete decision, or actions—performed by government officials. Artinya, suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain. Namun, ia berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada implementasi, interpretasi, dan penegakan hukum.
3. Policy is what government do—not what they say will do or what they intend to do. Kebijakan adalah apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih ingin atau dikehendaki untuk dilakukan pemerintah.
4. Public policy may either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.
5. Public policy is based on law and is authoritative. Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga mempunyai kewenangan untuk memaksa masyarakat mengikutinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas R. Dye dalam Riant Nugroho h.38, understanding public policy is through whatever governments choose to do or not to do. Public policy is what government does, why government does it, and what difference does it makes. Dimana nantinya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan berdampak secara luas menurut Sueuer & Sunkin dalam Riant Nugroho h.40 bahwa :
“public policy is a color that pour upstream of a river. If we pour red color, the river will turn to red. If we pour poison, everybody who drinks the water will be poisoned. Public policy is rules of game, in any society as a political entity. Life is about the growth and the order toward welfare and prosperity. There is always life’s rule of game. Even mafia has its own rules of game. The excellent society must be a society who has an excellent rule of game. Common people, and sometimes scholars, mention “rule of game” as “law”. Rule of game is not as simple as law. Rule of game is public policy since law is a formal and legal form of public policy”(Kebijakan publik adalah warna yang tuangkan hulu sungai. Jika kita tuangkan warna merah, sungai akan berubah menjadi merah. Jika kita tuangkan racun, semua orang yang minum air akan diracun. Kebijakan publik adalah aturan permainan, di setiap masyarakat sebagai entitas politik. Hidup adalah tentang pertumbuhan dan urutan ke kesejahteraan dan kemakmuran. Selalu ada aturan hidup dari permainan. Bahkan mafia memiliki aturan sendiri permainan. Masyarakat yang baik harus menjadi masyarakat yang memiliki aturan yang sangat baik dari permainan. Masyarakat umum, dan kadang-kadang pemerintah, menyebutkan "aturan permainan" sebagai "hukum". Aturan permainan tidak sesederhana hukum. Aturan permainan adalah kebijakan publik karena hukum adalah bentuk formal dan hukum dari kebijakan publik)
Jika dilihat dari segi struktur, ada lima unsur kebijakan. Pertama, Tujuan Kebijakan. Tujuan atas kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah menurut Riant Nugroho h. 48 adalah :
“the first objective of public policy is to distribute national resources, the second objective of public policy is to regulate, to liberate, and to deregulate, the third objective of public policy is dynamics and stabilization, and the fourth objective of public policy is strengthening the state versus strengthening the market.” (tujuan pertama dari kebijakan publik adalah untuk mendistribusikan sumber daya nasional, tujuan kedua dari kebijakan publik adalah untuk mengatur, untuk membebaskan, dan deregulasi, tujuan ketiga kebijakan publik adalah dinamika dan stabilisasi, dan tujuan keempat kebijakan publik adalah memperkuat negara terhadap penguatan pasar)
Namun, Riant Nugroho h.51 menegaskan bahwa :
“any public policy must have more than one policy objectives. The underlining principles is to keep all actors of the nation, state, and society balance and equal, working together to achieve the mission of the nation, the belief on goodness which they have in mind and heart.”(setiap kebijakan publik harus memiliki lebih dari satu tujuan kebijakan. Prinsip-prinsip yang digarisbawahi adalah untuk menyimpan semua pelaku bangsa, negara, dan keseimbangan masyarakat dan setara, bekerja sama untuk mencapai misi bangsa, kepercayaan pada kebaikan yang mereka miliki dalam pikiran dan hati)
Kedua, Masalah. Menurut Abidin h.27 masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam menentukan masalah yang tepat, dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Tidak ada artinya suatu cara atau metode yang baik untuk pemecahan suatu masalah kebijakan jika pemecahannya dilakukan terhadap masalah yang tidak benar.
