- By LA ODE YUSRAN SYARIF
- On Desember 06, 2016
- No Comment
(Penampakan Motor Cinta Laura)
Mungkin dibenak Para pembaca Blog yang budiman cuco, ganteng, cantik dan terhormat, ketika mendengar nama Cinta Laura, pasti kepikiran bahwa itu nama Artis yang identik kalau ngomong itu pake Ce Ce ...
"Cincaku Padamu Cak pernah Padam, Walupun gak ada ojek, naik becak, becek..becek.."
Oh,, Cherlalunya.mi....
Begitulah kura-kura..
Hehehe...
Ternyata bukan, Cinta Laura itu tak hanya nama Seorang artis yang katanya Papan atas dan naik daun Komba-komba... Hehehhehe.....
Di Kampung saya salah satu Daerah terpencil dikepulauan Kadatua - Buton Selatan, ada sebuah motor tua buntut Honda merk Supra X yang orang-orang dipulau itu menganggapnya "Motor Cinta Laura". Entahlah dari mana asal muasal penamaan motor tersebut, tapi ada salah satu sumber yang saya coba wawancara, beliau adalah Raja Pertama Koslet "Baginda Farlengke bin Manguntur" dan juga salah satu Buronan kasus Penyalagunaan anggaran La Buge (Budiono) pada Mega Proyek Pembangunan Wisma Atlet Walaidhi, berikut kutipan wawancaranya:
"Kenapa pak sampai dinamakan MOTOR CINTA LAURA, apa motif dari penamaan tersebut?" tanyaku
"inaee..... begitu saja ko tidak tau belaaa e,,,, ko liat dank namanya SUPRA kalo dalam panggilan sayang atau lembutnya orang Kadatua itu "LAURA" Contoh Akbar, panggilan sayangnya Balu, Harfan panggilan sayangnya Lafafa, Rusmin panggilannya Laimi, dan lain-lain....
Jawab si Raja Koslet
*Oh, ternyata Laura itu panggilan sayang/lembut dari SUPRA.... heheheheheh
Waktu saya SMP-SMA dizaman keemasan Dewi Persik dengan lagu Populernya Mimpi Basah Manis, Motor ini boleh dibilang motor yang paling gokil dan Gaul, dulu motor ini yang selalu kami jadikan kendaraan kemanapun, mulai dari pacaran, ke acara joget, petik kelapa dll, muatannyapun beragam kadang bonceng 3, kadang juga bonceng 4 dan bahkan bonceng 5.
Kini motor ini sudah tidak bisa jalan, rusak total dan telah menjadi bangkai. Meskipun kondisinya rusak, tapi dikalangan pemuda Kapoa Barat khususnya di Komunitas KOSLET, Motor CINTA LAURA ini sudah menjadi sebuah legenda, dan bagian dari kisah hidup mereka ketika selama menghabiskan masa remaja dan hidup di Pulau kecil Kadatua, banyak kenangan-kenangan manis yang tak bisa dilupakan sepanjang masa. Tumbuh, berproses dan berkembangnya hingga menjadi pribadi tangguh dan berani menantang dunia rantau.
Kini sebagian dari mereka (Pemuda Koslet) tak lagi di Kampung, mereka berpencar diberbagai pelosok Nusantara, dan mencari kehidupan masing-masing ada yang masih berstatus sebagai mahasiswa, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan, Honorer (Guru/Bidan/Perawat), karyawan Toko, Karyawan perusahan, Pegawai BUMN, Anggota TNI, POLRI dan bahkan Pengusaha Sukses.
Dan yang tersisa tinggal generasi baru, harapannya kelak mereka melanjutkan estafet yang diwarisi senior-seniornya, kebersamaan, kekompakan dan solidaritas tetap terjaga dan dipegang teguh.
*SEMOGA.....
- By LA ODE YUSRAN SYARIF
- On Desember 06, 2016
- No Comment
A. Hubungan Etika Dan Akuntabilitas
Akuntabilitas
secara tradisional dianggap sebagai cara yang digunakan untuk
mengontrol dan perilaku administrasi langsung dengan mewajibkan
"answerability" untuk beberapa kewenangan eksternal. Ia
memiliki akar dalam sejarah konstitusi Amerika, dan dapat dihubungkan
dengan prinsip-prinsip tersirat dalam Magna Carta serta sistem checks
and balances. Dalam administrasi publik, etika yang paling sering dikaitkan dengan standar perilaku yang bertanggung jawab dan integritas.
Isu
tentang hubungan antara kedua menjadi pusat perdebatan sejak awal
1940-an-salah satu dari dua perdebatan yang menetapkan agenda
intelektual untuk bidang administrasi publik selama era Perang Dingin
(yang lainnya perdebatan antara Herbert Simon dan Dwight Waldo) .1 Dalam
esai 1940, 2 Friedrich berpendapat bahwa cara-cara tradisional
(misalnya, pengawasan dan pengendalian) untuk memegang administrator
bertanggung jawab tidak efektif dan tidak perlu. Hal
itu wajar, katanya, untuk tunduk kepada penilaian administrator yang
rasa tanggung jawab profesional dan kesetiaan bisa dipercaya ketika
mereka melakukan kebijakan publik untuk kepentingan nasional. Sebagai
tanggapan, Finer3 menegaskan kembali pandangan luas bahwa, meskipun
rasa yang lebih besar dari tanggung jawab profesional antara
administrator saat ini, demokrasi masih memerlukan peningkatan kontrol
publik dan arah agen administrasi pertukaran itu dan tetap ekspresi
klasik hubungan konvensional antara etika dan akuntabilitas dalam publik
administration. mendasar untuk melihat bahwa adalah asumsi bahwa
komitmen administrator modern untuk melakukan sendiri bertanggung jawab
(yaitu , etis, sesuai dengan "moralitas demokratis") tidak memadai untuk
memastikan bahwa kehendak rakyat akan dilaksanakan. Akuntabilitas, dalam bentuk eksternal (misalnya, demokratis) kendala dan kontrol, juga diperlukan. Mekanisme
Akuntabilitas diminta untuk membuat keputusan dan perilaku pejabat
publik yang bertanggung jawab, tidak hanya dalam indera hukum, politik,
atau birokrasi istilah itu, tetapi juga morally. Perilaku etis,
singkatnya, diperlukan kehadiran mekanisme akuntabilitas eksternal dalam
berbagai bentuk mereka.
Apakah akuntabilitas menumbuhkan perilaku etis atau moral bertanggung jawab? Meskipun beasiswa cukup dikhususkan untuk pemeriksaan upaya untuk mengendalikan birokrasi melalui berbagai mekanisme akuntabilitas, eksistensi atau efektivitas hubungan akuntabilitas-etika memiliki sistematis belum diperiksa. Sebuah badan berkembang bekerja pada akuntabilitas menyiratkan bahwa ia memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku administrasi tetapi tidak , dari penelitian ini secara langsung alamat bagaimana akuntabilitas mempengaruhi standar etika dan strategi yang diadopsi oleh administrator.
Apakah akuntabilitas menumbuhkan perilaku etis atau moral bertanggung jawab? Meskipun beasiswa cukup dikhususkan untuk pemeriksaan upaya untuk mengendalikan birokrasi melalui berbagai mekanisme akuntabilitas, eksistensi atau efektivitas hubungan akuntabilitas-etika memiliki sistematis belum diperiksa. Sebuah badan berkembang bekerja pada akuntabilitas menyiratkan bahwa ia memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku administrasi tetapi tidak , dari penelitian ini secara langsung alamat bagaimana akuntabilitas mempengaruhi standar etika dan strategi yang diadopsi oleh administrator.
B. Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik
Keban
(2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah
suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan
secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat,
berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan
publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang
sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan
publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat.
Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan
atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan
publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik,
kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service)
identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang
lain dalam mencapai kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam
konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana
elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain
organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan
pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Bertens
(2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak
dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan
kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga
mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan
Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut
sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Dengan
memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada
tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim
nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal
dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,
yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran
tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami
perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994).
Leys mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia
menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam
pembuatan keputusan dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada
kebiasaan dan tradisi yang sudah ada.
Pada
sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui
karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standard
yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu
point baru, bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar
keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari
masyarakat yang dilayani.
Kemudian
pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan
Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu
standar etika yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan
karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak
sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Sejak
permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar
pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua
diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr
dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat
menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan
dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai
alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara
demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics)
adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang
melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran
Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu
terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia
menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan
administrasi.
C. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Dari
paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat
diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan
pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh
administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan
mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang
dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam
menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang
dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika
yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah sistem,
yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat bertambah
baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big bureaucracy, giant bureaucracy),
perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian maka
etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama
sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi
publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam
organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua,
etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan
tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Seperangkat
nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan,
referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya antara lain adalah : (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi; (3) impersonal,
maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu
dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan
secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk
menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi
selayaknya mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini
berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas
kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya; (6) accountable,
nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab
birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh
masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan,
sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi
harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan
kepuasan publik); (7) responsiveness, artinya birokrasi publik
memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat
dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda
waktu atau memperpanjang alur pelayanan.
Berkaitan
dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas,
maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi
tersebut telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka hal ini
akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme,
ataupun bentuk-bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi,
kendatipun tidak ada lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi
pula bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi
perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali
kepada kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata
lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang
melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam
membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri
setiap individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan
tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan).
Menurut
Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas
pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode
etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan
bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki
nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah
pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut
tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah
memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan
kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi
sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat
dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode
etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat
implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian
implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau
direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita
mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam
pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi
pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang
relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration)
yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta
penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan
perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran,
ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap,
mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja
profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan
keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap
informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.
