Dalam kerinduan, tentang kehangatan dan kopi lirih para kekasih...
Oh, Penguasa waktu! Wahai, waktu yang baru!
Bekali kami kemampuan hingga harapan para pecinta dan pejuang ini bermartabat...!!!
(Penampakan Motor Cinta Laura)

Mungkin dibenak Para pembaca Blog yang budiman cuco, ganteng, cantik dan terhormat, ketika mendengar nama Cinta Laura, pasti kepikiran bahwa itu nama Artis yang identik kalau ngomong itu pake Ce Ce ...

"Cincaku Padamu Cak pernah Padam, Walupun gak ada ojek, naik becak, becek..becek.."
Oh,, Cherlalunya.mi.... 

Begitulah kura-kura..
Hehehe...

Ternyata bukan, Cinta Laura itu tak hanya nama Seorang artis yang katanya Papan atas dan naik daun Komba-komba... Hehehhehe.....

Di Kampung saya salah satu Daerah terpencil dikepulauan Kadatua - Buton Selatan, ada sebuah motor tua buntut Honda merk Supra X yang orang-orang dipulau itu menganggapnya "Motor Cinta Laura". Entahlah dari mana asal muasal penamaan motor tersebut, tapi ada salah satu sumber yang saya coba wawancara, beliau adalah Raja Pertama Koslet "Baginda Farlengke bin Manguntur" dan juga salah satu Buronan kasus Penyalagunaan anggaran La Buge (Budiono) pada Mega Proyek Pembangunan Wisma Atlet Walaidhi, berikut kutipan wawancaranya:

"Kenapa pak sampai dinamakan MOTOR CINTA LAURA, apa motif dari penamaan tersebut?" tanyaku

"inaee..... begitu saja ko tidak tau belaaa e,,,, ko liat dank namanya SUPRA kalo dalam panggilan sayang atau lembutnya orang Kadatua itu "LAURA" Contoh Akbar, panggilan sayangnya Balu, Harfan panggilan sayangnya Lafafa, Rusmin panggilannya Laimi, dan lain-lain.... 
Jawab si Raja Koslet

*Oh, ternyata Laura itu panggilan sayang/lembut dari SUPRA.... heheheheheh
 
Waktu saya SMP-SMA dizaman keemasan Dewi Persik dengan lagu Populernya Mimpi Basah Manis, Motor ini boleh dibilang motor yang paling gokil dan Gaul,  dulu motor ini yang selalu kami jadikan kendaraan kemanapun, mulai dari pacaran, ke acara joget,  petik kelapa dll, muatannyapun beragam kadang bonceng 3, kadang juga bonceng 4 dan bahkan bonceng 5.

Kini motor ini sudah tidak bisa jalan, rusak total dan telah menjadi bangkai. Meskipun kondisinya rusak, tapi dikalangan pemuda Kapoa Barat khususnya di Komunitas KOSLET, Motor CINTA LAURA ini sudah menjadi sebuah legenda, dan bagian dari kisah hidup mereka ketika selama menghabiskan masa remaja dan hidup di Pulau kecil Kadatua,  banyak kenangan-kenangan manis yang tak bisa dilupakan sepanjang masa. Tumbuh, berproses dan berkembangnya hingga menjadi pribadi tangguh dan berani menantang dunia rantau.

Kini sebagian dari mereka (Pemuda Koslet) tak lagi di Kampung, mereka berpencar diberbagai pelosok Nusantara, dan mencari kehidupan masing-masing ada yang masih berstatus sebagai mahasiswa, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan, Honorer (Guru/Bidan/Perawat), karyawan Toko, Karyawan perusahan, Pegawai BUMN, Anggota TNI, POLRI dan bahkan Pengusaha Sukses.

Dan yang tersisa tinggal generasi baru, harapannya kelak mereka melanjutkan estafet yang diwarisi senior-seniornya, kebersamaan, kekompakan dan solidaritas tetap terjaga dan dipegang teguh.

*SEMOGA.....
A. Hubungan Etika Dan Akuntabilitas

Akuntabilitas secara tradisional dianggap sebagai cara yang digunakan untuk mengontrol dan perilaku administrasi langsung dengan mewajibkan "answerability" untuk beberapa kewenangan eksternal. Ia memiliki akar dalam sejarah konstitusi Amerika, dan dapat dihubungkan dengan prinsip-prinsip tersirat dalam Magna Carta serta sistem checks and balances. Dalam administrasi publik, etika yang paling sering dikaitkan dengan standar perilaku yang bertanggung jawab dan integritas. 

Isu tentang hubungan antara kedua menjadi pusat perdebatan sejak awal 1940-an-salah satu dari dua perdebatan yang menetapkan agenda intelektual untuk bidang administrasi publik selama era Perang Dingin (yang lainnya perdebatan antara Herbert Simon dan Dwight Waldo) .1 Dalam esai 1940, 2 Friedrich berpendapat bahwa cara-cara tradisional (misalnya, pengawasan dan pengendalian) untuk memegang administrator bertanggung jawab tidak efektif dan tidak perlu. Hal itu wajar, katanya, untuk tunduk kepada penilaian administrator yang rasa tanggung jawab profesional dan kesetiaan bisa dipercaya ketika mereka melakukan kebijakan publik untuk kepentingan nasional. Sebagai tanggapan, Finer3 menegaskan kembali pandangan luas bahwa, meskipun rasa yang lebih besar dari tanggung jawab profesional antara administrator saat ini, demokrasi masih memerlukan peningkatan kontrol publik dan arah agen administrasi pertukaran itu dan tetap ekspresi klasik hubungan konvensional antara etika dan akuntabilitas dalam publik administration. mendasar untuk melihat bahwa adalah asumsi bahwa komitmen administrator modern untuk melakukan sendiri bertanggung jawab (yaitu , etis, sesuai dengan "moralitas demokratis") tidak memadai untuk memastikan bahwa kehendak rakyat akan dilaksanakan. Akuntabilitas, dalam bentuk eksternal (misalnya, demokratis) kendala dan kontrol, juga diperlukan. Mekanisme Akuntabilitas diminta untuk membuat keputusan dan perilaku pejabat publik yang bertanggung jawab, tidak hanya dalam indera hukum, politik, atau birokrasi istilah itu, tetapi juga morally. Perilaku etis, singkatnya, diperlukan kehadiran mekanisme akuntabilitas eksternal dalam berbagai bentuk mereka. 
Apakah akuntabilitas menumbuhkan perilaku etis atau moral bertanggung jawab? Meskipun beasiswa cukup dikhususkan untuk pemeriksaan upaya untuk mengendalikan birokrasi melalui berbagai mekanisme akuntabilitas, eksistensi atau efektivitas hubungan akuntabilitas-etika memiliki sistematis belum diperiksa. Sebuah badan berkembang bekerja pada akuntabilitas menyiratkan bahwa ia memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku administrasi tetapi tidak , dari penelitian ini secara langsung alamat bagaimana akuntabilitas mempengaruhi standar etika dan strategi yang diadopsi oleh administrator.


B. Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik
Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada.
Pada sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru, bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.
Kemudian pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.


C. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat bertambah baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big bureaucracy, giant bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah : (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya; (6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik); (7) responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.
Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan).
Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.


Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.


D. Pengertian Akuntabilitas
Istilah akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggris accountability yang berarti pertanggunganjawab atau keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggunganjawab. Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
Pengertian akuntabilitas ini memberikan suatu petunjuk sasaran pada hampir semua reformasi sektor publik dan mendorong pada munculnya tekanan untuk pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggungjawab dan untuk menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip akuntabilitas adalah merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dimana dalam kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang terkait harus mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugasnya. Prinsip akuntabilitas terutama berkaitan erat dengan pertanggung jawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau program yang telah ditetapkan itu.
Pengertian akuntabilitas menurut Lawton dan Rose dapat dikatakan sebagai sebuah proses dimana seorang atau sekelompok orang yang diperlukan untuk membuat laporan aktivitas mereka dan dengan cara yang mereka sudah atau belum ketahui untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good corporate governance berkaitan dengan pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang dicapai, sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris. Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua) hal, yaitu : 1) kemampuan menjawab dan 2) konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah digunakan dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan dalam suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Akuntabilitas, sebagai salah satu prasyarat dari penyelenggaraan negara yang baru, didasarkan pada konsep organisasi dalam manajemen, yang menyangkut :
1. Luas kewenangan dan rentang kendali (spand of control) organisasi.
2. Faktor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable) pada level manajemen atau tingkat kekuasaan tertentu.
Pengendalian sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efesien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula sebaliknya. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Sumber daya ini merupakan masukan bagi individu maupun unit organisasi yang seharusnya dapat diukur dan diidentifikasikan secara jelas.
Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari karyawan organisasi sehingga tercapai kelancaran dan keterpautan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.


E. TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK
            Tidak dapat dipungkiri- bahwa baik di negara maju maupun di negara- Negara berkembang apalagi di Daerah- birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh pemerintah- mulai dari : peran mengatur kehidupan masyarakat ( regulative )- melindungi masyarakat ( protective)- mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat ( distributive ) sampai pada pemberian pelayanan umum ( public service ). Dengan fenomena itu- tidak heran manakala Stiglitz ( 1988:1) dalam Ermawan Agus Purwanto : 2006- memberikan pameo from birth to death, our lives are affected in countless ways by activities of government !
Namun seiring dengan bergulirnya waktu- dominasi birokrasi dalam berbagai aspek dalam kondisi kekinian mulai dipertanyakan. Munculnya buku reinventing government ( Osborne dan Gaebler : 1992 ) menjadi moment monumental dipenghujung abad dua puluh- yang menggungat berbagai dimensi dan sepak terjang birokrasi yang selama ini telah ditasbihkan sebagai sesuatu yang given.
Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan menjadi semakin penting- seiring dengan semakin kuatnya keinginan untuk terus mengembangkan praktik good governance- yang mensyaratkan adanya ruang khusus transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan ke pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Dengan kata lain- pemerintah pada setiap tingkatan, terutama pada level layanan yang bersentuhan langsung dengan penerima manfaat layanan- dituntut untuk terbuka dan menggaransi ruang yang dapat diakses oleh stakeholder’s terhadap berbagai sumber informasi tentang proses kebijakan publik- alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan dimaksud serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut.

Sejumlah point informasi mengenai tindakan pemberi layanan, misalnya : alasan yang melatar belakangi tindakan, bentuk tindakan yang diharuskan serta waktu dan cara melakukan tindakan dimaksud- harus tersedia bagi stakeholders dan masyarakat luas. Dengan leluasa mengakses berbagai informasi, secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk turut menilai sejauh mana keberpihakan pemerintahnya- telah mengakomodir kebutuhan dasar yang selama ini- menjadi harapan masyarakat.
Terhadap alokasi anggaran misalnya- masyarakat dan stakeholders berhak memperoleh informasi dari mana sumber anggaran diperoleh, berapa jumlah dana yang dialokasikan serta apakah pemerintah membelanjakan anggaran sedemikian itu- untuk kepentingan masyarakat luas ataukah hanya untuk sekelompok orang tertentu yang memberikan keuntungan daur ulang bagi dirinya sendiri ataukah hanya untuk kepentingan oknum- oknum aparat layanan tertentu saja. Lebih dari itu- masyarakat dan stakeholders semakin perlu untuk mengetahui, apakah kebijakan yang diterapkan tersebut beserta sejumlah resourches yang mendukungnya, benar- benar menghasilkan kinerja yang terukur sesuai yang diharapkan atau tidak. Pengalaman adalah guru terbaik- kata orang bijak dan karena lasan tertentu, banyak kebijakan yang telah direncanakan tidak dapat dijalankan seperti yang direncanakan maupun banyak belanja yang digelontorkan- tidak seperti yang diharapkan.

F. BAGAIMANA TRANSPARANSI DITERAPKAN DALAM PELAYANAN PUBLIK
Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan publik ? barangkali jawabannya akan seringkali kurang jelas dan cenderung tumpang tindih dengan aspek- aspek good governance lainnya, seperti : akuntabilitas dan responsibility. Akan tetapi, sejatinya- konsepsi transparansi lebih pada aspek menunjuk pada suatu kondisi dimana segala aspek dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan dapat bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna layanan dan stakeholders yang membutuhkannya.
Jika saja- segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan itu, seperti : persyaratan/ biaya dan waktu yang diperlukan/ cara pelayanan/ serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan- dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses dengan mudah serta dipahami dengan benar oleh masyarakat- maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai cukup memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya- sekiranya sebagian atau lebih banyak item dari seluruh proses penyelenggaraan layanan tersebut, cenderung sulit diperoleh informasinya dan terkesan tertutup- maka penyelenggaraan layanan dimaksud, belum memenuhi kaidah transparansi.
Dengan demikian- minimal tiga pakem utama, seperti : informasi tentang persyaratan- biaya dan waktu yang dibutuhkan serta hak dan kewajiban yang diusahakan berimbang dan proporsional, senantiasa harus menjadi brand dari setiap insan pengelolah layanan kemasyarakatan.
Pelaksanaan tata pemerintahan yang baik adalah bertumpu pada tiga domain yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat, ketiga domain tersebut harus bekerja secara sinergis, yang berarti setiap domain diharapkan mampu menjalankan perannya dengan optimal agar pencapaian tujuan berhasil dengan efektif. Pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hokum yang kondusif ; swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi , politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Spirit dari good governance adalah meminimalkan peran negara dan mengedepankan pasar.
Hal ini sekaligus menunjukkan betapa teori ini tidaklah mampu menempatkan dirinya, secara konseptual, pada pihak rakyat terlebih dinegara berkembang. Kita semua sama tahu bahwa pasar hari ini dikuasai oleh negara - negara maju. Kapital dan teknologi pengendali ekonomi dunia. Tidaklah berlaku secara equal. Negara berkembang selalu saja menjadi objek dari trend ekonomi global yang diciptakan oleh negara maju khususnya negara - negara G8. oleh karena itu keberpihakan kepada pasar, itu erarti memberi ruang yang makin luas pada diaspora kepentingan kepentingan negara negara kapitalis untuk terus saja menjajah dan mengekploitasi Negara berkembang termasuk Indonesia.
Prinsip spirit Governance adalah ingin menjamin hak - hak demokrasi ada di tangan rakyat.
Tiga sektor dalam good governance yaitu sektor pemerintahan, sektor privat, dan masyarakat seharusnya mempunyai pembagian yang hak dan tanggungjawab bersama dan jelas yang diatur dalam kontrak sosial, mana kontrak sosial tersebut merupakan hasil produk pengaturan bersama yang melibatkan ketiga sektor tersebut.sistem ini dapat memberi implikasi yuridis apabila lembaga - lembaga tersebut melalaikan fungsinya dalam mewujudkan transparansi informasi informasi dan akuntabilitas publik(jurnal MK vol 4 2007). Demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan seperti di Negara lain yang secara jelas mengedapkan demokrasi leberal. Dimana pasar lebih banyak berperan dalam negara dibanding pemerintah. Meskipun dalam praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya dalam mengatur pasar. Termasuk dalam pembuatan peraturan/ undang - undang. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang ramah terhadap pasar. Demokrasi di Indonesi bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung tinggi keadilan masyarakat.
Di Indonesia yang merupakan negara berkembang dimana proses demokrasi tersebut masih berlangsung mampukah bertahan dengan tuntutan good governance liberalisme pasar. Dimana pasar yang berkembang dan pembatasan peran pemerintah dalam kehidupan negara. Tekanan dari dunia luar terhadap Indonesia terlihat banyaknya kebijakan publik yang tidak memihak rakyat.
Negara bukan sebagai kekuatan politik yang menduduki posisi puncak di dalam organisasi - organisasi publik, seperti presiden, menteri, parlemen, dan lain - lain. Negara diartikan sebagai organisasi yang merepresentasikan kepentingan rakyat di wilayah tertentu dan bersifat netral. Politik adalah sarana untuk memilih siapa yang ditugaskan untuk mengelola kepentingan rakyat. Politik bukanlah negara apalagi rezim. Dengan demikian ide tentang pengatan negara berbeda dengan rezim yang berkuasa.
Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antarketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya check and balance, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktik good governance. Pertama, praktik good governance harus memberi ruang kepada pihak di luar pemerintah untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara mereka. Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah maupun swasta dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu, praktik pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah di mana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas.
Keberhasilan mempraktikkan good governance pada pelayanan publik mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat luas bahwa menerapkan good governance bukan hanya sebuah mitos, tetapi menjadi suatu kenyataan.
Kedua, pelayanan publik adalah ranah di mana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Nilainilai yang selama ini mencirikan praktik good governance seperti efisien, nondiskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikembangkan parameternya dalam ranah pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak, pemerintah mewakili negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, yang semuanya memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini.
Dengan memulai perubahan pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sipil dan para pelaku pasar, upaya melaksanakan good governance akan memperoleh dukungan dari semua pemangku kepentingan. Dukungan ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan karena memasyarakatkan good governance membutuhkan stamina dan daya tahan yang kuat. Untuk mewujudkan hal itu, perlu tiga pendekatan yang harus sekaligus dilakukan. Pertama, menetapkan dan memasyarakatkan pedoman good governance secara nasional, baik untuk kalangan korporasi maupun publik, yang kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral dari masing-masing industri atau bidang kegiatan.
Pedoman ini merupakan suatu rujukan yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan penyesuaian.
Kedua, perlu dilakukan penyuluhan, konsultansi, dan pendampingan bagi perusahaan maupun kantor pemerintah yang bermaksud untuk mengimplementasikan good governance, dengan melakukan kegiatan self assessment, kemudian memasang rambu-rambu pada tiap perusahaan atau instansi pemerintah. Ketiga, memperbanyak agen-agen perubah dengan mengembangkan semacam sertifikasi bagi direktur dan komisaris pada perusahaan serta bagi pejabat publik.
Upaya membangun industri yang berdaya saing tidaklah mudah untuk kita gapai, terlebih jika tidak disertai perbaikan governance pada sektor pelayanan publik. Dalam bahasa yang berbeda, perbaikan governance pada sektor pelayanan publik merupakan prasyarat bagi keberhasilan di dalam membangun industri yang berdaya saing.


G. Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia
Dibutuhkan Kode Etik. Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila,bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera.Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada,tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman. Kita mungkin perlubelajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran,kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap,mengutamakan kepentingan public diatas kepentingan lain, bekerja profesional,pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas,dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action. Kedewasaan dan Otonomi Beretika.Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika. Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bilaitu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yangsama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapitidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.Perlindungan dan Insentif Bagi Pengadu. Diantara kita semua ada pihak yang sangat peduli dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang pelanggaran moral. Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Namun upaya untuk melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi terancam. Pengalaman ini cenderung membuat mereka takut dan timbul kebiasaan untuk tidak mau “repot” atau tidak mau “berurusan” dengan hukum atau pengadilan, yang insentifnya tidak jelas. Akibatnya, peluang dari pihak-pihak yang berpengaruh dalam pelayanan publik terus terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam pelayanan publiki, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif khusus



E. Penutup
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.
Demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan seperti di Negara lain yang secara jelas mengedapkan demokrasi leberal. Dimana pasar lebih banyak berperan dalam negara dibanding pemerintah. Meskipun dalam praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya dalam mengatur pasar. Termasuk dalam pembuatan peraturan/ undang - undang. Menkipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang ramah terhadap pasar.

Demokrasi di Indonesia bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung tinggi keadilan masyarakat dan kesejahteraan rakyat. Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi.

Caopas dari: ASWAD LIPU BLOGSPOT

Referensi
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Alwi Hashim B, Pelayanan Publik..
 Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good Governance.





A.    lntroduction :  Apa itu Teori Birokrasi Politik ?
Teori birokrasi politik itu berusaha untuk menjelaskan peran pembuatan kebijakan administrasi dan birokrasi dan kerangka tersebut biasanya menolak adanya dikotomi politik-administrasi, tapi secara khusus dikotomi tersebut hanya di anggap sebagai kebodohan yang di sengaja dari peran sentral birokrasi dalam struktur kekuasaan pemerintahan. Karena birokrasi dan birokrat itu sering terlibat dalam perilaku politik, maka perlu di pertegas peran politik birokrasi itu. Politik secara umum didefinisikan sebagai alokasi otoritatif nilai-nilai, atau proses memutuskan "siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana"  (Easton 1965: Lasswell1936). 

Sedangkan menurut Meier (1993: 7) bahwa birokrasi Logis terlibat dalam "politik dari urutan pertama". Karena itu teori politik birokrasi mulai diterima dalam prakteknya yang menurut Waldo (1948) bahwa Administrasi adalah politik. Teori-teori politik birokrasi berusaha mencari kesalahan yang bisa membagi administrasi dengan politik. Para sarjana mendukung pembagian politik-administrasi yang menyadari permainan peran politik birokrasiWoodrow Wilson dan Frank Goodnow pada waktu seperti itu menulis sebuah buku yang menyadari bahwa politik dan administrasi mewakili sintesis daripada dua bagian yang hampir dipisahkan dari kebijakan publik perusahaan (Lynn 2001). Tetapi, sarjana administrasi publik terkemuka lain berpendapat pada paruh pertama abad kedua puluh bahwa teori administrasi harus memperhitungkan politik. Yang paling terkemuka yaitu John Gaus. Birokrasi itu sungguh-sungguh memegang dan menggunakan kekuatan politik. Gaus berpendapat bahwa teori administrasi mengabaikan fakta bahwa birokrat yang membantu untuk menentukan kehendak negara, pasti tidak terelakkan dari lembaga politik. Gaus pun merangkum tujuan teori politik birokrasi yaitu teori administrasi publik berarti dalam waktu kita teori politik juga (1950, 168). 


B.     Teori Administrasi sebagai Teori Politik

Karya yang berkembang perlunya sebuah teori birokrasi politik adalah dari Dwight Waldo The administrasi negara (1948). Yaitu:
1.      Melakukan kritik keras terhadap penelitian sudah ada dengan argumentasi bahwa keilmuan administrasi publik berkisar pada seperangkat inti keyakinan bahwa secara kumulatif  berfungsi untuk membatasi perkembangan teoritis. Mempercayai bahwa antara efisiensi dan demokrasi sejalan, kemudian harus membagi secara nyata antara pengambilan keputusan dan pelaksana, karena tujuan ilmu administrasi memaksimalkan efisiensi.

2.       Kedua, Waldo berpendapat bahwa keilmuan administratif itu sendiri digerakkan oleh filosofi politik tertentu.

      Pada 1948, terbit buku karya Dwight Waldo berjudul The Administrative State: A Study of  Political Theory of American Public Administration. Buku Waldo ini dengan tegas membantah literatur ortodoksi. Menurut Waldo, doktrin administrasi publik adalah teori politik. Waldo juga menyatakan bahwa administrasi publik adalah produk dari kondisi material dan ideologis. Kalau hukum konstitusi berubah, maka administrasi publik juga berubah. Pada periode 1938-1950 tersebut terjadi pertentangan antara anggapan mengenai value-free dan value-laden politics dari administrasi publik, dan dalam praktek yang dominan adalah value-laden politics. John M. Gaus menyatakan bahwa teori administrasi publik sebenarnya juga teori politik.



C.    Teori Administrasi sebagai Teori Politik

Paradigma politik birokrasi dituangkan oleh Graham Allison (1971)  dalam karyanya “ Essence of decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin (1972), fokusnya pada essence of decision yang menjadi usaha pertama secara serius dan komprehensif membangun kerangka kerja tawar-menawar dan negosiasi dalam pengambilan keputusan. Melalui pertanyaan besar tentang pemicu utama dari kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other words, how is policy made, and who determines or influence it? Allison memberikan jawaban melalui tiga model teoritisasi. Ketiga model teoritisasi Allison meliputi:
1.      pertama, model the actor rational (model aktor rasional) atau Model I (the classical model). Model I ini menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami sebagai hasil dari single actor dalam membuat keputusan untuk kepentingan strategis mereka sendiri.
2.      Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan proses pengambilan keputusan sangat terstrukutur melalui standart operational procedural (SOP) yang disepakati.
3.      Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini didasari oleh beberapa asumsi, antara lain:
1)      Cabang eksekutif terbentuk dari bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut membawa isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan masing-masing;
2)      Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak;
3)      Keputusan akhir adalah akibat dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; dan
4)      Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya.

D.    Politik, Kekuasaan, dan Organisasi
 Secara khusus, kerangka Allison meninggalkan isu-isu organisasi yang penting, seperti sebagian besar dari studi kerangka yang berusaha mensin tesis, hampir secara eksklusif berfokus pada merek yang eksekutif.
Ada dua dimensi organisasi kunci teori politik birokrasi :
1. Berhubungan dengan perilaku. Tujuan utama di sini adalah untuk menjelaskan mengapa birokrat dan birokrasi melakukan apa yang mereka lakukan. Anggapan umum adalah bahwa birokrasi mengejar misi publik yang penting dan membuat kebijakan banyak , namun hanya memiliki pedoman jelas dari undang-undang. Jika  lembaga-lembaga resmi yang bertanggung jawab untuk tujuan lembaga-lembaga publik, hanya sebagian menjelaskan apa yang birokrasi lakukan dan mengapa mereka melakukannya, apa yang menjelaskan sisanya?
2. Berkaitan dengan struktur kelembagaan dan distribusi kekuasaan. Tujuan utama di sini adalah untuk memahami bagaimana jalur resmi birokrasi kewenangannya berhubungan ke lembaga lain, dan program-program kebijakan ditempatkan dalam yurisdiksinya semua bergabung untuk menentukan pengaruh politik relatif berbagai aktor politik.