Ketiga, unsur tuntutan (demand) dimana menurut Abidin h.28 tuntutan muncul karena salah satu dari dua sebab. Pertama, karena terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam proses perumusan kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dirasakan tidak memenuhi atau merugikan kepentingan mereka. Kedua, karena munculnya kebutuhan baru yang menyusul setelah suatu tujuan tercapai atau suatu masalah terpecahkan.
Keempat, unsur dampak (outcome. Abidin h.30 menyebutkan dampak merupakan tujuan lanjutan yang muncul sebagai pengaruh dari pencapaian suatu tujuan. Berapa besar dampak yang terjadi untuk setiap jenis kebijakan sulit diperhitungkan. Hal ini disebabkan oleh : (a) tidak tersedianya informasi yang cukup, (b) dalam bidang sosial, pengaruh dari satu kebijakan sulit dipisahkan dengan pengaruh dari kebijakan lain, dan (c) proses berjalannya pengaruh dari sesuatu kebijakan dalam bidang sosial sulit diamati.
Kelima, unsur sarana atau alat kebijakan (policy instruments). Abidin h.31 berpendapat bahwa suatu kebijakan diiplementasikan dengan menggunakan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana ini dapat disebutkan, antara lain kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis, dan perubahan dari kebijakan itu sendiri.
Definisi kebijakan publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah “keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak”. Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di depan publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat publik juga merupakan bagian kebijakan publik. Hal ini dapat dipahami karena pejabat publik adalah salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu sendiri.
Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya. Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai kebijakan publik/public policy, pelaku kebijakan/policy stakeholders, dan lingkungan kebijakan/policy environment.
Gambar 2.2 Tiga Elemen Sistem Kebijakan
Sumber: Thomas R. Dye dalam Dunn (2000
Ketiga elemen tersebut saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2000) menyatakan, “Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak tepisahkan di dalam prakteknya”.
2. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan menurut Abidin h.145 merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa implementasi, suatu kebijakan hanyalah merupakan sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat.
Gambar 2.3 Proses implementasi berkaitan dengan faktor utama internal dan faktor utama eksternal
Sumber : Abidin (2012)
Kondisi kebijakan adalah faktor yang paling dominan dalam proses implementasi karena yang diimplementasikan justru kebijakan itu sendiri. Berhasil tidaknya implementasi suatu kebijakan ditentukan oleh dua hal, yaitu kualitas kebijakan dan ketepatan strategi implementasi. Abidin h.148 mendefinisikan beberapa elemen suatu kebijakan yang dapat dianggap berkualitas:
1. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu. Tujuan atau alasan suatu kebijakan dapat dikatakan baik jika tujuan atau alasan itu memenuhi kriteria berikut.
a. Rasional, artinya tujuan tersebut dapat dipahami atau diterima oleh akal sehat
b. Diinginkan (desirable), tujuan dari kebijakan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak sehinga memperoleh dukungan dari banyak pihak
2. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis. Asumsi tersebut tidak mengada-ada. Asumsi ini menentukan tingkat validitas suatu kebijakan.
3. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar. Suatu kebijakan menjadi tidak tepat apabila didasarkan pada infomasi yang tidak benar atau sudah kadaluarsa. Sementara itu, kebijakan yang didasarkan pada informasi yang kurang lengkap boleh jadi tidak sempurna atau tidak tepat.
Kemudian implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn (dukutip dari Winarno 2005, h.102) mengatakan :
“Tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah atau swasta atau kelompok-kelompok pemerintah yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan, yaitu untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu. Implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan.”
Menurut Wahab (2014) suatu kebijakan dapat mencapai dampak yang diinginkan jika : (a) output-output kebijakan badan-badan pelaksana sejalan dengan tujuan formal undang-undang, (b) kelompok sasaran terhadap output kebijakan atau terhadap dampak kebijakan sebagai akibat adanya peraturan-peraturan yang saling bertentangan, (c) undang-undang atau peraturan tersebut memuat teori kausalitas yang andal mengenai hubungan antara perubahan perilaku pada kelompok sasaran dengan tercapainya tujuan yang telah digariskan.