D. Pengertian Akuntabilitas
Istilah akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggris accountability yang
berarti pertanggunganjawab atau keadaan untuk dipertanggungjawabkan
atau keadaan untuk diminta pertanggunganjawab. Akuntabilitas (accountability) yaitu
berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan,
sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Akuntabilitas dapat
diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau
penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan
yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang
menyangkut pertanggung jawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan
instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil
pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada
masyarakat.
Pengertian
akuntabilitas ini memberikan suatu petunjuk sasaran pada hampir semua
reformasi sektor publik dan mendorong pada munculnya tekanan untuk
pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggungjawab dan untuk menjamin
kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip akuntabilitas adalah
merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dimana dalam kegiatan yang
dilakukan oleh pihak yang terkait harus mampu mempertanggung jawabkan
pelaksanaan kewenangan
yang diberikan di bidang tugasnya. Prinsip akuntabilitas terutama
berkaitan erat dengan pertanggung jawaban terhadap efektivitas kegiatan
dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau program yang telah
ditetapkan itu.
Pengertian
akuntabilitas menurut Lawton dan Rose dapat dikatakan sebagai sebuah
proses dimana seorang atau sekelompok orang yang diperlukan untuk
membuat laporan aktivitas mereka dan dengan cara yang mereka sudah atau
belum ketahui untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Akuntabilitas sebagai
salah satu prinsip good corporate governance berkaitan dengan
pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang dicapai,
sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab
mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan
sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang
saham, direksi dan komisaris. Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua)
hal, yaitu : 1) kemampuan menjawab dan 2) konsekuensi. Komponen pertama
(istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan
dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka
menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah digunakan dan apa
yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
Aspek
yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik
mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam
konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban
saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat
mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan
maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada
lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan
dalam suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam
mengemukakan pendapat. Akuntabilitas, sebagai salah satu prasyarat dari
penyelenggaraan negara yang baru, didasarkan pada konsep organisasi
dalam manajemen, yang menyangkut :
1. Luas kewenangan dan rentang kendali (spand of control) organisasi.
2. Faktor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable) pada level manajemen atau tingkat kekuasaan tertentu.
Pengendalian
sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling menunjang
dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa
pengendalian tidak dapat berjalan dengan efesien dan efektif bila tidak
ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula
sebaliknya. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas
merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban
secara periodik. Sumber daya ini merupakan masukan bagi individu maupun
unit organisasi yang seharusnya dapat diukur dan diidentifikasikan
secara jelas.
Kebijakan
pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan
pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari karyawan
organisasi sehingga tercapai kelancaran dan keterpautan dalam mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
E. TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK
Tidak dapat dipungkiri- bahwa baik di negara maju maupun di negara-
Negara berkembang apalagi di Daerah- birokrasi pemerintah masih
mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh pemerintah- mulai dari :
peran mengatur kehidupan masyarakat ( regulative )- melindungi
masyarakat ( protective)- mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat
( distributive ) sampai pada pemberian pelayanan umum ( public service
). Dengan fenomena itu- tidak heran manakala Stiglitz ( 1988:1) dalam
Ermawan Agus Purwanto : 2006- memberikan pameo from birth to death, our
lives are affected in countless ways by activities of government !
Namun
seiring dengan bergulirnya waktu- dominasi birokrasi dalam berbagai
aspek dalam kondisi kekinian mulai dipertanyakan. Munculnya buku
reinventing government ( Osborne dan Gaebler : 1992 ) menjadi moment
monumental dipenghujung abad dua puluh- yang menggungat berbagai dimensi
dan sepak terjang birokrasi yang selama ini telah ditasbihkan sebagai
sesuatu yang given.
Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan menjadi semakin penting- seiring dengan semakin kuatnya keinginan untuk terus mengembangkan praktik good governance- yang mensyaratkan adanya ruang khusus transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan ke pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Dengan kata lain- pemerintah pada setiap tingkatan, terutama pada level layanan yang bersentuhan langsung dengan penerima manfaat layanan- dituntut untuk terbuka dan menggaransi ruang yang dapat diakses oleh stakeholder’s terhadap berbagai sumber informasi tentang proses kebijakan publik- alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan dimaksud serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut.
Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan menjadi semakin penting- seiring dengan semakin kuatnya keinginan untuk terus mengembangkan praktik good governance- yang mensyaratkan adanya ruang khusus transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan ke pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Dengan kata lain- pemerintah pada setiap tingkatan, terutama pada level layanan yang bersentuhan langsung dengan penerima manfaat layanan- dituntut untuk terbuka dan menggaransi ruang yang dapat diakses oleh stakeholder’s terhadap berbagai sumber informasi tentang proses kebijakan publik- alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan dimaksud serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut.
Sejumlah
point informasi mengenai tindakan pemberi layanan, misalnya : alasan
yang melatar belakangi tindakan, bentuk tindakan yang diharuskan serta
waktu dan cara melakukan tindakan dimaksud- harus tersedia bagi
stakeholders dan masyarakat luas. Dengan leluasa mengakses berbagai
informasi, secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat
untuk turut menilai sejauh mana keberpihakan pemerintahnya- telah
mengakomodir kebutuhan dasar yang selama ini- menjadi harapan
masyarakat.
Terhadap
alokasi anggaran misalnya- masyarakat dan stakeholders berhak
memperoleh informasi dari mana sumber anggaran diperoleh, berapa jumlah
dana yang dialokasikan serta apakah pemerintah membelanjakan anggaran
sedemikian itu- untuk kepentingan masyarakat luas ataukah hanya untuk
sekelompok orang tertentu yang memberikan keuntungan daur ulang bagi
dirinya sendiri ataukah hanya untuk kepentingan oknum- oknum aparat
layanan tertentu saja. Lebih dari itu- masyarakat dan stakeholders
semakin perlu untuk mengetahui, apakah kebijakan yang diterapkan
tersebut beserta sejumlah resourches yang mendukungnya, benar- benar
menghasilkan kinerja yang terukur sesuai yang diharapkan atau tidak.
Pengalaman adalah guru terbaik- kata orang bijak dan karena lasan
tertentu, banyak kebijakan yang telah direncanakan tidak dapat
dijalankan seperti yang direncanakan maupun banyak belanja yang
digelontorkan- tidak seperti yang diharapkan.
F. BAGAIMANA TRANSPARANSI DITERAPKAN DALAM PELAYANAN PUBLIK
Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan publik ? barangkali jawabannya akan seringkali kurang jelas dan cenderung tumpang tindih dengan aspek- aspek good governance lainnya, seperti : akuntabilitas dan responsibility. Akan tetapi, sejatinya- konsepsi transparansi lebih pada aspek menunjuk pada suatu kondisi dimana segala aspek dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan dapat bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna layanan dan stakeholders yang membutuhkannya.
Jika saja- segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan itu, seperti : persyaratan/ biaya dan waktu yang diperlukan/ cara pelayanan/ serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan- dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses dengan mudah serta dipahami dengan benar oleh masyarakat- maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai cukup memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya- sekiranya sebagian atau lebih banyak item dari seluruh proses penyelenggaraan layanan tersebut, cenderung sulit diperoleh informasinya dan terkesan tertutup- maka penyelenggaraan layanan dimaksud, belum memenuhi kaidah transparansi.
Dengan demikian- minimal tiga pakem utama, seperti : informasi tentang persyaratan- biaya dan waktu yang dibutuhkan serta hak dan kewajiban yang diusahakan berimbang dan proporsional, senantiasa harus menjadi brand dari setiap insan pengelolah layanan kemasyarakatan.
F. BAGAIMANA TRANSPARANSI DITERAPKAN DALAM PELAYANAN PUBLIK
Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan publik ? barangkali jawabannya akan seringkali kurang jelas dan cenderung tumpang tindih dengan aspek- aspek good governance lainnya, seperti : akuntabilitas dan responsibility. Akan tetapi, sejatinya- konsepsi transparansi lebih pada aspek menunjuk pada suatu kondisi dimana segala aspek dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan dapat bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna layanan dan stakeholders yang membutuhkannya.
Jika saja- segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan itu, seperti : persyaratan/ biaya dan waktu yang diperlukan/ cara pelayanan/ serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan- dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses dengan mudah serta dipahami dengan benar oleh masyarakat- maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai cukup memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya- sekiranya sebagian atau lebih banyak item dari seluruh proses penyelenggaraan layanan tersebut, cenderung sulit diperoleh informasinya dan terkesan tertutup- maka penyelenggaraan layanan dimaksud, belum memenuhi kaidah transparansi.
Dengan demikian- minimal tiga pakem utama, seperti : informasi tentang persyaratan- biaya dan waktu yang dibutuhkan serta hak dan kewajiban yang diusahakan berimbang dan proporsional, senantiasa harus menjadi brand dari setiap insan pengelolah layanan kemasyarakatan.
Pelaksanaan
tata pemerintahan yang baik adalah bertumpu pada tiga domain yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat, ketiga domain tersebut harus bekerja
secara sinergis, yang berarti setiap domain diharapkan mampu menjalankan
perannya dengan optimal agar pencapaian tujuan berhasil dengan efektif.
Pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hokum yang
kondusif ; swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan sedangkan
masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi , politik
termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Spirit dari
good governance adalah meminimalkan peran negara dan mengedepankan
pasar.
Hal
ini sekaligus menunjukkan betapa teori ini tidaklah mampu menempatkan
dirinya, secara konseptual, pada pihak rakyat terlebih dinegara
berkembang. Kita semua sama tahu bahwa pasar hari ini dikuasai oleh
negara - negara maju. Kapital dan teknologi pengendali ekonomi dunia.
Tidaklah berlaku secara equal. Negara berkembang selalu saja menjadi
objek dari trend ekonomi global yang diciptakan oleh negara maju
khususnya negara - negara G8. oleh karena itu keberpihakan kepada pasar,
itu erarti memberi ruang yang makin luas pada diaspora kepentingan
kepentingan negara negara kapitalis untuk terus saja menjajah dan
mengekploitasi Negara berkembang termasuk Indonesia.