Penjelasan untuk perilaku politik birokrasi dan birokrat memiliki akar yang kuat dalam literatur teori organisasi. Misalnya :
1.      Robert Merton (1957) menyatakan bahwa lembaga disusun sebagai birokrasi klasik membentuk kepribadian orang-orang yang bekerja untuk mereka. Sebuah lingkungan birokrasi. Mertonberpendapat, orang ditekan agar sesuai dengan pola-pola perilaku yang diharapkan untuk mengikuti aturan, menjadi metodis dan rinci.
2.      William Whyte, Jr, menggemakan tema yang sama dalam bukunya Organisasi kerja Thr. Mach (1956). Penelitian dalam perusahaan-perusahaan AS mengadopsi tujuan dari organisasi yang mereka kerjakan sebagai milik mereka, untuk menggolongkan kepribadian mereka ke dalam lingkungan organisasi yang lebih besar.

Wilson berpendapat bahwa administrasi berada di luar area politik, persoalan-persoalan administrasi bukanlah menjadi persoalan politik, meskipun politik menetapkan apa saja yang harus dilakukan administrasi, hal itu tidak berarti bahwa politisi dapat memanipulasi administrator. lantas Wilson membangun apa yang kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi.

Dalam essay yang dikemukakan Wilson ada dua tema kunci yang menjadi fokus study administrasi publik yaitu:

1)    Distingsi antara politik (kebijakan) dan administrasi, menekankan pentingnya akuntabilitas kepada pejabat terpilih (elected official), serta kompetensi netral yang harus dimiliki oleh administrastor.
2)    Perlunya menciptakan struktur dan strategi menajemen administrasi yang memungkinkan organisasi dan manejer publik dapat bertindak dalam cara-cara yang paling efisien.

Wilson percaya bahwa Spoil sistem tercipata karena relasi diantara administrasi dengan politik. jika administrator bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politis maka hal berpotensi menimbulkan korupsi, pemisahan antara lingkungan politik dimana kebijakan ditetapkan dengan lingkungan administrasi dimana kebijakan diimplementasikan diyakini dapat mengatasi the spoils system. menurutnya ada 3 (tiga) segi kontrol politik dalam model administrasi publik tradisional yaitu:
1)      Adanya keterkaitan erat antara akuntabilitas dan  responsibilitas, suatu organisasi atau lembaga memiliki dua peran mendasar meliputi; untuk memberikan masukan kepada pejabat politik terkait dengan pengembangan, kajian, dan implementasi kebijakan serta mengelola rosorsis agar kebijakan dapat diimplementasikan, setiap pelayan publik harus ekuntabel melalui struktur hirarki yang ada;
2)      Harus ada pemisahan yang tegas antara persoalan kebijakan yang merupakan ruang lingkup politisi dengan persoalan administrasi yang ada dalam pelayanan publik; dan
3)      Administrasi harus netral, setiap kebijakan atau keputusan tidak berkaitan dengan atribut personal seseorang.



E.     Jaringan dan Politik Birokrasi

Fakta ini bahwa politik birokrasi melampaui birokrasi itu sendiri disorot oleh Laurence O'Toole(1997b) di nasihat untuk mengambil jaringan serius. Untuk administrasi publik, jaringan dapat dianggap sebagai satu set organisasi yang saling bergantung, yaitu, mereka berbagi tujuan, kepentingan, sumber daya, atau nilai-nilai. Saling ketergantungan ini mengikat bersama bukan hanya birokrasi publik dalam, antara, dan di antara yang berbeda yurisdiksi politik, tetapi lembaga swasta dan nirlaba juga, dalam proses menciptakan bentuk-bentuk baru dari praktek-praktek organisasi dan manajemen yang digunakan untuk mencapai tujuan kolektif atau publik.

O'Toole(1997)berpendapat bahwa administrasi jaringan tidak hanya berlaku umum, tetapi semakin penting, karena lima alasan utama.

1.      Pertama, "jahat" masalah kebijakan memerlukan mobilisasi berbagai aktor, baik di dalam dan di luar pemerintah. kebijakan memerlukan masalah-masalah yang bervariasi dari actor-aktor, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. dan dari seluruh tingkat pemerintahan.
2.      Kedua, tuntutan politik bagi pemerintah terbatas, tetapi tanpa pengurangan tuntutan untuk tindakan, menimbulkan jaringan yang mencakup aktor non- negara melalui kontrak.
3.      Ketiga, kebutuhan untuk birokrasi untuk menjadi responsif terhadap masyarakat secara alami mengarah ke dimasukkannya kelompok warga dan industri dalam pengambilan keputusan.
4.      Keempat, evaluasi program secanggih telah mengungkapkan efek tidak langsung atau orde kedua kebijakan, jaringan pelaksanaan telah dibentuk untuk mencerminkan hubungan mereka.
5.      Kelima, O'Toole(1997b) mencatat bahwa banyak mandat memiliki beberapa lapisan yang pada dasarnya memerlukan manajemen program untuk menjadi jaringan. Di sini, ia menggunakan contoh manajer program transportasi perlu memperhitungkan hak-hak penyandang disabilitas.

O'Toole dan Meier berpendapat bahwa jaringan harus diperlakukan sebagai lembaga politik, sejak berdirinya mereka sering untuk alasan politik (untuk mungkin menghindari harus berurusan langsung dengan isu kontroversial), dan selalu memiliki implikasi politik. Keputusan untuk kontrak atau privatisasi fungsi pemerintah secara inheren politik, karena melibatkan keputusan untuk menggeser lokus kekuasaan negara, dan tentu saja merupakan pilihan untuk memindahkan sumber daya publik kepada anggota jaringan lainnya, termasuk perusahaan swasta atau organisasi nirlaba. Namun melampaui panggilan oleh O'Toole dan Meier untuk fokus pada implikasi politik, lapangan belum menghasilkan pekerjaan yang diperlukan.

Scott Robinson(2006),misalnya, berpendapat kita tidak memiliki alat konseptual untuk memahami implikasi pemerintahan dari berbagai jenis jaringan dan bagaimana politik konteks membentuk mereka penciptaan, keanggotaan, tujuan, dan hasil. Mengingat ledakan pertumbuhan administrasi jaringan dan implikasinya kurang dipahami untuk kebijakan publik dan berpengaruh pada nilai-nilai demokrasi, ada hampir tidak bisa menjadi contoh yang lebih baik dari kebutuhan praktis dan penting bagi pengembangan teori, bukan hanya di ranah politik birokrasi, tetapi juga di bidang umum administrasi publik.

F.     Perwakilan Birokrasi

Teori birokrasi perwakilan merupakan upaya eksplisit untuk mengatasi masalah utama teori administrasi demokrasi yang diajukan oleh Dwight Waldo (1952, 102). Karya pemikir seperti Waldo, Allison, wilson, dan Seidman sangat menyarankan, bahwa birokrasi adalah lembaga kebijakan politik. Namun jika birokrasi merupakan aktor kebijakan paling kuat terlibat dalam "politik urutan pertama," mereka juga sebagian besar terisolasi dari kotak suara dan hanya sebagian bertanggung jawab kepada pejabat terpilih (Meier 1993, 7; Mosher 1982).

Teori birokrasi perwakilan berfokus pada menemukan cara untuk melegitimasi kekuasaan birokrasi politik dalam konteks nilai-nilai demokrasi. Prinsip utama adalah bahwa birokrasi yang mencerminkan keragaman masyarakat yang dilayaninya lebih cenderung untuk menanggapi kepentingan semua kelompok dalam pengambilan keputusan kebijakan (Krislav 1974, Seklen 1997).

Jika birokrasi yang sensitif terhadap seperti 2 keragaman kepentingan, dan kepentingan-kepentingan terwakili dalam keputusan birokrasi dan perilaku, argumen adalah bahwa birokrasi itu sendiri yang dianggap sebagai lembaga perwakilan. Jika birokrasi itu lembaga perwakilan, panjang diakui peran politik yang diakomodasi dengan nilai-nilai demokrasi seperti dasar sebagai aturan mayoritas, hak-hak minoritas. dan perwakilan yang sama. Prinsip legitimasi kekuasaan birokrasi  dengan menganggap birokrasi sebagai sebuah institusi representatif secara formal diperkenalkan oleh J. Donald Kingsley dalam Representative Bureaucracy (1944). Dalam studi public service di Inggris, Kingsley  menunjukkan bahwa civil service harus mencerminkan karakteristik kelas sosial penguasa. Untuk menjalankan peran secara efektif dengan politik, menurut Kingsley, civil service harus simpatik dengan pertimbangan dan nilai kelompok politik dominan. Di Amerika, spoils system yang dijalankan selama abad 19 menimbulkan sebuah civil service yang didominasi oleh loyalis partai (Meier, 1975).