Dalam menganalisa implementasi kebijakan dapat menggunakan beberapa model berikut ini:
a. Model Gogin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan (3) Pengaruh lingkungan masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antar warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya (Goggin, 1990).
b. Model Grindle
Sebagaimana dikutip oleh Wahab (2008), Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan, (2) Jenis manfaat yang dihasilkan, (3) Derajat perubahan yang diinginkan, (4) Kedudukan pembuat kebijakan, (5) Para pelaksana program, (6) Sumber daya yang dikerahkan.
c. Model Meter dan Horn
Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu : (1) Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian dan tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, (2) Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, (3) Komunikasi inter organisasi dan aktivitas pengukuran digunakan oleh pelaksanaan untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, (4) Karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu program, (5) Kondisi sosial, ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan dan (6) Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.
d. Model Deskriptif
William N. Dunn (disadur oleh Darwin, 2001), menyatakan bahwa model kebijakan dapat diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah : (1) Perbedaan menurut tujuan, (2) Bentuk penyajian dan (3) fungsi metodologi model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah : (1) Model deskriptif, (2) Model normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan, model kbijakan digunakan untuk memonitor hasil tindakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan di lapangan.
e. Model George Edward III
Menurut teori George Edward III dalam implementasi kebijakan ada 4 variabel yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sukses atau tidaknya implementasi kebijakan, yaitu : (1) Komunikasi yang efektif, (2) Sumber-sumber, (3) Disposisi/sikap dan (3) Struktur birokrasi.
3. Pertambangan Emas dan Batu Bara
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Pertambangan Mineral dan Batubara memisahkan antara jenis tambang mineral dengan batubara, sebagai berikut:
• Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan Kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
• Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Adapun jenis-jenis pertambangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu:
• Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. (Pasal 1 ayat 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara)
• Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal (Pasal 1 ayat 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang (Pasal 1 ayat 6).
Usaha pertambangan memiliki beberapa macam jenis Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai berikut :
• Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan (Pasal 1 ayat 7).
• Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan (Pasal 1 ayat 8).
• Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan sete1ah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi (Pasal 1 ayat 9).
• Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas (Pasal 1 ayat 10).
• Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang se1anjutnya disebut dengan IUPK, adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus (Pasal 1 ayat 11).
• Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus (Pasal 1 ayat 12).
• Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus (Pasal 1 ayat 13).
Pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.
Pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus tidak boleh memindahkan Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus-nya kepada pihak lain dan Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu yaitu telah ditemukan dua wilayah prospek dalam kegiatan eksplorasi.
Bentuk Pengelolaan Mineral dan Batu Bara berdasarkan Perundangan
Merujuk pada UU Nomor 4 Tahun 2009, dalam pasal 103 ayat 1 disebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, dijelaskan pula di dalam pasal 170 yang berbunyi Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat – lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
B. Pembahasan
1. Implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba Pada PT Newmont Nusa Tenggara, Sumbawa Barat, NTB
Kehadiran Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dilandasi oleh niat untuk memperbaiki tata kelola pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Salah satu esensi perbaikan yang dikandung UU Minerba adalah menata ulang izin-izin yang tumpang tindih. Undang-undang ini secara implisit mengharuskan penambang untuk memiliki fasilitas peleburan dan pengolahan mulai dari tanggal 12 Januari 2014. Hal ini kemudian hari dipertegas dengan dikeluarkannya Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam negeri. Dimana didalam pasal 1 ayat (1), dinyatakan secara tegas, “Pemegang IUP Operasi Produksi tembaga, IUPK Operasi Produksi tembaga, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/ atau pemurnian tembaga serta IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan yang menjual komoditas tambang tembaga, termasuk produk samping atau sisa hasil pemurnian konsentrat tembaga berupa lumpur anoda dan tembaga telurid ke luar negeri wajib memenuhi batasan minimum pemurnian komoditas tambang mineral logam sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini”.