Prinsip spirit Governance adalah ingin menjamin hak - hak demokrasi ada di tangan rakyat.
Tiga
sektor dalam good governance yaitu sektor pemerintahan, sektor privat,
dan masyarakat seharusnya mempunyai pembagian yang hak dan tanggungjawab
bersama dan jelas yang diatur dalam kontrak sosial, mana kontrak sosial
tersebut merupakan hasil produk pengaturan bersama yang melibatkan
ketiga sektor tersebut.sistem ini dapat memberi implikasi yuridis
apabila lembaga - lembaga tersebut melalaikan fungsinya dalam mewujudkan
transparansi informasi informasi dan akuntabilitas publik(jurnal MK vol
4 2007). Demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi
Pancasila. Bukan seperti di Negara lain yang secara jelas mengedapkan
demokrasi leberal. Dimana pasar lebih banyak berperan dalam negara
dibanding pemerintah. Meskipun dalam praktiknya negara juga menggunakan
kekuasaanya dalam mengatur pasar. Termasuk dalam pembuatan peraturan/
undang - undang. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang
dibuat adalah kebijakan yang ramah terhadap pasar. Demokrasi di Indonesi
bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung tinggi keadilan masyarakat.
Di
Indonesia yang merupakan negara berkembang dimana proses demokrasi
tersebut masih berlangsung mampukah bertahan dengan tuntutan good
governance liberalisme pasar. Dimana pasar yang berkembang dan
pembatasan peran pemerintah dalam kehidupan negara. Tekanan dari dunia
luar terhadap Indonesia terlihat banyaknya kebijakan publik yang tidak
memihak rakyat.
Negara
bukan sebagai kekuatan politik yang menduduki posisi puncak di dalam
organisasi - organisasi publik, seperti presiden, menteri, parlemen, dan
lain - lain. Negara diartikan sebagai organisasi yang merepresentasikan
kepentingan rakyat di wilayah tertentu dan bersifat netral. Politik
adalah sarana untuk memilih siapa yang ditugaskan untuk mengelola
kepentingan rakyat. Politik bukanlah negara apalagi rezim. Dengan
demikian ide tentang pengatan negara berbeda dengan rezim yang berkuasa.
Adanya
pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antarketiga unsur
tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya check and balance, tetapi
juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Secara
umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktik good
governance. Pertama, praktik good governance harus memberi ruang kepada
pihak di luar pemerintah untuk berperan secara optimal sehingga
memungkinkan adanya sinergi di antara mereka. Kedua, dalam praktik good
governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah maupun swasta
dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai
yang penting. Ketiga, praktik good governance adalah praktik
pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada
kepentingan publik. Karena itu, praktik pemerintahan dinilai baik jika
mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas
publik.
Menerapkan
praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu
pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah
melalui penyelenggaraan pelayanan publik.
Ada
beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk
memulai menerapkan good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini
menjadi ranah di mana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Ini
berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik,
dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat luas.
Keberhasilan
mempraktikkan good governance pada pelayanan publik mampu membangkitkan
kepercayaan masyarakat luas bahwa menerapkan good governance bukan
hanya sebuah mitos, tetapi menjadi suatu kenyataan.
Kedua,
pelayanan publik adalah ranah di mana berbagai aspek good governance
dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Nilainilai yang selama ini
mencirikan praktik good governance seperti efisien, nondiskriminatif,
dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi
dapat dengan mudah dikembangkan parameternya dalam ranah pelayanan
publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak,
pemerintah mewakili negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, yang
semuanya memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah
ini.
Dengan
memulai perubahan pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat sipil dan para pelaku pasar, upaya
melaksanakan good governance akan memperoleh dukungan dari semua
pemangku kepentingan. Dukungan ini sangat penting dalam menentukan
keberhasilan karena memasyarakatkan good governance membutuhkan stamina
dan daya tahan yang kuat. Untuk mewujudkan hal itu, perlu tiga
pendekatan yang harus sekaligus dilakukan. Pertama, menetapkan dan
memasyarakatkan pedoman good governance secara nasional, baik untuk
kalangan korporasi maupun publik, yang kemudian bisa ditindak lanjuti
dengan pedoman sektoral dari masing-masing industri atau bidang
kegiatan.
Pedoman
ini merupakan suatu rujukan yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
Karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan penyesuaian.
Kedua,
perlu dilakukan penyuluhan, konsultansi, dan pendampingan bagi
perusahaan maupun kantor pemerintah yang bermaksud untuk
mengimplementasikan good governance, dengan melakukan kegiatan self
assessment, kemudian memasang rambu-rambu pada tiap perusahaan atau
instansi pemerintah. Ketiga, memperbanyak agen-agen perubah dengan
mengembangkan semacam sertifikasi bagi direktur dan komisaris pada
perusahaan serta bagi pejabat publik.
Upaya
membangun industri yang berdaya saing tidaklah mudah untuk kita gapai,
terlebih jika tidak disertai perbaikan governance pada sektor pelayanan
publik. Dalam bahasa yang berbeda, perbaikan governance pada sektor
pelayanan publik merupakan prasyarat bagi keberhasilan di dalam
membangun industri yang berdaya saing.
G. Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia
Dibutuhkan
Kode Etik. Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada
beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik
untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa
kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki
nilai-nilai agama, etika moral Pancasila,bahkan sudah ada sumpah pegawai
negeri yang diucapkan setiap apel bendera.Pendapat tersebut tidak
salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi
peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan
publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat
kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja.
Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak
hanya sekedar ada,tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam
kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik
tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan
tuntutan perubahan jaman. Kita mungkin perlubelajar dari negara lain
yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya,
kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat
sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik.
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik
yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang
telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta
penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan
perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran,kejujuran,
ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat
tanggap,mengutamakan kepentingan public diatas kepentingan lain, bekerja
profesional,pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas,dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan
untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang
sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan
program affirmative action. Kedewasaan dan Otonomi Beretika.Dalam
praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia,
seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau
dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari
norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan
sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga
terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak
secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam
beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema
tersebut. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode
etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan
norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku
terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan
jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar
sehingga belum terjadi otonomi beretika. Kadang-kadang, kita juga masih
membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa
memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan
orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bilaitu
diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan
yangsama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi
swasta, tapitidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus
ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki
etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.Perlindungan dan
Insentif Bagi Pengadu. Diantara kita semua ada pihak yang sangat peduli
dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang
pelanggaran moral. Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia
dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Namun upaya
untuk melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak
terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi
terancam. Pengalaman ini cenderung membuat mereka takut dan timbul
kebiasaan untuk tidak mau “repot” atau tidak mau “berurusan” dengan
hukum atau pengadilan, yang insentifnya tidak jelas. Akibatnya, peluang
dari pihak-pihak yang berpengaruh dalam pelayanan publik terus terbuka
untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Karena
itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam pelayanan publiki,
diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif
khusus
E. Penutup
Dalam
praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu
memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para
pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang
bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah
lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga
menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak
seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju
konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.
Kadang-kadang,
kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan
tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau
berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak
terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang
menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini
tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik.
Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada
dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.
Demokrasi
yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan seperti di
Negara lain yang secara jelas mengedapkan demokrasi leberal. Dimana
pasar lebih banyak berperan dalam negara dibanding pemerintah. Meskipun
dalam praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya dalam mengatur
pasar. Termasuk dalam pembuatan peraturan/ undang - undang. Menkipun
tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang
ramah terhadap pasar.
Demokrasi
di Indonesia bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung tinggi keadilan
masyarakat dan kesejahteraan rakyat. Upaya pelaksanaan tata
pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah
unluk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya
penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Masyarakat
memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat
dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun
organisasi.
Caopas dari: ASWAD LIPU BLOGSPOT
Referensi
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Alwi Hashim B, Pelayanan Publik..
Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good Governance.
- By LA ODE YUSRAN SYARIF
- On Desember 06, 2016
- No Comment
A.
lntroduction : Apa itu Teori Birokrasi Politik ?
Teori birokrasi politik itu berusaha untuk menjelaskan peran
pembuatan kebijakan administrasi dan birokrasi dan kerangka tersebut biasanya
menolak adanya dikotomi politik-administrasi, tapi secara khusus dikotomi
tersebut hanya di anggap sebagai kebodohan yang di sengaja dari peran sentral
birokrasi dalam struktur kekuasaan pemerintahan. Karena birokrasi dan birokrat itu sering
terlibat dalam perilaku politik, maka perlu di pertegas peran politik birokrasi itu. Politik secara umum didefinisikan
sebagai alokasi otoritatif nilai-nilai, atau proses memutuskan "siapa yang
mendapatkan apa, kapan
dan bagaimana" (Easton 1965: Lasswell1936).
Sedangkan menurut Meier (1993: 7) bahwa
birokrasi Logis terlibat dalam "politik dari urutan pertama". Karena itu teori
politik birokrasi mulai diterima dalam prakteknya yang menurut Waldo (1948)
bahwa Administrasi adalah
politik. Teori-teori politik birokrasi berusaha mencari
kesalahan yang bisa membagi administrasi dengan politik. Para sarjana mendukung pembagian politik-administrasi yang menyadari permainan peran politik birokrasi. Woodrow Wilson dan Frank
Goodnow pada waktu
seperti itu menulis sebuah buku yang menyadari bahwa politik dan
administrasi mewakili sintesis daripada dua bagian yang hampir dipisahkan dari
kebijakan publik perusahaan (Lynn 2001). Tetapi, sarjana administrasi publik terkemuka
lain berpendapat pada paruh pertama abad kedua
puluh bahwa
teori administrasi harus memperhitungkan politik. Yang paling
terkemuka yaitu John Gaus. Birokrasi itu sungguh-sungguh memegang dan
menggunakan kekuatan
politik. Gaus berpendapat bahwa teori administrasi mengabaikan fakta bahwa birokrat yang membantu
untuk menentukan kehendak negara, pasti tidak terelakkan dari lembaga politik. Gaus pun merangkum tujuan teori politik birokrasi yaitu teori administrasi publik berarti dalam waktu
kita teori politik juga (1950, 168).