Kemudian Michael Lipsky (1980) mengembangkan sebuah system  yaitu “Street-Level- Bureacracy” adalah mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung dengan masyarakat. Lipsky juga berpendapat bahwa praktek birokrasi street level tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit yaitu sebagai upaya untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki apalagi dalam kenyataannya peningkatan permintaan pelayanan sepertinya tidak pernah berhenti.  dengan kata lain Street-Level- Burearacy adalah sebagai orang yang "publik service secara langsung" dan pelaksana dari kebijakan penguasa" publik service secara langsung artinya bahwa para birokrat ini yang memberikan pelayanan langsung kepada para costomernya (publik). contohnya adalah perawat, dokter-dokter praktek, polisi lalu lintas, atau aparat birokrasi lainnya yang terjun langsung kepada public dan memberikan pelayanan sesuai dengan permintaan public dalam batasan aturan lembaga mereka masing-masing.

G.    Kesimpulan
Politik diakui sebagai komponen fundamental administrasi, dan sebaliknya. Meskipun pengakuan ini mungkin  telah membunyikan lonceng hegemoni teoritis dalam administrasi public. Menurut Waldo, kerangka kerja intelektual administrasi public adalah sebuah filsafat politik normative, sehingga setiap teori administrasi telah menjadi teori politik.
Secara teoritis mengintegrasikan peran politik birokrasi telah terbukti sangat sulit, pendekatan dasar untuk menyelesaikan tugas  ini adalah untuk mengobati birokrasi dan birokrat sebagai actor politik dalam hak mereka sendiri, actor dengan agenda diidentifikasi yang terlibat dalam mendorong dan tawar-menawar serta kompromi yang dihasilkan dalam keputusan kebijakan. Menurut Waldo, gerakan politik birokrasi sejauh ini jauh lebih berhasil dalam menunjukkan kebutuhan teori-teori politik birokrasi dari pada benar-benar menciptakan kerangka kerja yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan itu. Dalam pengertian ilmiah, maka teori perwakilan birokrasi masih belum menghasilkan.
Dalam perakteknya, administrasi bukan tentang efisensi, atau bahkan efektivitas, tetapi tentang politik, dan faktanya, terjadi kebingungan dalam lembaga termasuk terkait peran mereka. Namun ini justru berimbas pada kejelasan hubungan antar bidang pemerintah sehingga menjadi jauh lebih mudah dipahami. Artinya, teori-teori politik birokrasi telah melayani disiplin dengan baik dalam menyoroti  peran politik birokrasi, mereka telah menjalin pemahaman yang lebih besar tentang mengapa badan public melakukan apa yang mereka lakukan.

Jaringan dan Politik Birokrasi
Fakta ini bahwa politik birokrasi melampaui birokrasi itu sendiri disorot oleh Laurence O'Toole (1997b) dalam nasihat untuk mengambil jaringan serius. Untuk administrasi publik, jaringan dapat dianggap sebagai satu set organisasi yang saling bergantung, yaitu, mereka berbagi tujuan, kepentingan, sumber daya, atau nilai-nilai. Saling ketergantungan ini mengikat bersama bukan hanya birokrasi publik dalam, antara, dan di antara yang berbeda yurisdiksi politik, tetapi lembaga swasta dan nirlaba juga, dalam proses menciptakan bentuk-bentuk baru dari praktek-praktek organisasi dan manajemen yang digunakan untuk mencapai tujuan kolektif atau publik. O'Toole (1997a) berpendapat bahwa administrasi jaringan tidak hanya umum, tetapi juga semakin penting, karena lima alasan utama. Pertama, "jahat" masalah kebijakan memerlukan mobilisasi berbagai aktor, baik di dalam dan di luar pemerintah. Masalah tersebut adalah hasil dari beberapa penyebab, dan biasanya span lebih dari satu yurisdiksi. Sebuah agen tunggal tidak akan mampu mengatasi masalah ini tanpa bantuan, dari aktor baik di dalam dan di luar pemerintah dan dari seluruh tingkat pemerintahan. Kedua, tuntutan politik bagi pemerintah terbatas, tetapi tanpa pengurangan tuntutan untuk tindakan, menimbulkan jaringan yang mencakup aktor non- negara melalui kontrak. Seperti ditunjukkan dalam Bab 5, implikasi dari kontraktor adalah sesuatu yang kita hanya mulai memahami. Ketiga, kebutuhan untuk birokrasi untuk menjadi responsif terhadap masyarakat secara alami mengarah ke dimasukkannya kelompok warga dan industri dalam pengambilan keputusan. Jaringan memang dapat meningkatkan akuntabilitas kepada publik, namun, seperti yang akan dibahas, tidak jelas apakah mereka selalu menghasilkan efek demokrasi kita harapkan. Keempat, evaluasi program secanggih telah mengungkapkan efek tidak langsung atau orde kedua kebijakan, jaringan pelaksanaan telah dibentuk untuk mencerminkan hubungan mereka. Kelima, O'Toole (1997b) mencatat bahwa banyak mandat memiliki beberapa lapisan yang pada dasarnya memerlukan manajemen program untuk menjadi jaringan. Di sini, ia menggunakan contoh manajer program transportasi perlu memperhitungkan hak-hak penyandang cacat.
(1997a) dunia birokrasi jaringan O'Toole ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai pemahaman kita tentang politik birokrasi, pemerintahan, dan akuntabilitas. Apakah jaringan ini mengancam demokrasi atau meningkatkan itu? Harus harapan akuntabilitas dan pengawasan diubah sebagai hasil dari mengakui bahwa begitu banyak aktor yang terlibat dalam keputusan birokrasi? Bagaimana lembaga memegang kekuasaan politik di jaringan ini? Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi "sisi gelap" dari networks- yang manajer jaringan menanggapi elemen jaringan yang lebih politis berpengaruh, dan dengan demikian hasilnya adalah bahwa jaringan benar-benar dapat memperburuk sudah ada ketidaksetaraan (O'Toole dan Meier 2004). Hal ini menimbulkan pertanyaan penting dan mengganggu tentang sifat dan implikasi dari kekuatan politik dalam administrasi jaringan. Masalah lain, seperti dibahas dalam Bab 5, melibatkan "pengosongan" dari negara.