Namun kenyataannya kebijakan tersebut tidak dijalankan secara konsisten, pada PT. Newmont misalnya inkonsistensi yang dimaksud adalah tidak berjalannya implementasi peraturan seperti yang tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009, lebih jelasnya berdasarkan pasal 103 dan 107. Kebijakan seharusnya diimplementasikan dengan semestinya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Van Horn (Grindle, 1980:6) yang terdapat dalam Jurnal Haedar Akib yang menyebutkan bahwa, “implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah.” Lebih lanjut lagi Van Meter dan Van Horn (Grindle, 1980:6) menyampaikan bahwa, “tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan”. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kedua pasal ini tidak dijalankan dengan semestinya sejak UU No. 4 Tahun 2009 ini dikeluarkan, sampai dengan akhirnya pada tahun 2016 PT. Newmont “angkat kaki” dari NTB, PT. Newmont sama sekali tidak tergerak untuk membangun Smelter (dengan kata lain tidak menaati amanat dari UU Minerba tersebut).
Adapun smelter sendiri seperti adalah, “smelting is a form of extractive metallurgy; its main use is to produce a base metal from its ore. This includes production of silver, iron, copper and other base metals from their ores. Smelting makes use of heat and a chemical reducing agent to decompose the ore, driving off other elements as gases or slag and leaving just the metal base behind. The reducing agent is commonly a source of carbon such as coke, or in earlier times charcoal”. Artinya adalah, “peleburan adalah bentuk metalurgi ekstraktif; Penggunaan utamanya adalah untuk menghasilkan logam dasar dari bijih. Ini termasuk produksi perak, besi, tembaga dan logam mulia lainnya dari bijih mereka. Smelting memanfaatkan panas dan bahan kimia pereduksi membusuk bijih, mengemudi off unsur-unsur lain seperti gas atau terak dan meninggalkan hanya logam dasar belakang. Zat pereduksi umumnya sumber karbon seperti kola, atau di masa arang sebelumnya”, (wikipedia.com).
Masalah lainnya dari penerapan peraturan pertambangan minerba ini adalah banyak ditentang oleh perusahaan-perusahaan tambang, karena dianggap memberatkan. Seperti Asosiasi Pengusaha Mineral se-Indonesia (Apemindo) yang mendatangi komisi VII DPR-RI dan meminta pemerintah membatalkan pelaksanaan UU Minerba, karena Apemindo menganggap pemerintah tidak siap untuk memfasilitasi pembangunan smelter, (sindonews.com). Dari sekian banyak perusahaan tambang yang menolak keberadaan UU ini, terdapat dua perusahaan tambang yang paling gencar dalam menolak yaitu PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Kedua perusahaan ini bahkan mengancam akan menghentikan produksinya di Indonesia yang akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan apabila pemerintah benar-benar menerapkan UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba (sinarharapan.co.id). Tidak adanya kesepahaman antara pemerintah dengan dua perusahaan tambang ini kemudian membuat PT. NNT membawa permasalahan ini ke ranah hukum dengan menggugat pemerintah Indonesia ke jalur hukum melalui mahkamah arbitrase internasional, yakni the International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID).
