Hidup kadang seperti meniti jembatan kabut, kita tahu ada tujuan di seberang sana, tapi jalannya tak selalu terlihat jelas. Begitu pula yang saya rasakan ketika tanggal 9 Januari 2025, nama saya dinyatakan lolos dalam pengumuman akhir CPNS. Bahagia? Tentu. Tapi rasa penasaran masih menggantung di langit pikiran: di mana saya akan ditempatkan? Di mana tapak pertama pengabdian ini akan dimulai?


Jawabannya datang nyaris larut malam, tanggal 21 Mei. Sekitar pukul 23.00 WITA, surat penempatan akhirnya diunggah di situs resmi KPU RI. Saya membuka laman itu seperti membuka amplop nasib dan disana, tertulis jelas: Sekretariat KPU Kabupaten Buton. Seketika dada ini penuh oleh rasa syukur yang tak bisa diucapkan kata-kata. 


Seolah semesta menulis takdir dengan tinta yang ramah: penempatan ini masih dalam wilayah kepulauan Buton, sekitar 1 jam lebih dari rumah di Kota Baubau. Namun saya memilih untuk ngekost, agar saya mengenal lebih dekat dengan masyarakat Kabupaten Buton dan tentu meminimalisir risiko perjalanan ketika harus pulang pergi Baubau - Pasarwajo.


Kami berjumlah 7 orang, kami datang setelah pesta demokrasi Pilkada usai. Orang mungkin mengira kami datang ketika panggung telah dibongkar. Tapi justru di balik layar inilah, peran-peran sunyi tapi penting itu dijalankan. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB), penataan arsip dan tugas rutin lainnya menjadi ladang latihan kami. Disinilah kami mulai mengasah cangkul pengetahuan, menanam benih pengalaman, agar kelak siap memanen hasil saat pesta besar yang bernama Pemilu dan Pilkada itu tiba.


Lingkungan kerja di KPU Buton tidak terasa seperti kantor pada umumnya. Ia lebih mirip sebuah rumah besar, tempat di mana setiap sudutnya menyimpan canda, nasihat, dan semangat kolektif. Komisioner, sekretaris, para kasubag, hingga para staff senior, semua menyambut kami tanpa jarak. Kekeluargaan bukan sekadar slogan, tapi benar-benar hadir dalam setiap interaksi, secangkir kopi, dan sapaan hangat di pagi hari.


Dalam dua bulan ini, saya merasa seperti seorang pelaut yang baru berlayar, perlahan belajar membaca arah angin, mengenal riak ombak, dan memahami bagaimana kapal ini bekerja. Masih jauh pelabuhan tujuan, tapi dengan awak yang hangat dan tekad yang kuat, saya percaya perjalanan ini akan membawa banyak makna.


Dan inilah awal dari perjalanan itu bukan sekadar pengabdian, tapi juga pencarian jati diri sebagai insan penyelenggara demokrasi. Sebab di tanah ini saya tidak sekadar bekerja. Saya sedang menulis babak baru dalam hidup, satu huruf demi satu huruf, di atas lembar sejarah yang lebih luas.

 



Kadang, hidup mengajari kita tentang sabar dengan cara yang tidak mudah, menunggu dalam diam, bertanya tanpa jawaban, dan berharap tanpa tahu pasti kapan semuanya akan terungkap. Tapi malam tadi, sekitar pukul 23.00 WITA, penantian panjang itu akhirnya berujung pada kepastian.

Saya menerima pengumuman yang selama ini ditunggu, yakni: lokasi penempatan. (Baca file lengkap klik: πŸ‘‰ DISINI)
Dan nama saya pun muncul, saya ditempatkan di Sekretariat KPU Kabupaten Buton.



Tentu itu bukan sekadar baris informasi, ini adalah titik awal dari cerita baru yang akan saya tulis sendiri. Tempat baru, lingkungan baru, dan tantangan yang juga tentu baru. Ada rasa haru, gugup, tapi juga semangat yang tak bisa dibendung. Karena di balik ketidakpastian, selalu ada ruang bagi harapan.