Kebutuhan untuk memahami birokrasi jaringan jelas, tetapi tidak jelas jika kita telah membuat banyak kemajuan teoritis sejak pertengahan 1990-an. Sebagian besar literatur telah difokuskan pada bagaimana mengelola sistem jaringan, bukan pada implikasi politik dan pemerintahan (O'Toole dan Meier 2004). O'Toole dan Meier berpendapat bahwa jaringan harus diperlakukan sebagai lembaga politik, sejak berdirinya mereka sering untuk alasan politik (untuk mungkin menghindari harus berurusan langsung dengan isu kontroversial), dan selalu memiliki implikasi politik. Keputusan untuk kontrak atau privatisasi fungsi pemerintah secara inheren politik, karena melibatkan keputusan untuk menggeser lokus kekuasaan negara, dan tentu saja merupakan pilihan untuk memindahkan sumber daya publik kepada anggota jaringan lainnya, termasuk perusahaan swasta atau organisasi tidak-forprofit. Namun melampaui panggilan oleh O'Toole dan Meier untuk fokus pada implikasi politik, lapangan belum menghasilkan pekerjaan yang diperlukan. Scott Robinson (2006), misalnya, berpendapat kita tidak memiliki alat konseptual untuk memahami implikasi pemerintahan dari berbagai jenis jaringan dan bagaimana politik konteks membentuk mereka penciptaan, keanggotaan, tujuan, dan hasil. Mengingat ledakan pertumbuhan administrasi jaringan dan implikasinya kurang dipahami untuk kebijakan publik dan berpengaruh pada nilai-nilai demokrasi, ada hampir tidak bisa menjadi contoh yang lebih baik dari kebutuhan praktis dan penting bagi pengembangan teori, bukan hanya di ranah politik birokrasi, tetapi juga di bidang umum administrasi publik.
Mengingat sifat sangat politis birokrasi yang Seidman, O'Toole, dan lain-lain telah dijelaskan, upaya untuk membuat lengan administrasi pemerintahan yang lebih efektif dan efisien terus-menerus gagal karena tujuan nyata birokrasi tidak ada hubungannya dengan efisiensi dan praktek manajemen yang lebih baik. Listrik benar-benar dipertaruhkan dalam reorganisasi, dan ini adalah alasan presiden, Kongres, dan aktor-aktor politik lainnya mengambil minat intens seperti dalam administrasi. Reorganisasi telah menjadi seperti bagian abadi politik yang semakin dikejar demi-tujuan politiknya sendiri tanpa strategi administrasi yang mendasari apapun. Selama tahun 1990-an, misalnya, House Republik diusulkan menghapuskan Departemen Pendidikan, Energi, Perdagangan, dan Perumahan dan Pembangunan Perkotaan. 1996 calon presiden dari Partai Republik, Bob Dole, juga berkampanye pada janji menghilangkan Internal Revenue Service. Proposal ini sebagian besar dihitung untuk membuat keuntungan politik dari stereotip negatif populer birokrasi dan tidak masuk akal nyata dari sudut pandang administrasi pandang. Tidak ada satu dibuat proposal yang serius untuk penghapusan grosir program, tidak ada yang memiliki rencana strategis untuk menetapkan kembali program-program ini, dan tidak ada yang membuat setiap argumen nyata yang hasil akhirnya akan lebih efektif dan pemerintah yang efisien. Inti tampaknya untuk menyerang infrastruktur administrasi dalam keyakinan bahwa pemerintah lebih kecil adalah pemerintahan yang lebih baik. Namun jika ada tidak ada penghapusan grosir program publik, pemerintah tidak akan mendapatkan yang lebih kecil, hanya lebih bingung, dan, kemungkinan besar, semakin diprivatisasi (Seid man 1998, 110).
Game politik tersebut dengan birokrasi bukan satu-satunya provinsi dari Partai Republik. Pemerintahan Clinton / Gore memainkan permainan terutama sinis dalam upaya reinvention yang, berulang kali mempublikasikan gaji federal yang menyusut. The seperempat juta posisi federal yang dihilangkan oleh gerakan reinvention kebanyakan pengawas, spesialis personil, analis anggaran, akuntan, auditor, dan sejenisnya. Orang-orang ini terutama mengawasi operasi pihak ketiga, yaitu kontraktor swasta pemerintah semakin menggunakan untuk melaksanakan program dan kebijakan publik. Karyawan kontrak yang tidak langsung melakukan bisnis publik jauh melebihi jumlah karyawan dalam pelayanan sipil federal, dan reinvention menyusut angka-angka ini tidak sama sekali. Jika ada, pemotongan gaji federal yang membuatnya jauh lebih sulit untuk menahan kontraktor pihak ketiga bertanggung jawab (Seidman 1998, 112-113).
Baik Wilson atau argumen Seidman ini merupakan pembuktian sepenuhnya dikembangkan kerangka teoritis, dan Wilson (1989, xi) secara eksplisit mengangkat keraguan tentang apakah teori komprehensif perilaku organisasi bahkan mungkin. Namun Wilson dan Seidman baik menyediakan serangkaian proposisi dapat diuji secara empiris yang merupakan ciri khas dari kerangka teoritis. Dari Wilson datang kaya set hipotesis, yang dapat dikonfirmasi dengan mengamati perilaku birokrasi, tentang segala sesuatu dari norma-norma profesional untuk substitusi aturan untuk tujuan. Kerja Seidman ini menunjukkan analis terhadap saham politik yang tinggi sekitar organisasi dan administrasi, dan, dalam melakukannya, masuk akal dari "eksentrik" yang menantang harapan kerangka teoritis tradisional. Dikombinasikan, kedua membuatnya lebih mudah untuk memahami mengapa birokrasi adalah cara mereka, dan mengapa mereka melakukan hal-hal yang mereka lakukan.
Meskipun pekerjaan Seidman dan kerja Wilson adalah diskursif bukan teoritis, lebih eksplisit upaya teoritis dari literatur organisasi berusaha untuk menjelaskan setidaknya beberapa unsur birokrasi perilaku politik menikmati. John Kingdon ini Agenda, Alternatif, dan Kebijakan Publik (1995), misalnya, mencoba untuk menjelaskan mengapa pemerintah menangani beberapa masalah sementara mengabaikan orang lain. Analisis Kingdon menunjukkan bahwa instansi pemerintah memiliki peran penting dalam membentuk agenda publik, tidak begitu banyak dalam menentukan prioritas agenda tetapi bertindak sebagai anggota kunci dari "komunitas kebijakan." Komunitas ini terdiri dari aktor yang, melalui kepentingan khusus mereka dalam kebijakan tertentu dan kepadatan interkoneksi mereka dan kepentingan umum, dapat menentukan nasib proposal kebijakan. Sebuah komunitas terfragmentasi (misalnya, di mana lembaga memiliki tujuan yang saling bertentangan pada isu tertentu) menghilang dukungan untuk proposal kebijakan dan sangat membatasi potensi untuk sukses (Kingdon, 1995,116-144) Meskipun konteks organisasi yang ditampilkan di sini untuk memainkan peran penting dalam membentuk peran politik birokrasi, peran itu bukan fokus utama dari teori.
Intinya adalah bahwa teori organisasi telah tersedia lensa penting bagi karya-karya seperti Wilson dan Seidman, mengisyaratkan pentingnya fenomena yang berkembang dari jaringan administrasi, dan dengan berbuat demikian telah memberikan banyak pembenaran untuk mengejar penjelasan yang komprehensif tentang peran politik birokrasi. Belum, bagaimanapun, teori organisasi belum asalkan penjelasan yang komprehensif102).