Pemerintah Indonesia terus berdiplomasi dengan PT. Newmont untuk dapat mengikuti UU No.4 tahun 2009 dan membatalkan tuntutannya terhadap mahkamah arbitrase. Hal ini bermula dari keengganan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) untuk menjalankan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba karena dianggap merugikan mereka. Pemerintah Indonesia kemudian terkesan melunak dan mengeluarkan beleid terbaru untuk mendispensasi Newmont dan Freeport yaitu dengan mengeluarkan PP Nomor 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Ketiga Permen ESDM Nomor 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (sindonews.com). Kendati dianggap bertentangan dengan UU No. 4 tahun 2009 pemerintah melalui Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Dede Suhendra menyatakan bahwa Freeport dan Newmont telah melakukan pengolahan mineral mencapai kadar 30 persen berupa konsentrat tembaga. Karena itu, kedua perusahaan tambang asing tersebut tetap diberikan kelonggaran untuk mengekspor bahan mentah mineral milik negara. Menurut Dede, Freeport dan Newmont telah mengolah hasil tambang dengan kadar cuprum (Cu) mencapai 25 persen. Padahal larangan ekspor yang telah disepakati kadar Cu hanya sampai 15 persen (sindonews.com). Hal tersebut sebelumnya ini kemudian sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Quade (dalam jurnal Akib), “dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran, dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi”. Seprti itulah yang terjadi dengan pengimplementasian perundangan minerba ini, yakni adanya interkasi dan reaksi dari pihak-pihak terkait baik pemerintah maupun perusahaan. Lebih jauh lagi justru arah dari interaksi dan reaksi dalam implementasi UU minerba ini sedikit kearah yang “panas”.
Selanjutnya, tujuan pemerintah mengeluarkan UU No.4 Tahun 2009 yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri, dalam artian berusaha untuk meningkatkan kualitas ekspor dan bertujuan positif untuk menaikkan harga dan kualitas pertambangan Indonesia. Namun, kurangnya kesadaran dan kerjasama antara pemerintah dan pemegang usaha, menjadi kendala yang berarti untuk bisa mewujudkan dan mengembangkan kualitas pertambangan Indonesia seperti yang diharapkan melalui dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 2009. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Winarno, 2005, “implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah atau swasta atau kelompok-kelompok pemerintah yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan, yaitu untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu. Implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan”. Melalui pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa sebuah kebijkan adalah tidak lain untuk suatu tujuan yang positif yang ingin diraih. Begitupun dengan kebijakan terkait minerba di Indonesia.
Jika dilihat permasalahan ini secara holistik, sebenarnya larangan ekspor mineral mentah tidak dapat dikatakan kebijakan yang tergesa-gesa. Sejak ditetapkan pada tanggal 12 Januari 2009, UU Minerba tersebut telah menetapkan larangan ekspor terhadap bahan tambang mentah, namun karena aturan pelaksanaannya belum lahir sehingga larangan ini baru berlaku efektif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada tanggal 11 Januari 2014. Dengan demikian, mulai 12 Januari 2014 pelaku industri pertambangan di Indonesia sudah tidak dapat lagi mengekspor bahan tambang mentah keluar negeri. Jika mengekspor bahan tambang maka harus sudah diolah terlebih dahulu di dalam negeri agar memberikan nilai tambah. Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Belum lagi dengan pengolahan itu akan menghidupkan industri tambang di dalam negeri. Namun pada kenyataanya PT. Newmont tidak mengindahkan aturan tersebut, inilah bukti nyata bahwa pemerintah takluk dan lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan kepentingan negara dan rakyat. Yang dimana hal ini bertentangan dengan pendapat Smith sebagai berikut, “ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan”, (dalam jurnal Akib). Dari berbagai penjelasan tersebut diatas telah memberikan gambaran bahwa dalam proses implementasi kebijaka publik sangatlah penuh tantangan. Hanya saja yang patut disayangkan adalah adanya ketidaktegasan dan konsistensi dari pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang telah dibuatnya. Implementasi UU minerba ini adalah salah satu contoh dari permasalahan-permasalahan implementasi kebijakan publik yang ada di Indonesia.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implemetasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara
a. Faktor Pendukung
Meskipun dalam proses implementasinya masih terjadi banyak kekurangan, hambatan dan bahkan beberapa penolakan serta kurangnya kerjasama dari pemilik usaha tambang dengan pemerintah, namun setiap kebijakan pasti memiliki tujuan-tujuan (goals) yang berusaha untuk dicapai. Tujuan yang ingin dicapai tentu adalah tujuan yang membangun perekonomian Indonesia. Seperti yang dikutip dari www.suara.com, Peneliti Senior LPEM UI Uka Wikarya mengatakan bahwa:
“Kebijakan larangan ekspor memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menata kembali praktik pertambangan yang berkesinambungan, yang tidak saja mengutamakan jumlah produksi, tetapi juga nilai tambah dari mata rantai industri smelter yang memberikan efek ganda terhadap perekonomian, pelestarian lingkungan, dan masyarakat lokal,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis (15/12/2016).