B.
Teori Administrasi sebagai Teori Politik
Karya yang berkembang perlunya sebuah teori birokrasi politik
adalah dari Dwight Waldo The
administrasi negara (1948). Yaitu:
1.
Melakukan kritik keras terhadap penelitian
sudah ada dengan
argumentasi
bahwa keilmuan administrasi publik berkisar pada seperangkat inti keyakinan bahwa secara
kumulatif berfungsi
untuk membatasi perkembangan teoritis. Mempercayai bahwa antara efisiensi dan
demokrasi sejalan, kemudian harus membagi secara nyata antara pengambilan
keputusan dan pelaksana, karena tujuan ilmu administrasi memaksimalkan
efisiensi.
2.
Kedua, Waldo berpendapat bahwa keilmuan administratif itu
sendiri digerakkan oleh filosofi politik tertentu.
Pada
1948, terbit buku karya Dwight Waldo berjudul The Administrative State: A Study
of Political Theory of American Public Administration.
Buku Waldo ini dengan tegas membantah literatur ortodoksi. Menurut Waldo,
doktrin administrasi publik adalah teori politik. Waldo juga menyatakan bahwa
administrasi publik adalah produk dari kondisi material dan ideologis. Kalau
hukum konstitusi berubah, maka administrasi publik juga berubah. Pada periode
1938-1950 tersebut terjadi pertentangan antara anggapan mengenai value-free dan
value-laden politics dari administrasi publik, dan dalam praktek yang dominan
adalah value-laden politics. John M. Gaus menyatakan bahwa teori administrasi
publik sebenarnya juga teori politik.
C.
Teori Administrasi sebagai Teori Politik
Paradigma politik birokrasi
dituangkan oleh Graham Allison (1971) dalam
karyanya “ Essence of decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin (1972),
fokusnya pada essence of decision yang menjadi usaha pertama secara serius dan
komprehensif membangun kerangka kerja tawar-menawar dan negosiasi dalam
pengambilan keputusan. Melalui pertanyaan besar tentang pemicu utama dari
kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other words,
how is policy made, and who determines or influence it? Allison memberikan
jawaban melalui tiga model teoritisasi. Ketiga model teoritisasi Allison meliputi:
1. pertama, model the actor rational
(model aktor rasional) atau Model I (the classical model). Model I ini
menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami sebagai hasil dari single actor
dalam membuat keputusan untuk kepentingan strategis mereka sendiri.
2.
Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses
organisasional (the organizational process paradigm) atau Model II. Model II
ini mengakui bahwa terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam
pengambilan keputusan, dan proses pengambilan keputusan sangat terstrukutur
melalui standart operational procedural (SOP) yang disepakati.
3.
Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics
paradigm) atau Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik
birokrasi Allison ini didasari oleh beberapa asumsi, antara lain:
1)
Cabang eksekutif terbentuk dari bermacam-macam organisasi
dan individu, yang masing-masing memiliki sasaran dan agenda yang berbeda-beda,
serta aktor-aktor tersebut membawa isu-isu tertentu yang menarik perhatian
dengan motivasi dan kepentingan masing-masing;
2)
Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang mampu
bertindak sendiri-sendiri atau sepihak;
3)
Keputusan akhir adalah akibat dari politik (political
resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah adalah hasil dari
proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; dan
4) Terdapat perbedaan antara
policy-making dengan pelaksanaannya.
D.
Politik, Kekuasaan, dan Organisasi
Secara khusus, kerangka Allison meninggalkan isu-isu
organisasi yang penting, seperti sebagian besar dari
studi kerangka yang berusaha mensin tesis, hampir secara
eksklusif berfokus pada merek
yang eksekutif.
Ada dua dimensi
organisasi kunci teori politik birokrasi :
1. Berhubungan dengan
perilaku. Tujuan utama di sini adalah untuk menjelaskan mengapa birokrat dan
birokrasi melakukan apa yang mereka lakukan. Anggapan umum adalah bahwa
birokrasi mengejar misi publik yang penting dan membuat kebijakan banyak , namun
hanya memiliki pedoman jelas dari undang-undang. Jika lembaga-lembaga resmi yang
bertanggung jawab untuk tujuan lembaga-lembaga publik, hanya sebagian
menjelaskan apa yang birokrasi lakukan dan mengapa mereka melakukannya, apa
yang menjelaskan sisanya?
2. Berkaitan dengan struktur
kelembagaan dan distribusi kekuasaan. Tujuan utama di sini adalah untuk
memahami bagaimana jalur resmi birokrasi kewenangannya berhubungan ke lembaga
lain, dan program-program kebijakan ditempatkan dalam yurisdiksinya semua bergabung
untuk menentukan pengaruh politik relatif berbagai aktor politik.
Penjelasan untuk
perilaku politik birokrasi dan birokrat memiliki akar yang kuat dalam literatur
teori organisasi. Misalnya :
1.
Robert
Merton (1957) menyatakan bahwa lembaga disusun sebagai birokrasi klasik
membentuk kepribadian orang-orang yang bekerja untuk mereka. Sebuah lingkungan
birokrasi. Mertonberpendapat, orang
ditekan agar sesuai dengan pola-pola perilaku yang diharapkan untuk mengikuti
aturan, menjadi metodis dan rinci.
2.
William
Whyte, Jr, menggemakan tema yang sama dalam bukunya Organisasi kerja Thr. Mach
(1956). Penelitian dalam perusahaan-perusahaan AS mengadopsi tujuan dari
organisasi yang mereka kerjakan sebagai milik mereka, untuk menggolongkan
kepribadian mereka ke dalam lingkungan organisasi yang lebih besar.
Wilson
berpendapat bahwa administrasi berada di luar area politik, persoalan-persoalan
administrasi bukanlah menjadi persoalan politik, meskipun politik menetapkan
apa saja yang harus dilakukan administrasi, hal itu tidak berarti bahwa
politisi dapat memanipulasi administrator. lantas Wilson membangun apa yang
kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi.
Dalam essay yang
dikemukakan Wilson ada dua tema kunci yang menjadi fokus study administrasi
publik yaitu:
1) Distingsi antara politik (kebijakan) dan
administrasi, menekankan pentingnya akuntabilitas kepada pejabat terpilih
(elected official), serta kompetensi netral yang harus dimiliki oleh
administrastor.
2) Perlunya menciptakan struktur dan strategi menajemen
administrasi yang memungkinkan organisasi dan manejer publik dapat bertindak
dalam cara-cara yang paling efisien.
Wilson percaya
bahwa Spoil sistem tercipata karena relasi diantara administrasi dengan
politik. jika administrator bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
politis maka hal berpotensi menimbulkan korupsi, pemisahan antara lingkungan
politik dimana kebijakan ditetapkan dengan lingkungan administrasi dimana
kebijakan diimplementasikan diyakini dapat mengatasi the spoils system. menurutnya
ada 3 (tiga) segi kontrol politik dalam model administrasi publik tradisional
yaitu:
1) Adanya
keterkaitan erat antara akuntabilitas dan
responsibilitas, suatu organisasi atau lembaga memiliki dua peran
mendasar meliputi; untuk memberikan masukan kepada pejabat politik terkait
dengan pengembangan, kajian, dan implementasi kebijakan serta mengelola
rosorsis agar kebijakan dapat diimplementasikan, setiap pelayan publik harus
ekuntabel melalui struktur hirarki yang ada;
2) Harus
ada pemisahan yang tegas antara persoalan kebijakan yang merupakan ruang
lingkup politisi dengan persoalan administrasi yang ada dalam pelayanan publik;
dan
3) Administrasi
harus netral, setiap kebijakan atau keputusan tidak berkaitan dengan atribut
personal seseorang.
E.
Jaringan dan Politik Birokrasi
Fakta ini bahwa politik
birokrasi melampaui birokrasi itu sendiri disorot oleh Laurence O'Toole(1997b) di nasihat untuk
mengambil jaringan serius. Untuk administrasi publik, jaringan dapat dianggap
sebagai satu set organisasi yang saling bergantung, yaitu, mereka berbagi
tujuan, kepentingan, sumber daya, atau nilai-nilai. Saling ketergantungan ini
mengikat bersama bukan hanya birokrasi publik dalam, antara, dan di antara yang
berbeda yurisdiksi politik, tetapi lembaga swasta dan nirlaba juga, dalam
proses menciptakan bentuk-bentuk baru dari praktek-praktek organisasi dan
manajemen yang digunakan untuk mencapai tujuan kolektif atau publik.
O'Toole(1997)berpendapat bahwa administrasi
jaringan tidak hanya berlaku umum, tetapi semakin penting, karena lima alasan
utama.
1. Pertama,
"jahat" masalah kebijakan memerlukan mobilisasi berbagai aktor, baik
di dalam dan di luar pemerintah. kebijakan memerlukan masalah-masalah yang
bervariasi dari actor-aktor, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. dan
dari seluruh tingkat pemerintahan.
2. Kedua, tuntutan politik
bagi pemerintah terbatas, tetapi tanpa pengurangan tuntutan untuk tindakan,
menimbulkan jaringan yang mencakup aktor non- negara melalui kontrak.
3. Ketiga, kebutuhan untuk
birokrasi untuk menjadi responsif terhadap masyarakat secara alami mengarah ke
dimasukkannya kelompok warga dan industri dalam pengambilan keputusan.
4. Keempat, evaluasi
program secanggih telah mengungkapkan efek tidak langsung atau orde kedua
kebijakan, jaringan pelaksanaan telah dibentuk untuk mencerminkan hubungan
mereka.