Birokrasi Perwakilan
Teori birokrasi perwakilan mungkin merupakan upaya paling eksplisit untuk mengatasi masalah sentral dari teori administrasi demokratis dibesarkan oleh Waldo (1952,  Bagaimana teori yang Membalut sifat hirarkis dan otoriter birokrasi didamaikan dengan nilai-nilai egaliter dan akhirnya tidak efisien tampaknya bertentangan demokrasi? Karya ulama seperti Waldo, Allison, Wilson, dan Seidman kuat bahwa birokrasi adalah lembaga kebijakan politik. Namun jika birokrasi adalah aktor kebijakan kuat terlibat dalam "politik dari urutan pertama," mereka juga sebagian besar terisolasi dari kotak suara dan hanya sebagian bertanggung jawab untuk pejabat terpilih (Meier 1993, 7; Mosher 1982). Kontradiksi antara birokrasi membuat kebijakan dan nilai-nilai dasar demokrasi menimbulkan salah satu tantangan yang paling penting bagi teori administrasi publik: "Bagaimana seseorang persegi permanen [dan, kami akan menambahkan, kuat] layanan yang sipil tidak rakyat dengan suara mereka atau mereka perwakilan oleh janji mereka dapat dengan mudah mengganti-dengan prinsip pemerintah oleh rakyat? "(Mosher 1982, 7). Teori demokrasi pemerintahan, Waldo menyarankan, harus mampu menjawab pertanyaan ini.
Teori birokrasi perwakilan berfokus pada menemukan cara untuk sah kekuasaan politik birokrasi dalam konteks nilai-nilai demokrasi. Prinsip utama dari teori ini adalah bahwa birokrasi yang mencerminkan keragaman masyarakat yang dilayaninya lebih mungkin untuk menanggapi kepentingan semua kelompok dalam pengambilan keputusan kebijakan (Krislov 1974; Selden 1997). Jika birokrasi sensitif terhadap seperti keragaman kepentingan, dan kepentingan-kepentingan ini diwakili dalam keputusan dan perilaku birokrasi, argumen adalah bahwa birokrasi itu sendiri dapat dianggap sebagai lembaga perwakilan. Jika birokrasi adalah lembaga perwakilan, panjangpolitiknya diakui peran  dapat diakomodasi dengan nilai-nilai demokrasi seperti dasar sebagai aturan mayoritas, hak-hak minoritas, dan perwakilan yang sama.
Gagasan kekuasaan birokrasi legitimasi dengan memperlakukan birokrasi sebagai lembaga perwakilan secara resmi diperkenalkan oleh J . Donald Kingsley di Birokrasi Perwakilan (1994). Karya Kingsley, sebuah studi dari layanan publik Inggris, maju argumen bahwa layanan sipil harus mencerminkan karakteristik dari kelas sosial yang berkuasa. Untuk melaksanakan perannya secara efektif dalam negara itu, Kingsley berpendapat, layanan sipil harus bersimpati kepada keprihatinan dan nilai-nilai dari kelompok politik yang dominan. Nilai-nilai bersama menghubungkan pelaksanaan kewenangan diskresioner pada bagian dari birokrat dengan kehendak negara demokratis. Meskipun Kingsley menciptakan istilah "birokrasi perwakilan," ide dasar ia mengartikulasikan cukup lama. Di Amerika Serikat, sistem rampasan dilembagakan selama abad kesembilan belas mengakibatkan layanan sipil yang didominasi oleh loyalis partai besar (Meier 1975). Birokrasi seperti dapat dilihat sebagai perpanjangan partai mayoritas, dan karena dari preferensi diekspresikan di kotak suara. Sistem patronase tersebut, tentu saja, juga mengundang hanya semacam masalah yang diminta cendekiawan seperti Goodnow dan Wilson untuk mencari beberapa divisi antara politik dan administrasi:. Inkompetensi teknis, pilih kasih dalam pengambilan keputusan administratif, dan korupsi terang-terangan
Pendukung kontemporer lebih birokrasi perwakilan menolak patronase atau rampasan sistem sebagai model yang tepat untuk birokrasi perwakilan untuk persis alasan ini. Sebaliknya, sebagian besar menerima kebutuhan untuk pengaturan organisasi seperti yang ditentukan oleh ortodoksi administrasi, yaitu, lembaga-lembaga publik berdasarkan birokrasi rasional-hukum Weberian (Selden 1997). Berbeda dengan sistem rampasan, yang terakhir terlihat sebagai pemberian berbagai manfaat, di antaranya efisiensi, membuat prestasi dasar kerja sektor publik, dan memperkuat peran keahlian teknis dalam pengambilan keputusan (Meier 1993). Meskipun ini berarti menerima argumen dari teori administrasi ortodoks, pendukung birokrasi perwakilan menolak gagasan tentang dikotomi politik-administrasi. Pelajaran teoritis dan empiris dari orang-orang seperti Gaus, Waldo, Allison, Seidman, Wilson, dan banyak lainnya hanya membuat tidak mungkin untuk mengabaikan atau menganggap diri peran politik birokrasi.
Teori birokrasi perwakilan demikian dimulai dengan asumsi bahwa ada adalah alasan yang baik untuk badan publik harus diselenggarakan dengan cara mereka (yaitu, tidak demokratis) dan badan-badan yang tidak demokratis menjalankan kekuasaan politik yang cukup. Sebagai Kenneth Meier katakan, "Teori birokrasi perwakilan dimulai dengan mengakui realitas politik. Dalam pemerintahan kompleks seperti Amerika Serikat, tidak semua aspek dari keputusan kebijakan diselesaikan di cabang-cabang 'politik' dari pemerintah "(1975, 527). Dasar kekuasaan birokrasi diasumsikan berasal dari otoritas pengambilan keputusan diskresioner itu, sebagai hal praktis, harus diberikan kepada mereka karena tidak semua skenario pelaksanaan dan penegakan dapat dipahami dan diperhitungkan dalam undang-undang. Pejabat terpilih mungkin memiliki banyak alat yang mereka miliki untuk membatasi kekuasaan birokrasi, tetapi pasukan yang kuat menempatkan batasan praktis tentang penggunaan alat ini. Dukungan publik dari program atau tujuan lembaga, para birokrat keuntungan informasi sering mengadakan lebih dari pejabat terpilih karena keahlian teknis mereka, dan kebijaksanaan politik sederhana semua pekerjaan untuk membatasi kendala ditempatkan pada kekuasaan birokrasi.
Mungkin argumen yang paling terkenal yang birokrat individu memiliki dihindari peran kebijakan adalah Michael Lipsky Street-level Birokrasi: Dilema Individu di Pelayanan Publik (1980). Premis utama Lipsky adalah bahwa tingkat jalan birokrat-polisi,
guru, dan sejenisnya-rutin harus membuat keputusan yang tidak didikte oleh misi organisasi tempat mereka bekerja, atau aturan yang seharusnya mereka menegakkan. Birokrat tingkat jalan sehingga membuat kebijakan sebagai akibat dari perilaku mereka. Misalnya, tidak peduli apa yang dikatakan hukum batas kecepatan, dalam prakteknya ditentukan oleh polisi lalu lintas individu. Kebijaksanaan untuk membuat seperti on-the-spot keputusan, yang berlaku adalah keputusan kebijakan, akan menjadi cukup besar, bahkan untuk birokrat bekerja dalam jalinan padat aturan yang dirancang untuk membimbing perilaku mereka. Ini hanyalah sebuah fakta kehidupan politik yang individu tak terpilih, dilindungi oleh mekanisme layanan sipil dan bekerja untuk hirarkis (bahkan otoriter) birokrasi, memegang kekuasaan pembuatan kebijakan yang signifikan dalam politi demokratis. Mengingat ini, tantangan utama bagi teori administrasi adalah untuk menjelaskan fakta ini dalam konteks nilai-nilai demokrasi (Selden 1997, 13-26).
Dalam memenuhi tantangan ini, mereka yang menganjurkan teori birokrasi perwakilan mulai dengan mencari jawaban ke pertanyaan yang sama diajukan oleh Wilson: Mengapa birokrat melakukan apa yang mereka lakukan? Secara khusus, fokusnya adalah pada menjelaskan perilaku birokrat ketika mereka melaksanakan kewenangan diskresioner. Umumnya, diasumsikan bahwa birokrat adalah aktor rasional dalam arti bahwa mereka mengejar tujuan sendiri tertarik ketika dihadapkan dengan pilihan diskresioner. Para pendukung birokrasi perwakilan berpendapat bahwa tujuan perilaku mengemudi yang disediakan oleh nilai-nilai individu pembuat keputusan tersebut. Dengan demikian, "jika aparat administrasi membuat keputusan politik, dan jika birokrasi secara keseluruhan memiliki nilai yang sama seperti orang-orang Amerika secara keseluruhan, maka keputusan yang dibuat oleh birokrasi akan mirip dengan keputusan yang dibuat jika seluruh masyarakat Amerika diteruskan isu-isu. . . . Jika nilai-nilai mirip keputusan, rasional dibuat sehingga memaksimalkan nilai-nilai ini juga akan serupa "(Meier 1975, 528). Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan birokrasi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial beragam dan perwakilan meskipun pengaturan organisasi ortodoks administrasi publik terisolasi dari proses dasar dan nilai-nilai demokrasi. Jika jajaran pegawai negeri mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat yang beragam, birokrasi menjadi "pilar keempat dari pemerintah" perwakilan dengan dasar yang sah untuk menjalankan kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Para ulama pertama yang merumuskan dan menerapkan argumen dasar perwakilan birokrasi di Amerika Serikat yang David Levitan (1946) dan Norton panjang (1952). Lama mengadopsi sikap yang paling ekstrim, dengan alasan bahwa legislatif nasional, yang sangat miring ke arah strata atas masyarakat, tidak mewakili berbagai kepentingan nasional yang penting. Sebaliknya, "kepentingan-kepentingan ini menerima representasi yang lebih efektif dan lebih bertanggung jawab melalui saluran administrasi" (1952, 808). Klaim panjang adalah bahwa birokrasi memiliki lebih dari karakter demokratis daripada legislatif karena jajaran pegawai negeri sipil federal yang jauh lebih mencerminkan publik Amerika. Keragaman yang tercermin dalam keputusan-keputusan administratif, bahkan kepentingan sempit mendominasi pengambilan keputusan Kongres. Klaim normatif adalah bahwa birokrasi benar-benar dibuat untuk kekurangan perwakilan legislatifperwakilan.