Jika dilihat secara lebih rinci, faktor pendukung dari implementasi UU No. 4 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
- Perekonomian
Dari sisi perekonomian dapat memberikan dorongan untuk dapat diimplementasikannya kebijakan minerba ini. Dikutip dari paper milik Ari Setyawan yang menampilkan grafik kontribusi Indonesia pada mineral dunia yang bersumber dari Brookhunt USGS dan dimuat dalam www.academia.edu maka berikut ini adalah grafiknya :
Jika dilihat dari grafik diatas, Indonesia menduduki posisi yang sangat menjanjikan dalam pasar minerba dunia. Grafik tersebut menunjukkan kontribusi Indonesia pada minerba dunia dalam bentuk mentah, dan dapat dibayangkan keuntungan yang diperoleh Indonesia jika implementasi UU No. 4 Tahun 2009 mampu berjalan dengan maksimal dibarengi dengan posisi serta produksi yang sangat menjanjikan tersebut, tentu akan berdampak pada perkembangan kualitas dan harga jual minerba Indonesia bagi pasar dunia. Kembali mengutip dari dari www.suara.com, Peneliti Senior LPEM UI Uka Wikarya menjelaskan bahwa:
“kebijakan larangan ekspor Bauksit terbukti mendorong adanya pendirian sejumlah industri pengolahan bijih bauksit di dalam negeri. Hal ini berdampak positif terhadap ekonomi, antara lain nilai ekonomisnya meningkat menjadi 13,6 kali lipat. Satu ton bauksit dengan harga US$40 diolah menjadi 650 kilogram alumina, dengan harga yang meningkat sekitar US$208 atau 5,2 kali lebih tinggi, dan apabila diolah kembali, akan menghasilkan 325 kilogram aluminium dengan harga sekitar US$546 atau lebih tinggi 2,6 kali dari harga alumina. Dengan mengasumsikan semua cadangan bauksit di Kalimantan Barat diolah menjadi alumina, output perekonomian yang dihasilkan lebih tinggi 1,38 kali lebih lebih dibandingkan dengan tanpa smelter, nilai tambah bruto meningkat 1,38 kali, pendapatan per kapita naik 1,28 lebih tinggi, dan perluangan lapangan kerja naik sekitar 1,87 lebih tinggi dibandingkan tanpa smelter. Dampak ekonomi yang maksimal dari keberadaan smelter tersebut bakal semakin besar apabila produknya diserap industri dalam negeri untuk diolah lebih lanjut hingga menjadi barang akhir.” Dari pernyataan tersebut tentu merupakan kekuatan dari implementasi UU minerba.
- Dampak Lingkungan
Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia khususnya mineral dan batu bara, terkadang membuat para pemilik kepentingan “terlena” dan tanpa henti “mengeruk isi perut bumi” Indonesia. Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui ini, cepat atau lambat, disadari atau tidak akan merusak lingkungan. Beberapa dampak lingkungan yang muncul seperti kerusakan jalan, pencemaran air, polusi udara, deforestasi, dan lain-lain merupakan resiko yang membahayakan bagi ekosistem alam dan akhirnya berdampak kepada manusia. Oleh karena itu, melalui implementasi UU No. 4 Tahun 2009 ini, tentu sedikit demi sedikit akan mengurangi eksploitasi pertambangan yang berdampak buruk terhadap lingkungan dan manusia. Sehingga hal ini akan mendorong implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut agar diimplementasukan dengan maksimal.