5. Kelima, O'Toole(1997b) mencatat bahwa banyak
mandat memiliki beberapa lapisan yang pada dasarnya memerlukan manajemen
program untuk menjadi jaringan. Di sini, ia menggunakan contoh manajer program
transportasi perlu memperhitungkan hak-hak penyandang disabilitas.
O'Toole dan Meier
berpendapat bahwa jaringan harus diperlakukan sebagai lembaga politik, sejak
berdirinya mereka sering untuk alasan politik (untuk mungkin menghindari harus
berurusan langsung dengan isu kontroversial), dan selalu memiliki implikasi
politik. Keputusan untuk kontrak atau privatisasi fungsi pemerintah secara
inheren politik, karena melibatkan keputusan untuk menggeser lokus kekuasaan
negara, dan tentu saja merupakan pilihan untuk memindahkan sumber daya publik
kepada anggota jaringan lainnya, termasuk perusahaan swasta atau organisasi
nirlaba. Namun melampaui panggilan oleh O'Toole dan Meier untuk fokus pada
implikasi politik, lapangan belum menghasilkan pekerjaan yang diperlukan.
Scott Robinson(2006),misalnya, berpendapat
kita tidak memiliki alat konseptual untuk memahami implikasi pemerintahan dari
berbagai jenis jaringan dan bagaimana politik konteks membentuk mereka
penciptaan, keanggotaan, tujuan, dan hasil. Mengingat ledakan pertumbuhan
administrasi jaringan dan implikasinya kurang dipahami untuk kebijakan publik
dan berpengaruh pada nilai-nilai demokrasi, ada hampir tidak bisa menjadi
contoh yang lebih baik dari kebutuhan praktis dan penting bagi pengembangan
teori, bukan hanya di ranah politik birokrasi, tetapi juga di bidang umum
administrasi publik.
F.
Perwakilan Birokrasi
Teori birokrasi perwakilan merupakan upaya eksplisit untuk
mengatasi masalah utama teori administrasi demokrasi yang diajukan oleh Dwight
Waldo (1952, 102). Karya pemikir seperti Waldo, Allison, wilson, dan Seidman
sangat menyarankan, bahwa birokrasi adalah lembaga kebijakan politik. Namun
jika birokrasi merupakan aktor kebijakan paling kuat terlibat dalam
"politik urutan pertama," mereka juga sebagian besar terisolasi dari
kotak suara dan hanya sebagian bertanggung jawab kepada pejabat terpilih (Meier
1993, 7; Mosher 1982).
Teori birokrasi perwakilan berfokus pada menemukan cara untuk
melegitimasi kekuasaan birokrasi politik dalam konteks nilai-nilai demokrasi.
Prinsip utama adalah bahwa birokrasi yang mencerminkan keragaman masyarakat
yang dilayaninya lebih cenderung untuk menanggapi kepentingan semua kelompok
dalam pengambilan keputusan kebijakan (Krislav 1974, Seklen 1997).
Jika birokrasi yang sensitif terhadap seperti 2 keragaman
kepentingan, dan kepentingan-kepentingan terwakili dalam keputusan birokrasi
dan perilaku, argumen adalah bahwa birokrasi itu sendiri yang dianggap sebagai
lembaga perwakilan. Jika birokrasi itu lembaga perwakilan, panjang diakui peran
politik yang diakomodasi dengan nilai-nilai demokrasi seperti dasar sebagai
aturan mayoritas, hak-hak minoritas. dan perwakilan yang sama. Prinsip
legitimasi kekuasaan birokrasi dengan menganggap birokrasi sebagai sebuah
institusi representatif secara formal diperkenalkan oleh J. Donald Kingsley
dalam Representative Bureaucracy (1944). Dalam studi public
service di Inggris, Kingsley menunjukkan bahwa civil service harus
mencerminkan karakteristik kelas sosial penguasa. Untuk menjalankan peran
secara efektif dengan politik, menurut Kingsley, civil service harus simpatik
dengan pertimbangan dan nilai kelompok politik dominan. Di Amerika, spoils
system yang dijalankan selama abad 19 menimbulkan sebuah civil service yang
didominasi oleh loyalis partai (Meier, 1975).
Kemudian Michael
Lipsky (1980) mengembangkan sebuah system yaitu “Street-Level-
Bureacracy” adalah mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung
dengan masyarakat. Lipsky juga berpendapat bahwa praktek birokrasi street level
tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit yaitu sebagai
upaya untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan
dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki apalagi dalam kenyataannya
peningkatan permintaan pelayanan sepertinya tidak pernah berhenti. dengan kata lain Street-Level- Burearacy
adalah sebagai orang yang "publik service secara langsung" dan
pelaksana dari kebijakan penguasa" publik service secara langsung artinya
bahwa para birokrat ini yang memberikan pelayanan langsung kepada para
costomernya (publik). contohnya adalah perawat, dokter-dokter praktek, polisi
lalu lintas, atau aparat birokrasi lainnya yang terjun langsung kepada public
dan memberikan pelayanan sesuai dengan permintaan public dalam batasan aturan
lembaga mereka masing-masing.
G.
Kesimpulan
Politik
diakui sebagai komponen fundamental administrasi, dan sebaliknya. Meskipun
pengakuan ini mungkin telah membunyikan
lonceng hegemoni teoritis dalam administrasi public. Menurut Waldo, kerangka
kerja intelektual administrasi public adalah sebuah filsafat politik normative,
sehingga setiap teori administrasi telah menjadi teori politik.
Secara
teoritis mengintegrasikan peran politik birokrasi telah terbukti sangat sulit,
pendekatan dasar untuk menyelesaikan tugas
ini adalah untuk mengobati birokrasi dan birokrat sebagai actor politik
dalam hak mereka sendiri, actor dengan agenda diidentifikasi yang terlibat
dalam mendorong dan tawar-menawar serta kompromi yang dihasilkan dalam
keputusan kebijakan. Menurut Waldo, gerakan politik birokrasi sejauh ini jauh
lebih berhasil dalam menunjukkan kebutuhan teori-teori politik birokrasi dari
pada benar-benar menciptakan kerangka kerja yang komprehensif untuk memenuhi
kebutuhan itu. Dalam pengertian ilmiah, maka teori perwakilan birokrasi masih
belum menghasilkan.
Dalam
perakteknya, administrasi bukan tentang efisensi, atau bahkan efektivitas,
tetapi tentang politik, dan faktanya, terjadi kebingungan dalam lembaga
termasuk terkait peran mereka. Namun ini justru berimbas pada kejelasan hubungan
antar bidang pemerintah sehingga menjadi jauh lebih mudah dipahami. Artinya,
teori-teori politik birokrasi telah melayani disiplin dengan baik dalam
menyoroti peran politik birokrasi,
mereka telah menjalin pemahaman yang lebih besar tentang mengapa badan public
melakukan apa yang mereka lakukan.
Jaringan dan Politik
Birokrasi
Fakta
ini bahwa politik birokrasi melampaui birokrasi itu sendiri disorot oleh
Laurence O'Toole (1997b) dalam nasihat untuk mengambil jaringan serius. Untuk
administrasi publik, jaringan dapat dianggap sebagai satu set organisasi yang
saling bergantung, yaitu, mereka berbagi tujuan, kepentingan, sumber daya, atau
nilai-nilai. Saling ketergantungan ini mengikat bersama bukan hanya birokrasi
publik dalam, antara, dan di antara yang berbeda yurisdiksi politik, tetapi
lembaga swasta dan nirlaba juga, dalam proses menciptakan bentuk-bentuk baru
dari praktek-praktek organisasi dan manajemen yang digunakan untuk mencapai
tujuan kolektif atau publik. O'Toole (1997a) berpendapat bahwa administrasi
jaringan tidak hanya umum, tetapi juga semakin penting, karena lima alasan
utama. Pertama, "jahat" masalah kebijakan memerlukan mobilisasi
berbagai aktor, baik di dalam dan di luar pemerintah. Masalah tersebut adalah
hasil dari beberapa penyebab, dan biasanya span lebih dari satu yurisdiksi.
Sebuah agen tunggal tidak akan mampu mengatasi masalah ini tanpa bantuan, dari
aktor baik di dalam dan di luar pemerintah dan dari seluruh tingkat
pemerintahan. Kedua, tuntutan politik bagi pemerintah terbatas, tetapi tanpa
pengurangan tuntutan untuk tindakan, menimbulkan jaringan yang mencakup aktor
non- negara melalui kontrak. Seperti ditunjukkan dalam Bab 5, implikasi dari
kontraktor adalah sesuatu yang kita hanya mulai memahami. Ketiga, kebutuhan
untuk birokrasi untuk menjadi responsif terhadap masyarakat secara alami
mengarah ke dimasukkannya kelompok warga dan industri dalam pengambilan
keputusan. Jaringan memang dapat meningkatkan akuntabilitas kepada publik,
namun, seperti yang akan dibahas, tidak jelas apakah mereka selalu menghasilkan
efek demokrasi kita harapkan. Keempat, evaluasi program secanggih telah
mengungkapkan efek tidak langsung atau orde kedua kebijakan, jaringan
pelaksanaan telah dibentuk untuk mencerminkan hubungan mereka. Kelima, O'Toole
(1997b) mencatat bahwa banyak mandat memiliki beberapa lapisan yang pada
dasarnya memerlukan manajemen program untuk menjadi jaringan. Di sini, ia
menggunakan contoh manajer program transportasi perlu memperhitungkan hak-hak
penyandang cacat.
(1997a) dunia birokrasi jaringan O'Toole ini menimbulkan pertanyaan
penting mengenai pemahaman kita tentang politik birokrasi, pemerintahan, dan
akuntabilitas. Apakah jaringan ini mengancam demokrasi atau meningkatkan itu?