Memulai hidup di tempat baru bukan hal yang mudah. Tapi saya memilih untuk menyambutnya sebagai anugerah, bukan beban. Di setiap proses adaptasi, saya yakin akan ada pelajaran berharga. Dalam setiap tantangan, tersembunyi potensi yang belum tergali. Dan dalam setiap perjumpaan dengan hal-hal asing, ada kemungkinan untuk menemukan versi terbaik dari diri sendiri.

Saya percaya, tidak ada langkah yang sia-sia jika dijalani dengan niat baik dan tekad yang tulus. Sekecil apa pun pijakan pertama itu, ia bisa menjadi awal dari perjalanan yang luar biasa. Dan saya ingin menjadikan penempatan ini bukan hanya sebagai tugas kerja, tapi sebagai panggilan untuk tumbuh, memberi arti, dan membangun kontribusi.

Semoga perjalanan ini lancar.

 



Sebagai orang Buton, khususnya dari pulau kecil Kadatua, saya tumbuh mendengar cerita-cerita luar biasa tentang pelayaran orang-orang tua. Mereka berlayar menjelajahi nusantara hingga ke negeri asing, menggunakan perahu sope atau kapal boti. Yang mengagumkan, mereka melakukannya tanpa bantuan mesin. Jika arah angin tepat, kecepatan layar mereka bahkan bisa melebihi kapal bermesin.


Pertanyaan besar yang sering muncul di benak saya adalah: bagaimana mereka menentukan arah tanpa navigasi modern? Jawabannya ada pada kearifan lokal, terutama melalui rasi bintang dan "matano kawea," istilah dalam bahasa Buton untuk menunjukkan arah mata angin. Di Kadatua, dikenal 16 matano kawea, namun yang paling umum dan saya ingat ada delapan.


Kenangan ini kembali hidup saat saya duduk di bangku kelas 5 di SDN 1 Kapoa. Pak La Hamuli, guru kelas kami kala itu, saat kelas mata pelajaran IPA, ia mengajarkan delapan matano kawea ini, bukan hanya dalam bahasa Indonesia tetapi juga dalam bahasa lokal. Dari delapan arah itu, salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah "Beteno Pariama," atau arah tenggara.


Dalam bahasa Kadatua, "bhete" berarti pecah atau retak. Namun, arti "pariama" tetap menjadi teka-teki bagi saya hingga beberapa hari lalu saya menemukan postingan tulisan pendek yang ditulis oleh Saleh Hanan, seorang penulis dari Wakatobi. Ia menjelaskan konsep astronomi lokal tentang "bintang pariama" yang terbit di arah tenggara dan menjadi panduan mata angin.


Saleh Hanan menulis:


"Dalam ilmu astronomi Wakatobi, terdapat bintang pariama. Terbit di arah tenggara. Disebut bete na sangia, artinya 'pecah bintang'. Terbitnya menjadi penanda mata angin tenggara, disebut bete'a u pariama. Sifat cahaya bintang ini, saat pertama kali terbit pada bulan Juni, menjadi indikator apakah musim kemarau atau penghujan akan lebih dominan. Pilihan ini menentukan pola mata pencaharian masyarakat, bertani di darat atau melaut."


Kata sangia sendiri adalah tamsil untuk sesuatu yang dianggap suci, penuh berkah, dan dihormati. Dalam kepercayaan masyarakat lokal, bete na sangia tidak hanya menjadi panduan arah tetapi juga menentukan siklus kehidupan masyarakat Buton dan Wakatobi.


Pengetahuan tentang matano kawea dan bintang pariama ini adalah warisan luar biasa dari nenek moyang. Bagi saya, ini bukan sekadar cerita, melainkan refleksi atas kemampuan mereka membaca alam dan menggunakannya untuk bertahan hidup. Keberadaan matano kawea mengajarkan kita tentang harmoni dengan alam, kebijaksanaan lokal, dan penghormatan terhadap tradisi.