b. Faktor Penghambat
Dalam pelaksanaan setiap kebijakan tidaklah selalu berjakan dengan mulus, tentu terdapat halangan atapun hambatannya. Begitupun dengan kebijakan UU Minerba terdapat hambatan-hambatan sebagai berikut:
- Kurang tegas dan konsistenya pemerintah dalam menjalankan setiap perundangan yang telah ditetapkan. Hal ini adalah merupakan salah satu penyakit dari birokrat yang belum dapat disembuhkan. Namun, inkonsistensi ini adalah tidak semata-mata dari dalam diri pemerintah sendiri, melainkan juga berkat pengaruh dari pihak swasta yang sering kali mengintervensi proses kegiatan pemerintah itu sendiri. Mengenai hal itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak, salah satu diantaranya adalah dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang menyatakan bahwa, “Pemerintah jangan mengistimewakan PT Freeport dan PT Newmont yang sampai saat ini dibolehkan beropreasi dengan orientasi ekspor mineral tanpa ada kejelasan batas waktu”, (industri.bisnis.com). Dengan pernyataan tersebut Iqbal sangat menyayangkan sikap dari pemerintah yang seakan tunduk kepada perusahaan asing. Mendukung pernyataan tersebut, Tjahyo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri mengatakan bahwa “ini wilayah yang besar, tapi masih ada intervensi asing di sana. Intervensi asing tidak hanya menyangkut sumber daya alam, tetapi juga mulai sektor lain”, (www.kompasiana.com). Dari kedua pernyataan tersebut dengan sangat jelas bahwa terdapat intervensi dari luar seperti perusahaan kepada pemerintah Indonesia, khusunya dalam implementasi UU Minerba.
- Perundang-undangan yang tumpang tindih. Sama halnya dengan inkonsistensi, pemerintah Indonesia tidak jarang membuat dan menjalankan sebuah perundangan yang saling mendahului satu dengan yang lainnya, saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Selayaknya sebuah kebijakan tidak saling bertentangan dengan yang lainnya. Dalam hal ini tumpang tindih yang terjadi adalah antara sebuah UU dengan peraturan di bawahnya. Di satu sisi dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba denga jelas memberikan amanat mengenai proses pertambangan minerba tersebut, diantaranya adalah tidak diberkenankan kepada perusahaan pertambangan melakukan ekspor dengan bentuk bahan mentah. Sebagai tindak lanjut dari hal ini adalah dengan mewajibkan setiap perusahaan mendirikan smelter. Namun, melalui putusan atau kebijakan lainnya yaitu PP Nomor 1 Tahun 2014 pemerintah memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk melakukan ekspor. Tentu dengan terjadinya hal ini sangatlah jelas adanya saling dulu mendahului antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lainnya, khususnya dalam hal pertambangan minerba.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenai implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Implementasi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara belum terimplementasi dengan baik. Mengingat reaksi dari perusahaan yang dalam hal ini adalah PT Newmont yang memperlihatkan sikap tidak patuh terhadap UU tersebut. Di satu sisi pemerintah dengan kebijakan yang telah ditetapkannya tidak tegas dilaksanakan. Selain itu pemerintah juga tidak konsisten dalam menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan terkait minerba tersebut. Bentuk inkonsistensinya adalah peraturan tersebut tidak secara utuh diterapkan, justru memberikan celah kepada perusahaan yang merupakan target dari peraturan tersebut dengan menerbitkan kebijakan lainnya dalam melaksanakan proses kegiatan pertambangan minerba di Indonesia. Hal ini berupa izin ekspor yang diberikan kepada perusahaan (PT Newmont), yang pada dasarnya tidak diizinkan sebelum perusahaan membangun smelter terlebih dahulu sebagai sarana pemurnian hasil tambang mereka.