Harus harapan akuntabilitas dan pengawasan diubah sebagai hasil dari mengakui
bahwa begitu banyak aktor yang terlibat dalam keputusan birokrasi? Bagaimana
lembaga memegang kekuasaan politik di jaringan ini? Beberapa penelitian terbaru
telah mengidentifikasi "sisi gelap" dari networks- yang manajer
jaringan menanggapi elemen jaringan yang lebih politis berpengaruh, dan dengan
demikian hasilnya adalah bahwa jaringan benar-benar dapat memperburuk sudah ada
ketidaksetaraan (O'Toole dan Meier 2004). Hal ini menimbulkan pertanyaan
penting dan mengganggu tentang sifat dan implikasi dari kekuatan politik dalam
administrasi jaringan. Masalah lain, seperti dibahas dalam Bab 5, melibatkan
"pengosongan" dari negara.
Kebutuhan untuk memahami birokrasi jaringan jelas, tetapi
tidak jelas jika kita telah membuat banyak kemajuan teoritis sejak pertengahan
1990-an. Sebagian besar literatur telah difokuskan pada bagaimana mengelola
sistem jaringan, bukan pada implikasi politik dan pemerintahan (O'Toole dan
Meier 2004). O'Toole dan Meier berpendapat bahwa jaringan harus diperlakukan
sebagai lembaga politik, sejak berdirinya mereka sering untuk alasan politik
(untuk mungkin menghindari harus berurusan langsung dengan isu kontroversial),
dan selalu memiliki implikasi politik. Keputusan untuk kontrak atau privatisasi
fungsi pemerintah secara inheren politik, karena melibatkan keputusan untuk
menggeser lokus kekuasaan negara, dan tentu saja merupakan pilihan untuk
memindahkan sumber daya publik kepada anggota jaringan lainnya, termasuk
perusahaan swasta atau organisasi tidak-forprofit. Namun melampaui panggilan oleh O'Toole dan Meier untuk fokus pada
implikasi politik, lapangan belum menghasilkan pekerjaan yang diperlukan. Scott
Robinson (2006), misalnya, berpendapat kita tidak memiliki alat konseptual
untuk memahami implikasi pemerintahan dari berbagai jenis jaringan dan bagaimana
politik konteks membentuk mereka penciptaan, keanggotaan, tujuan, dan hasil.
Mengingat ledakan pertumbuhan administrasi jaringan dan implikasinya kurang
dipahami untuk kebijakan publik dan berpengaruh pada nilai-nilai demokrasi, ada
hampir tidak bisa menjadi contoh yang lebih baik dari kebutuhan praktis dan
penting bagi pengembangan teori, bukan hanya di ranah politik birokrasi, tetapi
juga di bidang umum administrasi publik.
Mengingat sifat sangat politis birokrasi yang Seidman,
O'Toole, dan lain-lain telah dijelaskan, upaya untuk membuat lengan
administrasi pemerintahan yang lebih efektif dan efisien terus-menerus gagal
karena tujuan nyata birokrasi tidak ada hubungannya dengan efisiensi dan
praktek manajemen yang lebih baik. Listrik benar-benar dipertaruhkan dalam
reorganisasi, dan ini adalah alasan presiden, Kongres, dan aktor-aktor politik
lainnya mengambil minat intens seperti dalam administrasi. Reorganisasi telah
menjadi seperti bagian abadi politik yang semakin dikejar demi-tujuan politiknya
sendiri tanpa strategi administrasi yang mendasari apapun. Selama tahun
1990-an, misalnya, House Republik diusulkan menghapuskan Departemen Pendidikan,
Energi, Perdagangan, dan Perumahan dan Pembangunan Perkotaan. 1996 calon
presiden dari Partai Republik, Bob Dole, juga berkampanye pada janji
menghilangkan Internal Revenue Service. Proposal ini sebagian besar dihitung
untuk membuat keuntungan politik dari stereotip negatif populer birokrasi dan
tidak masuk akal nyata dari sudut pandang administrasi pandang. Tidak ada satu
dibuat proposal yang serius untuk penghapusan grosir program, tidak ada yang
memiliki rencana strategis untuk menetapkan kembali program-program ini, dan
tidak ada yang membuat setiap argumen nyata yang hasil akhirnya akan lebih
efektif dan pemerintah yang efisien. Inti tampaknya untuk menyerang
infrastruktur administrasi dalam keyakinan bahwa pemerintah lebih kecil adalah
pemerintahan yang lebih baik. Namun jika ada tidak ada penghapusan grosir
program publik, pemerintah tidak akan mendapatkan yang lebih kecil, hanya lebih
bingung, dan, kemungkinan besar, semakin diprivatisasi (Seid man 1998, 110).
Game politik tersebut dengan birokrasi bukan satu-satunya
provinsi dari Partai Republik. Pemerintahan Clinton / Gore memainkan permainan
terutama sinis dalam upaya reinvention yang, berulang kali mempublikasikan gaji
federal yang menyusut. The seperempat juta posisi federal yang dihilangkan oleh
gerakan reinvention kebanyakan pengawas, spesialis personil, analis anggaran,
akuntan, auditor, dan sejenisnya. Orang-orang ini terutama mengawasi operasi
pihak ketiga, yaitu kontraktor swasta pemerintah semakin menggunakan untuk
melaksanakan program dan kebijakan publik. Karyawan kontrak yang tidak langsung
melakukan bisnis publik jauh melebihi jumlah karyawan dalam pelayanan sipil
federal, dan reinvention menyusut angka-angka ini tidak sama sekali. Jika ada,
pemotongan gaji federal yang membuatnya jauh lebih sulit untuk menahan
kontraktor pihak ketiga bertanggung jawab (Seidman 1998, 112-113).
Baik Wilson atau argumen Seidman ini merupakan pembuktian
sepenuhnya dikembangkan kerangka teoritis, dan Wilson (1989, xi) secara
eksplisit mengangkat keraguan tentang apakah teori komprehensif perilaku
organisasi bahkan mungkin. Namun Wilson dan Seidman baik menyediakan
serangkaian proposisi dapat diuji secara empiris yang merupakan ciri khas dari
kerangka teoritis. Dari Wilson datang kaya set hipotesis, yang dapat
dikonfirmasi dengan mengamati perilaku birokrasi, tentang segala sesuatu dari
norma-norma profesional untuk substitusi aturan untuk tujuan. Kerja Seidman ini
menunjukkan analis terhadap saham politik yang tinggi sekitar organisasi dan
administrasi, dan, dalam melakukannya, masuk akal dari "eksentrik"
yang menantang harapan kerangka teoritis
tradisional. Dikombinasikan, kedua membuatnya lebih mudah untuk memahami
mengapa birokrasi adalah cara mereka, dan mengapa mereka melakukan hal-hal yang
mereka lakukan.
Meskipun pekerjaan Seidman dan kerja Wilson adalah
diskursif bukan teoritis, lebih eksplisit upaya teoritis dari literatur
organisasi berusaha untuk menjelaskan setidaknya beberapa unsur birokrasi
perilaku politik menikmati. John Kingdon ini Agenda, Alternatif, dan Kebijakan
Publik (1995), misalnya, mencoba untuk menjelaskan mengapa pemerintah menangani
beberapa masalah sementara mengabaikan orang lain. Analisis Kingdon menunjukkan
bahwa instansi pemerintah memiliki peran penting dalam membentuk agenda publik,
tidak begitu banyak dalam menentukan prioritas agenda tetapi bertindak sebagai
anggota kunci dari "komunitas kebijakan." Komunitas ini terdiri dari
aktor yang, melalui kepentingan khusus mereka dalam kebijakan tertentu dan
kepadatan interkoneksi mereka dan kepentingan umum, dapat menentukan nasib
proposal kebijakan. Sebuah komunitas terfragmentasi (misalnya, di mana lembaga
memiliki tujuan yang saling bertentangan pada isu tertentu) menghilang dukungan
untuk proposal kebijakan dan sangat membatasi potensi untuk sukses (Kingdon,
1995,116-144) Meskipun konteks organisasi yang ditampilkan di sini untuk memainkan
peran penting dalam membentuk peran politik birokrasi, peran itu bukan fokus
utama dari teori.
Intinya adalah bahwa teori organisasi telah tersedia lensa
penting bagi karya-karya seperti Wilson dan Seidman, mengisyaratkan pentingnya
fenomena yang berkembang dari jaringan administrasi, dan dengan berbuat
demikian telah memberikan banyak pembenaran untuk mengejar penjelasan yang
komprehensif tentang peran politik birokrasi. Belum, bagaimanapun, teori
organisasi belum asalkan penjelasan yang komprehensif102).
Birokrasi Perwakilan
Teori
birokrasi perwakilan mungkin merupakan upaya paling eksplisit untuk mengatasi
masalah sentral dari teori administrasi demokratis dibesarkan oleh Waldo (1952,
Bagaimana teori yang Membalut sifat hirarkis dan otoriter birokrasi
didamaikan dengan nilai-nilai egaliter dan akhirnya tidak efisien tampaknya
bertentangan demokrasi? Karya ulama seperti Waldo, Allison, Wilson, dan Seidman
kuat bahwa birokrasi adalah lembaga kebijakan politik. Namun jika birokrasi
adalah aktor kebijakan kuat terlibat dalam "politik dari urutan
pertama," mereka juga sebagian besar terisolasi dari kotak suara dan hanya
sebagian bertanggung jawab untuk pejabat terpilih (Meier 1993, 7; Mosher 1982).
Kontradiksi antara birokrasi membuat kebijakan dan nilai-nilai dasar demokrasi
menimbulkan salah satu tantangan yang paling penting bagi teori administrasi
publik: "Bagaimana seseorang persegi permanen [dan, kami akan menambahkan,
kuat] layanan yang sipil tidak rakyat dengan suara mereka atau mereka perwakilan
oleh janji mereka dapat dengan mudah mengganti-dengan prinsip pemerintah oleh
rakyat? "(Mosher 1982, 7). Teori demokrasi pemerintahan, Waldo
menyarankan, harus mampu menjawab pertanyaan ini.
Teori birokrasi perwakilan berfokus pada menemukan cara
untuk sah kekuasaan politik birokrasi dalam konteks nilai-nilai demokrasi.