Meskipun ulama berikutnya umumnya membuat klaim normatif kurang radikal dari panjang, dua pertanyaan utama yang mendorong kerja Long tetap fokus dasar bekerja pada birokrasi  ( 1) Apakah lembaga-lembaga publik secara luas mewakili kepentingan dan nilai-nilai masyarakat Amerika? (2) Apakah kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang tercermin dalam tindakan kebijakan birokrasi? Yang pertama dari pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan konsep "representasi pasif," atau sejauh mana birokrasi mencerminkan komposisi masyarakat. Kingsley (1944) mengemukakan bahwa kelas sosial ekonomi harus menjadi tolok ukur dasar untuk membandingkan
komposisipegawai negeri dengan itu dari masyarakat. Penelitian Kingsley, bagaimanapun, difokuskan pada layanan sipil Inggris. Di Amerika Serikat, Samuel Krislov (1974) berpendapat bahwa secara lebih tepat dibandingkan ras, etnis, dan jenis kelamin. Faktor-faktor ini diasumsikan menjadi sumber utama sosialisasi, dan dengan demikian nilai-nilai. Sebagian besar penelitian empiris pada birokrasi perwakilan di Amerika Serikat demikian dikhususkan untuk memeriksa sejauh mana birokrasi mencerminkan komposisi demografis dasar masyarakat. Temuan umum penelitian ini adalah bahwa minoritas dan perempuan secara proporsional terwakili dalam birokrasi secara keseluruhan, tetapi kurang terwakili di tingkat atas dari hirarki birokrasi (Selden 1997, 45).
Kesepakatan pertanyaan kedua dengan konsep "representasi aktif," atau hubungan antara representasi pasif dan output kebijakan atau hasil. Sekali lagi, itu Krislov yang membuat kontribusi kunci untuk membentuk ilmiah berpikir tentang masalah ini. Dia berargumen bahwa komposisi demografis birokrasi hanya menyediakan bukti tidak langsung dari sifat perwakilan birokrasi. Profil sosial dari setiap diberikan birokrat-ras, jenis kelamin, pendidikan, dan sebagainya-hanya menyediakan indikasi terbatas kemampuan yang birokrat untuk memajukan kepentingan kelompok-kelompok demografis. Hal ini tidak cukup, dengan kata lain, untuk menemukan bahwa perempuan dan minoritas secara kasar secara proporsional terwakili di jajaran pegawai negeri sipil. Setiap klaim serius bahwa birokrasi adalah lembaga perwakilan memerlukan bukti bahwa representasi pasif diterjemahkan ke dalam representasi aktif, bahwa lebih banyak perempuan dan kaum minoritas bergabung dengan layanan sipil, semakin output kebijakan birokrasi mewakili kepentingan luas perempuan dan kaum minoritas.
Mengingat pentingnya untuk teori birokrasi perwakilan, tidak mengherankan bahwa telah terjadi pertumbuhan badan penelitian empiris tentang masalah yang terakhir ini. Studi oleh Kenneth Meier dan berbagai rekan (Meier, Stewart, dan Inggris 1989; Meier dan Stewart 1992; Meier, Kerut, dan Polinard 1999) telah secara konsisten menemukan bahwa perwakilan minoritas dalam pelayanan sipil terkait dengan output kebijakan yang mendukung kelompok minoritas. Studi-studi ini telah secara eksklusif berfokus pada pendidikan dan efek perwakilan minoritas pada output kebijakan (penelitian meneliti dampak dari perwakilan minoritas dalam mengajar, pada posisi administrasi dan dewan sekolah mengenai kebijakan sekolah, dan output yang mempengaruhi minoritas). Beberapa penelitian di luar pendidikan telah menghasilkan hasil yang lebih beragam (Hindera 1993a, 1993b; Selden 1997). Namun, banyak penelitian lain menunjukkan bahwa kondisi yang ditemukan oleh Meier dan rekan-rekannya memang ada untuk jenis lembaga lainnya serta untuk representasi perempuan (Keiser, Wilkins, Meier, dan Belanda 2002; Meier dan Nicholson-Crotty 2006; Lim 2006; Wilkins dan Keiser 2006).
Sebuah pengembangan lebih lanjut dalam literatur adalah untuk menggabungkan konsep representasi simbolis, yang, tidak seperti representasi aktif, bekerja kognitif pada publik. Jadi, ketika birokrat berbagi identifikasi, pengalaman, dan karakteristik sebagian dari masyarakat, penonton yang akan melihat tindakan orang-orang birokrat yang sah, bahkan jika birokrat tidak sengaja mewakili kelompok itu. Nick Theobald dan Donald Haider- Markel (2009), dengan memeriksa sikap warga tentang tindakan oleh petugas polisi, menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh birokrat lebih cenderung dianggap sebagai sah jika warga negara dan birokrat berbagi karakteristik demografi. Jika ini berlaku di seluruh instansi, itu menunjukkan bahwa sikap warga sekitar birokrat dan implementasi kebijakan dapat diubah tanpa tindakan dari pihak birokrat yang tegas dirancang untuk mewakili kelompok tertentu (representasi aktif). Selain itu, mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan oleh mereka yang belajar birokrasi perwakilan
mengandalkandata agregat, yang membuatnya sulit untuk mengetahui apakah temuan mereka menunjukkan representasi aktif atau simbolik. Mempertimbangkan implikasi untuk pemerintahan yang demokratis, penting untuk memperjelas pertanyaan ini.
Kunci untuk upaya perwakilan birokrasi untuk membangun jembatan antara teori administrasi publik ortodoks dan teori demokrasi sehingga masih bertumpu tidak ada tingkat yang kecil pada kemampuan studi empiris masa depan untuk mendukung hipotesis pusat teori bahwa representasi pasif akan menyebabkan representasi aktif. Meskipun literatur telah berkembang pesat sejak tahun 2000, masalah yang diangkat oleh Theobald dan Haider-Markel menyiratkan lebih individual-tingkat pekerjaan empiris yang diperlukan.
Kesimpulan
Hal ini mungkin adil untuk mengatakan bahwa administrasi beasiswa publik telah lebih berhasil dalam menunjukkan kebutuhan untuk teori politik birokrasi daripada di benar-benar menghasilkan kerangka kerja mereka. Sudah lebih dari setengah abad sejak ulama seperti Waldo dan Gaus terkena dasar reyot dari dikotomi politicsadministration dan membuat singkat meyakinkan bahwa teori administrasi harus berbagi kesamaan dengan teori politik. Sejak itu, banyak penelitian telah secara empiris dikonfirmasi peran politik birokrasi. Beberapa di antaranya, termasuk orang-orang dari Wilson dan Seidman, pusat pada serangkaian proposisi dapat diuji secara empiris. Bahkan jika karya sendiri secara eksplisit diskursif, mengandung bahan dasar untuk membangun teori. Untuk saat ini, bagaimanapun, bahwa proyek konstruksi tetap tidak lengkap.
Model III Allison dan teori birokrasi perwakilan merupakan dua dari kerangka kerja politik birokrasi lebih dikenal dan paling banyak digunakan. Meskipun sulit untuk meremehkan kontribusi Allison, itu jelas jatuh pendek dari kerangka teori yang berlaku secara umum. Allison Model III kemungkinan akan terus menemukan pekerjaan yang menguntungkan dalam penataan studi administrasi, tapi bukti telah terus dipasang bahwa berambisi dalam lingkup dan berkinerja dalam praktek. Meskipun memiliki garis keturunan jauh lebih tua dari Model III, teori birokrasi perwakilan di satu sisi tetap ingin tahu menganggur. Model dasar pelit, dan hipotesis prediktif yang intuitif mudah untuk dipahami. Secara sederhana, teori ini berpendapat bahwa layanan sipil yang mencerminkan beragam kepentingan dan nilai-nilai dari masyarakat yang dilayaninya akan mengambil kepentingan tersebut saat menjalankan kewenangan diskresioner nya. Validitas teori terkait dengan hipotesis bahwa representasi pasif akan menyebabkan representasi aktif. Bahkan jika kita mengakui kesulitan dalam mengoperasikan tes tersebut, ada tapi beberapa penelitian yang diterbitkan tepat ditujukan untuk secara empiris menilai klaim ini, dan ini telah menghasilkan hasil yang beragam dan saling bertentangan.
Apakah relatif kurangnya keberhasilan dalam memproduksi secara luas kerangka politik birokrasi berarti upaya untuk melakukannya harus dinilai ulang? Nenek moyang gerakan politik birokrasi pasti akan menjawab tidak, karena alasan sederhana bahwa karakteristik yang paling penting dari administrasi publik adalah sifat politiknya, dan kita mengabaikan ini pada bahaya kita. Panjang pernah menulis bahwa "tidak ada tontonan lebih menyedihkan di dunia administratif dari agen dan program yang dimiliki kehidupan hukum, dipersenjatai dengan perintah eksekutif, berkelanjutan di pengadilan, namun terserang kelumpuhan dan kehilangan kekuasaan. Sebuah objek penghinaan untuk musuh-musuhnya dan putus asa untuk teman-teman nya "(1949, 257).
Titik panjang adalah bahwa kemampuan lembaga publik untuk menyelesaikan sesuatu tidak tergantung pada tanggung jawab dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. Sifat desentralisasi sistem Amerika berarti keberhasilan atau kegagalan program diikat ke otot politik birokrasi itu dipercayakan kepada. As Long ringkas mengatakan, "Nyawa administrasi adalah kekuatan. Its pencapaian, pemeliharaan, peningkatan, disipasi, dan rugi adalah mata pelajaran praktisi dan mahasiswa sakit mampu untuk mengabaikan "(1949, 257). Lama berpendapat bahwa mengabaikan peran politik birokrasi merampas teori administrasi koneksi penting untuk dunia nyata dan consigns sejumlah kesimpulan preskriptif dari karya ilmiah kegagalan.
Cendekiawan seperti Long, Gaus, dan Waldo berpendapat bahwa, suka atau tidak, birokrasi adalah lembaga politik dan bahwa setiap kerangka teori yang berguna harus mengenali dan account untuk fakta sederhana ini kehidupan politik. Teori administrasi publik, dengan kata lain, juga harus teori politik. Teori politik birokrasi dirancang dengan tujuan ini dalam pikiran, dan mengejar tujuan ini tetap menjadi aktivitas yang menguntungkan bagi mahasiswa administrasi publik.