2. Dalam implementasi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba pada PT Newmont Nusa Tenggara terdapat faktor pendukung dan penghambat didalamnya. Faktor pendukung dalam implementasi kebijakan ini adalah pertama, sisi ekonomi yang dimana denga diterapkannya kebijakan ini secara maksimal akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar kepada negara. Kedua, dari sisi lingkungan dengan implementasi yang baik dari UU minerba ini akan lebih memberikan perlindugan kepada lingkungan. Mengingat pentingnya lingkungan hidup maka hal ini akan mendorong UU tersebut dilaksanakan denga baik. Kenudian yang menjadi faktor penghambatnya adalah, pertama, inkonsistensi pemerintah yang merupakan penyakit lama yang diderita negara Indonesi dalam pengimplementasian kebijakannya. Hal ini juga terjadi pada implementasi UU minerba. Kedua, tidak jarangnya pemerintah membuat suatu kebijakan yang tumpang tindih sehingga memberikan kebingungan kepada user, dan yang lebih parah adalah akan menimbulkan celah kotor kepada user untuk dimanfaatkan. Hal ini juga timbul dalam implementasi UU minerba di Indonesia.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah dalam menjalankan atau mengimplementasikan setiap kebijakan publik pemerintah haruslah konsisten, tegas, dan berani mengambil resiko. Apalagi jika sebuah kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang cukup vital. Dalam hal perundangan minerba, pemerintah kedepannya dapat melakukan revisi agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan, inkonsisten dan sikap “lembut” pemerintah pada saat kebijakan publik tersebut diimplementasikan. Tidak hanya dari pemerintah saja, namun perusahaan juga kedeoannya dapat dengan bijaksana menyikapi setiap peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Perusahaan swasta juga harus dapat bekerjasama dengan baik dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya di Indonesia dengan mematuhi kebijakan publik yang ada. Disamping itu, peran aktif dari masyarakat juga diharapkan dalam hal ini. Masyarakat tidak bisa berdiam diri saja terhadap fenomena yang terjadi. Khususnya kepada mahasiswa harus dapat memberikan sumbangsih pemikirannya sehingga membawa perbaikan kepada bangsa dan negara tercinta Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said. 2012. Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika
Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: University of Gajah Mada Press
Haedar Akib, 2010. Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana. Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No. 1 Thn. 2010
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy for The Developing Countries. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wahab, Solichin Abdul. 2011. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press
Wahab, Solichin Abdul. 2014. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Winarno, Budi. 2002. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo
http://ekbis.sindonews.com/read/826152/34/freeport-dan-newmont-dapat-kelonggaran-ekspor-mineral-1389603171 [diakses pada tanggal 23 Februari 2017]
http://industri.bisnis.com/read/20140113/44/197033/permen-minerba-6-konsentrat-ini-masih-bisa-diekspor-hingga-2017 [diakses pada tanggal 24 Februari 2017]
http://sinarharapan.co/news/read/29600/gencar-penolakan-uu-minerba [diakses pada 23 Februari 2017]
http://www.sayangi.com/2014/01/12/15498/ekonomi-bisnis/sms-ditjen-minerba-ke-pemda-ntb-newmont-boleh-ekspor-mineral [diakses pada tanggal 24 Februari 2017]
http://www.suara.com/bisnis/2016/12/15/150520/lpem-ui-klaim-larangan-ekspor-mineral-mentah-berdampak-positif. [diakses pada tanggal 26 Februari 2017]
http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/11/08/newmont-menolak-bangun-smelter-kementerian-esdm-tak-pusing [diakses pada tanggal 23 Februari 2017]
https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/04/17/kontrak-karya-antara-pemerintah-dengan-pt-nnt/ [diakses pada tanggal 23 Februari 2017]
https://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ [diakses pada tanggal 23 Februari 2017]
https://independent.academia.edu/AriSetyawan10. [diakses pada tanggal 26 Februari 2017]