Prinsip utama dari teori ini adalah bahwa birokrasi yang mencerminkan keragaman
masyarakat yang dilayaninya lebih mungkin untuk menanggapi kepentingan semua
kelompok dalam pengambilan keputusan kebijakan (Krislov 1974; Selden 1997).
Jika birokrasi sensitif terhadap seperti keragaman kepentingan, dan
kepentingan-kepentingan ini diwakili dalam keputusan dan perilaku birokrasi,
argumen adalah bahwa birokrasi itu sendiri dapat dianggap sebagai lembaga
perwakilan. Jika birokrasi adalah lembaga perwakilan, panjangpolitiknya diakui peran dapat diakomodasi dengan nilai-nilai
demokrasi seperti dasar sebagai aturan mayoritas, hak-hak minoritas, dan
perwakilan yang sama.
Gagasan kekuasaan birokrasi legitimasi dengan memperlakukan
birokrasi sebagai lembaga perwakilan secara resmi diperkenalkan oleh J . Donald
Kingsley di Birokrasi Perwakilan (1994). Karya Kingsley, sebuah studi dari
layanan publik Inggris, maju argumen bahwa layanan sipil harus mencerminkan
karakteristik dari kelas sosial yang berkuasa. Untuk melaksanakan perannya
secara efektif dalam negara itu, Kingsley berpendapat, layanan sipil harus
bersimpati kepada keprihatinan dan nilai-nilai dari kelompok politik yang
dominan. Nilai-nilai bersama menghubungkan pelaksanaan kewenangan diskresioner
pada bagian dari birokrat dengan kehendak negara demokratis. Meskipun Kingsley
menciptakan istilah "birokrasi perwakilan," ide dasar ia
mengartikulasikan cukup lama. Di Amerika Serikat, sistem rampasan dilembagakan
selama abad kesembilan belas mengakibatkan layanan sipil yang didominasi oleh
loyalis partai besar (Meier 1975). Birokrasi seperti dapat dilihat sebagai
perpanjangan partai mayoritas, dan karena dari preferensi diekspresikan di
kotak suara. Sistem patronase tersebut, tentu saja, juga mengundang hanya
semacam masalah yang diminta cendekiawan seperti Goodnow dan Wilson untuk
mencari beberapa divisi antara politik dan administrasi:. Inkompetensi teknis,
pilih kasih dalam pengambilan keputusan administratif, dan korupsi
terang-terangan
Pendukung kontemporer lebih birokrasi perwakilan menolak
patronase atau rampasan sistem sebagai model yang tepat untuk birokrasi
perwakilan untuk persis alasan ini. Sebaliknya, sebagian besar menerima
kebutuhan untuk pengaturan organisasi seperti yang ditentukan oleh ortodoksi
administrasi, yaitu, lembaga-lembaga publik berdasarkan birokrasi
rasional-hukum Weberian (Selden 1997). Berbeda dengan sistem rampasan, yang
terakhir terlihat sebagai pemberian berbagai manfaat, di antaranya efisiensi,
membuat prestasi dasar kerja sektor publik, dan memperkuat peran keahlian
teknis dalam pengambilan keputusan (Meier 1993). Meskipun ini berarti menerima
argumen dari teori administrasi ortodoks, pendukung birokrasi perwakilan
menolak gagasan tentang dikotomi politik-administrasi. Pelajaran teoritis dan
empiris dari orang-orang seperti Gaus, Waldo, Allison, Seidman, Wilson, dan
banyak lainnya hanya membuat tidak mungkin untuk mengabaikan atau menganggap
diri peran politik birokrasi.
Teori birokrasi perwakilan demikian dimulai dengan asumsi
bahwa ada adalah alasan yang baik untuk badan publik harus diselenggarakan
dengan cara mereka (yaitu, tidak demokratis) dan badan-badan yang tidak
demokratis menjalankan kekuasaan politik yang cukup. Sebagai Kenneth Meier
katakan, "Teori birokrasi perwakilan dimulai dengan mengakui realitas
politik. Dalam pemerintahan kompleks seperti Amerika Serikat, tidak semua aspek
dari keputusan kebijakan diselesaikan di cabang-cabang 'politik' dari
pemerintah "(1975, 527). Dasar kekuasaan birokrasi diasumsikan berasal
dari otoritas pengambilan keputusan diskresioner itu, sebagai hal praktis,
harus diberikan kepada mereka karena tidak semua skenario pelaksanaan dan
penegakan dapat dipahami dan diperhitungkan dalam undang-undang. Pejabat
terpilih mungkin memiliki banyak alat yang mereka miliki untuk membatasi
kekuasaan birokrasi, tetapi pasukan yang kuat menempatkan batasan praktis
tentang penggunaan alat ini. Dukungan publik dari program atau tujuan lembaga,
para birokrat keuntungan informasi sering mengadakan lebih dari pejabat
terpilih karena keahlian teknis mereka, dan kebijaksanaan politik sederhana
semua pekerjaan untuk membatasi kendala ditempatkan pada kekuasaan birokrasi.
Mungkin argumen yang paling terkenal yang birokrat individu
memiliki dihindari peran kebijakan adalah Michael Lipsky Street-level
Birokrasi: Dilema Individu di Pelayanan Publik (1980). Premis utama Lipsky
adalah bahwa tingkat jalan birokrat-polisi,
guru,
dan sejenisnya-rutin harus membuat keputusan yang tidak didikte oleh misi
organisasi tempat mereka bekerja, atau aturan yang seharusnya mereka
menegakkan. Birokrat tingkat jalan sehingga membuat kebijakan sebagai akibat
dari perilaku mereka. Misalnya, tidak peduli apa yang dikatakan hukum batas kecepatan,
dalam prakteknya ditentukan oleh polisi lalu lintas individu. Kebijaksanaan
untuk membuat seperti on-the-spot keputusan, yang berlaku adalah keputusan
kebijakan, akan menjadi cukup besar, bahkan untuk birokrat bekerja dalam
jalinan padat aturan yang dirancang untuk membimbing perilaku mereka. Ini
hanyalah sebuah fakta kehidupan politik yang individu tak terpilih, dilindungi
oleh mekanisme layanan sipil dan bekerja untuk hirarkis (bahkan otoriter)
birokrasi, memegang kekuasaan pembuatan kebijakan yang signifikan dalam politi
demokratis. Mengingat ini, tantangan utama bagi teori administrasi adalah untuk
menjelaskan fakta ini dalam konteks nilai-nilai demokrasi (Selden 1997, 13-26).
Dalam memenuhi tantangan ini, mereka yang menganjurkan
teori birokrasi perwakilan mulai dengan mencari jawaban ke pertanyaan yang sama
diajukan oleh Wilson: Mengapa birokrat melakukan apa yang mereka lakukan?
Secara khusus, fokusnya adalah pada menjelaskan perilaku birokrat ketika mereka
melaksanakan kewenangan diskresioner. Umumnya, diasumsikan bahwa birokrat
adalah aktor rasional dalam arti bahwa mereka mengejar tujuan sendiri tertarik
ketika dihadapkan dengan pilihan diskresioner. Para pendukung birokrasi
perwakilan berpendapat bahwa tujuan perilaku mengemudi yang disediakan oleh
nilai-nilai individu pembuat keputusan tersebut. Dengan demikian, "jika
aparat administrasi membuat keputusan politik, dan jika birokrasi secara
keseluruhan memiliki nilai yang sama seperti orang-orang Amerika secara
keseluruhan, maka keputusan yang dibuat oleh birokrasi akan mirip dengan
keputusan yang dibuat jika seluruh masyarakat Amerika diteruskan isu-isu. . . .
Jika nilai-nilai mirip keputusan, rasional dibuat sehingga memaksimalkan
nilai-nilai ini juga akan serupa "(Meier 1975, 528). Hal ini menunjukkan
bahwa kekuasaan birokrasi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial beragam
dan perwakilan meskipun pengaturan organisasi ortodoks administrasi publik
terisolasi dari proses dasar dan nilai-nilai demokrasi. Jika jajaran pegawai
negeri mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat yang beragam,
birokrasi menjadi "pilar keempat dari pemerintah" perwakilan dengan
dasar yang sah untuk menjalankan kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Para ulama pertama yang merumuskan dan menerapkan argumen
dasar perwakilan birokrasi di Amerika Serikat yang David Levitan (1946) dan
Norton panjang (1952). Lama mengadopsi sikap yang paling ekstrim, dengan alasan
bahwa legislatif nasional, yang sangat miring ke arah strata atas masyarakat,
tidak mewakili berbagai kepentingan nasional yang penting. Sebaliknya,
"kepentingan-kepentingan ini menerima representasi yang lebih efektif dan
lebih bertanggung jawab melalui saluran administrasi" (1952, 808). Klaim
panjang adalah bahwa birokrasi memiliki lebih dari karakter demokratis daripada
legislatif karena jajaran pegawai negeri sipil federal yang jauh lebih
mencerminkan publik Amerika. Keragaman yang tercermin dalam keputusan-keputusan
administratif, bahkan kepentingan sempit mendominasi pengambilan keputusan
Kongres. Klaim normatif adalah bahwa birokrasi benar-benar dibuat untuk
kekurangan perwakilan legislatifperwakilan.
Meskipun ulama berikutnya umumnya membuat klaim normatif
kurang radikal dari panjang, dua pertanyaan utama yang mendorong kerja Long
tetap fokus dasar bekerja pada birokrasi ( 1) Apakah lembaga-lembaga
publik secara luas mewakili kepentingan dan nilai-nilai masyarakat Amerika? (2)
Apakah kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang tercermin dalam
tindakan kebijakan birokrasi? Yang pertama dari pertanyaan-pertanyaan ini
berkaitan dengan konsep "representasi pasif," atau sejauh mana
birokrasi mencerminkan komposisi masyarakat. Kingsley (1944) mengemukakan bahwa
kelas sosial ekonomi harus menjadi tolok ukur dasar untuk membandingkan
komposisipegawai
negeri dengan itu dari masyarakat. Penelitian Kingsley, bagaimanapun,
difokuskan pada layanan sipil Inggris. Di Amerika Serikat, Samuel Krislov
(1974) berpendapat bahwa secara lebih tepat dibandingkan ras, etnis, dan jenis
kelamin. Faktor-faktor ini diasumsikan menjadi sumber utama sosialisasi, dan
dengan demikian nilai-nilai. Sebagian besar penelitian empiris pada birokrasi
perwakilan di Amerika Serikat demikian dikhususkan untuk memeriksa sejauh mana
birokrasi mencerminkan komposisi demografis dasar masyarakat. Temuan umum
penelitian ini adalah bahwa minoritas dan perempuan secara proporsional
terwakili dalam birokrasi secara keseluruhan, tetapi kurang terwakili di
tingkat atas dari hirarki birokrasi (Selden 1997, 45).
Kesepakatan pertanyaan kedua dengan konsep
"representasi aktif," atau hubungan antara representasi pasif dan
output kebijakan atau hasil. Sekali lagi, itu Krislov yang membuat kontribusi
kunci untuk membentuk ilmiah berpikir tentang masalah ini. Dia berargumen bahwa
komposisi demografis birokrasi hanya menyediakan bukti tidak langsung dari
sifat perwakilan birokrasi. Profil sosial dari setiap diberikan birokrat-ras,
jenis kelamin, pendidikan, dan sebagainya-hanya menyediakan indikasi terbatas
kemampuan yang birokrat untuk memajukan kepentingan kelompok-kelompok
demografis. Hal ini tidak cukup, dengan kata lain, untuk menemukan bahwa
perempuan dan minoritas secara kasar secara proporsional terwakili di jajaran
pegawai negeri sipil. Setiap klaim serius bahwa birokrasi adalah lembaga
perwakilan memerlukan bukti bahwa representasi pasif diterjemahkan ke dalam
representasi aktif, bahwa lebih banyak perempuan dan kaum minoritas bergabung
dengan layanan sipil, semakin output kebijakan birokrasi mewakili kepentingan
luas perempuan dan kaum minoritas.
Mengingat pentingnya untuk teori birokrasi perwakilan,
tidak mengherankan bahwa telah terjadi pertumbuhan badan penelitian empiris
tentang masalah yang terakhir ini. Studi oleh Kenneth Meier dan berbagai rekan
(Meier, Stewart, dan Inggris 1989; Meier dan Stewart 1992; Meier, Kerut, dan
Polinard 1999) telah secara konsisten menemukan bahwa perwakilan minoritas
dalam pelayanan sipil terkait dengan output kebijakan yang mendukung kelompok
minoritas. Studi-studi ini telah secara eksklusif berfokus pada pendidikan dan
efek perwakilan minoritas pada output kebijakan (penelitian meneliti dampak
dari perwakilan minoritas dalam mengajar, pada posisi administrasi dan dewan
sekolah mengenai kebijakan sekolah, dan output yang mempengaruhi minoritas).
Beberapa penelitian di luar pendidikan telah menghasilkan hasil yang lebih
beragam (Hindera 1993a, 1993b; Selden 1997). Namun, banyak penelitian lain
menunjukkan bahwa kondisi yang ditemukan oleh Meier dan rekan-rekannya memang
ada untuk jenis lembaga lainnya serta untuk representasi perempuan (Keiser,
Wilkins, Meier, dan Belanda 2002; Meier dan Nicholson-Crotty 2006; Lim 2006;
Wilkins dan Keiser 2006).
Sebuah pengembangan lebih lanjut dalam literatur adalah
untuk menggabungkan konsep representasi simbolis, yang, tidak seperti
representasi aktif, bekerja kognitif pada publik. Jadi, ketika birokrat berbagi
identifikasi, pengalaman, dan karakteristik sebagian dari masyarakat, penonton
yang akan melihat tindakan orang-orang birokrat yang sah, bahkan jika birokrat
tidak sengaja mewakili kelompok itu. Nick Theobald dan Donald Haider- Markel
(2009), dengan memeriksa sikap warga tentang tindakan oleh petugas polisi,
menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh birokrat lebih cenderung
dianggap sebagai sah jika warga negara dan birokrat berbagi karakteristik
demografi. Jika ini berlaku di seluruh instansi, itu menunjukkan bahwa sikap
warga sekitar birokrat dan implementasi kebijakan dapat diubah tanpa tindakan
dari pihak birokrat yang tegas dirancang untuk mewakili kelompok tertentu (representasi
aktif). Selain itu, mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan oleh mereka
yang belajar birokrasi perwakilan
mengandalkandata
agregat, yang membuatnya sulit untuk mengetahui apakah temuan mereka
menunjukkan representasi aktif atau simbolik. Mempertimbangkan implikasi untuk
pemerintahan yang demokratis, penting untuk memperjelas pertanyaan ini.
Kunci untuk upaya perwakilan birokrasi untuk membangun
jembatan antara teori administrasi publik ortodoks dan teori demokrasi sehingga
masih bertumpu tidak ada tingkat yang kecil pada kemampuan studi empiris masa
depan untuk mendukung hipotesis pusat teori bahwa representasi pasif akan
menyebabkan representasi aktif. Meskipun literatur telah berkembang pesat sejak
tahun 2000, masalah yang diangkat oleh Theobald dan Haider-Markel menyiratkan
lebih individual-tingkat pekerjaan empiris yang diperlukan.
Kesimpulan
Hal ini
mungkin adil untuk mengatakan bahwa administrasi beasiswa publik telah lebih
berhasil dalam menunjukkan kebutuhan untuk teori politik birokrasi daripada di
benar-benar menghasilkan kerangka kerja mereka. Sudah lebih dari setengah abad
sejak ulama seperti Waldo dan Gaus terkena dasar reyot dari dikotomi
politicsadministration dan membuat singkat meyakinkan bahwa teori administrasi
harus berbagi kesamaan dengan teori politik. Sejak itu, banyak penelitian telah
secara empiris dikonfirmasi peran politik birokrasi. Beberapa di antaranya,
termasuk orang-orang dari Wilson dan Seidman, pusat pada serangkaian proposisi
dapat diuji secara empiris. Bahkan jika karya sendiri secara eksplisit
diskursif, mengandung bahan dasar untuk membangun teori. Untuk saat ini,
bagaimanapun, bahwa proyek konstruksi tetap tidak lengkap.
Model III Allison dan teori birokrasi perwakilan merupakan
dua dari kerangka kerja politik birokrasi lebih dikenal dan paling banyak
digunakan. Meskipun sulit untuk meremehkan kontribusi Allison, itu jelas jatuh
pendek dari kerangka teori yang berlaku secara umum. Allison Model III
kemungkinan akan terus menemukan pekerjaan yang menguntungkan dalam penataan
studi administrasi, tapi bukti telah terus dipasang bahwa berambisi dalam
lingkup dan berkinerja dalam praktek. Meskipun memiliki garis keturunan jauh
lebih tua dari Model III, teori birokrasi perwakilan di satu sisi tetap ingin
tahu menganggur. Model dasar pelit, dan hipotesis prediktif yang intuitif mudah
untuk dipahami. Secara sederhana, teori ini berpendapat bahwa layanan sipil
yang mencerminkan beragam kepentingan dan nilai-nilai dari masyarakat yang
dilayaninya akan mengambil kepentingan tersebut saat menjalankan kewenangan
diskresioner nya. Validitas teori terkait dengan hipotesis bahwa representasi
pasif akan menyebabkan representasi aktif. Bahkan jika kita mengakui kesulitan
dalam mengoperasikan tes tersebut, ada tapi beberapa penelitian yang
diterbitkan tepat ditujukan untuk secara empiris menilai klaim ini, dan ini
telah menghasilkan hasil yang beragam dan saling bertentangan.
Apakah relatif kurangnya keberhasilan dalam memproduksi
secara luas kerangka politik birokrasi berarti upaya untuk melakukannya harus
dinilai ulang? Nenek moyang gerakan politik birokrasi pasti akan menjawab
tidak, karena alasan sederhana bahwa karakteristik yang paling penting dari
administrasi publik adalah sifat politiknya, dan kita mengabaikan ini pada bahaya
kita. Panjang pernah menulis bahwa "tidak ada tontonan lebih menyedihkan
di dunia administratif dari agen dan program yang dimiliki kehidupan hukum,
dipersenjatai dengan perintah eksekutif, berkelanjutan di pengadilan, namun
terserang kelumpuhan dan kehilangan kekuasaan. Sebuah objek penghinaan untuk
musuh-musuhnya dan putus asa untuk teman-teman nya "(1949, 257).
Titik panjang adalah bahwa kemampuan lembaga publik untuk
menyelesaikan sesuatu tidak tergantung pada tanggung jawab dan kewenangan yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang. Sifat desentralisasi sistem Amerika
berarti keberhasilan atau kegagalan program diikat ke otot politik birokrasi
itu dipercayakan kepada. As Long ringkas mengatakan, "Nyawa administrasi
adalah kekuatan. Its pencapaian, pemeliharaan, peningkatan, disipasi, dan rugi
adalah mata pelajaran praktisi dan mahasiswa sakit mampu untuk mengabaikan
"(1949, 257). Lama berpendapat bahwa mengabaikan peran politik birokrasi
merampas teori administrasi koneksi penting untuk dunia nyata dan consigns
sejumlah kesimpulan preskriptif dari karya ilmiah kegagalan.
Cendekiawan seperti Long, Gaus, dan Waldo berpendapat
bahwa, suka atau tidak, birokrasi adalah lembaga politik dan bahwa setiap
kerangka teori yang berguna harus mengenali dan account untuk fakta sederhana
ini kehidupan politik. Teori administrasi publik, dengan kata lain, juga harus
teori politik. Teori politik birokrasi dirancang dengan tujuan ini dalam
pikiran, dan mengejar tujuan ini tetap menjadi aktivitas yang menguntungkan bagi
mahasiswa administrasi publik.